Mongabay.co.id

Para Perempuan Dairi ke Jakarta Berjuang Tolak Tambang Seng

 

 

 

 

Dormaida Sihotang, melenturkan badan di lantai. Perlahan dia merayap dari bawah lewati celah pagar besi, menerobos masuk bergabung dengan perempuan lain di depan pos jaga Kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) di Jakarta, akhir Juni lalu.

Dia dan para perempuan dari Dairi, Sumatera Utara ini membentangkan spanduk protes tertulis “Dairi bukan untuk ditambang, tambang mengundang bencana! Cabut izin lingkungan PT Dairi Prima Minerals”.

Pada bagian pagar kementerian ini juga terbentang spanduk. “KLHK telah menipu warga demi kepentingan tambangan PT DPM”.

Dari luar, puluhan orang berorasi. Sesekali mereka teriak memanggil nama Siti Nurbaya, Menteri LHK agar keluar temui warga. Poster-poster dan sejumlah tanaman pangan hasil pertanian dipajang depan pagar sebagai penolakan terhadap DPM yang menambang seng dan timah hitam di Dairi.

“Kalian (pejabat) itu makan nasi dari petani. Kalian tidak makan batu atau timah hitam. Jika petani tidak ada, kalian akan mati semua,” kata Dormaida lantang.

Ketegangan sempat terjadi saat satpam dan polisi yang menghadang para perempuan maju. Saling dorong dengan aparat terjadi. Tak begitu lama, Dormaida terjatuh tak sadarkan diri, kaki terinjak, dan memar di paha sebelah kiri. Dia curiga sengaja ditendang aparat pakai sepatu lars.

“Kami datang kesini untuk sampaikan kalau sumber air dan kehidupan kami di Dairi akan terancam jika DPM beroperasi. Kami ini petani, makan hasil perkebunan, hidup dari pertanian, dari tanah, bukan dari timah hitam,” katanya dalam dialek Batak kepada Mongabay setelah pulih.

Kehadiran Dormaida dan puluhan warga Dairi ke Jakarta untuk mempertahankan ruang hidup mereka agar terbebas dari operasi pertambangan DPM. Mereka mendesak izin lingkungan yang KLHK keluarkan segera dicabut.

Bagi warga Dairi, lahan pertanian mereka yang subur selama ini sangat cukup memenuhi kebutuhan sehari-hari dan sekolah anak-anak. Kalau DPM dibiarkan menambang,  mereka akan kehilangan ruang hidup dari tanah, sumber air, dan lain-lain.

“Dairi itu tanah subur. Lempar biji saja bisa tumbuh. Sumber air dan pangan kami melimpah, banyak tanaman produktif. Tolonglah untuk jangan ditambang nah, kami makan apa kalau semua rusak?” kata Dormaida.

 

Baca juga: Mereka Desak KLHK Tolak Pengajuan Perubahan Amdal Dairi Prima Mineral

Aksi warga Dairi termasuk para perempuan dan yang bersolidaritas menyuarakan penyelamatan Dairi dari tambang seng dan timah hitam. Foto: Rabul Sawal/Mongabay Indonesia

 

Opung Rainim Boru Purba, perempuan asal Desa Sidikalang mengatakan, dari hasil pertanian mereka bisa penuhi kebutuhan hidup termasuk sekolah anak.

Dairi itu tanah subur. Petani, katanya,  bisa kaya dari hasil pertanian, bukan pertambangan. Banyak tanaman pangan dari padi, sayuran, kopi, hingga durian yang menopang kehidupan warga Dairi.

“Mayoritas kami disana kalau panen durian, sedikit-sedikit nah, Rp80 juta sekali panen dari durian. Itulah enaknya kami orang Dairi martani (bertani). Makanya, sampai begitu aja, air mata tangisan kami (saat ritual mangandung), sampai ke Jakarta itu, kalau nanti hilang itu pertanian kami, kemana lagi kami semua orang Dairi.”

DPM adalah perusahaan tambang di Sopokomil, Longkotan, Silima Pungga Pungga, Dairi, Sumatera Utara. Perusahaan ini dibentuk oleh Bumi Resources Minerals, anak Bumi Resources, perusahaan tambang batubara besar di Indonesia–yang bekerja sama dengan Nonferrous Metal Industry’s Foreign Engineering and Construction Co Ltd berbasis di Beijing, Tiongkok.

