Mongabay.co.id

Kala Kawasan Industri Nikel Pulau Obi Bertumpu pada Energi Batubara [1]

 

 

 

Bau belerang menyengat ketika melintasi kebun warga di Desa Kawasi, Kecamatan Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara, pertengahan Oktober lalu. Di simpang jalan, kurang 50 meter dari kebun warga, ada kontainer bekas setinggi 10 meter mengitari timbunan batubara.

Di dekat timbunan, terbentang kubah tertutup berukuran 600x 140 meter persegi. Dari keterangan pada plang, bangunan itu merupakan tempat penyimpanan batubara (coal dome) PT Halmahera Jaya Feronikel,  di Kawasan Industri Pulau Obi.

Batubara yang ditimbun sementara akan dipindahkan ke area penyimpan ini.

Batubara diangkut dari tongkang berwarna merah di dermaga tepi pantai. ‘Emas hitam’ ini digotong ke tempat penampungan dengan sistem otomatis ban berjalan (conveyor belt) langsung dari kapal.

Ban berjalan sepanjang 520 meter mengganti pengangkutan batubara melalui jalan darat agar bebas debu.

Meski pakai ban berjalan, bau belerang dari batubara samar-samar saya hirup dari pemukiman hingga ke arah kebun.

Yulius Langkodi, warga desa juga merasakan hal serupa. Dia bilang, aktivitas bongkar muat batubara berlangsung beberapa bulan terakhir.

“Apalagi waktu pigi kebun.  Bobou [belerang] tajam skali [menyengat],” kata lelaki 56 tahun itu.

“Bagaimana tara bobou deng kotor me dekat sekali [pangkalan batubara dan kawasan industri], pas di jalan kobong deng kampung ini.”

 

Baca juga: Moncer Baterai Kendaraan Listrik, Suram bagi Laut dan Nelayan Pulau Obi [1]

Sekolah yang berada di dekat tempat penimbunan batubara di Kawasi. Lantai sekolah penuh debu batubara. Foto: Rabul Sawal/ Mongabay Indonesia

 

Jarak tampungan batubara dari pemukiman sekitar 200 meter ke arah selatan, atau hanya 10 langkah kaki lebih dekat bangunan sekolah SMP dan SMA di Kawasi. Sekolah menengah satu atap ini dipindah-paksa ke kawasan Ecovillage atau pemukiman baru, Agustus lalu. Tak ada persetujuan warga dan orangtua murid.

“[Orangtua murid] tarada yang mau kase pindah anak-anak [ke kawasan pemukiman baru]. Tapi dong tetap kase pindah. Katanya, dekat deng tampungan batubara. Memangnya sapa yang suru tampung disitu kong?”

Batubara yang ditampung dekat pemukiman dan sekolah itu untuk menunjang operasi produksi dan pengolahan smelter-smelter nikel di kawasan industri nikel Pulau Obi di bawah naungan Harita Group. Kawasan industri ini masuk proyek strategis nasional (PSN) untuk hilirisasi nikel jadi bahan baku baterai kendaraan listrik.

Proyek ini diprakarsai anak perusahaan Harita Group, PT Trimegah Bangun Persada (TBP) bersama perusahaan afiliasinya, PT Gane Permai Sentosa (GPS), PT Halmahera Jaya Feronikel (HJF), dan PT Megah Surya Pertiwi (MSP), termasuk perusahaan mitra, PT Halmahera Persada Lygend (HPL).

Dua proyek pertambangan TBP dan GPS memperoleh izin dari Bupati Halmahera Selatan, Muhammad Kasuba, dengan konsesi 5.524 hektar.

Dari dokumen perusahaan, TBP menambang dan produksi bijih nikel 6,60 juta wmt pada 2022. GPS mengelola nikel dengan target produksi 3.770.253 wmt pada 2022.

Perusahaan-perusahaan di bawah Harita Group mengeruk nikel di belakang pemukiman Desa Kawasi sejak 2010 dan membangun kawasan industri.

