Mongabay.co.id

Cerita Amir, Pengebom Ikan yang Jadi Pelestari Terumbu Karang

 

Hari masih gelap saat Amiruddin bersiap  berangkat melaut. Setelah memanasi mesin, perahu sampan yang membawa Amir, sapaannya dan empat nelayan lainnya itu pun melaju. Tak lupa, 10 butir bom ikan yang dibeli dari pemasok dibawa serta.

Setengah jam perjalanan, Amir dkk, sampai di perairan sekitar Pulau Paserang. Pulau ini merupakan satu dari delapan gugusan pulau di Gili Balu, Kabupaten Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB).

Kawasan ini relatif belum banyak terjamah. Tidak mengherankan bila hamparan terumbu karangnya menyimpan sumber daya  ikan melimpah. Seperti hiu, cakalang, dan beberapa jenis ikan pelagis lainnya.

Amir dkk kemudian melempar satu per satu bom ikan yang dibawanya di antara ikan-ikan bergerombol  di sekitar terumbu karang. Duarrrr… hingga membuat air muncrat ke atas. diikuti gerombolan ikan-ikan yang mengambang di permukaan.

Sumringah, Amir Dkk segera turun mengumpulkan ikan-ikan yang mati itu. Sekalipun untuk mendapatkan ikan-ikan itu, terumbu karang seluas 10 meter persegi harus hancur oleh ledakan bom ikan. “Kalau tidak begitu, dapatnya sedikit dan lama. Tapi kalau pakai bom ikan, cepat,” kata Amir menceritakan masa lalunya itu kepada Mongabay, belum lama ini.

Dengan menggunakan bom ikan, Amir bisa mendapat 500 -1000 kg ikan sekali beroperasi. Hasil tangkapan itu empat kali lipat dibanding menangkap ikan dengan cara biasa.

Tak hanya bom ikan. Sekali waktu, Amir juga menggunakan racun atau potasium untuk berburu ikan.

“Semua praktik illegal fishing pernah saya lakukan, karena dapatnya banyak,” kata lelaki kelahiran 1985 ini. Termasuk, dengan menggunakan kompresor yang biasa dipakai untuk tambal ban.

baca : Polairud Polda NTT Tangkap Pelaku Bom Ikan di Lembata. Kenapa Kian Marak?

 

Amiruddin, mantan pelaku bom ikan yang kini aktif sebagai pelestari terumbu karang di kawasan konservasi Gili Balu, Sumbawa Barat, NTB. Foto: Asad Asnawi/Mongabay Indonesia

 

Bagi Amir, melaut adalah kebiasaannya sejak kecil. Tidak mengherankan bila segala seluk beluk Gili Balu ia tahu. Spot-spot yang memiliki sumber daya melimpah dengan ragam terumbu karang nan cantik ia jajaki.

Tak jarang pula, selain mencari ikan dengan mengebom, ia juga berburu karang hias untuk dijual. Hasilnya pun lumayan. Untuk jenis tertentu, karang hias bisa laku hingga Rp300-700 ribu sekali jual.

 

Titik Balik

Suatu hari di akhir 2010, personel dari Polsek Poto Tano, Kabupaten Sumbawa Barat dibantu polisi khusus (Polsus) Dinas Kelautan, menyergap Amir dkk yang kala itu menangkap ikan di kawasan Gili Balu. Tak bisa berlari, Amir pun menurut saja kala tim gabungan itu membawanya ke Mapolsek setempat.

Semalaman ketua kelompok nelayan ini menjalani pemeriksaan. Namun, karena tak cukup menemukan bukti, polisi akhirnya melepas Amir. “Karena kebetulan waktu itu saya hanya pakai panah, tidak bawa bom ikan,” kenang Amir.

Pengalaman dibawa petugas sedikit membuat Amir mengurangi aktivitasnya menggunakan bom ikan. Apalagi, ia juga mulai merasakan dampak dari penggunaan alat tangkap terlarang itu: ikan makin sulit dicari. Ia bahkan mulai dikucilkan nelayan lainnya karena ikan makin sepi itu.

Menjelang tahun baru 2011, ia merantau ke Bali. Disana, ia kaget dengan kehidupan masyarakat pesisir yang begitu hidup. Terutama dari sisi ekonominya. Setiap dua minggu sekali, ia pulang ke kampung halaman di Poto Tano dan menjadi nelayan kompresor. Berbekal selang sepanjang 100 meter, ia menyelam ke bawah laut dan menebar racun ke gerombolan ikan-ikan.

Namun, itu tak lama. Keputusannya untuk menggunakan kompressor tersebut hampir saja merenggut jiwanya. Ia alami kram perut dan harus ditarik ke permukaan. “Separuh tubuh saya mati rasa,” kenang Amir. Untung saja, setelah menjalani terapi pengobatan, kesehatannya mulai pulih.

Peristiwa itu sontak membuat Amir kapok dan memutuskan untuk kembali merantau ke Bali. Disana, ia mempelajari bagaimana orang-orang mengelola serta memanfaatkan sumber daya laut dan pesisirnya untuk pariwisata.

Pelan-pelan, kesempatannya berinteraksi dengan orang-orang di Bali membuatnya menyadari dosa-dosa masa lalunya sebagai nelayan.  Di Bali, terumbu karang dirawat untuk menarik wisata snorkeling maupun diving.