DPM memperoleh izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) seluas 53,11 hektar dari KLHK pada 2012. Lima tahun kemudian, pada 2018, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) memberikan izin operasi produksi seluas 24.636 hektar berlaku sampai 2047.

Berarti, selama 30 tahun ke depan, terhitung sejak izin operasi produksi DPM keluar, perusahaan tambang ini akan mengeruk isi perut bumi Dairi.

 

Baca juga: Warga Dairi Resah Kehadiran Perusahaan Tambang Seng

Mulut terowongan tambang PT Dairi Prima Mineral. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Undang bencana

Sejak awal kehadiran perusahaan tambang pada 1998 sudah mendapat penolakan warga. Mereka khawatir kontrak karya DPM yang keluar era Orde Baru Soeharto bakal mengundang bencana lingkungan dan konflik sosial ke depan. DPM kukuh memulai proyek tambang seng dan timah hitam.

Monica Siregar, pendamping warga dari Yayasan Diakonia Pelangi Kasih (YDPK) mengatakan, DPM eksplorasi pada 2006-2009. Sampai 2011,  teridentifikasi ada 374 titik bor dengan bukaan hutan untuk mata bor seluas dua hektar lebih.

Operasi pertambangan terletak di Pegunungan Sikalombun dan Batu Hapur. Dari pegunungan ini ada empat sumber mata air yang mengaliri irigasi untuk persawahan.

Pada 2012, bencana tumpahan limbah dari areal pertambangan menggenangi dan meracuni Sungai Sikalombun, termasuk merusak budidaya ikan mas, dan sebagian pertanian warga gagal panen.

“Setelah kebocoran limbah, aktivitas perusahaan dihentikan,” kata Monica.

Bencana baru datang setelah enam tahun tumpahan limbah. Pada 2018, banjir bandang melanda Desa Longkotan dan Bongkaras, Silima Pungga Pungga dari Sungai Lae Puccu. Hulu sungai ini berada di Bukit Sikalombun, merupakan camp dan lubang bor DPM.

Banjir menewaskan lima warga Dairi dan mengakibatkan lahan pertanian rusak. Saluran irigasi pertanian tak bisa digunakan.

Bencana saat kebocoran limbah dan banjir bandang masih membekas dalam ingatan warga. Opung Rainim Boru Purba, perempuan asal Desa Sidikalang mengatakan khawatir, keracunan pada sumber air, ikan dan gagal panen akan terulang kalau DPM membangun infrastruktur pertambangan di wilayahnya.

“Air kami kan air pegunungan. Karena kebaikan air kami itu, yang mentah itu kami minum langsung. Lebih jernih daripada air mineral yang di jual di Jakarta, tega nah kalau rusak tambang,” katanya.

Parulian Tambunan, perempuan Desa Lae Panginuman, Silima Pungga Pungga, mengatakan,  sekitar dua bulan desanya alami krisis air bersih.

Warga yang bergantung air sungai harus mengandalkan pasokan air bantuan dari luar. “Itu banjir bandang parah sejak ada DPM, kami kekurangan air selama 55 hari. Kami manfaatkan air sungai itu untuk minum, mandi, termasuk pertanian.”

 

Baca juga: Kala Warga Dairi Gugat Izin Lingkungan PT DPM, Koalisi Minta Komisi Yudicial Pantau Persidangan


Sungai Lae Puccu,  merupakan sumber air utama PDAM yang melayani delapan desa di Kecamatan Silim

a Pungga Pungga. Air sungai juga sebagai sumber air irigasi pertanian bagi warga di sekitar Desa Longkotan dan Tungtung Batu.

Dalam penelitian lapangan Sekber Penolak Tambang menyatakan, sumber air Sungai Lae Puccu merupakan pemasok air bersih bagi 50% desa di kecamatan itu. Sekitar 6.000 jiwa bergantung pada pasokan air atau hampir setengah dari penduduk Silima Pungga Pungga.

Pada studi lain Sungai Lae Puccu sama sekali tidak disebutkan di adendum analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) DPM. Aliran sungai dari Lae Puccu, Aek Mardua, Lae Sibalanga, jadi satu sampai ke hilir. Ketiga aliran sungai ini berada di sekitar pusar tambang, namun dalam amdal perusahaan hanya Lae Sibalanga yang disebutkan sebagai sumber air untuk keperluan tambang.