Harita Group merupakan bisnis konglomerasi Indonesia yang dimiliki dan dikelola keluarga Lim Hariyanto Wijaya Sarwono. Anaknya, Lim Gunardi Haryanto, adalah pemegang saham Trimegah Bangun Persada. Kepemilikan saham TBP dikuasai PT Harita Jayaraya, sisanya milik Lim Gunardi Hariyanto dan Hock Hai asal Singapura.

Merujuk data administrasi hukum umum (AHU) Ditjen Kemenkumham, saham Harita Jayaraya dimiliki PT Harita Guna Dharma Bhakti. Keluarga Lim Hariyanto Wijaya, mulai dari istri hingga anak-anaknya tercatat sebagai pemilik saham dan menjabat direktur utama, direktur hingga komisaris utama.

Selain menambang dan membangun industri nikel di Pulau Obi, perusahaan keluarga ini juga tercatat memiliki lini bisnis tak hanya sektor pertambangan nikel, juga bauksit, batubara, perkebunan sawit, sampai perkapalan dan perkayuan di beberapa daerah di Indonesia.

Relasi bisnis keluarga Lim melalui Harita Group cukup mentereng. Jejaring bisnis ini bikin kekayaan Lim Hariyanto Wijaya melejit dari US$1.1 miliar pada 2022 jadi US$4.9 miliar pada 2023 versi Forbes.

Di tengah menambang cuan, nasib warga yang hidup di wilayah operasi industri nikel Harita Group di Pulau Obi justru terkatung-katung.

Warga di sekitar tambang nikel mesti menanggung segala risiko dampak kerusakan lingkungan di balik mega proyek kendaraan listrik ini.

 

Baca juga: Cerita dari Pulau Obi, Daerah Penghasil Bahan Baku Baterei Kendaraan Listrik [1]

Industri nikel di Pulau Obi. Foto: Rabul Sawal/ Mongabay Indonesia

 

Ancaman kesehatan warga

Warga Kawasi menghirup udara kotor dari cerobong asap pabrik dan pembangkit listrik batubara dari kawasan industri. Ketergantungan operasi produksi nikel terhadap bahan bakar energi fosil mengancam kesehatan warga di Kawasi.

Nur Hayati Jumati, warga Kawasi, mengatakan setiap hari mereka menghirup debu dari aktivitas pertambangan dan operasi industri nikel. Rumahnya cukup dekat dengan fasilitas industri. Setiap kali membuka pintu dapur, yang dilihat pertambangan, pabrik, cerobong pembangkit listrik batubara, hingga lalu-lalang alat berat di bukit-bukit.

Jarak dari rumah Nur ke proyek raksasa ini hanya sekitar 100 langkah kaki atau 200 meter paling jauh. Dia tak kuasa menahan debu masuk rumah. Setiap hari perempuan 36 tahun ini mesti membersihkan debu berwarna merah kehitam-hitaman di lantai.

Nur sadar kalau debu itu bahaya bagi kesehatan anaknya yang baru berusia dua tahun lebih.

Kase bersih terus setiap hari, tapi kotor terus,” kata Nur. “Abu tara akan pernah abis selama perusahaan operasi.”

Lily Mangundap, warga lain menduga perusahaan mengabaikan keselamatan warga dengan membiarkan debu bertebaran di pemukiman.

Dia juga gerah, setiap hari mesti membersihkan debu dalam rumah. Dalam sehari, Lily bisa menyapu tiga sampai empat kali.

Kalu tara sapu, debu tebal bisa tulis nama,” katanya.

Kekhawatiran utama Lily pada anaknya, Pingkan, kini berusia tujuh tahun. Sejak masih bayi, Pingkan sudah berulang kali diserang infeksi saluran pernapasan akut (ISPA).

Hingga kini, anak bungsunya itu sering sesak napas. Di Polindes peralatan tidak lengkap.

Demi kesehatan anak-anaknya, Lily lantas beli peralatan medis sendiri. Dia siapkan nebulizer–alat bantu pernapasan untuk sesak napas, khusus yang disebabkan asma–infus, hingga obat-obatan di rumah.

