Mongabay.co.id

Sumber Air Gunung Wato-wato Terancam Tambang Nikel, Bagaimana Kondisi Sungai Sagea?

 

 

 

 

 

 

Alam Pulau Halmahera dengan gunung dan hutan serta kebun-kebun maupun pemukiman warga terus jadi  target untuk dikeruk.  Gunung Wato-wato, salah satunya.  Gunung yang dianggap sakral oleh warga Buli, di Kecamatan Maba, Halmahera Timur (Haltim), ini jadi sasaran perusahaan tambang nikel PT Priven Lestari.

Di gunung ini ada hutan lindung dan hutan desa sebagai daerah resapan air. Mata air yang mengalir melalui tiga sungai besar dan beberapa anak sungai selama ini jadi sumber air utama warga sekitar. Bahkan, jadi sumber air baku Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Buli.

Di kaki Wato-wato juga merupakan lahan pertanian dan perkebunan warga yang ditanami beragam dari pala, cengkih, sampai nanas. Ia jadi sumber kehidupan warga.

Ketenangan alam dan kehidupan warga mulai terusik kala perusahaan tambang, Priven mengantongi izin dari pemerintah.  Tak pelak, masyarakat sekitar protes berulang kali. Teranyar pada 1 November lalu,  warga yang tergabung dalam Aliansi Peduli Gunung Wato-wato aksi ke DPRD  dan bupati mendesak pencabutan izin penyesuaian tata ruang.

Muhammad Said Marsaoly,  Koordinator Aksi Aliansi Masyarakat Buli Peduli Wato-wato,  mengatakan, Priven saat ini mulai bangun jalan tambang (hauling).

Data Aliansi Masyarakat Buli Peduli Wato-wato menyebutkan,  luas konsesi Priven 4.953 hektar.  Dengan luasan itu,  katanya, khawatir mempertaruhkan nasib 13.195 jiwa di 10 desa di Kecamatan Maba, yang punya luas 385,55 kilometer persegi ini.

Said mengatakan, penolakan  juga disuarakan lewat pertemuan resmi seperti saat konsultasi publik dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) maupun rapat bersama DPRD dan Pemerintah Halmahera Timur. Hingga kini, tak ada respon berarti.

“Sampai akhir Mei 2023, Priven telah membuka akses jalan untuk pertambangan dan persiapan jetty perusahaan,” ujar Said dalam keterangan tertulis kepada media.

Warga makin khawatir kalau sampai sumber air terdampak. Dalam Peraturan Daerah Nomor 6/2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Halmahera Timur 2010-2029, katanya, terdapat penjelasan struktur bahwa konsesi Priven ada sumber mata air yang jadi sumber air bersih untuk Buli.

Dalam RTRW itu juga disebutkan rencana pola ruang Halmahera Timur terdiri dari kawasan lindung dan budidaya.

 

Baca juga: Masyarakat Protes, Was-was Tambang Nikel Hancurkan Gunung Wato-wato

Aktivitas pembukaan jalan oleh perusahaan PT Priven Lestari untuk rencana penambangan mereka, foto Aliansi Masyarakat Buli Peduli Gunung Wato-wato. Foto: dokumen aliansi

 

Kawasan lindung terdiri atas hutan lindung, perlindungan setempat dan suaka alam.  Untuk peta IUP Priven, katanya,  berada di kawasan lindung antara lain, hutan lindung, sumber mata air, kawasan bencana longsor dan banjir.

“Bagi kami , IUP Priven menabrak tata ruang yang dibuat pemerintah daerah dan DPRD, terutama mengenai pola ruang. Sayangnya, di berbagai kesempatan, pemerintah  dan DPRD Halmahera Timur berdalih tidak memiliki kewenangan sama sekali,” katanya.

Pemerintah Haltim, katanya, sudah mengeluarkan surat rekomendasi arahan penyesuaian tata ruang pada Priven Lestari tahun 2018. Aliansi pun mendesak bupati dan DPRD Halmahera Timur segera membatalkan rekomendasi  ini.

Rekomendasi penyesuaian tata ruang, katanya,  merupakan syarat utama agar Priven dapat memperoleh izin lingkungan  dari Pemerintah Maluku Utara untuk melanjutkan aktivitas operasi-produksi mereka.

Mereka juga meminta penegak hukum menindak tegas pejabat yang sengaja mengeluarkan rekomendasi itu.

Dalam aksi awal November itu, di DPRD  warga bertemu sejumlah anggota dan pimpinan DPRD serta sempat rapat. DPRD bersedia membuat rekomendasi ke bupati untuk meminta pembatalan rekomendasi  penyesuaian RTRW  untuk Priven  Lestari .

