Mongabay.co.id

Kala KESDM Cabut Izin Operasi Produksi PT TMS, Sangihe Belum Aman?

 

 

 

 

 

“Kami senang. Bahagia,” kata Samsared Barahama dari Perkumpulan Sampiri, organisasi non-profit di Sangihe bagian dari Koalisi Save Sangihe Island.  Masyarakat Sangihe senang karena pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) akhirnya mencabut surat keputusan persetujuan peningkatan tahap operasi produksi kontrak karya perusahaan tambang emas, PT Tambang Mas Sangihe (TMS) di Pulau Sangihe.

Ada sedikit angin segar. “Namun masih menyisakan rasa khawatir, karena kontrak kontrak karya belum diakhiri,” katanya.

Kami berbincang pada 9 September 2023, tak lama setelah Samsared mengirimi saya salinan Surat Keputusan KESDM bernomor 13.K/MB.04/DJB.M/2023 itu.

“TMS dilarang untuk melaksanakan kegiatan operasi produksi yang meliputi kegiatan konstruksi, penambangan, pengolahan dan,atau pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan,” begitu bunyi diktum kedua surat keputusan yang ditandangani Bambang Suswanto, Plt Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Dirjen Minerba) 8 September lalu.

Pada diktum ketiga, TMS juga wajib melaksanakan seluruh kewajiban yang belum diselesaikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan pada saat keputusan Menteri ESDM, Arifin Tasrif, ini ditetapkan.

Menurut Samsared, meski menteri telah memutuskan, peluang “untuk dimainkan lagi” masih ada.

Jull Takaliuang dari SSI bilang, pembatalan izin operasi produksi ini merupakan hasil perjuangan panjang warga Pulau Sangihe beberapa tahun terakhir.

“SSI menyambut baik pencabutan izin ini dan berharap ada penegakan hukum lebih lanjut,” kata Jull.

 

Baca juga: Ketika Pulau Sangihe Terancam Tambang Emas

Tepung sagu baruk Sangihe. Foto: Agus Mawan/Mongabay Indonesia

 

TMS, adalah perusahaan bagian dari Baru Gold asal Kanada. Sekitar 70% saham dikuasai Sangihe Gold Corporation, usaha dari Baru Gold, 10% oleh PT Sungai Belayan Sejati asal Indonesia. Kemudian, 11% saham milik PT Sangihe Prima Mineral dan PT Sangihe Pratama Mineral 9%.

Perusahaan ini menguasai konsesi kontrak karya seluas 42.000 hektar selama 33 tahun, ‘menyedot’ 80 desa, termasuk Gunung Sahendaruman, surga terakhir bagi mamalia endemik dan 10 burung endemik Sangihe yang dalam ancaman kepunahan.

Pada 25 September 2020, Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu Satu Pintu Sulawesi Utara memberi izin lingkungan kepada TMS. Ia jadi dasar TMS mendapatkan izin operasi dari KESDM, 29 Januari 2021.

Warga Sangihe tidak tinggal diam. Berbulan-bulan mereka membangun simpul perjuangan dan mendirikan koalisi yang kuat bernama Save Sangihe Island (SSI). Mereka tak ingin, tanah kelahiran mereka dirusak tambang emas.

Perjuangan mereka bukan tanpa halangan. Aktivis SSI juga nelayan, Robison Saul kena tangkap setelah dituduh merusak alat berat perusahaan yang berulang kali ditolak warga. Nelayan itu baru bebas awal 2023.

Sudah tiga tahun, SSI berjuang. Warga setidaknya telah melayangkan dua gugatan di PTUN Manado dan PTUN Jakarta yang berlanjut hingga tingkat kasasi di Mahkamah Agung (MA).

Pada 12 Januari 2023, MA menolak kasasi izin produksi dan operasi dari Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan TMS. Ada sedikit sinyal baik, tetapi perusahaan belum berhenti.

Pada 29 Mei 2023, TMS mengumumkan surat resmi dari KESDM. Dalam laman situsnya, TMS mengklaim surat itu “menegaskan status hukum perseroan untuk beroperasi dan memproduksi emas di Pulau Sangihe. Mereka juga menyatakan izin perseroan nomor 163.K/MB.04/DJB/2021 masih aktif dan sah.

Dalam surat itu, TMS klaim, KESDM resmi meminta polisi bekerja sama dengan perusahaan, dan menghentikan semua penambangan liar di Sangihe. Di Bowone, tempat yang akan dicanangkan sebagai pusat pertambangan TMS sudah dikerumuni penambang ilegal.

