Mongabay.co.id

Konflik Agraria Tinggi, 5 Rekomendasi KPA pada Presiden Baru

 

 

 

 

 

 

Konflik agraria  tak kunjung reda bahkan makin ‘panas’. Bahkan, dalam sembilan tahun Presiden Joko Widodo berkuasa, angka konflik agraria makin meningkat dibandingkan masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Reforma agraria,  yang selayaknya bisa jadi jalan penyelesaikan konflik. pun,  dalam pelaksanaan malah salah kaprah.

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat,  konflik agraria  terus terjadi, bahkan alami peningkatan diikuti kriminalisasi dan tindakan kekerasan.

Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria mengatakan, sepanjang 2023, KPA mencatat ada ada konflik agraria sebanyak 241 kejadian. Jumlah ini, katanya, naik signifikan ketimbang tahun sebelumnya. Sepanjang 2022, terjadi sekitar 212 konflik.

“Ada 135.000 keluarga terdampak dari kejadian-kejadian konflik agraria sepanjang 2023. Ada 346 desa atau kampung, beberapa kota yang terdampak situasi konflik agraria,” kata Dewi, dalam laporan KPA soal konflik agraria 2023.

Sektor perkebunan dan agribisnis paling banyak menyumbang konflik agraria tahun lalu. Dari catatan KPA, sektor ini selama 10 tahun terakhir selalu jadi penyumbang konflik agraria tertinggi.

Sektor-sektor lain menyusul perkebunan antara lain properti, pertambangan, proyek infrastruktur, kehutanan, pembangunan di pesisir dan pulau-pulau kecil serta pembangunan fasilitas militer.

Tidak ada perubahan urutan yang signifikan selama beberapa tahun terakhir.

“Artinya, ada pe er (pekerjaan rumah) sangat fundamental untuk memperbaiki sistem perkebunan di Indonesia, termasuk mengalokasikan tanah yang masih berpihak pada korporasi skala besar,” katanya.

Kalau ditelaah lebih lanjut, perkebunan sawit menjadi pendorong nomor satu konflik agraria di sektor perkebunan dan agribisnis. Sepanjang 2022, terjadi 108 konflik melibatkan 124.000 hektar lahan,  terdampak pada 37.000 keluarga.

Dari 108 konflik itu, 88 melibatkan bisnis perkebunan swasta,  sisanya, 20 badan usaha milik negara (BUMN), yaitu, PT Perkebunan Nusantara.

“Banyak kejadian karena izin-izin lokasi tidak boleh lagi, sekarang, kan, harus pakai HGU, tapi masih banyak konsesi yang hanya mengantongi izin lokasi itu dibiarkan,” kata Dewi.

Dia menyebut,  konflik agraria berujung pada kekerasan terjadi karena pemerintah dan aparat terus menjalankan penanganan seperti biasa. Bahkan, sepanjang 2023, ada 508 korban kriminalisasi yang ditangkap karena memperjuangkan hak atas tanah dan wilayah adat mereka.

Dewi bilang, warga yang jadi korban kriminalisasi ada 490 laki-laki dan 18 perempuan.

Dari angka itu, 91 orang mengalami penganiayaan bahkan ada korban penembakan, dengan 79 laki-laki dan 12 lain perempuan. Catatan KPA, konflik agraria sepanjang 2023, tiga korban tewas.

“Ada enam korban penembakan atau tertembak. Ini menunjukkan pemerintah tidak mengedepankan proses-proses dialogis yang konstruktif dan inklusif. Malah makin represif,” kata Dewi.

Dari penelisikan KPA, katanya, konflik agraria di era pemerintahan Presiden Joko Widodo justru lebih tinggi ketimbang era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono  (SBY). Total letusan konflik era SBY ada 1.520 kasus, sedang era Jokowi hampir dua kali lipatnya, 2.939 konflik.

Di era SBY, katanya,  konflik dengan luasan 5.711.396 hektar, dan masa Jokowi, 6.309.261 hektar. Sedang keluarga terdampak masa  SBY 977.103 dan Jokowi ada 1.759.308 orang.

