- Tahun 2019 menjadi momen dimulainya pengelolaan ekosistem laut besar Indonesia (ISLME) dengan inisiasi langsung oleh Badan Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO). Saat itu, program direncanakan berjalan lima tahun hingga berakhir pada 2023
- Tapi, hanya setahun berjalan, program ISLME terhadang pandemi COVID-19. Itu menjadi tantangan bagi Indonesia dan FAO untuk tetap meneruskan program agar bisa menghasilkan manfaat untuk sektor kelautan dan perikanan
- Setelah lima tahun berjalan, dan resmi diakhiri pada 16 Januari 2024, ISLME disepakati untuk berlanjut dengan Program Rencana Strategis (SAP), sebagai bentuk implementasi secara teknis. Kegiatan tersebut dilaksanakan tak hanya di Indonesia, tapi juga Timor Leste
- Kedua negara sudah terlibat sejak awal, karena sama-sama memiliki wilayah perairan pada ISLME. Tujuan akhir dari SAP, adalah bagaimana mewujudkan lingkungan laut lebih lestari, dengan sumber daya perikanan yang tetap terjaga
Proyek regional untuk manajemen keberlanjutan pada ekosistem laut besar Indonesia (ISLME) resmi berakhir pada 16 Januari 2024. Program yang diinisiasi Badan Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO) itu, sudah berjalan sejak 2019 atau selama hampir lima tahun.
Ada banyak manfaat yang dihasilkan dari kerja sama yang melibatkan Indonesia dengan Timor Leste tersebut. Semuanya bertujuan pada keberlanjutan ekosistem laut di kedua negara tersebut, dengan harapan bisa menjaga kelestarian seluruh sumber daya alam yang ada di dalamnya.
Selepas kerja sama tersebut, para pihak terkait memutuskan untuk melanjutkan kerja sama dengan sama-sama menerapkan hasil dari ISLME melalui Program Aksi Strategis (SAP). Kerja sama lanjutan itu juga berjalan selama lima tahun, dimulai dari 2024.
Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono mengatakan, dokumen SAP yang ditandatangani bersama akan fokus pada upaya bagaimana kedua negara mempertahankan kelestarian perikanan, memulihkan biodiversitas habitat laut, menekan polusi laut, melestarikan spesies yang terancam punah, terancam, dan dilindungi (ETP).
“Serta melestarikan berbagai spesies kelautan penting lain, dan juga penanganan berbagai dampak perubahan iklim,” ungkap dia pekan lalu di Jakarta.
Fokus tersebut menjadi bagian dari tantangan utama lingkungan hidup (PECs) yang harus bisa dipecahkan bersama oleh kedua negara. Kelimanya menjadi latar belakang penyusunan dokumen SAP.
Sebelum menyepakati penyusunan dan penerapan dokumen SAP, ketiga pihak terkait juga lebih dulu menyusun dokumen ilmiah Analisis Diagnostik Lintas Batas (TDA). Dokumen TDA sendiri menjadi penjabaran dari identifikasi permasalahan lingkungan dan lintas batas perairan.
“Dokumen itulah yang menjadi dasar penyusunan dokumen SAP ISLME antara Indonesia dengan Timor Leste,” tambahnya.
baca : Strategi Pengelolaan Berkelanjutan untuk Ekosistem Laut Besar di Indonesia
Ada pun, dokumen SAP menjadi penjabaran lebih teknis bagaimana memecahkan permasalahan lingkungan dan lintas batas perairan. Kemudian, dokumen SAP juga menjadi rencana aksi program yang selanjutnya diarahkan untuk mendukung kebijakan prioritas Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Baik dokumen TDA atau SAP sama-sama dikembangkan melalui proses yang ketat dengan partisipasi dari otoritas kelautan dan perikanan, serta panel pakar. Selain itu, ada juga para pakar anggota the National Scientific Advisory Groups (NSAG) dari kedua negara, dengan arahan dari ahli teknis senior sebagai panduan ISLME TDA-SAP.
