Mongabay.co.id

Cerita Suku Darat Pulau Rempang Dulu, Kini Makin Terancam

 

 

 

 

 

 

 

 

Beberapa helai daun kelapa seperti melayang di tengah hutan di Pulau Rempang. Jika diperhatikan dengan seksama,  Daun-daun kelapa bersanggah kayu kecil membentuk atap ini jadi tempat berteduh di tengah hutan Pulau Rempang, kala itu. Tak ada dinding maupun lantai seperti rumah biasanya.

Begitulah potret rumah Orang Suku Darat yang diabadikan P Wink, warga kebanggaan Belanda. Dia menuliskan kesaksian itu dalam catatan perjalanan berjudul “Verslag van een bezoek aan de Orang Darat van Rempang”, 4 Februari 1930. Ini merupakan laporan kunjungan ke Orang Darat di Pulau Rempang kala itu.

Temuan P. Wink, selaras dengan cerita Lamat, Tetua Suku Orang Darat di Kampung Sadap, Pulau Rempang, Kota Batam. Lelaki 60 tahun ini bercerita banyak hal tentang Suku Darat, tetapi tak ingat jelas tahun kejadian.

Dalam catatan Wink itu,  Suku Darat disebut tidak mengenal tahun, tanggal bahkan hari. “Saya tidak tahu tahun berapa, karena tidak sekolah,” kata Lamat tidak bisa mengingat waktu-waktu penting dalam sejarah Suku Orang Darat.

Lamat berusaha mengenang dengan menggambarkan kisah hidup dalam bentuk waktu berdasarkan perkembangan pribadi. Saat ini,  Lamat memprediksi umurnya sudah 60 tahun.

Masa kecil, dia masih merasakan tinggal di pondok mungil dengan atap dari daun kelapa dan lantai dari ranting-ranting kayu, seperti tergambar dalam foto Wink.

Secara sosial, Suku Darat kala itu belum mengkonsumsi beras. Sehari-hari, orang Suku Darat makan sagu, lauk ikan-ikan kecil dari orangtua Lamat melaut di pesisir Pulau Rempang.

Sagu mereka dapatkan dari sistem barter dengan orang-orang Tionghoa yang ketika sudah ada sekitar Rempang. Hasil panen kulit kayu merawan,  misal, barter dengan sagu.

Ketika umur beranjak dewasa, Lamat baru mulai mencicipi beras. Ketika itu sistem jual beli perlahan diterapkan Suku Orang Darat. “Tidak hanya mencari kulit kayu, ketika masa lajang saya sudah mulai melaut dan berkebun,” katanya.

Saat hendak masuk umur dewasa, Lamat mendapat bantuan rumah kayu dari pemerintah yang dihuni hingga sekarang.

 

Baca juga: Potret Kehidupan Suku Darat di Pulau Rempang

Alwandi melintasi pondok yang sedang dibangunnya di Pulau Rempang. Foto: Yogi EKa Sahputra/ Mongabay Indonesia

 

Cerita-cerita sejarah Suku Darat juga diketahui Alwandi. Dia generasi muda anak Fatimah, Orang Suku Darat Asli. Orang tua Fatimah saudara Lamat. Alwandi suka mendengar cerita-cerita tetuanya, salah satu dari bapaknya, almarhum Kosot.

Dia bilang, Suku Darat dulu bergantung hidup dari hutan. Apapun di hutan untuk bertahan hidup. Mulai dari mencari kulit kayu untuk dijual, sampai memanen madu kelulut untuk dimakan. “Sekarang madu itu tidak ada lagi,” kata Alwandi.

Suku Darat juga berburu saat hutan masih ada di Pulau Rempang. Hampir semua hewan di Pulau Rempang dikonsumsi.

Cerita Alwandi juga tertuang dalam catatan perjalanan Wink pada 1930. Suku Darat tak mengenal larangan makan daging tertentu, termasuk babi, monyet, hingga ular, kecuali ular berbisa.

Dalam buku “Orang Darat di Pulau Rempang, Tersisih Dampak Pembangunan Kota Batam,” yang ditulis Dedi Arman 2023 disebutkan, awalnya Suku Darat hidup berkelompok di sejumlah lokasi, tak hanya di Rempang, juga di Batam. Namun, seiring menyusut hutan mereka disatukan di Kampung Sadap, Rempang.

Suku Darat memang terkenal dengan hidup di hutan, berpindah dari satu hutan ke hutan lain. Ketika hasil hutan tempat tinggal mulai menyusut mereka pindah ke hutan lain. “Iya, kalau cerita orang kami, dulu kami pindah-pindah,” kata Alwandi.

