Mongabay.co.id

Tuntut Plasma PT HMBP, Seorang Warga Seruyan Tewas

 

 

 

 

 

Suasana Desa Bangkal, Kecamatan Seruyan Raya, Seruyan, Kalimantan Tengah (Kalteng), mencekam, Sabtu (7/10/23). Siang itu, saat warga aksi tuntut plasma ke perusahaan sawit, PT Hamparan Massawit Bangun Persada (HMBP), berbuntut tewasnya seorang warga,  Gijik, diduga kena terjangan peluru. Dua warga lain juga alami luka-luka.

Beberapa video warga merekam kejadian sesaat setelah Gijik tertembak. Sekelompok orang menggotong tubuh Gijik sembari berteriak-teriak meminta tolong. Ada juga video yang memperlihatkan bagian dada pria 35 tahun ini berlubang tertembus peluru.

Sampai berita ini ditulis, masih sulit memperoleh keterangan rinci dari warga Bangkal perihal insiden ini. Yoga Adi Saputra, dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), mengatakan, penembakan Gijik berawal dari tembakan gas air mata polisi ke kumpulan massa. Yoga menghimpun informasi dari warga di Bangkal, sesaat setelah kejadian itu.

Menurut dia, setelah polisi menembakkan gas air mata, warga berhamburan. Awalnya, Gijik duduk-duduk saja dalam kerumunan aksi. Saat warga terkejut karena tembakan gas air mata, teman Gijik tertembak pahanya. Dia bermaksud menolong temannya itu.

“Ketika ingin membantu dia yang langsung tertembak. Begitu informasi dari warga,” kata Yoga, melalui sambungan telepon.

James Watt, tokoh masyarakat Bangkal, yang aktif mengadvokasi warga mengatakan, kejadian berlangsung sekitar pukul 12.00 WIB. Dia bilang, aksi massa sudah tiga minggu. Mereka menduduki lahan di luar hak guna usaha (HGU) yang bertahun-tahun digarap HMBP seluas 1.175 hektar.

Dia mengatakan, selain Gijik, dua warga Bangkal lain terluka karena tembakan. Taufik Nurrahman (21), tertembak bagian pinggang. Lalu, Ambaryanto (53) luka di tangan dan kaki. Saat ini, Taufik dirujuk ke rumah sakit di Palangka Raya dalam kondisi kritis.

James juga menyebut, polisi menahan 20 warga Bangkal lainnya.

 

Baca juga: Sengketa Lahan Petani Sampit versus Crazy Rich Surabaya

Aksi warga Desa Bangkal, Kecamatan Seruyan Raya, Seruyan, Kalimantan Tengah (Kalteng), yang tuntut plasma ke perusahaan sawit, PT Hamparan Massawit Bangun Persada (HMBP), pada 21 September lalu. Pada aksi lanjutan 7 Oktober 2023, berujung ≠seorang warga tewas dan dua luka-luka. Foto: dari video warga

 

Apa kata polisi?

Terkait korban tertembak, Kombes Erlan Munaji Kabid Humas Polda Kalteng, mengatakan, masih akan pengecekan. Penyebab kematian korban meninggal akan diperiksa. “Karena anggota di lapangan saat itu tidak dibekali peluru tajam,”  kata Erlan, melalui panggilan WhatsApp, Sabtu malam.

Senada disampaikan AKBP Ampi Mesias Van Bulow, Kapolres Seruyan. “Masih belum pasti. Ini masih kami telusuri. Apakah betul itu penembakan dengan senjata api, kami telusuri dulu. Tapi kalau yang namanya gas air mata itu pasti,” kata Ampi.

Keduanya juga mengatakan, polisi dan aparat gabungan menghadapi massa karena ada panen massal. Mereka sebut, masyarakat yang aksi panen ini adalah mereka yang tidak setuju dengan kesepakatan penyelesaian tuntutan plasma dengan HMBP.

Menurut Erlan, anak perusahaan Best Agro Internasional itu menyepakati akan memberikan plasma seluas 443 hektar. Alokasi plasma untuk masyarakat itu dari lahan seluas 1.175 hektar yang digarap HMBP di luar HGU.

Namun, Erlan dan Ampi beda keterangan soal jumlah massa. Erlan bilang sekitar seratusan. Ampi mengatakan massa sekitar 300-400 orang.

Menurut Ampi, massa datang dengan mobil pikap sekitar 40-50 dan sepeda motor 70-100 unit. Massa juga banyak ibu-ibu dan anak-anak. Polisi kemudian meminta warga tidak panen massal dan pulang tetapi tak menggubris permintaan itu.