Dokumen SAP sendiri menjabarkan rencana aksi bagi Indonesia dan Timor Leste, dengan 70 persen ada di Indonesia. Rinciannya, 63 rencana aksi di Indonesia dan 25 rencana ada di Timor Leste, serta 97 rencana aksi umum di kedua negara.
Sakti Wahyu Trenggono mengucapkan bahwa ISLME dengan SAP menjadi bentuk komitmen Pemerintah Indonesia untuk menjaga kelestarian sumber daya laut secara berkelanjutan. Ini juga sejalan dengan upaya KKP untuk mewujudkan ekonomi biru melalui penerapan penangkapan ikan terukur (PIT).
ISLME sendiri diketahui berjalan selama lima tahun dengan sumber dana berasal dari the Global Environment Facility (GEF) yang dikelola di bawah pengawasan FAO. Indonesia mendapatkan hibah dana dari GEF senilai USD2.788.320 atau setara Rp41,8 miliar.
“Hibah ini salah satu tujuannya untuk mendukung penangkapan ikan terukur,” tuturnya.
baca juga : Seperti Apa Ancaman Kerusakan Ekosistem Laut Besar di Indonesia?
Melalui ISLME, banyak kegiatan dilakukan oleh KKP dengan fokus untuk menjaga populasi perikanan tetap ada dalam kondisi yang baik, dan sekaligus mempertahankan ekologi di lingkungan laut bisa tetap terjaga baik.
Hibah tersebut juga diakui sudah memberi banyak manfaat kepada nelayan, pembudidaya, pelaku usaha perikanan tangkap, serta pemangku kepentingan lainnya yang terkait. Ada banyak kegiatan yang sudah dibiayai oleh hibah ISLME.
Koordinator Regional ISLME Project FAO Muralidharan Chavakat Manghat pada kesempatan yang sama menjabarkan bahwa rencana aksi akan dilaksanakan selama periode waktu lima tahun dengan biaya USD44 juta di Indonesia dan USD5 juta di Timor Leste.
Setiap rencana aksi yang ditetapkan, memiliki target yang jelas, dengan periode waktu dan objek pelaksana yang bertugas untuk memfasilitasi pelaksanaan kegiatan SAP. Pihak yang terlibat juga bertugas untuk memantau kemajuan, pengelolaan adaptif, dan mengatasi berbagai ancaman.
Setelah berhasil dipetakan, langkah berikut pada proses SAP adalah kerangka penerapan proyek (PIF) untuk penerapan SAP, mencari dukungan dari GEF untuk memperpanjang program kerja, dan mencari jaringan ke sumber finansial.
Sekretaris Negara untuk Perikanan Timor Leste Domingos da Conceicao dos Santos pada momen tersebut menyebut kalau ISLME SAP menjadi kegiatan terbaik bagi negaranya untuk mendorong subsektor perikanan dan budi daya, serta pengelolaan habitat laut secara berkelanjutan.
“SAP juga memberi banyak kesempatan untuk bekerjasama erat dengan Indonesia,” ucapnya.
Kepala Perwakilan FAO untuk Indonesia dan Timor Leste Rajendra Aryal mengatakan kalau ISLME menjadi sangat istimewa di antara 66 LME yang ada di seluruh dunia. ISLME diakuinya terkenal dengan keistimewaan aneka ragam hayati, perikanan, dan budi daya perikanan.
Selain itu, ISLME juga menjadi penghubung penting antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Peran tersebut membuat 185 juta orang sangat bergantung pada ekosistem ISLME, baik langsung atau pun tidak.
Fakta tersebut mendorong FAO untuk terus menjamin ISLME tetap ada dalam keberlanjutan, meski pun tantangan aktivitas manusia dan perubahan iklim semakin untuk dihindari. Dengan menjamin keberlanjutan, maka ISLME akan dimanfaatkan lebih jauh lagi oleh kedua negara.
baca juga : Tren Gaya Hidup Dunia dan Perikanan Berkelanjutan
Dia menyebut, ada banyak potensi yang bisa dimanfaatkan, seperti kekayaan sumber daya kelautan, perikanan, dan pesisir. Semua itu bisa dimanfaatkan untuk membangun kesejahteraan jangka panjang dan mendorong tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs).
