Mongabay.co.id

Jejak Meong Congkok di Hutan Sanggabuana

 

 

https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2023/12/Meong-Congkok.mp3?_=1

[Audio] Jejak Meong Congkok di Hutan Sanggabuana

 

Endang Komara [50] duduk bersila ketika menceritakan pertemuannya dengan kucing hutan atau meong congkok. Satwa dengan nama latin Prionailurus bengalensis itu memang minim literasi sehingga dipertanyakan nasib hidupnya di alam liar.

Ngik.. ngik.. ngink…” Endang menirukan suara congkok yang beberapak kali dilihatnya di hutan Sanggabuana, Kabupaten Karawang, Jawa Barat.

Tapi, suara itu terakhir didengar tahun 2018. Keberadaannya kembali misterius di hutan yang berstatus hutan produksi yang perlahan kopong itu.

Akhir Januari 2023, dua anakan kucing hutan ditemukan warga usai menebas rumpun bambu di sekitar Gunung Jayanti, Sanggabuana, Karawang. Beberapa hari berselang, masih dari spesies kucing-kucingan, macan tutul jawa atau Panthera pardus melas turun gunung dari puncak Sanggabuana.

“Sempat ramai karena warga mengira macan tutul itu mencari anaknya yang punya kemiripan dengan meong congkok,” ujar Endang, warga Kampung Sirnaruju, Desa Mekarbuana, Kecamatan Tegalwaru, Kabupaten Karawang, kepada Mongabay Indonesia akhir November 2023.

Endang tahu betul meski punya rupa yang hampir sama antara warna dan pola totol. Namun, dari ukuran keduanya berbeda. Anakan macan tutul jawa cenderung lebih besar ketimbang kucing hutan.

Dia pun cukup paham mendeskripsikan tempat beranak kucing hutan. Katanya, kucing liar mungil pemakan daging ini lebih menyukai lekukan tanah atau lubang di bawah pohon yang dekat sumber air.

Selama perjumpaan, Endang mengaku tidak pernah menemukan dua individu jalan bersama. Hanya satu kali menyaksikan indukan kucing hutan bersama dua anakan. Itu pun tidak pernah lebih dari 2 individu.

Baca: Konflik Macan Tutul Sanggabuana Mencuat karena Ekosistem Menciut

 

Anggota Sanggabuana Conservation Foundation [SCF] memasang kamera trap di sekitar hutan Sanggabuana, Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Endang bilang, meong congkok memiliki ukuran tubuh seperti kucing rumahan. Beratnya, diperkirakan antara 3-7 kilogram. Tapi punya warna khas, yaitu kuning kecokelatan dengan belang-belang hitam di bagian kepala sampai tengkuk bercorak totol-totol hitam. Pola warna sangat khas, yakni kehitam-hitaman. Dominan cokelat dengan garis lurus hitam di bagian pundak.

Telinga berukuran sedang. Arah daun telinganya menghadap ke depan. Mata lebar dan bulat berwarna hijau atau amber. Hidung cenderung besar dan lebar. Sedangkan kulit hidung berwarna merah dengan garis luar hitam. Ekornya sedikit panjang. Kira-kira lebih dari setengah ukuran kepala hingga punggung mereka.

“Saya sudah jarang menemukan di alam kecuali di media sosial,” ungkapnya.

Baca: Apa Bedanya Kucing Kecil dan Kucing Besar?

 

Dua anakan kucing hutan yang ditemukan warga di sekitar Gunung Jayanti, Sanggabuana, Karawang, Jawa Barat, akhir Januari 2023. Foto: Dok. Sanggabuana Conservation Foundation

 

Minim sumber pengetahuan

Buku Wild Cats yang ditulis Nowell dan Jackson, tahun 1996, bisa menjadi literatur tentang kehidupan kucing hutan di Pulau Jawa. Mereka tersebar di antara hutan tropis dengan daya jelajah berada di ketinggian 500-700 meter diatas permukaan laut [mdpl].

Nowell dan Jackson menuliskan jika kucing hutan merupakan hewan yang aktif di siang hari [diurnal]. Namun sebagian besar berburu di malam hari [nokturnal]. Pola perubahan ini mungkin terjadi setelah kepunahan kucing besar yaitu harimau jawa [Panthera tigris sondaica].