“Malah kami ditembaki pakai ketapel, dilempari pakai batu,” kata Ampi.

“Kita imbau, mereka melakukan pembalasan, hingga terindikasi mengancam petugas. Akhirnya (kami) pakai gas air mata. Menggunakan peluru hampa. Peluru karet juga ada. Tapi tidak langsung ke orangnya. Kita (tembak) ke atas,” ucap Erlan.

Keduanya juga bilang, massa aksi membawa sejumlah senjata seperti, bom molotov, senjata api PVC, samurai, parang, dodos, dan egrek. “Baru kita ketahui dari hasil pemeriksaan tes urine, ada lima orang terindikasi narkoba,” kata Erlan.

Kutut Wibowo,  bagian legal perusahaan, tak merespon pertanyaan Mongabay. Pesan WhatsApp hanya dibaca saja.

 

Baca: Perjuangkan Tanah yang Diklaim Perusahaan Sawit, Tiga Warga Kotawaringin Timur Malah Ditahan

Warga Desa Bangkal, Kecamatan Seruyan Raya, Seruyan, Kalimantan Tengah (Kalteng), aksi tuntut plasma dari perusahaan sawit PT HMBP sejak September lalu. Ini aksi 21 September lalu. Aksi lanjut 7 Oktober yang berujung  warga tewas. Foto: dokumen video warga

 

 

 Desakan  berbagai kalangan

Insiden ini sontak mendapat kecaman dari berbagai elemen masyarakat. Pengurus ormas Tariu Borneo Bangkule Rajakng (TBBR) Kabupaten Seruyan, merilis rekaman video pernyataan sikap mereka, di depan jasad Gijik.

“Kami Pasukan Merah TTBR se-Tanah Dayak mengecam keras, dan mengutuk perbuatan brutal oleh aparat Kepolosian Kalimantan Tengah, yang sudah menghilangkan nyawa dengan senjata kepada masyarakat atas nama Gijik umur 35, juga sekaligus anggota Pasukan Merah TBBR di Desa Bangkal,” bunyi pernyataan pertamanya.

Mereka juga mengutuk Polda Kalteng yang menggunakan peluru tajam. Poin lain, seruan anggota TBBR bersiaga dan bersiap mengantisipasi hal terburuk. Mereka juga meminta kapolri menindak tegas pelaku penembakan.

Mereka juga meminta kapolri mencopot jabatan Kapolda Kalteng dan jajaran yang terlibat peristiwa Bangkal.

Palingma Jillah, Pemimpin Besar Pasukan Merah TBBR,  pun merilis video pernyataan. “Mengutuk keras tindakan pihak kepolisian di Kabupaten Seruyan. Saya meminta kepolisian, terutama Kapolri menindak tegas kepolisian yang semena-mena dengan masyarakat. “Terkesan arogan, dan membela perusahaan,” kata Jillah.

“Saya meminta untuk yang menembak dan memerintahkan menembak segera dicopot dari jabatannya.”

Dia minta, kapolri mengambil kebijaksanaan, tindakan tegas dan adil bagi aparat yang menembak masyarakat dan melindungi perusahaan. “Semoga kasus ini tidak terulang lagi, cukup terakhir kalinya.”

Di Palangka Raya, sejumlah organisasi masyarakat sipil juga berhimpun dalam Solidaritas Keadilan untuk Bangkal.  Ia terdiri dari Walhi Kalteng, Save Our Borneo, Yayasan Betang Borneo Indonesia (YBBI), Progress, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalteng, LBH Palangka Raya, LBH Genta Keadilan, GMNI Palangka Raya, Aksi Kamisan Kalteng, dan BEM Fakultas Hukum Universitas Palangka Raya.

Dalam siaran pers mereka menyebut, bentrok warga dan aparat di Bangkal bukan yang pertama. Pertama, pada 21 September 2023. “Saat itu, warga ditembaki dengan gas air mata hingga menyebabkan reaksi spontanitas masyarakat hingga terjadi pembakaran terhadap fasilitas perusahaan.”

Kedua, 23 September 2023 malam. Kejadian itu menyebabkan dua warga luka-luka akibat bentrok dengan aparat kepolisian. “Bentrok kali ini [7 Oktober] nyawa melayang, warga luka berat, dan setidaknya puluhan warga ditangkap.”