Sebulan sebelum Surat Keputusan Pencabutan dari Menteri ESDM, TMS kembali mengumumkan penandatangan kontrak operasi produksi dengan sebuah kontraktor pertambangan, CV Mahamu Hebat Sejahtera. Mahamu adalah sebutan lokal untuk daerah yang kini dikerumuni penambang.

Dalam pengumuman itu, TMS akan memberikan kontrak eksklusif seluas 15 hektar (dari 65 hektar) untuk tahap pertama kepada kontraktor itu untuk ditambang, dengan modal ditanggung kontraktor. Dalam perjanjian ini, TMS akan mendapatkan CAD $670.000 dari kontrak itu.

“Kepolisian  harus segera mengambil langkah tegas menghentikan operasi perusahaan,” kata Jull.

Muhammad Jamil dari tim hukum warga desak semua pihak wajib menghormati dan menaati surat keputusan itu.  “Sebagaimana yang dipahami bersama,  salah satu asas dari putusan peradilan tata usaha negara adalah bersifat erga omnes yaitu tidak hanya mengikat bagi pihak yang mengajukan atau yang terlibat, juga harus ditaati siapapun, termasuk para pengambil kebijakan hingga penegak hukum.”

 

Baca juga: Kala Warga Sangihe Tuntut Cabut Izin Tambang Emas dan Desak Bebaskan Robison

• Warga Sangihe mendesak bebaskan Robison Raul, nelayan pembela lingkungan yang ditahan. Koalisi juga mendesak aparat mengusut dugaan penganiayaan yang dialami Robison dalam Lapas. Foto: Rabul Sawal/ Mongabay Indonesia

 

Jamil desak, TMS segera angkat kaki dari Pulau Sangihe sebagai satu kewajiban hukum.  Perusahaan  itu tidak lagi memiliki izin untuk beraktivitas di pulau kecil  yang berada di perbatasan Indonesia dan Filipina itu.

Sebelumnya, PTTUN Jakarta membatalkan status peningkatan operasi produksi TMS. Permohonan warga Kepulauan Sangihe dikabulkan dan menyatakan keputusan Menteri ESDM tentang persetujuan peningkatan operasi produksi kontrak karya TMS batal dan wajib dicabut.

Warga, mayoritas perempuan, memilih jalur perang argumen terbuka berdasarkan bukti dan fakta kuat disertai dengan menempuh jalur peradilan. Mereka menggugat perizinan operasi produksi TMS di PTUN Jakarta.

Catatan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), perusahaan tambang asal Kanada ini diberi izin konsesi seluas 42.000 hektar atau lebih dari setengah Pulau Sangihe, yang punya luas 763,98 km2. Secara aturan pemberian izin tambang skala besar di pulau kecil ini dilarang dalam UU No.1/2014 tentang Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.

Pertambangan emas ini sempat mendapat keistimewaan mengeruk sumber daya alam di Kepulauan Sangihe selama 33 tahun atau lebih dari tiga dekade kedepan kalau dibiarkan beroperasi.

Dari laporan Jatam, kalau TMS menambang, lebih dari 50.000 jiwa di tujuh kecamatan akan menanggung beban dan risiko kerusakan lingkungan serta kehilangan ruang hidup tradisional. Termasuk,  gunung purba seluas lebih dari 3.500 hektar tempat habitat burung endemik.

“Tugas polisi sekarang itu mengawal alat berat, jangan sampai masyarakat yang bertindak. Kalau masyarakat bertindak, jadinya repot lagi, dikriminalisasi lagi gara-gara penegak hukum tidak bekerja,” kata Jamil.

Dia nilai, Menteri ESDM lambat sekali menerbitkan SK pencabutan izin padahal putusan yang dimenangkan warga sudah berkekuatan hukum tetap.

Di lapangan, kata Jamil, terjadi kekacauan dan ketidakpastian hukum pascaputusan kasasi MA yang telat eksekusi.  Dampaknya, TMS dan kroni tetap memaksakan diri beroperasi melalui CV. Mahamu Hebat Sejahtera.

Dengan SK Pencabutan izin ini, katanya, penegak hukum, dalam hal ini polisi harus lurus tegas menindak itu. “Atau setidaknya mem-police line wilayah operasi ilegal TMS di Pulau Sangihe.”

