Mongabay.co.id

Kala Warga Dairi Gugat Izin Lingkungan PT DPM, Koalisi Minta Komisi Yudisial Pantau Persidangan

 

 

 

 

Praktik penerbitan izin minim pelibatan masyarakat masih terjadi seperti dialami masyarakat Dairi, Sumatera Utara. Lokasi sekitar mereka keluar izin lingkungan kepada perusahaan tambang, PT Dairi Prima Mineral (DPM) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Warga pun menggugat kementerian ini ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) di Jakarta pada 22 Februari lalu. Sidang terus bergulir. Koalisi masyarakat sipil meminta, Komisi Yudisial dan Badan Pengawas Mahkamah Agung memantau proses persidangan.

Adapun izin lingkungan ini lahir lewat Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang kelayakan lingkungan hidup pertambangan seng dan timbal DPM di Kecamatan Silima Pungga Pungga, Dairi, tertanggal 11 Agustus 2022. Padahal, warga sempat audiensi ke KLHK pada 24 Agustus 2022 dan mendapat informasi tak ada izin terbit.

Warga menilai, ketidakterbukaan pemerintah (KLHK) dalam penerbitan SK Kelayakan Lingkungan Hidup pada DPM merupakan pelanggaran substansi dan prosedural yang dilakukan pemerintah.

“Ini merupakan gugatan administrasi ke PTUN soal persetujuan lingkungan yang dikeluarkan KLHK pada DPM. Poinnya, soal partisipasi masyarakat tak ada sama sekali,” kata Ki Bagus Hadi Kusuma, Juru Kampanye Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Nasional, dalam jumpa pers di Jakarta, 13 Juni lalu.

DPM merupakan perusahaan patungan antara Bumi Resources dan China Nonferrous Metal industry’s Foreign Engineering and Construction Co., Ltd (NFC), perusahaan negara Tiongkok berdiri pada 1983 dan melantai di bursa Shenzhen pada 1997. Terkait perkara yang sedang berlangsung di PTUN, perusahaan ini mengajukan diri sebagai tergugat II intervensi.

“DPM ini bukan perusahaan ecek-ecek. Dia BUMN Tiongkok. Jadi, modal besar berkolaborasi dengan pengurus negara, berkolaborasi dengan entitas negara, siapa yang bisa menjamin putusan dari majelis hakim akan independen atau tidak akan diintervensi oleh KLHK atau DPM?” katanya.

 

Aksi warga Dairi saat akan sidang gugatan di PTUN Jakarta. Foto: Koalisi Masyarakat Sipil

 

Koalisi masyarakat sipil yang mengawal kasus ini secara khusus bersurat ke Komisi Yudisial dan Badan Pengawas Mahkamah Agung untuk memantau proses persidangan yang sedang berjalan. Surat desakan ini mereka kirimkan pada 9 Juni lalu.

Koalisi antara lain, Jatam Nasional, YLHBI, Sajogyo Institute, Yayasan Diakonia Pelangi Kasih, Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara dan Trend Asia.

Mereka menilai, dua lembaga itu paling independen untuk membantu perjuangan masyarakat Dairi. Apalagi, Undang-undang Nomor 18/2011 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 22/2004 tentang Komisi Yudisial memberikan kewenangan Komisi Yudisial menyadap hakim yang tengah diawasi.

Untuk Badan Pengawas Mahkamah Agung, kata Bagus,  ada wewenang jelas menjaga maruah peradilan dan martabat hakim. Salah satu, dengan menjaga proses pengadilan.

Kalau melihat jadwal, putusan pengadilan bisa keluar pada Juli mendatang. Dia menyebut, putusan hakim akan jadi pertarungan antara lembaga negara dan korporasi dengan warga.

“Penting mendesak dua lembaga ini aktif mengawasi proses peradilan. Mengingat yang digugat warga adalah lembaga negara dan korporasi besar. Hingga harus dipastikan independensi majelis hakim agar tidak bisa dan diintervensi,” kata Bagus.

Untuk memastikan hakim benar-benar terinformasikan soal bahaya operasi DPM di Dairi, Koalisi Masyarakat Sipil dan Tim Kuasa Hukum memberikan berbagai fakta memperkuat itu. Antara lain, analisis risiko tinggi bencana alam, karena lokasi pusat pertambangan tak jauh dari Megathrust di Asia dan Sumatera.

Juga analisis dari Pakar Hidrologi dari Malach Consulting, Steven Emmerman, dan Ahli Teknik Sipil dan Pembangunan Bendungan dari Stanford University, RIchard Meehan jadi lampiran gugatan.

Selain itu, ada juga laporan yang dibuat Compliance Advisor Ombudsman (CAO) yang menindaklanjuti pengaduan warga Desa Bongkaras pada 2019. Dalam laporan itu dikatakan pembangunan bendungan limbah usulan perusahaan tidak sesuai standar internasional.

Ada tiga aktivitas yang tak ada di dalam rencana DPM berdasarkan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) awal. Yaitu,  pembangunan fasilitas pengendapan tailing, pembangunan gudang bahan peledak, dan portal atau pemindahan mulut tambang.

Perusahaan, katanya, sudah beroperasi sebelum mengajukan adendum (perubahan) mdal yang akhirnya disetujui KLHK. “Ini sudah pidana lingkungan seharusnya. Sekalipun persetujuan lingkungan terbit, tidak menghapuskan pidana DPM,” ucap Bagus.

 

Baca juga: Mereka Desak KLHK Tolak Pengajuan Perubahan Amdal Dairi Prima Mineral

 

 

Kecewa KLHK

Persidangan di PTUN sudah mulai sejak 29 Maret lalu. Teranyar, Tim Hukum Sekretariat Bersama Tolak Tambang menghadirkan empat warga bersaksi di persidangan 14 Juni lalu.