“Semua itu terjadi lantaran tuntutan warga yang tidak dipenuhi.”

Solidaritas Keadilan untuk Bangkal selain mengutuk penembakan, juga meminta aparat kepolisian ditarik dari Bangkal. Mereka juga mendesak presiden dan kapolri mengusut tuntas dan menindak tegas pelaku penembakan secara transparan. Kapolri pun diminta mencopot Kapolda Kalteng dan Kapolres Seruyan yang disebut bertanggung jawab atas peristiwa penembakan itu.

Selain itu, mereka mendesak pemerintah mencabut izin HMBP karena dianggap sebagai sumber konflik. “Mendesak pemerintah menyelesaikan konflik agraria di Desa Bangkal,” demikian butir tuntutan koalisi.

Di Jakarta, sejumlah lembaga seperti Walhi Nasional, Transparansi untuk Keadilan (TUK) Indonesia, PILNET dan TPOLS juga mengecam penembakan itu. Mereka menyebut insiden ini bentuk dari pelanggaran hak asasi manusia.

Uli Arta Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi, mengatakan, masyarakat Bangkal sedang memperjuangkan haknya. Penembakan itu sama dengan perampasan hak warga dalam memperjuangkan aspirasinya.

AMAN Kalimantan Tengah menyebut,  polisi berpihak pada perusahaan, meskipun mereka mengetahui apa yang dilakukan masyarakat adat di Bangkal itu berpangkal pada ketidaktaatan perusahaan dalam proses mendapatkan perizinan.

Polisi, kata AMAN, diduga melanggar hak asasi manusia dan prosedur penembakan, penanganan konflik sosial dan pedoman penanganan unjuk rasa.

AMAN juga mengecam upaya pemblokiran akses keluar-masuk Desa Bangkal dan mendesak polisi membebaskan masyarakat yang ditangkap saat unjuk rasa. “Mendesak kapolri penarikan pasukan pengamanan perusahaan dan mengedepankan upaya dialog bersama semua pemangku kepentingan di Desa Bangkal.”

AMAN juga meminta kapolri mencopot jabatan Kapolda Kalteng dan Kapolres Seruyan sebagai penanggung jawab wilayahnya. Mereka mengundang Komnas HAM untuk menyelidiki kasus ini dan menuntut penjelasan kasus ini secara obyektif melalui uji balistik.

Sawit Watch, Save Our Borneo (SOB) dan Satya Bumi pun bereaksi serupa. Mereka berharap para pihak dalam kasus ini dapat menahan diri agar tidak makin banyak korban dan kekerasan. Mereka juga meminta aparat keamanan menghindari penggunaan kekerasan dan memprioritaskan dialog adil dan setara. Mereka juga mengundang Komnas HAM untuk menyelidiki kasus ini.

“Pemerintah harus serius mengawasi proses realisasi plasma yang kasus tuntutan realisasinya sudah banyak terjadi di sejumlah wilayah.”

Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria dalam rilis mengatakan, peristiwa Seruyan menandakan Pemerintahan Joko Widodo bergeming mengubah pola-pola penanganan aparat di wilayah konflik agraria yang selalu πakai pendekatan represif dan intimidatif dengan menurunkan barisan aparat keamanan.

Pemerintah, katanya,  tak belajar dari wajah buruk penanganan dan penyelesaian konflik agraria selama sembilan tahun terakhir. Catatan KPA, selama dua periode pemerintahan Jokowi (2015-2022), tercatat 69 korban tewas di wilayah konflik agraria.

Peristiwa di Seruyan ini makin menambah daftar panjang korban tewas di wilayah konflik agraria. Wajah buruk agraria ini, katanya, akibat penanganan tak berubah dari dulu, pakai cara-cara represif, mobilisasi aparat sebagai beking perusahaan ketimbang bersikap netral di wilayah konflik.

“Tak heran, warga mengalami krisis berlapis, sebagai korban konflik agraria, juga korban brutalitas aparat dan perusahaan karena menuntut hak atas tanahnya.”

Dewi bilang, kepolisian selalu mengedepankan cara-cara kekerasan dan abai  memahami konflik agraria struktural, bagaimana sejarah penguasaan tanah oleh korporasi sawit yang memasuki wilayah hidup warga. Yang seharusnya dilindungi, katanya, adalah warga karena mereka korban. HMBP yang telah membuka bisnis dan beroperasi di atas tanah masyarakat sejak 2006.