Bagi Jull, pencabutan izin produksi itu semestinya turut menggugurkan kontrak karya TMS. “Dengan izin TMS dicabut, berarti semua operasi itu di sana sekarang harus dihentikan. Supaya kami selamat dan tidak ada lagi tambang.”

“Biarlah kami hidup dengan perikanan, pertanian, perkebunan, pariwisata. Orang Sangihe tidak kelaparan kok kalau tidak menggali emas. Yang kami butuhkan adalah ruang hidup.”

 

 

Masih berlaku?

Yose Rizal, Direktur Pembinaan Penguasaan Mineral Ditjen Minerba KESDM klaim kontrak karya TMS masih berlaku. Dia menyebut TMS dapat mengajukan kembali izin operasi produksi dengan melengkapi syarat-syarat tertentu.

“Jadi TMS setelah dibatalkan peningkatannya, dapat mengajukan kembali peningkatan tahap ke kegiatan operasi produksi dengan melengkapi persyaratan sesuai ketentuan,” kata Yose seperti dikutip dari CNN Indonesia.

Bak mewakili perusahaan, Yose klaim TMS tak merasa keberatan atas keputusan KESDM. “Karena yang dibatalkan hanya SK peningakatan OP-inya sesuai putusan pengadilan”.

“Pemerintah dan TMS, jangan sekali-sekali berakrobat, apalagi menghalalkan segala cara untuk terus memaksa penambangan di Pulau Sangihe,” kata Jamil.

Jull bilang, Yose bikin kesalahan dengan mengatakan demikian. Dia bilang, Yose tidak mengerti dan praktis tidak menghormati hukum di Indonesia yang secara lapang warga Pulau Sangihe tempuh.

“Kita itu secara hukum, sudah patuh mengikuti, menghormati hukum di negara ini. Sekarang, sudah dicabut. Kok masih bisa orang ESDM ngomong ke media untuk bisa TMS mengurus izinnya.”

Saat ini, kata Jull warga bersiap dan menunggu itikad baik perusahaan angkat kaki dari tanah dan ruang hidup warga Pulau Sangihe.

“Kami akan tetap melawan dengan gigih selama perusahaan tidak patuh. Ini soal ruang hidup kami.”

 

Baca juga: PTUN Manado Batalkan Izin Lingkungan Tambang Emas di  Sangihe

Pulau Sangihe yang terancam tambang emas. Foto: Wikimedia Commons/ https://www.ppid.sangihekab.go.id/images/kantorgub.jpg/Public Domain

 

Ancaman tambang ilegal

Pada Maret 2023, saat ke Bowone dan menyaksikan bukit di tepi teluk itu telah plontos dan dipenuhi tenda-tenda para penambang dan eksavator.

Sisi lain teluk, saya menyaksikan bagaimana tanah merah itu berlumuran dan jatuh ke laut, mengubah warna air sekitar memerah kecoklatan. Seorang warga bekas penambang mengatakan, tanah-tanah itu mengandung sianida, senyawa kimia yang digunakan para penambang.

Di Sangihe, warga sebenarnya tak hanya berhadapan dengan TMS. Mereka juga berhadapan dengan penambang liar, yang kerap disebut sebagai “tambang para sembilan naga.”

Aktivitas penambangan emas di Sangihe sebenarnya ada sejak lama, dengan gunakan metode dan alat sederhana, namun belakangan pertambangan kian ramai dengan gunakan alat berat.

Perut bumi Sangihe teridentifikasi mengandung emas sejak tahun 1980-an. Perkampungan Binebas, Bawone, dan Taware berada di atas wilayah itu. Para tetua Sangihe bahkan menjuluki pulau ini sebagai ‘rimpulraeng’ yang berarti tanah emas.

Jull juga mendesak aparat maupun pemerintah daerah bertindak tegas atas aksi penambangan ilegal, bukan sebaliknya.

“Mereka seakan-akan melindungi kelompok penambang. Lalu kemudian pemerintah di sana juga pura-pura tutup mata, padahal illegal mining berjalan sangat masif dan Sangihe terancam rusak,” katanya.

 

 

Koalisis Save Sangihe Island bersama perwakilan warga Sangihe, aksi di Jakarta, menuntut pencabutan izin perusahaan tambang emas, PT TMS. Foto: Rabul Sawal/ Mongabay Indonesia

*******

Exit mobile version