Menurut dia, SAP juga menjadi penegas bahwa Indonesia dan Timor Leste sama-sama berkomitmen untuk terus melakukan penguatan pada kebijakan dan regulasi, dan kapasitas pemangku kepentingan dalam Pendekatan Ekosistem untuk Pengelolaan Perikanan dan Budidaya Perairan (EAFM-EAA).
Juga, berkomitmen untuk terus berinvestasi dalam ketersediaan dan aksesibilitas data yang dapat diandalkan, meningkatkan kepatuhan khususnya di kalangan perikanan skala kecil (SSF), melaksanakan pemberdayaan komunitas dan perempuan, dengan melibatkan mereka dalam berbagai aspek kegiatan SAP.
Komitmen IUUF
Rajendra Aryal juga menyebutkan, dokumen SAP yang ditandatangani kedua negara, semakin menegaskan bahwa komitmen terhadap kemitraan dan aksi yang nyata untuk terus memastikan pengelolaan berkelanjutan pada ekosistem penting selalu didukung.
Tentu saja, itu akan memberi dampak yang baik bagi kedua negara dan akan dirasakan oleh semua pihak, tanpa batasan. Dia menilai kalau kemitraan bilateral atau lebi juga sangat penting untuk meningkatkan pelaksanaan program di masa depan.
Satu hal lagi, dia menyebutkan bahwa ISLME SAP juga pada akhirnya akan berdampak sangat baik bagi Indonesia, karena bisa ikut mendorong pencegahan dan pemberantasan kegiatan penangkapan ikan secara ilegal, tidak dilaporkan, dan melanggar regulasi (IUUF).
Itu semua akan terasa manfaatnya, karena Indonesia pada 2025 nanti akan mulai menerapkan kebijakan PIT berbasis kuota. Dia meyakini akan ada sinergi dan akselerasi antara ISLME SAP dengan PIT berbasis kuota.
“Penandatangan dokumen SAP sebagai langkah nyata dalam mewujudkan pemanfaatan sumber daya laut berkelanjutan,” ungkapnya.
Sebelumnya, Rajendra Aryal mengatakan bahwa kegiatan ISLME SAP juga mendorong berjalannya prinsip ekonomi biru melalui pengelolaan yang berkelanjutan. Mencakup di dalamnya, adalah pangan biru yang berperan penting dalam mengawal ketahanan pangan, mengakhiri kekurangan gizi, dan membangun sistem pangan yang sehat, positif, alami, dan tangguh.
Pangan biru yang dimaksud, tidak lain adalah pangan yang dihasilkan dari laut, danau, dan sungai. Untuk bisa menghasilkan pangan biru, setidaknya ada 3.000 spesies hewan dan tumbuhan air yang ditangkap atau dibudidayakan.
Proses produksi untuk menghasilkan pangan biru itu dilakukan melalui beragam sistem yang tersedia dan dilaksanakan dari hulu ke hilir. Mereka yang berperan besar, bisa berasal dari kapal pukat yang menangkap ikan di laut, tambak ikan yang menjadi tempat budi daya ikan laut dan payau, atau pembudidaya ikan air tawar yang melaksanakan budi daya ikan dari sungai atau danau.
baca juga : Catatan Akhir Tahun: Mengukur Kesiapan Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur
Menurut Rajendra Aryal, pangan biru sudah menjadi landasan bagi sistem pangan global yang ada di seluruh dunia, menyediakan sumber nutrisi penting bagi lebih dari tiga miliar orang di seluruh dunia, dan menjadi mata pencaharian bagi ratusan juta orang.
Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Perikanan Tangkap, sekaligus Direktur Jenderal Perikanan Budi daya KKP Tb Haeru Rahayu memaparkan bahwa kegiatan ISLME sangat mendukung kebijakan PIT. Utamanya, wilayah perairan pada zona 03, 04, dan 06.