“Kenapa laju eskalasi konflik itu makin meningkat dalam satu dekade terakhir? Tentu karena orientasi pembangunan makin cenderung pro pasar, pro investasi, pro kapital atau pemilik modal,” kata Dewi.

 

Baca juga: Ketika Konflik Lahan Terus Meluas, Reforma Agraria Gagal?

Plang PSN di Pulau Tanjung Sauh, Kota Batam, Kepulauan Riau. Foto: Yogi Eka Sahputra/ Mongabay Indonesia

 

Kepri 10 besar tertinggi

Laporan tahunan KPA 2023 merilis data 10 provinsi pencetak konflik agraria tertinggi di Indonesia, Kepulauan Riau,  salah satunya,. Kepri berada di peringkat kesembilan dengan konflik di 10 titik, seluas 16.674 hektar dan 10 desa terdampak dengan korban 9.750 keluarga.

Boy Jerry Even Sembiring, Direktur Eksekutif Walhi  Riau, mengatakan, laporan KPA sesuai kondisi lapangan.

Satu lokasi yang membuat Kepri masuk dalam 10 peringkat paling tinggi konflik agraria adalah proyek strategis nasional (PSN) Rempang Eco-city.

Walhi Riau, katanya, juga konsen mengadvokasi warga terdampak dalam konflik PSN Rempang ini. Tak hanya di Rempang, konflik agraria juga terjadi di Desa Limbung, Lingga.

“Warga tengah berkonflik dengan perusahaan perkebunan sawit PT Citra Sugi Aditya,” katanya.

Begitu juga di Kabupaten Bintan, ada kawasan ekonomi khusus (KEK) yang menghapus kawasan konservasi perairan tepatnya di Pulau Poto. Ada juga penambangan timah di Pulau Tulang, perairan Karimun. Ada penolakan masyarakat di sana. Konflik juga terjadi di Pulau Kojong, Lingga.

Potensi letusan konflik agraria maupun sumber daya alam di KepulauanKepri makin besar dengan rencana pengaktivan kembali pertambangan pasir laut.

“Potensi kerusakan lingkungan dan konflik di kepri akan makin masif dengan pengembangan pariwisata dengan pendekatan privatisasi.”

Situasi konflik di Kepri juga diperburuk proses penegakan hukum represif kepada masyarakat dan sangat protektif kepada investasi.

Dia menilai,  selain darurat konflik agraria dan sumber daya alam, Kepri juga darurat demokrasi. Hal itu bisa terlihat dari kasus hilangnya papan bunga saat warga menuntut keadilan di Pengadilan Negeri Batam.

“Kebebasan penyampaian pendapat dipasung dengan pendekatan represif dan pembatasan ruang mengekspresikan diri.”

Andi Wijaya, Tim Solidaritas Nasional untuk Rempang juga Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)-LBH Pekanbaru, mengatakan, pemerintah seharusnya evaluasi kerja-kerja mereka selama ini.  Untuk kasus Rempang, misal, bukan malah makin mempercepat pembangunan dengan menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) 78/2023.

“Bukannya menyelesaikan konflik, malah menerbitkan perpres yang mempercepat perampasan masyarakat Rempang, ini harus dievaluasi.”

Eko Cahyono,  Sosiolog Desa dari IPB University meminta,  pemerintah pusat maupun daerah evaluasi kebijakan yang menyebabkan konflik agraria makin besar. Untuk di Kepri, katanya, salah satu kasus Rempang.

“Karena label PSN, jadi legitimasi mujarab untuk kepentingan oligarki negara, melakukan perampasan ruang hidup rakyat,” katanya.

Pemerintah daerah, katanya, juga harus bercermin yang jadi penyebab konflik. “Jangan-jangan pemda juga bagian yang menyebabkan eskalasi konflik itu, tidak hanya kebijakan nasional.”

