Mongabay.co.id

Dampak Multidimensi akibat Pertambangan Pasir Laut

 

Pemerintah Indonesia didesak untuk segera mencabut seluruh rekomendasi pemanfaatan ruang laut untuk keperluan perizinan kegiatan pertambangan pasir laut di seluruh Indonesia. Desakkan itu mengemuka, karena kegiatan pertambangan tidak dilengkapi perizinan dan terus beroperasi walau sudah dilarang.

Aktivitas ilegal tersebut dilakukan kapal isap bernama MV Vox Maxima di sekitar wilayah perairan pulau Tunda, Kabupaten Serang, Provinsi Banten secara ilegal. Kapal berjenis Trailing Suction Hopper Dredger (TSHD) tersebut diketahui milik sebuah perusahaan dari Belanda, Van Oord.

Saat beroperasi pada Jumat (27/10/2023), Kapal Pengawas Kelautan dan Perikanan Hiu 06 milik Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) berhasil menghentikan kegiatan pertambangan karena kapal dilengkapi dokumen Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL).

Saat itu, kapal diketahui sedang mengangkut muatan pasir laut seberat 24.000 meter kubik (m3). Kapal tersebut dipekerjakan oleh PT Hamparan Laut Sejahtera (HLS) untuk memasok material pasir proyek reklamasi PT Pelindo di Kalibaru, Jakarta Utara, DKI Jakarta.

Tugas tersebut dijalankan berdasarkan kesepakatan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir dengan PT Pertamina tentang pemindahan lokasi Tangki Bahan Bakar Minyak (TBBM) Depo Plumpang ke lahan yang akan direklamasi oleh PT Pelindo.

Kegiatan tanpa ada perizinan dari Negara itu, mendapat reaksi keras dari Koalisi NGO yang ada di Tanah Air. Meski KKP sudah menghentikan aktivitas pertambangan ilegal tersebut, namun kapal ternyata masih melanjutkan operasi.

Untuk itu, Koalisi NGO mendesak Pemerintah Indonesia segera menegakkan hukum lingkungan untuk menyikapi insiden tersebut. Koalisi itu terdiri dari Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Eksekutif Nasional, WALHI Jakarta, dan Forum Peduli Pulau Pari (FPPP).

baca : Menyoal Aturan Buka Keran Ekspor Pasir Laut Indonesia

 

Dirjen PSDKP KKP bersama Polsus PWP3K memasang Polsus PWP3K Line sebagai tanda pemerintah penghentian sementara aktivitas pengerukan pasir laut oleh MV. VOX MAXIMA di Perairan Pulau Tunda lantaran tidak dilengkapi dengan dokumen PKKPRL. Foto : KKP

 

Berdasarkan informasi yang diberikan nelayan tradisional dari pulau Pari, walau kapal MV Vox Maxima sudah dilarang beroperasi karena tidak memiliki PKKPRL, namun ternyata selama lima hari sejak 18 November hingga 22 November 2023 diduga kuat masih melakukan operasi.

Dugaan tersebut muncul, karena selama lima hari nelayan memergoki kapal masih melintasi perairan pulau Tunda. Selama waktu tersebut, koalisi memperkirakan kalau kapal sudah mengisap pasir laut hingga lebih dari 120.000 m3 dari perairan pulau Tunda.

Pasir laut yang berhasil diangkut tersebut, menurut Koalisi Selamatkan Pulau Pari (KSPP) diduga berhasil mengumpulkan pendapatan kotor hingga Rp22,56 miliar. Angka tersebut merujuk pada perkiraan harga pasir laut untuk kebutuhan dalam negeri senilai Rp188.000 per m³.

Direktur Eksekutif WALHI Jakarta Suci Fitriah Tanjung mengatakan kalau Pulau Tunda masuk dalam kategori pulau kecil yang memiliki tingkat kerentanan tinggi, karena sangat bergantung dengan pulau utama (mainland).

Walau berstatus pulau kecil, Pemerintah memberikan tiga izin sekaligus pada pulau tersebut Izin Usaha Pertambangan (IUP) pasir laut. Ketiga izin yang diterbitkan Kementerian Energi dan Sumber daya Mineral (ESDM) itu diberikan kepada tiga perusahaan berbeda.

Pertama, PT Pandu Katulistiwa dengan wilayah konsesi pertambangan seluas 954,70 hektare (ha) dan mendapat izin pada 2020. Kedua, PT Hamparan Laut Sejahtera (HLS) dengan wilayah konsesi seluas 937,70 ha dan mendapat izin pada 2020.

Ketiga, adalah PT Krakatau Banten Sejahtera yang mendapatkan wilayah konsesi di sekitar perairan pulau Tunda dengan luas mencapai 482,00 ha. Perizinan untuk perusahaan tersebut diterbitkan Kementerian ESDM pada 2020.