Ketika dikonfirmasi ke Idrus Maneke, Wakil Ketua DPRD tak memberikan tanggapan.

Ricky Chairul Richfat,   Sekretaris Derah Halmahera Timur dikonfirmasi Mongabay, 3 November lalu mengatakan, pemerintah daerah bisa mempertanggungjawabkan rekomendasi yang mereka keluarkan.

Baca juga: Ketika Sungai Sagea yang Jernih jadi Keruh

Aktivitas pembukaan jalan oleh pihak perusahaan PT Priven Lestari untuk rencana penambangan mereka Foto: Aliansi Masyarakat Buli Peduli Gunung Wato wato

 

Di dalam rekomendasi itu, katanya,  ada banyak hal prinsip membatasi Priven untuk tidak melakukan hal- hal melanggar  peraturan dan ketentuan. Termasuk,  poin yang membatasi soal lahan alokasi penggunaan lain (APL) yang jadi kewenangan pemerintah daerah seluas 547,7 hektar.

“Yang pasti areal APL seluas 547,7 hektar  di rekomendasi  pemda tidak bisa untuk areal produksi IUP Priven karena mengganggu perkembangan perkotaan Buli  dalam jangka panjang,” kata Ricky  via telepon

Soal rekomendasi pada 2018 itu, Ricky yang kala itu juga sebagai Kepala Bappeda Halmahera Timur, bilang, ikut memproses karena sudah diakomodir pemerintah daerah.

Sebagai pimpinan instansi teknis saat itu, katanya,  hanya menjalankan tugas.

Dia bilang, luasan izin yang dikantongi Priven tidak semua jadi kewenangan Pemerintah Haltim karena konsesi berada di hutan lindung, hutan produksi terbatas dan APL. “APL itu kewenangan di pemda maka itu kita kunci tidak bisa digunakan.”

Sementara dua kawasan hutan jadi kewenangan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Untuk itu, dalam penggunaan kawasan perlu mengurus izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) dari KLHK.  

IUP Priven saat tumpang susun dengan peta kawasan hutan Haltim yang mengikuti arahan peta KLHK dan  rencana pola ruang RTRW Halmahera Timur, terlihat, ada di hutan lindung seluas 2.672,2 hektar, APL 547.7 hektar.  Yang APL, katanya, terlalu dekat dengan Kota Buli hingga rawan berdampak pada perkembangan kota.  Jadi, katanya, konsesi IUP Priven bisa usaha pertambangan adalah 1708,4 hektar.

 

Baca juga: Was-was Industri Nikel Hancurkan Alam dan Kehidupan di Sagea

Aksi warga Halmahera Tengah akan kehadiran perusahaan tambang di Gunung Wato-wato yang rawan merusak lingkungan, seperti sumber air bersih terancam. Foto: Aliansi Masyarakat Buli Peduli Wato-wato

 

Para perempuan protes kala Sungai Sagea keruh lagi  

Sebelum itu, warga Desa Sagea dan Kiya, Halmahera Tengah juga aksi protes perusahaan tambang nikel.  Empatpuluhan mama-mama dari Desa Sagea dan Kiya, Halmahera Tengah, Maluku Utara, berkumpul pada 28 Oktober lalu. Bersama warga yang lain, mereka protes di kawasan industri PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) karena Sungai Sagea, keruh lagi.

Warga yang bergabung dalam Koalisi Save Sagea ini protes di Lipe Gate III IWIP, Kecamatan Weda Utara atas pencemaran dan kerusakan Sungai Sagea  yang diduga karena aktivitas tambang di hulu Sagea.

Saat berangkat aksi yang berjarak sekitar sembilan kilometer dari Desa Sagea, mama-mama  naik truk atau pakai kendaraan roda dua.

Aksi sempat memanas karena massa yang bergerak masuk lebih ke kawasan industry dihalangi  petugas keamanan. Mereka dianggap masuk kawasan ‘aman’ perusahaan. Polisi lalu menembakkan gas air mata untuk menghalau massa hingga ada warga pingsan maupun alami sesak napas.  Mama-mama  kocar kacir. Sebagian sesak napas karena kena gas air mata.

Ipda Jarot Cahyono,   Kapolsek Weda Utara kepada media mengatakan, warga yang berdemo melewati batas-batas prosedur pengamanan. Karena itu, katanya, aparat menembakkan gas air mata guna menghalau massa.