 

Dokumen: Laporan tahunan KPA

Spanduk protes penolakan pembangunan perumahan rumah contoh untuk warga relokasi yang terdampak proyek Rempang Eco-City di Batam. Foto: Yogi Eka Sahputra/ Mongabay Indonesia

 

Rekomendasi reforma agraria sejati

Memasuki masa pemilu presiden dan wakil presiden, KPA pun khusus membuat lima rekomendasi untuk pemerintah terpilih supaya reforma agraria sejati bisa berjalan.

 

  1. Meluruskan paradigma, konsep, kebijakan dan praktik menyimpang reforma agrarian yang selama ini dinilai sudah berjalan. Terutama, dengan melepaskan konsep ekonomi liberal menjadi land reform yang disempurnakan. “Capaian akhir dari reforma agraria adalah untuk transformasi sosial di pedesaan dan perkotaan yang berkeadilan sosial-ekologis dan mensejahterakan,” kata Dewi.
  2. Pelaksanaan reforma agrarian harus dipimpin langsung oleh presiden melalui badan otoritatif yang disebut Badan Otorita Reforma Agraria (Bora). Reforma agraria tersendat selama satu dekade terakhir karena pelaksanaan dipimpin pejabat setingkat kementerian coordinator yang tak mampu mengatasi ego sektoral antara kementerian dan l
  3. Mendorong dan mengesahkan UU Reforma Agraria sebagai usaha sitemik dan nasional untuk meluruskan reforma agraria yang menyimpang oleh pemerintahan saat ini.
  4. Melakukan reformasi sistem administrasi tanah dan sumber daya alam untuk mempercepat dan mengembangkan pengakuan negara atas keragaman bentuk penguasaan kekayaan agraria-sumber daya alam di darat, pesisir dan pulau-pulau kecil.
  5. Perlu ada penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM bagi petani, masyarakat adat, nelayan dan perempuan yang sedang memperjuangkan hak atas tanah dan wilayah hidupnya.

“Krisis agraria selama sembilan tahun terakhir jadi bukti pemerintah sebenarnya tidak memiliki visi genuine tentang reforma agraria,” kata Dewi.

 

Pasangan calon presiden dan calon wakil presiden pada Pemilu 2024. Foto : NU Online/ Aceng Darta

 

Isu agraria dalam debat pemilu?

Mengenai persoalan agrarian dalam debat pemilu dinilai tak mengupas akar persoalan. Dewi bilang, dalam debat soal isu agraria, masyarakat adat dan desa menunjukkan pemahaman menyimpang dan tak sesuai konstitusi agraria.

Tawaran yang dipaparkan para calon tidak berbasis pada realitas selama sembilan tahun terakhir.

“Harusnya visi-misi yang dirumuskan berbasis pada apa yang sudah terjadi sembilan tahun ke belakangan. Bisa jadi termasuk dua dekade terakhir, bagaimana reforma agraria ini dijanjikan presiden sekarang dan yang sebelumnya,” katanya, dalam temu media baru-baru ini.

Yang jadi harapan, katanya, ada perbaikan fundamental untuk bisa memperbaiki model pembangunan ke depan yang berbasiskan agraria dan sumber daya alam.

KPA memberi beberapa catatan berdasarkan pada pernyataan, perspektif dan data saat debat. Menurut Dewi, tafsir, atau konsep cawapres masih sangat beragam dan ada yang bersifat kontroversial.

 

Salah tafsir reforma agraria

Poin pertama konsep kontroversi, katanya, terkait salah tafsir reforma agraria (RA) sebagai sertifikasi tanah (legalisasi aset). “Dalam pandangan kami tentu ini tafsir yang salah terhadap agenda reforma agrarian secara historis, filosofis, biologis, dan sosiologis. Pemahaman ini sesat,” kata Dewi.

Pembiaran pemahaman keliru ini, katanya  sangat berbahaya bagi jutaan orang di desa, dari petani kecil, buruh tani dan penggarap lahan maupun masyarakat adat.

Penyelesaian masalah agraria, kata Dewi, bukan hanya terkait legal atau ilegal. Lebih dari itu, persoalan agraria struktural harus bisa menyelesaikan masalah ketidakadilan sosial.