Izin yang diberikan kepada tiga perusahaan tersebut, bisa memicu kehancuran lingkungan seperti yang dialami di perairan Teluk Jakarta saat reklamasi pulau G dilaksanakan. Bukan hanya itu, kehancuran juga akan terjadi pada kehidupan sosio ekologis nelayan pada akhirnya.

baca juga : Gubernur DKI Jakarta Tak Serius Hentikan Reklamasi Teluk Jakarta?

 

Dirjen PSDKP KKP bersama Polsus PWP3K memasang Polsus PWP3K Line sebagai tanda pemerintah penghentian sementara aktivitas pengerukan pasir laut oleh MV. VOX MAXIMA di Perairan Pulau Tunda lantaran tidak dilengkapi dengan dokumen PKKPRL. Foto : KKP

 

Contoh yang sudah terjadi di Teluk Jakarta, sudah seharusnya tidak dialami oleh perairan Pulau Tunda bersama masyarakat pesisir di sekitarnya. Teluk Jakarta misalnya, setelah mengalami kerusakan ekosistem, indeks kualitas air laut (IKAL) skornya turun jadi 59,95.

Skor tersebut ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 2020. Angka tersebut menjelaskan bahwa kualitas air laut di Teluk Jakarta tidak dalam keadaan baik. Tegasnya, reklamasi semakin menghancurkan kualitas air laut di Teluk Jakarta.

Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional WALHI Parid Ridwanuddin menambahkan, saat ekosistem laut dan air laut akhirnya tercemar, maka biaya pemulihan lingkungannya akan jauh lebih besar dibandingkan nilai ekonomi yang dihasilkan.

Hasil Kajian WALHI bersama dengan para ahli menyebutkan, jika per m3 menghasilkan Rp1, maka biaya yang dibutuhkan untuk memulihkan lingkungan sebesar Rp5. Itu berarti, biaya pemulihan lingkungan hidup lima kali lipat lebih besar dari nilai pendapatan.

Akibat kerusakan yang terjadi di Teluk Jakarta, dia menyebut kalau nelayan berpotensi kehilangan penghasilan hingga Rp766 miliar per tahun. Detailnya, dari setiap hektar laut yang terdampak reklamasi, maka setiap nelayan diprediksi akan mengalami kerugian hingga Rp6,9 juta per tahun.

“Total kerugian para nelayan di utara Jakarta mencapai Rp137,5 miliar per tahun per hektar laut yang terdampak reklamasi,” jelas dia.

Tak hanya nelayan, reklamasi di Teluk Jakarta juga bisa memicu kerugian total Rp13,6 miliar per tahun bagi para pemilik tambak ikan. Kemudian, sebanyak 1.561 orang pedagang ikan juga akan merugi hingga Rp119,4 miliar setiap tahun. Begitu pula 472 pengolah ikan akan mengalami kerugian Rp46,2 miliar per tahun.

Melihat sejumlah fakta yang dibeberkan di atas, Parid Ridwanuddin mendesak agar Pemerintah bisa segera menghentikan semua proyek reklamasi dan pertambangan pasir laut yang ada di pulau Tunda. Baik Teluk Jakarta, mau pun perairan pulau Tunda mutlak harus menjalani proses pemulihan ekologi dan ekonomi dari sejak sekarang.

baca juga : Pulau Reklamasi Teluk Jakarta Lebih Baik Untuk RTH, Kenapa?

 

Pembangunan yang sedang dilakukan di Pulau G, salah satu pulau hasil reklamasi di Teluk Jakarta. Pemerintah akhirnya memutuskan menunda reklamasi Teluk Jakarta setelah ditemukan berbagai pelanggaran aturan dan hukum. Foto : Sapariah Saturi/Mongabay Indonesia

 

Dampak Multidimensi

Pernyataan Parid Ridwanuddin itu diamini oleh Sekretaris Jenderal KIARA Susan Herawati. Menurut dia, pertambangan pasir laut mempunyai sejarah dan dampak panjang dalam kehidupan multidimensi di pesisir dan pulau-pulau kecil.

Aktivitas pertambangan pasir laut dinilai sudah merusak dimensi sosial, ekologi, dan ekonomi kehidupan di pesisir dan pulau-pulau kecil. Kondisi itu sudah lebih dulu dialami warga dan nelayan yang ada di pulau Kodingareng, Kota Makassar, Sulawesi Selatan.

Warga dan nelayan di sana terdampak aktivitas pengambilan pasir laut dengan kapal isap terbesar di dunia milik perusahaan Boskalis asal Belanda, Queen of Netherland. Kegiatan tersebut berjalan di blok Spermonde bersama PT Pelindo.

Dia menyebut kalau aktivitas pengerukan pasir laut dengan menggunakan kapal isap memicu kerusakan terumbu karang, biota laut, dan ekosistem pendukung pesisir lainnya yang berada di perairan. Juga, menyebabkan nelayan lokal harus tersingkir karena tidak bisa mengakses laut lagi sebagai ruang kelolanya.

“Abrasi dan gelombang laut meningkat, karena berubahnya morfologi laut, yang juga berdampak pada semakin terancamnya nelayan untuk melaut,” jelas dia.