Zona 3 meliputi Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) 715 (perairan Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram, dan Teluk Berau); WPPNRI 718 (perairan Laut Aru, Laut Arafuru, dan Laut Timor bagian Timur), dan WPPNRI 714 (perairan Teluk Tolo dan Laut Banda).
Zona 04 mencakup WPPNRI 572 (perairan Samudera Hindia sebelah Barat Sumatera dan Selat Sunda); WPPNRI 573 (perairan Samudera Hindia sebelah selatan Jawa hingga sebelah selatan Nusa Tenggara, Laut Sawu, dan Laut Timor bagian Barat), dan Laut Lepas (Samudera Hindia).
Serta zona 06 yang meliputi WPPNRI 712 (perairan Laut Jawa); dan WPPNRI 713 (perairan Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores, dan Laut Bali).
Pada tiga zona PIT tersebut, kegiatan ISLME mendukung pendaftaran tanda daftar kapal perikanan (TDKP); pemasangan vessel multi aid (VMA); sosialiasi kuota PIT; pelatihan peningkatan pendataan, kelembagaan usaha perikanan, penanganan sampah laut, operasional VMA, dan aktivasi e-Logbook;
Kemudian, pelatihan IUUF, ecosystem approach to fisheries management (EAFM), ecosystem approach to aquaculture (EAA), dan asisten kesyahbandaran; penetapan 2 Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan, serta 1 Surat Keputusan Direktur Jenderal Perikanan Tangkap untuk pengelolaan rajungan dan kakap kerapu;
Spesialis Komunikasi FAO untuk FAO-ISLME untuk Stasiun Pembelajaran Maria Hulupi pada kesempatan sebelumnya mengatakan kalau dalam menjalankan proyek ISLME, FAO fokus pada pengelolaan sumber daya perikanan dan kelautan, dengan pembagian 98 persen untuk Indonesia dan dua persen untuk Timor Leste.
Detailnya, wilayah ISLME mencakup kawasan inti seluas 2,3 juta kilometer persegi (km2) biogeografi samudra Indo Pasifik bagian barat yang diketahui sebagai kawasan perairan laut dengan spesies laut terkaya di dunia. Sedikitnya ada 500 jenis terumbu karang, 2500 jenis ikan laut, 47 jenis mangrove, dan 13 jenis lamun.
baca juga : Koral: Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur Memperburuk Kehidupan Nelayan
Maria Hulupi menerangkan, di Indonesia ISLME bekerja untuk membantu perikanan unggulan pada pendekatan ekosistem dan manajemen perikanan (EAFM), dan strategi panen. Utamanya, komoditas seperti lobster, kepiting, bakau, rajungan, kakap, kerapu, lemuru, rumput laut, dan teripang.
Komoditas yang disebutkan di atas, diyakini menjadi produk yang menawarkan potensi ekonomi jangka panjang untuk mendukung pembangunan ekonomi secara nasional. Semua itu ada di perairan Indonesia dan Timor Leste.
Proyek ISLME sendiri didanai oleh GEF dan dikelola oleh FAO. GEF sendiri sudah berdiri sejak 1992 di Rio de Janeiro, Brazil dan didirikan dengan tujuan untuk mengatasi masalah lingkungan yang ada di dunia. Terhitung sudah lebih dari USD21,1 miliar disebarkan ke seluruh dunia dalam bentuk hibah.
Sebelumnya, Direktur Perizinan dan Kenelayanan KKP Ukon Ahmad Furqon memaparkan, kebijakan PIT membagi area penangkapan kepada tiga, yaitu tangkapan industri, nelayan lokal, dan spawning and nursery ground.
Ada pun, PIT memberlakukan batasan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) yang bisa dimanfaatkan adalah sebanyak 9.452.072 ton per tahun, dengan nilai total produksi total se-Indonesia mencapai Rp229,3 triliun.
Di antara lokasi penerapan PIT yang dinilai rawan dari berbagai kegiatan melanggar hukum, adalah di WPPNRI 718 yang masuk ke dalam Zona 03. Lokasi tersebut memerlukan sinergi yang kuat dengan aparat penegak hukum di wilayah sekitar, yaitu Provinsi Papua Selatan.