“Ricuh karena mereka lewati batas-batas prosedur pengamanan. Aksi  mereka  melewati ring 1, ring 2, hingga ring 3 harus bertindak,” katanya.

Intinya, kata Jarot,  tuntutan mereka tak diakomodir dan perusahaan tak mau menerima mereka.

“Artinya, tidak ada titik temu hingga mereka paksa masuk dengan memundurkan truk yang mereka gunakan itu membuka ring 1, 2, hingga ring 3.”

Mardani Legaylol, koordinator aksi mengatakan, Sungai Sagea merupakan sumber hidup warga dan tercemar karena kerukan tambang nikel.

Pada 23 Oktober, katanya,  air Sungai Sagea berwarna kuning padahal tak ada hujan.  “Sungai Sagea keruh lagi terjadi sekitar tiga hari lalu. Warga  Sagea dan Kiya, tak ada  hujan air jadi kuning,” katanya saat aksi.

Sebelum itu, sejak akhir Juli, sampai September 2023, Sungai Sagea tercemar, berubah warna jadi oranye kecoklatan.

“Kami mengumpulkan foto citra satelit dari Maret-Agustus mendapati ada bukaan lahan dan pembuatan jalan di wilayah atas Sagea yang masuk konsesi PT Weda Bay Nickel (WBN),” kata Adlun Fikri, juru bicara Save Sagea.

WBN, katanya,  merupakan perusahaan pertambangan nikel yang terintegrasi dengan PT Indonesia Weda Bay Industrial Park  (IWIP) dengan luas konsesi 45.065 hektar, termasuk Sagea atas seperti Jiguru, Bokimekot, dan Pintu.

Dari pantauan lapangan, ada pembuatan jalan dengan pengerahan alat untuk pengeboran WBN hingga terindikasi kuat sungai tercemar karena aktivitas tambang ini.

Temuan Forum Koordinasi DAS Moloku Kie Raha yang tertuang dalam berita acara kunjungan lapangan mereka 26-27 Agustus 2023, menyebutkan, antara lain, secara faktual di lapangan sudah terdapat perubahan biofisik yang disebabkan faktor non alam atau antropogenik (aktivitas manusia). Ada juga soal sebaran IUP di sekitar DAS Ake Sagea, perlu pengawasan terpadu dan obyektif terhadap aktivitas pertambangan.

Data BPDAS Ake Malamo, 2023 menyebutkan, luas DAS Sagea 18.200,4 hektar dengan tiga sungai besar dan ratusan anak-anak sungai. Ada lima izin usaha pertambangan (IUP) yang sebagian konsesi masuk dalam DAS Sagea yaitu WBN 6.858 hektar, PT Dharma Rosadi Internasional 341 hektar. Lalu, PT First Pasific Mining 1.467 hektar, PT Karunia Sagea Mineral 463 hektar dan PT Gamping Mining Indonesia 2.170 hektar. Dari lima IUP itu, baru WBN yang ada aktivitas di hulu DAS Sagea.

“Persoalan keruhnya air Sungai Sagea tidak bisa dilepaspisahkan dari DAS yang dirusak oleh WBN.”

 

Baca juga: Menyoal Uji Kualitas Air Sungai Sagea, Koalisi: Jangan Pertaruhkan Keselamatan Warga

Mama mama Sagea saat aksi ke kawasan tambang PT IWIP. Foto: SaveSagea

 

Bagaimanapun, katanya,  pembukaan lahan di DAS Sagea mesti setop karena besar kemungkinan erosi tanah terus terjadi dan mengalir ke Sungai Sagea. Kondisi ini, katanya,  akan berpengaruh pada sistem sungai bawah tanah di Karst Sagea dan Gua Bokimoruru.

“Bagi  kami,  Sagea adalah napas dan harga diri. Sungai yang selama ini kami jadikan sebagai sumber penghidupan dan dikeramatkan oleh leluhur kami.”

SaveSagea pun menuntut WBN menghentikan operasi di hulu DAS Sagea, lalu lakukan restorasi dan rehabilitasi.

“Bertanggungjawab atas pencemaran Sungai Sage. DAS Sagea harus dilindungi,  keluarkan dari rencana pertambangan WBN.”

Rivani Abdul Rajak,   Kepala Dinas Lingkungan Hidup Halmahera Tengah dikonfirmasi tak memberi tanggapan. Dihubungi via WhatsApp dengan  sejumlah pertanyaan meski sempat dibaca tetapi tidak ada respon.

Dia hanya menyampaikan, kalau sedang mengikuti ujian pelatihan kepemimpinan nasional (PKN).