Sama seperti macan tutul jawa, meong congkok adalah pendaki lincah dan lihai dalam memanjat. Keduanya juga menandai wilayahnya dengan menyemprotkan urine, meninggalkan feses, menggosokkan kepala, dan menggaruk pohon.

Kucing jenis ini merupakan kucing penyendiri atau soliter, kecuali selama musim kawin. Mereka juga menerangkan bahwa sarang yang dipilih kucing hutan berada di lubang akar pohon atau semak yang dekat sungai atau sumber air.

Baca: Kenapa Tidak Ada Kucing Hutan di Kawasan Wallacea?

 

Kucing hutan yang terpantau kamera jebak di hutan Sanggabuana. Foto: Dok. Sanggabuana Conservation Foundation

 

Guru Besar Etnobiologi, Universitas Padjadjaran, Johan Iskandar, mengakui riset terhadap congkok ini sangat minim. Dia menganggap kondisi tersebut menunjukkan penerapan Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora [CITES] di Indonesia belum dilakukan sepenuh hati.

“Saya juga heran kenapa belum banyak akademik mengeksplorasi kucing hutan ini,” ucap Johan, Selasa [5/12/2023].

Padahal, predator ini lebih dari sekadar satwa endemis Jawa yang hampir punah. Keberadaannya mengukur sejauh mana manusia peduli pada masa depan hutan.

Menurut Johan, congkok sangat menarik diteliti. Terutama bagaimana mereka berbagi ruang dan relung antara sesama spesies kucing endemik yang ukurannya lebih besar.

Agaknya tidak banyak yang tahu, penamaan kucing hutan disebut congkok di masyarakat Sunda. Kata Johan, congkok adalah sejenis tumbuh Curculigo cavitulata Gaertn yang tumbuh di hutan primer dan sekunder.

Penamaan congkok merujuk perilakunya yang kerap membungkus kotorannya di daun lonjong tersebut. Ini berbeda dengan kucing rumahan yang membuang kotoran dengan cara dikubur.

Curculigo juga unik. Keberadaannya menjadi indikator kualitas hutan. Sebab, tanaman ini lebih menyukai tanah yang subur, pengairan bagus, serta kaya akan bahan organik. Selain itu, tumbuh di kondisi tanah tanpa sinar matahari. Artinya, ada di antara kerapatan kanopi pohon yang menjulang.

Akan tetapi, kondisinya kini menjadi potret buram hutan konservasi dan lindung di Jawa Barat, rumah besar terakhir kucing hutan. Data Walhi Jabar menunjukkan, tersisa sekitar 518.180 hektar hutan lindung atau 14 persen dari luas Jabar. Padahal idealnya, 30 persen wilayah merupakan kawasan berhutan.

Baca: Wawancara Erwin Wilianto: Masa Depan Kucing Liar Indonesia Harus Diperjuangkan

 

Macan tutul jawa yang terpantau di hutan Sanggabuana. Foto: Dok. Sanggabuana Conservation Foundation

 

Pesan kebudayaan

Peminat Literasi dan Budaya Sunda, Atep Kurnia, mengatakan, dalam konteks kebudayaan Sunda, pengaruh flora dan fauna sangatlah penting. Semula, keduanya dianggap bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat Sunda.

Satwa dan tumbuhan menjadi inspirasi masyarakat Sunda untuk memberi nama tempat hingga penyakit atau kelainan pada tubuh. Begitu juga dengan ikon kebanggan masyarakat Sunda, kerap mengambil dari karakter satwa asli Tatar Sunda itu.

Akan tetapi, perubahan teknologi termasuk tradisi menulis mengubah masyarakat Sunda secara mendasar. Semisal, pemikiran mereka tidak lagi 100% berdasarkan tradisi lisan seperti puisi, dongeng atau sindiran yang semula berfungsi sebagai pelestari memori kolektif, kemudian dijadikan sumber etika bahkan hukum bagi urang Sunda.

Alhasil, pandangan masyarakat Sunda pun ikut berubah. Akibatnya alam dijadikan objektivitas sehingga jadi berjarak dari kehidupan urang Sunda.

“Padahal, dalam konteks sosial dan antropologis sering dipakai untuk memberikan pesan kehidupan yang sarat makna seperti lutung kasarung,” ujar Atep saat dihubungi Mongabay Indonesia, Minggu [17/12/2023].