Dewi melihat,  Cawapres Gibran sebagai sosok paling kontroversial karena membangga-banggakan pendaftaran tanah sertifikasi lengkap (PTSL) sebagai satu indikator keberhasilan reforma agraria era Jokowi.

Hal ini, katanya,  mengerdilkan reforma agraria di Indonesia, karena sertifikasi tanah merupakan layanan rutin pemerintah. PTSL, juga dia nilai program pro kapital hingga arah dan mekanisme kerja bersifat diskriminatif pada wilayah yang mengalami ketimpangan, seperti di konflik agraria wilayah adat dan desa miskin.

“Bukan kami anti atau menolak program sertifikasi tanah. Problemnya, program ini terus diklaim sebagai pelaksanaan reforma agraria.”

 

Data konflik agraria era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, bersanding dengan masa Presiden Joko Widodo. Sumber: dari KPA

 

Proyek food estate

Proyek pengembangan pangan skala besar (food estate) dinilai liberal dan kapitalistik. Program ini, sejatinya melanggar konstitusi agraria, hingga tidak layak lanjut.

“Problem utamanya bukan gagal atau berhasilnya program ini, tetapi ada masalah fundamental dalam sistem pertanian pangan ala food estate.”

Mega proyek lumbung pangan yang digadang sebagai solusi pertanian pangan ini disebut Dewi sebagai solusi palsu dari ekonomi politik agraria yang makin liberal dan kapitalistik. Pasalnya, negara mempercayakan ketahanan pangan nasional pada perusahaan pangan.

Hal ini, katanya, jadi masalah tersendiri karena tindakan pro pemodal dan hanya bisa oleh perusahaan pangan dan pemodal. Seharusnya, kedaulatan pangan nasional serahkan pada 17,24 juta rumah tangga petani gurem, buruh tani, penggarap, peternak, peladang, nelayan dan petambak rakyat.

“Sungguh tersia-siakan potensi besar produsen pangan kita yang mayoritas di pedesaan.”

 

Bahaya bank tanah

Poin ketiga sorotan KPA adalah Badan Bank Tanah yang disebut oleh Cawapres Gibran sebagai satu alat untuk reforma agraria.

Menurut KPA, bank tanah merupakan mesin konsolidasi tanah bagi para pengusaha, konglomerat dan badan usaha skala besar.

“Menggunakan bank tanah hasil UU Cipta Kerja sebagai jalan penyelesaian konflik agraria menandakan sesat agraria sejak dalam pikiran,” kata Dewi.

Dewi menyebut,  pernyataan dan ide dari para pendukung bank tanah adalah karena kesulitan para investor mendapatkan tanah untuk berbisnis.

Dengan demikian, arah kebijakan, tujuan dan cara kerja badan baru ini berbeda, bahkan bertentangan dengan reforma agraria.

“Sekali lagi, reforma agaria bertujuan memenui aspirasi keadilan sosial rakyat atas tanah, penyelesaian konflik, sekaligus merombak kepentingan penguasaan tanah.”

Sedangkan operasionalisasi bank tanah, katanya, justru menambah konflik agraria dan menghambat pelaksanaan reforma agraria.

Dia sebutkan dari konflik terbaru di Desa Batu Lawang, Cianjur, Jawa Barat. Lahan eks HGU PT Maskapai Perkebunan Moelia (MPM) sebenarnya masuk dalam Lokasi Prioritas Reforma Agraria.

Namun, katanya,  secara sepihak dan tanpa sosialisasi dengan petani, lahan itu kena patok Badan Bank Tanah yang bekerjasama dengan MPM dan Kantor Pertanahan Cianjur.

 

Baca juga: Konflik Agraria Berlarut, Lebih 20 Ribuan Orang Desak Bebaskan Petani Pakel Banyuwangi

Petani Pakel di Banyuwangi, yang kena hukum masing-masing 5,5 tahun. Mereka ini adalah warga yang berupaya mempertahankan lahan tempat mereka hidup puluhan tahun. Sumber: Tekad Garuda

 

 

*******

 

Ketika Konflik Lahan Terus Meluas, Reforma Agraria Gagal?

 

Exit mobile version