Soal protes masyarakat dan Save Sagea  itu, manajemen WBN melalui Humas Muammar Fabanyo menyampaikan, WBN belum menambang  tetapi baru eksplorasi.

“Kami turut prihatin dengan apa yang terjadi kepada masyarakat. WBN selalu siap bekerjasama dengan dinas dan  masyarakat untuk menyelesaikan  dan mencari penyebab permasalahan itu. Kami sudah investigasi internal berkaitan dengan permasalahan air Sungai Sagea,” katanya via jawaban tertulis  ke Mongabay.

Dia bilang,  manajemen WBN selalu taat seluruh aturan dan memiliki perizinan atas semua operasional. Hingga kini, katanya,  perusahaan juga terus pemantauan dan penelitian penyebab Sungai Sagea tercemar. Perusahaan, katanya, sudah berkoordinasi dengan dinas terkait di pemerintah daerah.

WBN, katanya, juga tidak ada aktivitas pertambangan di hulu Sungai Sagea dan tak termasuk dalam wilayah kontrak karya mereka.

Permintaan restorasi dan rehabilitasi DAS Sagea, katanya, sudah perusahaan lakukan di beberapa wilayah sesuai arahan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta berdasarkan aturan berlaku.

Soal tanggung jawab  atas sungai keruh, katanya, perusahaan siap membantu penyelidikan dengan bekerjasama dengan instansi terkait.

“Kami juga berkomitmen mencegah ini terjadi di tempat perusahaan melakukan kegiatan,” kata WBN.

 

Muara Sungai Sagea, Agustus 2023….Foto: Adlun/Save Sagea

 

Setop tambang nikel di Maluku Utara

Pada 4 September lalu, Dinas Lingkungan Hidup Maluku Utara mengeluarkan  surat rekomendasi  pada WBN, PT Halmahera Sukses Mineral. PT Tekindo Energi, PT First Pacific Mining, dan PT Karunia Sagea Mineral. Dinas nyatakan, agar kelima perusahaan menghentikan sementara operasi di Halmahera Tengah.

Climate Rights  International  (CRI) dalam rilis September lalu mendesak Pemerintah Indonesia merespons rekomendasi Dinas Lingkungan Hidup Maluku Utara atas pencemaran sungai di Sagea Halmahera Tengah dan setop sementara aktivitas lima perusahaan tambang nikel agar kebutuhan air bersih masyarakat terjaga.

Lima perusahaan yang berada di sekitar Sagea, sebut CRI,   harus menghentikan sementara kegiatan tambang hingga pencemaran sungai dapat diatasi. Selain itu, harus memastikan tak ada lagi pencemaran sungai dan air tanah di masa mendatang.

“Kendati nikel adalah mineral penting untuk baterai kendaraan listrik dan untuk melawan perubahan iklim, pertambangan harus aman bagi masyarakat lokal dan lingkungan,” kata Brad Adams, Direktur Eksekutif Climate Rights International.

Dia bilang,   bagi masyarakat yang bergantung pada sungai dan air tanah, pencemaran lingkungan akan sangat berdampak.

Pemerintah pusat, katanya,  harus menghentikan sementara tambang yang merusak sampai ada langkah preventif ke depan.

Masyarakat di Desa Sagea, mengatakan, pada CRI bahwa air sungai Sagea itu sangat keruh, yang mengindikasikan ada peningkatan sedimentasi tanah dari hulu.

“Masyarakat desa, mayoritas bergantung pada air sungai dan air bawah tanah yang mengalir melalui gua karst.”

Indonesia adalah penghasil nikel terbesar di dunia, menyuplai 48.8% total produksi nikel global pada 2022. Sekitar 30% nikel dihasilkan di Maluku Utara.

Produksi nikel dari mengeruk permukaan dangkal tanah dan dengan penambangan terbuka (open pit), sebuah metode pengerukan tanah untuk mengekstrasi bijih.

Penambangan terbuka, sebut CRI,  membahayakan lingkungan, termasuk risiko pencemaran air dan udara, habitat hilang, serta erosi dan tanah longsor. Dampak ini dapat dihindari kalau perusahaan menerapkan standar lingkungan ketat, termasuk pengelolaan dan pembuangan limbah, memonitor kualitas air, dan menampilkan data secara transparan agar mudah diakses publik.

“Industri pertambangan harus memperbaiki praktiknya. Mereka mengeruk keuntungan dari nikel dan memiliki kewajiban memberikan dana untuk menjaga masyarakat lokal dari pencemaran dan ancaman lain.”

 

******

 

Exit mobile version