Dia bilang, kehadiran perusahaan membuat ongkos hidup tambah mahal.

“Samua so harus beli. Anak-anak sakit harus beli alat-alat ini. Mo berobat ke puskesmas atau rumah sakit, akses jaoh,” kata Lily. “Jadi hidup di Kawasi ini mahal.”

Data Polindes Kawasi, mencatat sepanjang 2021-2022, sebanyak 1.530 penderita infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Dalam dua tahun itu, sebanyak 303 bayi berusia 0-1 bulan mendatangi Polindes.

Dalam 2022, balita berusia 1-5 tahun 567 orang, menyusul anak-anak dan remaja usia 5-19 tahun ada 126 dan kelompok usia 20-44 sebanyak 308 orang.

Angka penyakit sebanyak itu melampaui penduduk di Kawasi yang hanya 1.118 jiwa.

 

Baca juga: Warga Kawasi Terancam Relokasi Ketika Ada Kawasan Industri Nikel [2]

 

Kawasan industri nikel di Pulau Obi. Kepulan asap pabrik dan PLTU batubara lepas ke udara. Foto: Rifki Anwar/ Mongabay Indonesia

 

Menurut petugas kesehatan, angka ini meningkat setiap tahun. Dari catatannya, lebih 700 orang setiap tahun terserang ISPA. Dia tak menampik penyakit pernapasan pada warga karena debu dari aktivitas industri tambang.

“Apalagi tambah batubara yang baru di sana tu [tampungan batubara],” kata petugas itu. Dia sudah bekerja di Kawasi lebih 10 tahun.

“Bau itu [belerang batubara], kalu hirup, bahaya sekali. Torang orang tua-tua saja sesak, apalagi bayi deng anak-anak,” katanya.

Dampaknya, bakal jauh lebih berbahaya terhadap kesehatan dan lingkungan di Kawasi. Apalagi,  operasi produksi nikel di kawasan industri Harita Group masih bergantung pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara captive.

Batubara sebagai bahan baku energi maupun pabrik smelter ini tak hanya bahaya dari debu-debu maupun bau menyengat. Asap pembakaran dari cerobong juga menciptakan polutan bagi udara.

Budi Haryanto, peneliti Research Center for Climate Change (RCCC) Universitas Indonesia mengatakan, kalau jumlah batubara yang dibakar besar, dan emisi yang dihasilkan banyak, risiko terpapar polutan juga cukup besar.

Dia bilang, segala sesuatu yang dibongkar dari dalam tanah, baik emas, termasuk nikel itu semua mengeluarkan senyawa-senyawa kimia. Begitu juga yang terkandung di dalam batubara.

“Ketika terbakar, beracun semua. Kalau penduduknya tidak terlalu jauh lokasinya [dari kawasan industri], ya penduduknya terkena risiko itu,” kata Budi.

Penyakit-penyakit di kawasan industri juga dilengkapi dengan bahan bakar batubara, katanya, sebetulnya lebih banyak sakit kronis yang jauh lebih berbahaya daripada ISPA. ISPA,  tergolong tidak kronis.

“Kalau ISPA, begitu debu terhirup, tidak langsung sakit, itu tidak terlalu berat, bisa diobati,” katanya,

Kalau zat kimia berbahaya masuk ke paru-paru, terus ke jantung, ke susunan saraf pusat, ke organ-organ tubuh, itu merusak dalam jangka panjang.

“Jadi,  orangnya tidak kelihatan kalau sakit. Tapi kalau kemudian mulai ada keluhan-keluhan, misal, pusing tidak habis-habis, terus menerus, itu sudah gangguan di dalam. Terus sesak napas, tangan kadang-kadang bergerak sendiri (tremor), penyakit-penyakit yang perlu waktu jangka panjang akan muncul. Itu lebih berbahaya.”

 

Kehidupan nelayan terdampak dengan kehadiran kawasan industri nikel di Pulau Obi. Foto: Rabul Sawal/ Mongabay Indonesia

 

Penyakit-penyakit kronis itu biasanya, kata Budi, tidak tercatat di Puskesmas dan Pustu karena tidak ada keluhan. Orang-orang yang terkena penyakit kronis itu mungkin tidak merasakan sakit sekarang.

