Mongabay.co.id

Indeks Penanganan IUUF Indonesia Anjlok, Mengapa?

 

 

 

 

Wilayah laut Indonesia begitu luas dan menyimpan kekayaan melimpah. Studi oleh Puji Rahmadi, peneliti oceanografi BRIN menyebut, potensi sumber daya laut Indonesia mencapai lebih dari Rp1.700 triliun, meski dalam waktu yang sama menghadapi persoalan pelik, terutama dalam kaitan penangkapan ikan ilegal (illegal fishing).

Laporan IUUF Index oleh Global Initiative Against Transnasional Organizer Crime (Gitoc) yang rilis Desember 2023 bahkan menempatkan Indonesia sebagai negara keenam paling buruk dari 152 negara dalam menangani illegal unreported unrefulation fishing (IUUF). Indonesia kalah jauh dibanding negara tetangga seperti Filipina, Vietnam, apalagi Thailand.

Felicia Nugroho,  Manajer Riset Destructive Fishing Watch (DFW) mengatakan, ada empat  hal melatari laporan ini terbit.

  1. Tren produksi perikanan global relatif stabil di angka 90 miliar ton per tahun.
  2. Kontribusi pada tenaga kerja. Berdasar laporan ini, sampai 2020, 38 orang bekerja di sektor perikanan mulai hulu ke hilir, termasuk pemrosesan dan pemasaran.
  3. Tata kelola lemah hingga mengancam setok ketersediaan ikan, kerusakan lingkungan dan sosial. Juga munculkan risiko kriminal oleh kapal-kapal besar pencari ikan.
  4. Praktik illegal fishing. Bahkan, diperkirakan 19% ikan beredar di pasaran diperoleh secara ilegal dengan kerugian ditaksir US$10-23 miliar.

Dalam menyusun laporan, Global Initiative menilai 152 negara berdasarkan 40 indikator yang terangkum dalam empat parameter utama, yakni, coastal meliputi zona kawasan ekonomi eksklusif, flag, dan pendaftaran kapal berbendera. Lalu, port,pengelolaan pelabuhan dan general, terkait mitigasi dan penindakan terkait IUUF. “Jadi, penilaian berdasarkan empat indikator utama ini,” kata Felicia.

 

 

 

Peringkat Indonesia anjlok

Pada laporan terbaru itu, Indonesia menempati peringkat enam terburuk dari 152 negara dengan skor 2,89. Indonesia berada di bawah Tiongkok, Rusia, Yaman, India dan Iran.

“Laporan ini setidaknya bisa jadi basis kebijakan pemerintah dalam mencari solusi dan upaya dalam menangani IUUF,” katanya.

Laporan IUUF Indeks ini dibuat dua tahun sekali dan sudah berlangsung tiga kali. Dalam tiga kali laporan, Indonesia sempat menempati posisi lumayan, peringkat 15 pada 2019,dan naik peringkat 20 pada 2021.

Sayangnya, capaian itu melorot dalam 2023 menduduki peringkat enam paling bawah.

Indonesia kalah jauh dengan negara tetangga, seperti Thailand yang merangkak naik dari posisi 55 (2019) dan 49 (2021) jadi 105 pada 2023. Bahkan, Vietnam yang kapal-kapalnya kerap masuk ke Indonesia, punya peringkat lebih baik (17).

“Dari data ini bisa disimpulkan penanganan IUUF di Indonesian mengalami penurunan.”

Merujuk laporan itu, indikator yang dinilai kurang dalam memerangi IUUF ada pada coastal dan flag. Beberapa turunan indikator itu meliputi, kepemilikan sertifikat MSC dalam produk perikanan masih kurang, kepatuhan monitoring control surveillance (MCS).

Ada juga pengurangan jumlah kapal yang masuk dalam daftar IIUF, penanganan negara dalam insiden IUUF, kehadiran negara dalam MCS. Sedang secara general, katanya, kerentanan korupsi, GDP per kapita hanya 2%, volume tangkapan yang perlu diatur serta perlu ada keseimbangan perdagangan produk perikanan tangkap serta pasar impor global.

“Ini beberapa indikator yang membuat indeks IUUF risk Indonesia begitu lemah,” kata Felicia.

Hedi Sugrito, dari Dirjen Pengawasan Pengelolaan Sumber Daya Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan mengatakan, dokumen yang dibuat dua tahun sekali itu akan jadi salah satu bahan masukan dalam pengelolaan sumber daya perikanan di Indonesia.

Dia bilang, upaya pengawasan terbukti mampu menekan praktik illegal fishing oleh kapal-kapal asing. Data penanganan IUUF oleh PSDKP dalam tiga tahun terakhir, misal, kapal-kapal pencari ikan asing (KIA) cenderung turun.

Secara berurutan, katanya, pada 2020, KIA tertangkap 53 unit, 2021 (52),  2022 dan 2023 masing-masing 17 kapal.

Namun, katanya, peningkatan kasus illegal fishing justru banyak oleh kapal-kapal dalam negari (kapal ikan Indonesia). Pada 2020,  misal, KII tertangkap karena lakukan aktivitas IUUF ada 35, bertambah jadi 114 pada 2021.

Kendati sempat turun jadi 71 kapal pada 2022, katanya, namun, angka kembali melonjak tiga kali lipat pada 2023 jadi 252 kapal.

Dari ratusan kapal itu, sebanyak 16 KIA proses pidana, dan KII 10 kapal. “Sebanyak 68 kapal kena denda administratif dan 146 kapal surat peringatan, serta tujuh KII diserahkan penanganan ke provinsi,” kata Hedi. Dari keseluruhan proses itu, denda administratif mencapai Rp3,268 miliar.