Studi itu menduga Lae Puccu berpotensi dipergunakan pertambangan karena debit air besar. DPM menyebutkan untuk mendukung kebutuhan air baku tambang, tetapi besar kecurigaan, Lae Puccu akan diprivatisasi untuk kebutuhan industri.

Parulian bilang, sumber air Lae Puccu saat ini terancam karena tidak jauh dari pusat operasi pertambangan, jarak sekitar 200 meter dari lokasi proyek. Tak jauh dari sana, ada sungai yang disebut Tombak Simungun.

Dari hasil penelusuran sekber memperlihatkan, DPM sedang membangun parit besar di bagian hilir aliran sungai Lae Puccu. Parit ini diduga jadi tempat bendungan dari pipa rol besar untuk kebutuhan perusahaan. Apabila air dibendung ke parit, akan mengancam lahan pertanian warga.

Saluran air sungai dari hulu Lae Puccu di Desa Longkotan sampai ke bagian hilir menuju Sungai Kitara hingga Lae Sumbelin,  hanya ada satu sungai.

Akumulasi limbah dari aktivitas tambang maupun potensi bencana dampak pembangunan tailing– yang tak jauh dari sungai–, dapat menimbulkan potensi kerusakan fatal ke depan.

Selain itu, kehadiran DPM juga membahayakan daerah aliran sungai dan lahan-lahan pertanian di sekitarnya.

Parulian dan warga Dairi sudah berkali-kali protes, dari Pemerintah Dairi, DPRD Sumatera Utara, sampai kementerian dan lembaga di Jakarta, macam DPR, KESDM, KLHK, dan lain-lain.

Warga sudah surati KESDM dan KLHK berulang kali untuk tidak memberikan izin penambangan di kampung mereka. Melakukan audiensi dan membawa kajian ilmiah terkait daya rusak DPM. Namun, kedua lembaga ini tak gubris dan mengeluarkan izin lingkungan untuk DPM.

 

Para perempuan dan warga Dairi usai sidang gugatan terhadap KLHK di PTUN Jakarta. Foto: Rabul Sawal/ Mongabay Indonesia

 

Gugatan izin lingkungan

Saat ini, Parulian dan warga mesti bolak-balik dari Kabupaten Dairi ke Jakarta mengawal sidang gugatan izin lingkungan yang dikeluarkan Siti Nurabaya, Menteri LHK di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta yang didaftarkan sejak 14 Februari 2023. Warga menggugat Siti atas penerbitan Kepmen LHK No SK 854/2022 tentang persetujuan lingkungan yang terbit Agustus 2022.

Warga Dairi didampingi Koalisi Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara (Bakumsu), Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), YDP, dan Yayasan Petrasa dalam berperkara di tata usaha negara ini.

Warga Dairi merasa ditipu KLHK. Kementerian ini dianggap membohongi warga. Pasalnya, saat audiensi bersama warga Dairi di kantor kementerian ini pada 24 Agustus 2022, KLHK mengatakan belum memberikan persetujuan lingkungan kepada DPM.

Setelah diselidiki ternyata penerbitan izin telah terbit pada 11 Agustus 2022,  atau 13 hari sebelum audiensi yang dihadiri humas KLHK beserta Direktorat Penegakan Hukum dan Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan.

“Itulah kami ditipu. Berbohong KLHK ini pada kami warga Dairi,” ujar Parulian.

Muhammad Jamil,  kuasa hukum warga menilai,  pemerintah tidak terbuka dalam penerbitan SK kelayakan lingkungan untuk DPM dan termasuk pelanggaran substansi dan prosedural. Persetujuan lingkungan DPM terbitan KLHK wajib dibatalkan.

Koalisi masyarakat sipil mengatakan,  perusahaan tambang DPM juga akan menggunakan teknik penambangan bawah tanah keruk timah hitam. Pengerukan bawah tanah ini dinilai akan merusak unsur hara tanah.  Termasuk,  akan membongkar permukaan saat pengolahan pada fasilitas operasi produksi DPM.

Dalam sosialisasi adendum amdal akhir tahun lalu, perusahaan berencana membangun bendungan limbah, mengubah lokasi lubang tambang, dan gudang peledak.