Ketua FPPP Mustaghfirin juga berpendapat jika pertambangan pasir laut memang sangat berbahaya dan bisa memicu dampak tidak baik bagi kehidupan masyarakat pesisir, nelayan, dan ekosistem laut yang ada di sekitarnya.

“Kami nelayan kecil menganggap bahwa pertambangan baik di pulau kecil maupun perairannya adalah bentuk penjajahan baru bagi kami nelayan kecil ini,” ucapnya.

Dia menyebut, seharusnya Pemerintah serius untuk menindak korporasi yang menambang atau pun mengeruk pasir laut. Hal itu, didasarkan pada pengalamannya dan warga di pulau Pari, Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, DKI Jakarta.

Dia bersama warga dan nelayan harus menerima dampak buruk setelah aktivitas pasir laut dilakukan untuk keperluan perluasan Pulau Tengah yang berada di gugusan Pulau Pari. Saat ini, Pulau Tengah sudah bertambah luasnya secara signifikan dibanding 2011.

baca juga : Dampak Tambang Pasir Laut dan Perubahan Iklim yang Mengancam Nelayan Pulau Kodingareng

 

Pulau Tunda yang masuk gugusan Pulau Pari, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Foto : Andri Kilua/Wisato.id

 

Tetapi, perluasan tersebut berdampak buruk pada kehidupan masyarakat dan nelayan di Pulau Pari. Mereka disebut tidak lagi bebas mengakses wilayah perairan saat sedang mencari ikan di sekitar Pulau Tengah.

“Bahkan kami diusir ketika mendekat ke pulau itu,” tuturnya.

Tak hanya itu, dampak buruk juga harus dirasakan para pembudidaya rumput laut yang harus mengalami penurunan produksi, bahkan merasakan gagal panen. Kondisi itu terjadi, karena rumput laut sangat sensitif terhadap perubahan kualitas air laut.

Pria yang biasa disapa Bobi itu mengaku sudah melaporkan dampak buruk tersebut kepada KKP. Namun, hingga sekarang belum ada tindak lanjut atau pemberian hukuman kepada pemilik pulau Tengah karena sudah mengisap pasir laut.

“Hal yang sama juga kini tengah dialami kawan-kawan kami, nelayan tradisional di Pulau Tunda,” sebut dia.

Mengingat ada banyak dampak buruk yang ditimbulkan dari aktivitas pertambangan pasir laut, Pemerintah didesak untuk melakukan:

  1. Mencabut seluruh rekomendasi pemanfaatan ruang laut untuk perizinan pertambangan pasir laut;
  2. Membuka informasi publik terkait proses dan hasil penindakan hukum yang telah dilakukan kepada MV Vox Maxima dan PT Hamparan Laut Sejahtera pada Oktober 2023;
  3. Melakukan audit lingkungan perairan laut Pulau Tunda sebelum dan pasca MV Vox Maxima melakukan operasi penambangan pasir laut di perairan pulau Tunda;
  4. Menindak tegas pihak-pihak terkait yang secara langsung mau pun tidak langsung terhubung dengan operasi pertambangan pasir laut oleh MV Vox Maxima secara transparan dan akuntabel, sehingga bisa diakses oleh publik;
  5. Menuntut Presiden Republik Indonesia segera mencabut Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut; dan
  6. Menjadikan pemulihan ekologi Teluk Jakarta sebagai agenda prioritas dalam rencana pembangunan jangka menengah dan jangka panjang.

 

Ilustrasi. Nelayan di Kepulauan Riau melaut di kawasan perairan Singapura. Perairan ini menjadi salah satu lokasi tambang pasir laut pada tahun 2002 lalu. Foto : Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia

 

Sebelumnya, Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PDSKP) KKP Adin Nurawaluddin menjelaskan tentang kapal MV Vox Maxima yang diawaki 40 orang, dengan nakhoda berstatus warga negara asing (WNA).

Dia menyebut bahwa kapal tersebut mampu mengangkut muatan hingga 26.000 m3 untuk sekali jalan. Namun, saat dihentikan oleh kapal pengawas Hiu 06, MV Vox Maxima sedang membawa muatan pasir laut seberat 24.000 m3.

PT HLS yang mengoperasikan kapal diduga melakukan pelanggaran menggunakan kapal isap untuk melakukan eksploitasi hasil sedimentasi di laut berupa pasir laut tanpa izin; tidak dilengkapi dokumen PKKPRL; dan tidak ada izin pemanfaatan pasir laut untuk reklamasi.

Sebelumnya, pada berbagai kesempatan Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono selalu menegaskan komitmennya dalam melaksanakan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Hasil Sedimentasi di Laut, untuk kepentingan bangsa dan negara.

Kebijakan pengelolaan hasil sedimentasi yang terdiri dari perencanaan, pengendalian, pemanfaatan dan pengawasan hasil sedimentasi laut menjadi hal yang penting untuk diatur. Tujuannya, agar ekosistem laut dapat dikelola secara berkelanjutan dan membawa manfaat ekonomi bagi masyarakat dan Negara. (***)

 

Exit mobile version