 

 

Baca juga: Laut Natuna Utara Tetap jadi Favorit Lokasi Pencurian Ikan

Kapal asing Vietnam yang diamankan petugas karena mencuri ikan di perairan  Natuna. Foto : Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia

 

Dia katakan, ada beberapa modus biasa dipakai para pelaku illegal fishing. Untuk KIA,  misal, mereka biasa tidak mengibarkan bendera kebangsaan asal kapal dan menyembunyikan para anak buah kapal (ABK)  di bawah dek. Para pelaku ini biasa juga beroperasi di daerah perbatasan hingga memudahkan kabur ketika kepergok petugas.

“Dari alat tangkap, mereka makin beragam. Saat beroperasi juga berpencar dengan pola hide and  seek. Kalau tidak ada patroli, mereka masuk. Kalau ada, masuk ke perbatasan mereka. Kucing-kucingan dengan petugas.”

PSDKP, klaim Hedi,  terus patroli rutin menekan illegal fishing di perairan Indonesia.  Mereka juga lakukan pengawasan sejak sebelum kapal berangkat, seperti pemeriksaan dokumen kelengkapan hingga pendaratan.

Hedi mengatakan, ada beberapa sarana dan prasarana dalam mendukung pengawasan saat penangkapan di atas laut. Terdiri dari 34 kapal pengawas meliputi kelas I, II, III, IA dan V. Kemudian, dua pesawat patroli, serta 91 speedboad dan unit reaksi cepat.

“Kami juga ada satu Pusdal PSDKP yang sudah terkoneksi dengan command center KKP,” kata Hedi.

Dia berharap, upaya pengawasan itu bisa maksimal dengan dukungan 14 lokasi pangkalan PSDKP yang tersebar dari Aceh hingga Papua. Namun, katanya, dari 14 PSDKP itu, belum semua punya pangkalan dermaga untuk sandar kapal pengawas, seperti di  Batam dan Bitung.

KKP juga mulai mengembangkan platform digital untuk memonitor pergerakan kapal, seperti Integrated  Maritime Intlligent Platform (IMIP) brebasis kecerdasan buatan. Teknologi ini, katanya,  mampu memberikan notifikasi kepada pemilik kapal yang terindikasi melanggar melalui WhatsApp.

“Yang paling penting juga pengawasan IUUF memerlukan peran serta masyarakat, termasuk dari perguruan tinggi dan organisasi masyarakat sipil.  Bila mana terjadi pelanggaran segera melapor ke pejabat berwenang.”

Zulfikar Mukhtar,  Direktur Ocean Solutions Indonesia (OSI) mengatakan, kajian itu sebuah tamparan bagi pemerintah dan semua. “Ini akan membawa implikasi ke mana-mana. Seperti daya saing, pemasaran produk, negosiasi dan sebagainya. termasuik produk ekspor,” katanya.

Indeks itu, katanya, tentu tidak memperkuat posisi Indonesia di tingkat internasional.  Dia pun mengajak para pihak melihat secara kritis laporan itu.

Faktanya, ada beberapa hal berkaitan dengan pengelolaan laut dan pesisir yang tak tertangani. Sayangnya, beberapa hal itu tidak masuk dalam 40 indikator turunan dalam laporan indeks itu.

 

Baca juga : Siskamling Laut KKP: Kapal Asing Vietnam Ditangkap di Natuna Utara

Puluhan ABK kapal asing yang ditangkap petugas pada tahun 2022  di Kepri. Foto : Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia

 

Laporan ini sebenarnya alarm bahwa Indonesia banyak pekerjaan rumah. Meskipun  begitu, katanya, metodologi perlu ada penyesuaian karena banyak hal penting sudah dilakukan Indonesia, tetapi tak masuk sebagai indikator penilaian.

Zulfikar pun mendorong pemerintah aktif  berkomunikasi dengan para periset guna mendorong perbaikan metodologi yang lebih optimal.

“Kenapa, karena sepertinya orientasi riset ini hanya mengacu pada industri perikanan sekla besar dengan ada sertifikasi MSC sebagai parameter. Padahal, ada jutaan nelayan di sini. Sementara pengurusan sertifikat itu memakan waktu lama,” kata Zulfikar.

Indonesia, katanya, merupakan negara pertama yang bekerjasama dengan Global Fishing Watch (GFW) untuk mendukung transparansi data sektor perikanan. Indonesia,  juga menganalisis dan evaluasi (anev). Bahkan, sampai sekarang, kapal-kapal ilegal tak boleh masuk ke Indonesia.

Indonesia, katanya,  juga jadi negara Asia Pasific pertama yang mendorong penerapan e-logbook.

“Bagaimana penerapan  VMS (vessel monitoring system) sebagai bagian penataan dan pengelolaan perikanan, ternyata juga tidak dipotret dalam laporan itu.”

Yang tak dipahami para peneliti dalam laporan itu, katanya, adalah keberadaan nelayan Indonesia dengan mayoritas nelayan kecil.

Postur nelayan Indonesia, katanya,  berbeda dengna negara lain. Indonesia memiliki banyak kapal, katanya, tetapi sebagian besar merupakan ukuran kecil, di bawah 10-20 GT.

“Jadi, pemahaman nelayan kecil, postur kapal, sertifikasi MSC, ini perlu diklarifikasi. Bukan berarti posisi kita melawan IUUF sangat bagus, tetapi juga tidak sejelek itu menurut saya.”

 

 

******

Laut Natuna Utara Tetap Jadi Favorit Lokasi Pencurian Ikan

Exit mobile version