 


 

 

Semisal, cerita primata endemik, surili jawa [Presbytis comata]. Budayawan Sunda, almarhum Hidayat Suryalaga, pernah mengungkapkan keterikatan surili dengan sosio-budaya Sunda. Dia menyampaikan pendapatnya dalam pemantapan penentuan fauna Jabar sekitar 13 tahun lalu.

Hidayat mengatakan, surili adalah simbol suara rakyat. Gambarannya terlihat dalam cerita pantun Lutung Kasarung. Saat itu, Guru Minda diturunkan dari kahyangan di tengah hutan wilayah negara Pasir Batang Anu Girang. Kehadirannya disambut surili yang tertawa.

Bergelantungan bahagia, mereka menyambut kedatangan Guru Minda, tokoh utama Lutung Kasarung. Namun, saat Aki Panyumpit mencari binatang buruan, surili itu memilih bersembunyi, ketakutan.

“Dalam semiotika Sunda, kedua situasi itu memberi makna jika surili bersuara, tandanya rakyat sehat dan bahagia. Namun, jika tidak bersuara ada rasa takut yang mengganggunya,” kata Hidayat dikutip dari Harian Kompas edisi 1 Oktober 2016.

Baca: Kucing Liar, Jenis yang Sulit Ditemukan di Hutan Leuser

 

Macan kumbang yang terekam keberadaannya di hutan Sanggabuana. Foto: Dok. Sanggabuana Conservation Foundation

 

Johan Iskandar juga mengamini hubungan sosial-budaya masyarakat Sunda dengan lingkungannya. Itu, katanya, tampak dari pembagian ruang antara manusia dan satwa.

Pembagian lahan itu populer dengan agroforestri. Sistem ini dapat diartikan sebagai suatu sistem tata guna lahan yang ditanami aneka ragam campuran jenis-jenis tumbuhan keras, tahunan, atau tumbuhan semusim.

“Fungsinya semacam buffer zone atau batas hutan. Urang Sunda dulu menyebutnya talun,” imbuh Johan.

Sesungguhnya sistem tersebut telah dipraktikkan lebih dulu oleh masyarakat Sunda sejak ribuan tahun silam, khususnya di daerah-daerah pegunungan. Salah satu ciri khas agroforestri tradisional, antara lain ditanami aneka ragam campuran jenis-jenis tumbuhan semusim dan tahunan. Berbagai jenis tumbuhan tersebut membentuk struktur vegetasi berlapis-lapis, menyerupai struktur vegetasi hutan alami.

Oleh karena itu agroforestri memiliki banyak fungsi seperti ekologi, sosial, ekonomi, dan budaya bagi masyarakat. Dan kawasan itu berperan menyelamatkan, juga menghidupkan harmonisasi manusia dengan alam.

Johan bilang, fungsi ekologi berkaitan dengan perlindungan plasma nutfah, perlindungan bahaya erosi tanah, pengatur sistem hidrologi, efek iklim mikro, penghasil oksigen, dan habitat satwa liar. Adapun fungsi sosial, ekonomi, dan budaya pada masyarakat, kata Johan, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dalam keluarga [subsistem] dan komersial.

Baca: Kesetiaan Johan Iskandar pada Burung-burung Citarum

 

Foto udara kawasan hutan produksi yang menjadi habitat kucing hutan di hutan Sanggabuana, Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Menuai kepedulian

Keprihatinan juga tumbuh pada diri pemuda desa di sekitar Sanggabuana. Mereka menggugat perilaku yang merusak, demi menyelamatkan hutan seluas 43.000 hektar yang mencakup 4 kabupaten/kota itu.

Sebagian dari mereka, 20 pemuda, tergabung dalam Sanggabuana Conservation Foundation [SCF], organisasi nirlaba yang aktif melakukan pemetaan biodiversitas di Sanggabuana. Mereka melakukan itu, sebagai dukungan terhadap peningkatan status Kawasan Sanggabuana menjadi taman nasional.

Secara konsisten, mereka melakukan analisis dan pemetaan kawasan sejak tahun 2019. SFC berhasil mengidentifikasi lebih dari 4 individu macan tutul jawa, 166 jenis burung, 5 primata endemik jawa, dan 123 jenis tumbuhan lokal. Hasil yang cukup komprehensif untuk mendorong negara agar hadir menyelamatkan kekayaan alamnya.

Mereka ingin, cerita Endang tentang congkok dan kisah satwa endemik eksotik Jawa Barat tidak pudar. Ketika kepedulian tumbuh, harapan tidak akan pernah runtuh.

 

Exit mobile version