“Tapi dalam tubuhnya terakumulasi. Nanti, ketika sudah cukup merusak, mereka merasa sakit. Sakit itu sudah parah dan ini susah diobati, kemudian meninggal.”

Ketika pencemaran terjadi, orang mudah sekali terkena ISPA, batuk, pilek, tenggorokan sakit, radang, perih, dan lain-lain. Hal itu, katanya, menunjukkan pencemaran itu sedang terjadi dalam jangka pendek. “Jadi, pencemarannya tinggi. Itu penyakit yang terlihat.”

Partikel-partikel polutan sangat kecil berbahaya biasa disebut PM2,5 juga masuk bersamaan. Berbulan-bulan, bertahun-tahun terpapar. “Ketika sakit tau-taunya sudah rusak, ginjal rusak, hati rusak, kanker, kanker stadium tiga ketahuannya, telah cukup banyak jumlahnya dan merusak tubuh.”

Karena proses dalam jangka panjang, tambang-tambang maupun kawasan industri dengan sumber energi batubara ini tak merasa bersalah. “Orang-orangnya tenang-tenang saja, karena jangka panjang, tidak kelihatan.”

Padahal, bagi kesehatan manusia yang terdampak membahayakan. “Angka harapan hidup menurun, terus banyak yang mudah terserang penyakit. Itu kan daya tahan tubuhnya dipakai untuk melawan racun-racun yang masuk ke tubuh.”

Pada 2015, Greenpeace bersama Universitas Harvard merilis laporan bertajuk “Ancaman Maut PLTU Batubara” yang memperlihatkan dampak buruk polutan PLTU batubara.  Dalam laporan terungkap, operasi PLTU batubara di Indonesia, membuat 6.500 jiwa meninggal dini.

Dalam laporan itu menyebutkan, penyebab kematian, 2.700 jiwa kena stroke, 2.300 jantung insemik, 300 kanker paru-paru, 400 paru obstuktif kronik, 800 lain karena penyakit pernapasan dan kardiovaskular.

Kematian dini ini karena mereka terapar SO2, NOx dan PM 2,5 ditambah hujan asam, emisi logam berat seperti merkuri, arsenik, nikel, kromium dan timbal.

Pada 2017,  Universitas Harvard bersama Greenpeace Internasional kembali rilis penelitian soal kematian dini pertahun di negara-negara Asia Tenggara, Korea, Taiwan dan Jepang dampak pembangkit pembangkit listrik batubara. Di Asia Tenggara, negara terparah Indonesia disusul Vietnam.

Penelitian itu menyebutkan, saat pembangunan PLTU batubara berlanjut, emisi di Asia Tenggara, Korea Selatan dan Jepang,  akan naik tiga kali lipat pada 2030 dengan konsentrasi peningkatan terbesar di Indonesia dan Vietnam.

 

Dulu daerah sini penuh pepohonan, kini tanaman seakan hidup segan mati tak mau. Foto: Rifki Anwar/ Mongabay Indonesia

 

Ruang hidup hilang

Abadan Nomor, duduk di bawah pohon sukun (amo) yang rindang di belakang rumahnya. Dia baru pulang dari kebun. Jarak kebun cukup jauh, lebih lima kilometer ke arah selatan dekat Sungai Akelamo–satu sungai terbesar di Pulau Obi.

Setiap hari, dia mesti mengendarai sepeda motor melintasi jalanan berdebu, berangkal batu, berpapasan dengan dump truck tambang, eksavator dan alat berat lain, melewati fasilitas industri nikel saat ke kebun.

Imam kampung di Kawasi ini menyadari betul ada perubahan besar di tanah kelahirannya setelah industri nikel beroperasi.

“Samua dong [perusahaan] kase hancur, kase rusak [ruang-ruang hidup warga]. Baru dong mau torang pindah kasana [di kawasan pemukiman baru],” kata Om Imam, sapaan akrabnya.