“Mungkin karena kami ini kan orang bodoh. Tidak tahu apa-apa. Jadi ya menyesal. Menyesal sekali rasanya,” ujarnya.

Lima tahun berasa di Bali, Amir kemudian memutuskan kembali pulang ke Poto Tano dengan satu niatan, memperbaiki ekosistem disana.

Kendati begitu, usaha tersebut tak mudah. Apalagi oleh warga setempat, dirinya sudah dicap sebagai perusak terumbu karang.

Namun, berbekal niatan yang kuat, ia abaikan cemoohan warga dan berhasil membuat dua jaring laba-laba berukuran 2×2 meter untuk transplantasi karang yang ditanam di sekitar Pulau Nemo, tempat yang juga kerap menjadi sasarannya mencari ikan. Lambat laun, media itu mulai ditumbuhi karang dan mengundang banyak ikan.  Hal itu membuatnya semakin bersemangat.

“Kalau sampai sekarang, total ada sekitar 20 media restorasi dengan metode jaring laba-laba yang sudah saya tanam di perairan Gili Balu,” ujarnya.

baca juga : Kelindan Masalah Pengawasan di Wilayah Pengelolaan Perikanan

 

Amiruddin mengecek kondisi bawah laut di kawasan konservasi Gili Balu, Sumbawa Barat, NTB. Foto: dokumen pribadi.

 

Selama berbincang, Amir tak henti-hentinya berucap sesal. Ia katakan, sejak kehadiran program Coral Reef Rehabilitation and Management-Coral Triangle Initiative (Coremap-CTI) ia makin tahu peran penting terumbu karang bagi ekosistem laut.

“Setelah saya amati, pertumbuhan terumbu karang itu hanya sekitar 1 sentimeter per tahun. Padahal, dulu saya menghancurkannya hanya dalam hitungan detik,” ujar Amir.

Amir menyadari bahwa tanggung jawab untuk merawat terumbu karang tak bisa ia lakukan sendirian. Sebab itu, ia mulai mengajak nelayan yang lain.

Tetapi, tetap saja usaha itu tak mudah. Apalagi, sebelumnya para nelayan ini terbiasa bersikap pragmatis. Bagi mereka, yang penting adalah bagaimana mendapat banyak tangkapan, tanpa berpikir bagaimana menjaga ekosistem laut.

Namun, belakangan, ikan makin sulit dicari. Pelan-pelan, mereka pun akhirnya menyadari bahwa menjaga ekosistem terumbu karang sangat penting agar ikan-ikan tetap ada. Hingga akhirnya, mereka sepakat membentuk organisasi para nelayan, Pelita Pototano.

“Sekarang, ada 53 nelayan yang sudah bergabung. Dan sebagian besar dulunya merupakan para pelaku illegal fishing,” terangnya.

 

Tingkatkan Pengawasan

Meski Amir dkk sudah insyaf, namun praktik penangkapan ikan ilegal masih kerap dijumpai hingga kini.

“Ya, meski tidak sebanyak dulu, tapi tetap saja illegal fishing itu ada, sekalipun pelakunya bukan dari sini,” kata Ketua Kelompok Masyarakat Pengawasan (Pokmaswas) setempat, Rudini.

Rudini bilang, perairan Pototano relatif masih ‘perawan’. Karena itu, banyak nelayan dari tempat lain yang menjadikan kawasan ini sasaran tangkapan.

baca juga : Gunakan Kompresor untuk Tangkap Ikan, Nelayan di Sabu Raijua Ditertibkan. Kenapa?

 

Kondisi bawah laut kawasan konservasi Gili Balu, Sumbawa Barat, NTB yang banyak dihuni ikan Nemo. Foto: Amiruddin

 

Ia sejatinya tidak mempermasalahkan hal itu, sepanjang alat tangkap yang dipergunakan tidak membahayakan dan ramah lingkungan. Akan tetapi, dalam beberapa kasus, para nelayan juga membawa bom ikan. Bahkan kompresor.

“Padahal, itu (penggunaan kompresor) sangat membahayakan. Bukan cuma ekosistem bawah lautnya, tapi juga nyawa nelayannya itu sendiri juga terancam,” jelas Rudini.

Rudini menyebut, banyak warga di desanya yang cacat lantaran sebelumnya merupakan nelayan pengguna kompresor.

Rudini memiliki beberapa pengalaman betapa bahayanya penggunaan kompressor ini. Menjadi nelayan sejak SMP, ia sempat alami kram ketika menggunakan kompressor.

Sampai kemudian, kematian temannya yang lain membuatnya bulat tekad untuk berhenti menjadi nelayan kompressor. “Kalau saja waktu itu saya teruskan, bisa-bisa saya nggak pernah sekolah,” ujar Rudini.

Terpisah, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), Muslim tak mengelak, illegal fishing masih menjadi tantangan pengelolaan laut di wilayahnya. Karena itu, ia pun meminta agar pengawasan oleh Pokmaswas ditingkatkan.

“Kami mengusulkan agar personel pengawas di DKP ditambah. Dua personel yang ada saat ini itu jelas tidak cukup, tidak sebanding dengan wilayah laut kami,” jelas Muslim. (***)

 

Exit mobile version