 

Poster yang dipasang di pagar Kantor KLHK di Manggala Bhakti, Jakarta. Foto: Rabul Sawal/ Mongabay Indonesia

 

Syahrial Suandi, Konsultan Eksternal DPM mengatakan,  perubahan amdal DPM disetujui KLHK sejak Agustus 2022. Mereka mengajukan perubahan amdal yang sudah pernah terbit pada 2005.

Gudang bahan peledak akan dibangun lebih jauh dari permukiman masyarakat dan infrastruktur tambang jadi 827 meter dari permukiman terdekat. Selain itu, kata Syahrial, gudang juga pindah ke cekungan yang mempunyai tanggul alam.

Tempat peledak, katanya,  akan memanfaatkan perkebunan masyarakat dan kawasan hutan lindung yang sudah mendapatkan persetujuan penggunaan kawasan hutan (PPKH) dari KLHK.

“Tanggul akan meminimalisir risiko apabila terjadi kecelakaan kerja,” kata Syahrial mengutip pada dari Kompas.id.

Mongabay berupaya mendatangi perusahaan untuk mengkonfirmasi berbagai persoalan dan kekhawatiran warga di bilangan Jl Rasuna Said, Jakarta, tetapi kantor tutup. Alamat email yang tertera di website perusahaan pun ternyata tak aktif.

Bagi Monica, pembangunan bendungan limbah akan merusak sumber air dan tanaman pertanian warga. “Kami khawatir air warga akan tercemar parah.”

“Kalau sudah rusak (air) nanti, di pegunungan itu, apa jadinya air itu. Itu air minum kami,” tambah Parulian.

Jamil bilang, bendungan limbah itu sebagai upaya sistematis mengundang bencana industri, membumihanguskan orang Dairi hingga Aceh-Singkil serta kehidupan di sekitar wilayah itu.

Belum lagi, katanya, Dairi berada di zona merah rawan bencana. Dari analisis risiko bencana, pusat pertambangan DPM tidak begitu jauh dari megathrust subduksi Sumatera yang pada 2004 dan 2005 menimbulkan gempa bumi berkekuatan masing-masing 9 magnitudo.

‘Tindakan pemerintah yang tidak mempertimbangkan keberlanjutan kehidupan warga Dairi merupakan kejahatan yang harus ditolak,” kata Jamil.

Seharusnya,  negara lebih bertanggungjawab dan mendukung kehidupan masyarakat Dairi dengan mengembangkan pertanian dan melindungi hak-hak masyarakat sebagai petani. Petani, katanya,  merupakan penopang ketersediaan pangan. “Bukan industri tambang.”

 

Aksi warga Dairi tolak tambang seng di depan KLHK, dengan membawa beragam hasil pertanian. Foto: Rabul Sawal/ Mongabay Indonesia

 

Sumber kehidupan

Parulian bersama empat perempuan mengenakan pakaian adat Batak Toba. Kedua tangan mereka menenteng tempayang berisi rempah-rempah, daun sirih dan pinang, beras, hingga kopi menghadapkan depan kantor Kementerian LHK. Hasil pangan ini dibawa setiap kali aksi protes di gedung-gedung pemerintahan.

Dengan tarian khas, para perempuan ini Mangandung, sebuah budaya Batak untuk mengekspresikan ratapan dan tangisan atas duka, pergumulan, harapan, dan penderitaan yang dihadapi.

Mangandung diekspresikan Parulian dan perempuan Dairi untuk menjaga sumber kehidupan di kampung dari kerusakan karena kehadiran tambang DPM. Ritual ini sebagai protes, kalau kehadiran perusahaan tambang bakal merusak produksi pangan mereka.

“Kami orang Dairi petani semua. Kalau hilang pertanian kami, kemana lagi kami, dari mana kami menyekolahkan anak, mencukupi kebutuhan hidup kami nah,” ujar Opung Rainim.

Rainim bersama perempuan Dairi akan terus melawan selama izin pertambangan DPM belum dicabut. Mereka bersatu menjaga ruang produksi pangan di kampung terhindar dari ancaman yang bakal ditimbulkan pertambangan.

“Buat apa ditambang. Kami tidak mau, kalau DPM beroperasi, bagaimana dengan tanaman kami, kehidupan kami, dan anak cucu nanti, mau makan tambang? Kami tidak butuh tambang,” kata Parulian.

 

******

 

Exit mobile version