Beberapa sumber juga menyebutkan alasan pindah tempat tinggal ketika ada anggota keluarga Suku Darat meninggal dunia. Mereka meyakini, arwah keluarga yang meninggal akan mengganggu jika tidak pindah. “Kalau sekarang tidak ada lagi, kami sudah tinggal di Kampung Sadap, semua, kalau ada yang meninggal kuburan juga ada disini.”

Dia yakini kebiasaan itu sudah diubah sejak mereka memeluk agama Islam pada 1960-an.

Dalam catatan Wink 1930,  meskipun Orang Darat dianggap penganut agama tempatan tetapi mereka mengenal konsep “Allah”. Mereka juga disebutkan memiliki tradisi penghormatan terhadap leluhur, berdasarkan rasa takut terhadap balas dendam orang yang meninggal. Tradisi turun menurun itu lewat tujuh, 40 dan 100 hari persembahan makanan di makam orang yang meninggal, sambil berseru, “hoen makan!.”

Setelah hutan di Pulau Rempang makin menipis, membuat Suku Darat menetap di satu kawasan. Kawasan itulah yang disebut mereka sebagai Kampung Sadap. Sampai sekarang Suku Orang Darat bertahan di kampung seluas tiga hektar itu. Mereka memiliki surat tebas dengan luas hutan mencapai tiga hektar.

Begitu juga soal tradisi menikah, di tulis Wink pernikahan di Suku Darat atas nama kesepakatan perempuan dan laki dengan mahar dua gantang beras. “Sekarang perkawinan di Suku Darat sudah seperti masyarakat Melayu lainnya. Dengan doa selamat tolak bala,” kata Lamat.

Tak hanya soal rumah dan kebiasaan Suku Darat memanfaatkan isi hutan, sebagian besar catatan Wink sama dengan cerita yang disampaikan Lamat dan Alwandi. Begitu juga terkait sifat Suku Darat yang pemalu. Perlu waktu untuk memastikan mereka nyaman berbicara dengan orang luar, termasuk saat ini.

 

Baca juga: Masyarakat Adat di Rempang, Ada Sebelum Indonesia

Kebun warga di Pulau Rempang. Foto: Yogi Eka Sahputra/ Mongabay Ondonesia

 

Asal Suku Darat Rempang

Masih dalam buku “Orang Darat di Pulau Rempang Tersisih Dampak Pembangunan Kota Batam” yang ditulis Dedi Arman 2023 dirangkum dalam beberapa literatur, Suku Darat berasal dari tiga daerah berbeda.

Mulai dugaan berasal dari Lingga, dari Terengganu (Malaysia) ada juga menyebut mereka dari Pulau Siantan, kini masuk dalam Kabupaten Kepulauan Anambas, Kepri.

Sedangkan dalam pengamatan linguistik, Wink pada 1930, menyebut, Orang Darat mirip orang asli di Malaysia, yakni,  Orang Jakun di Terengganu, Semenanjung Malaya.

Ahli linguistik Jerman, Hans Kahler meyakini, Orang Darat di Rempang ada kaitan dengan orang asli di Malaysia yakni Orang Senoi. Dia mengolah data dari Kolonial Tijdsohrift tahun 1939. Dalam laporan itu, Orang Darat mewakili penduduk pra-Melayu yang berpindah-pindah. Orang Darat hidup nomaden dalam keseharian menukar hasil hutan dengan makanan dan barter barang bekas dengan pedagang Tiongkok. Mereka hidup dari berburu dan menangkap ikan juga.

Beberapa temuan Hans Kahler menyebutkan, Suku Darat memiliki  senjata sejenis sumpit. Begitu juga satu-satunya hewan peliharaan mereka adalah anjing. Orang Darat hidup monogami dan tak memiliki kepala suku resmi.

Dedi Arman, peneliti BRIN mengatakan, belum ada penelitian yang memastikan asal Suku Darat di Rempang ini. “Kalau yang menguji gen mereka belum ada,” kata kepada Mongabay, Sabtu, November lalu.

 

Baca juga: Kala Pemerintah Tunda Pengosongan, Warga Rempang Bertahan Tak Mau  Kehilangan Kampung

Rumah dan lahan orang Suku Darat di Pulau Rempang. Foto: Yogi Eka Sahputra/ Mongabay Indonesia

 

Terancam punah

Dari masa ke masa beberapa literatur menyebutkan, Suku Orang Darat dalam kondisi terancam punah. Pemerintah diharapkan menaruh perhatian lebih agar orang asli Pulau Rempang ini tidak punah.