Selain menyuarakan kebohongan KLHK soal persetujuan lingkungan, saksi-saksi menyuarakan tiga hal tentang ancaman terhadap ruang hidup dan mata pencaharian mereka. Pertama, soal kebocoran limbah pada 2012 di Desa Bongkaras.

Bencana di masa eksplorasi DPM ini mengakibatkan ikan-ikan mas budidaya warga mati. Saksi menyebut kebocoran berasal dari lubang bor tambang dan tempat limbah.

“Ada kerusakan pertanian dan perikanan warga. Padahal, daerah ini dulu terkenal akan kekayaan pertanian mereka. Pasca itu pun ancaman dan kehilangan budidaya ikan mas lokal tetap ada,” kata Dhaniel M Tambunan, tim hukum warga setelah persidangan.

Kedua, salah satu saksi menceritakan bencana banjir bandang sudah terjadi di Bongkaras, pada 2018. Bencana ini mengakibatkan kehancuran pertanian yang masih berdampak hingga kini.

Dhaniel menyebut, sawah dan saluran irigasi warga tak bisa digunakan karena ada pepohohanan dan batuan yang terbawa arus banjir bandang dari Bukit Sikalombun. Di bukit itu, ada camp dan lubang bor tambang DPM.

Ketiga, saksi menceritakan perlakuan DPM pada warga yang menolak tambang saat sosialisasi di Hotel Barristera, Sidikalang, Sumatera Utara, 23 November 2022. Kala itu, DPM menghadirkan ahli tambang yang menyebut aktivitas mereka tak akan berdampak pada warga dan lingkungan.

Ahli yang hadir dalam sosialisasi ini menggunakan bahasa-bahasa ilmiah yang tak mudah dipahami warga dan orang awam. “Protes warga atas keterangan yang tidak sesuai dengan realita itu sempat ricuh. Mereka yang menolak dikeluarkan dari ruangan,” kata Dhaniel.

Tim Kuasa Hukum, katanya, akan mengajukan ahli-ahli di persidangan minggu berikutnya. “Untuk membuktikan gugatan-gugatan kami bahwa DPM itu mengancam ruang hidup dan mata pencaharian masyarakat.”

 

Baca juga: Warga Dairi Resah Kehadiran Perusahaan Tambang Seng

 

Hidup bertani dan berkebun, warga tak perlu tambang

Permintaan agar hakim jujur dan adil dalam proses peradilan di PTUN disuarakan masyarakat Dairi secara langsung. Ompung Gideon boru Sitorus dalam jumpa pers daring mengatakan, Dairi tak butuh tambang.

“Selama ini, warga Dairi hidup dari pertanian. Semoga hakim bisa jujur dan adil biar DPM angkat kaki,” katanya.

Ompung Gideon kecewa dengan KLHK. Dia bilang, ada kengerian timbul karena negara seakan berpihak pada penanam modal lewat tambang di kabupaten yang kaya hasil pertanian ini.

“Sekitar 80% masyarakat hidup dari pertanian, bukan pertambangan. Pertanian tidak bisa berdampingan dengan pertambangan,” katanya.

Gideon menggantungkan hidup dari pertanian dan perkebunan. Hasil bumi yang dia punya antara lain duku, durian, manggis, kopi sampah ladang padi.

Belum ada hitungan baku penghasilan tetapi, katanya, kalau duku berbuah, dia bisa menghasilkan hingga Rp20 juta sekali panen.

“Belum lagi dengan durian yang bisa Rp5 juta saat sedang berbuah,” katanya.


Dari hasil pertanian, Gideon bisa menyekolahkan anak-anaknya. “Dairi ini subur sekali dan tanaman tumbuh baik. Ada DPM membuat kami khawatir air bersih dan sumber pangan kami.”

Keunggulan Dairi di sektor pertanian bukan tanpa data. Badan Pusat Statistik Kabupaten Dairi mencatat kekayaan hasil kebun Kecamatan Silima Pungga Pungga, merupakan kawasan ring 1 DPM, mayoritas didominasi durian dan duku.

Dalam laman resminya, produksi durian di kecamatan ini mencapai 32.859 ton per tahun pada 2021. Sementara duku mencapai 4.271 ton per tahun.

Debora Gultom, Koordinator Advokasi Yayasan Diakonia Pelangi Kasih (YDPK) yang turut hadir dalam konferensi pers menyebut riset terkait nilai ekonomi dari pertanian masyarakat Dairi sedang digodok. Dari laporan awal, hasil pertanian dan peternakan per desa dalam satu tahun bisa mencapai Rp13 miliar.

“Itu riset 2021. Kalau dilihat per hari mungkin tidak ada duit besar, tapi per tahun mereka bisa dapat lebih dari Rp13 miliar,” katanya.

Karena itu, kehadiran tambang dan DPM bisa menghilangkan pertanian dan peternakan di Dairi. “Dairi sedang tidak baik-baik saja. Dairi bisa hilang jika DPM tidak angkat kaki,” katanya.

Kehidupan sosial masyarakat pun rusak setelah tambang masuk.  Ali R dari Sajogyo Institute menyebut, kehadiran DPM menghasilkan perpecahan di masyarakat, terutama Suku Batak Toba dan Pakpak. Sebelum DPM hadir, kedua suku ini hidup rukun dan biasa bertemu dalam pesta yang biasa dihelat.

“Di sekitar lokasi tambang sudah bermunculan konflik dan perpecahan antara yang mendukung dan menolak.”

 

Warga Dairi gugat izin lingkungan PT DPM yang dikeluarkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di PTUN Jakarta. Foto: Koalisi Masyarakat Sipil

 

********

Exit mobile version