Sudah puluhan kali perusahaan, aparat kepolisian, pemerintah setempat, dan tim dari pemerintah pusat datangi rumahnya. Dia dibujuk agar mau pindah ke pemukiman baru yang dibangun perusahaan. Sebagai tokoh di kampung, sikapnya tegas menolak. Dia mempertahankan kampungnya.

Dong datang terus. Saya usir,” kata Abadan.

“Memangnya sapa yang mau pindah di utang-utang [hutan-hutan] itu? Disana itu bukan kampung!”

“Dong kase kotor disini [di kampung] baru suru pindah kasana. Masok akal?”

:

Trend Penyakit ISPA di Desa Kawasi, Kecamatan Obi
 

Bentang alam di Pulau Obi jadi tandus dan gersang. Pulau seluas 2.500 kilometer persegi atau hampir empat kali luas Jakarta ini sesak dengan belasan izin tambang nikel dengan izin 30.178 hektar, lima memporak-porandakan Desa Kawasi.

Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) merekam gambaran kerusakan di wilayah operasi nikel Harita Group ini. Mulai dari penambangan, produksi hingga diolah jadi bahan baku baterai didapatkan dengan mengorbankan ruang hidup warga Desa Kawasi.

Laporan Jatam dipublikasi tepat saat TBP–dengan kode saham NCKL–melakukan penawaran umum perdana saham atau initial public offering (IPO) 12,67% kepada publik pada 12 April 2023.

Dari IPO, perusahaan memperoleh suntikan dana segar sebesar Rp9,7 triliun atau sekitar US$650 juta.

Dua bulan setelah IPO, tepat 16 Juni lalu, TBP melalui entitas asosiasinya, HPL ekspor perdana nikel sulfat. Sebanyak 5.580 ton nikel sulfat yang dikemas dalam 290 kontainer dan dikapalkan ke Tiongkok. Saat sama,  banjir bandang dengan lumpur pekat menerjang pemukiman Desa Kawasi.

Nikel sulfat merupakan bahan utama penyusun prekursor katoda baterai kendaraan listrik. Produknya berupa mixed hydroxide precipitate (MHP), dihasilkan dari pabrik HPL berteknologi high pressure acid leaching (HPAL) yang direncanakan kapasitas produksi 240.000 ton per tahun.

Pabrik ini dibangun dari kolaborasi TBP melalui HPL bersama Lygend Resources Technology, Ltd dengan biaya konstruksi US$1,5 miliar.

Luhut Binsar Panjaitan, Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi, sampai turun langsung bersama delapan menteri meresmikan pada 2021.

Masalahnya, pabrik nikel pertama di Indonesia itu dibangun di atas lahan perkebunan warga yang ditanami ribuan pohon kelapa, jambu monyet, dan tanaman bulanan lain. Konflik lahan sampai sekarang belum berakhir, hingga saat ini masih bersengketa.

Teknologi-teknologi yang digunakan di kawasan industri diklaim ramah lingkungan dan rendah emisi. Namun, proses produksinya mencemari sumber-sumber air warga.

Sementara, sungai-sungai besar seperti Toduku, Akelamo, Sungai Loji, juga diduga menjadi tempat pembuangan limbah hasil eksplorasi nikel dari kawasan industri.

Kerusakan di sungai juga berdampak pada ekosistem perairan laut. Setiap kali hujan, warna air laut berubah coklat kemerah-merahan.

Sebuah riset  menyebut terdapat 12 jenis biota laut yang terkontaminasi limbah logam berat dari penambangan nikel. Imbasnya, ruang tangkap nelayan makin jauh karena pesisir dan laut di dekat pemukiman telah rusak.

Apa kata perusahaan? (Bersambung)

 

Area tambang nikel di Pulau Obi. Foto: Rabul Swal/ Mongabay Indonesia

 

********

 

*Liputan ini merupakan kolaborasi Mongabay Indonesia bersama Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) dalam program fellowship ‘Pentingnya Phase-Out dalam Upaya Penanggulangan Krisis Iklim di Indonesia’.

 

Exit mobile version