Populasi Suku Orang Darat terus berkurang. Dalam penelitian Kahler yang terbit di Berlin pada 1960, Orang Darat ada 30 orang. Masing-masing 13 di Batu Aji, Pulau Batam, dan 17 orang lainnya di Rempang.

Pada 1975, kalau dilihat dalam artikel Majalah Tempo yang terbit Juni 1975 menyebutkan, Orang Darat ada 19 orang. Mereka menetap di Kampung Sadap,  Rempang. Dalam artikel itu dituliskan kondisi Orang Darat mengkhawatirkan karena perempuan tersisa tiga orang.

Sejak Rempang,  mulai ramai mereka menikah dengan di luar keturunan Suku Darat, misal, orang Melayu, Sunda, sampai Flores.

Menurut Lamat, kalau dikumpulkan semua keturunan Orang Darat, ada 50-60 jiwa dengan perkiraan 15 keluarga. “Kami ini ramai, berpencar-pencar, kalau dihitung sekitar 50-60 oranglah,” katanya.

Beberapa bulan ini,  kata Lamat, keluarga kembali berkumpul di Kampung Sadap. Dia takut, Suku Darat akan makin terancam karena Rempang Eco-City. Dia meminta,  anggota keluarga Suku Darat yang tersebar untuk kembali ke kampung mereka.

“Sekarang kami sudah berkumpul semua, apapun yang terjadi kami sama-sama bertahan disini,” kata Lamat.

Alwandi mengatakan, beberapa keluarga Suku Darat keluar dari Kampung Sadap karena jarak jauh dengan pesisir laut untuk mencari ikan. “Setelah dengar isu penggusuran kami takut, apalagi Suku Darat dibilang tidak ada, akhirnya kami balik ke Kampung Sadap, kami kumpul semua.”

Menurut dia, Suku Darat sudah lama ada di Rempang. Beberapa pohon mangga, cempedak, nangka dan durian, kelapa besar-besar di Kampung Sadap. “Ada kuburan nenek juga kampung sadap ini,” katanya.

Dia berharap,  pemerintah memperhatikan warga Suku Darat, Pulau Rempang, mulai dari tempat tinggal, listrik hingga pendidikan untuk anak sekolah. “Mudah-mudahan kami dilindungi, disini pak, jangan usir kami.”

Dedi juga penulis buku Suku Darat mengatakan, kondisi mereka terancam pembangunan, hutan yang biasa jadi tempat mereka bergantung sudah hilang.

“Sebenarnya,  dulu di Batam mereka sudah diusir ke Pulau Rempang, sekarang di Rempang, Suku Darat kembali terancam pembangunan,” kata pria yang sekarang menetap di Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau ini.

Pemerintah daerah, mesti memperhatikan Suku Darat Rempang dalam peraturan daerah (perda) khusus. “Di dalamnya ditulis agar lahan mereka tidak diganggu untuk kepentingan pembangunan,” kata Dedi.

Suku Darat,  adalah peradaban sejarah awal Kota Batam, kata Dedi, jangan sampai hilang begitu saja. “Kalau Suku Darat hilang, sejarahnya juga hilang, jangan sampai tinggal cerita.”

Selain karena pembangunan, Suku Darat juga terancam punah karena keturunan perempuan mereka sedikit. Dalam beberapa sumber, Suku Darat punah juga karena penyakit.

“Sebagian mereka tidak mau berobat ke rumah sakit Batam, karena sifat pemalu itu.”

Walikota saat ini, Muhammad Rudi juga tidak pernah berkunjung sama sekali. “Pada masa Ahmad Dahlan (bupati sebelumnya) ada.”

Yang paling perlu mendapatkan perhatian pemerintah, katanya,  adalah memberikan bantuan atau mata pencarian Suku Darat.

Bantuan yang pemerintah berikan pun, katanya, tak bersifat sementara, seperti beras atau sembako. Namun, katanya, bantuan jangka panjang untuk mata pencaharian Suku Darat seperti mengajarkan bercocok tanam yang baik, memberikan bibit tanaman berkualitas, hingga bantuan jangka panjang lain.

“Yang tragis ancaman kelaparan, banyak kasus terjadi di masyarakat adat seperti ini.”

Dedi juga mengusulkan pemerintah membuat Kampung Sadap sebagai kampung orang asli Batam. Dalam rancangan pengembangan Rempang Eco-City, setahu dia akan ada cagar budaya walau belum tahu seperti apa.

“[Mau ada cagar budaya], bagaimana ceritanya kalau Suku Darat mau digusur.”

 

 

*******

 

Potret Kehidupan Suku Darat di Pulau Rempang

Exit mobile version