Model ini, katanya, merupakan penjajahan gaya baru, mirip seperti konsesi-konsesi kebun Belanda saat mulai operasi. Mereka memasuki wilayah masyarakat tanpa persetujuan dan mengklaim sepihak dengan dalih mengantongi izin lokasi dan/atau HGU, lalu gunakan ketakutan dan ketidaktahuan warga.

Perusahaan pun, kata Dewi, menjanjikan iming-iming kerjasama inti-plasma, yang secara tak langsung didesak menyerahkan tanah. Masyarakat dipaksa halus oleh kekuatan modal dan beking aparat. “Warga, masyarakat adat, para petani dari pemilik tanah didorong jadi orang tak bertanah dan dijanjikan jatah plasma sebagai petani-pekerja kebun inti-plasma.”

Janji tinggal janji, lahan plasma tidak kunjung terealisasi hingga kini sejak 2006.  Masyarakat, katanya,  protes pada 2008, dan tak pernah mendapat jawaban dari perusahaan maupun pemerintah.

 

Baca juga: Menguak Aksi Kerajaan Kecil Sawit di Kalimantan

 

Sejak September 2023, masyarakat Bangkal, Terawan dan Tabiku protes kembali di areal yang diklaim. HMBP I dengan blokade jalan.  Sejak 16 September 2023, kondisi memanas. Aparat kepolisian Seruyan dikerahkan mengamankan aset perusahaan dan mengurai massa aksi.  Pada 17 September 2023, satu warga Bangkal terluka karena peluru karet oleh aparat kepolisian.

Lalu pada 3 Oktober 2023, ada pertemuan masyarakat, pemerintah dan perusahaan yang berujung kekecewaan karena HMBP I menolak tuntutan masyarakat.

HMBP I menyebabkan jatuhnya korban konflik agraria di Seruyan bukan kali pertama. Pada 2012, 12 warga Desa Bangkal ditetapkan sebagai tersangka perusakan lahan yang diklaim PT HMBP I, padahal yang mereka ambil-alih dan klaim sepihak itu merupakan tanah adat, dan di luar HGU perusahaan.

Pada 2020, HMBP II mengkriminalisasi 15 warga Desa Penyang, Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah dengan tuduhan pencurian buah sawit. Tiga warga diproses hukum.

Dilik Bin Asap, Hermanus Bin Bison, dan James Watt Bin Atie. Pada 26 April 2020, Hermanus meninggal dunia dalam tahanan.

“Kini kembali berujung tewas satu warga Seruyan, menambah deretan rapor merah operasi perusahaan perkebunan yang seringkali melahirkan konflik agraria dan korban jiwa.”

KPA pun menuntut beberapa hal antara lain, segera bebaskan warga yang dikriminalisasi saat aksi menuntut hak tanah kepada HMBP I.  Kapolda Kalteng, katanya, segera tarik mundur apparat dari wilayah konflik. “Usut tuntas dan tindak tegas aparat.”

Kapolri, katanya, harus bertanggung-jawab dan evaluasi menyeluruh prosedural dan bentuk penanganan represif aparat kepolisian di Seruyan, dan berbagai wilayah konflik agraria lainnya.

Gubernur Kalteng, katanya, harus bertanggung jawab atas sebab-akibat konflik agraria yang berujung korban jiwa di Seruyan dengan segera membentuk Tim Penyelesaian Konflik Agraria dengan pelibatan masyarakat, organisasi masyarakat sipil dan pemuka agama.

Komnas HAM bersama Komnas Perempuan, kata Dewi, segera investigasi pelanggaran-pelanggaran HAM HBMP dan aparat keamanan dalam penanganan konflik agraria di Seruyan.

Menteri ATR/BPN harus bertanggung-jawab, dan penuhi hak rakyat Seruyan atas tanah. “Segera mengevaluasi dan mencabut HGU HBMP I dan HBMP II, serta seluruh HGU perusahaan perkebunan yang menyebabkan konflik agraria, perampasan tanah masyarakat dan korban jiwa di berbagai wilayah.”

 

Baca juga: Pejuang Agraria di Kotawaringin Meninggal, Koalisi Minta Sidang Dihentikan

Warga Desa Bangkal, Kecamatan Seruyan Raya, Seruyan, Kalimantan Tengah (Kalteng), sudah lama protes plasma dengan PT Hamparan Massawit Bangun Persada (HMBP), Sejak September lalu, warga sudah aksi beberapa kali. Foto ini dari video aksi warga 21 September lalu. Foto: video warga

*****

Exit mobile version