Mongabay.co.id

Spesies Burung Hantu Ini Jadi Pahlawan Petani

Serak Jawa. Foto: Asep Ayat

 

 

Hampir di banyak tempat di Indonesia, setiap masyarakatnya memiliki mitologi tersendiri mengenai burung hantu. Burung ini memiliki kemampuan terbang di malam hari tanpa mengeluarkan suara.

Secara global, menurut Owl Research Institute, terdapat sekitar 250 jenis burung hantu yang tersebar di seluruh benua, kecuali di Antartika yang dipenuhi lapisan es. Burung hantu juga dikenal sebagai hewan nokturnal atau yang sering beraktivitas malam hari. Meski ada juga beberapa spesies yang aktif siang hari atau diurnal.

Burung hantu termasuk dalam kelompok Strigiformes yang terbagi dalam dua famili, yakni Tytonidae dan Strigidae. Perbedaan khas dari Tytonidae adalah memiliki wajah berbentuk hati sementara Strigidae berwajah bulat. Secara umum, mereka dikenal sebagai hewan karnivora atau pemakan daging seperti katak, ular, tupai, kelinci, tikus, kelompok burung, dan sebagainya.

Di Indonesia, setidaknya terdapat 54 jenis burung hantu, yang di antaranya merupakan endemik pulau-pulau tertentu, misalkan Celepuk Siau [Otus siaoensis] yang saat ini merupakan salah satu jenis burung paling langka di Indonesia. Sementara Celepuk Flores [Otus alfredi], Serak Taliabu [Tyto nigrobrunnea], dan Celepuk Biak [Otus beccarii] berstatus Endangered [Genting] berdasarkan status IUCN Redlist.

Baca: Burung Hantu yang Tidak Perlu Kita Takuti

 

Burung hantu Tyto alba yang dikenal dengan nama Serak Jawa ini sangat penting bagi petani untuk mengamankan padi dari serangan hama tikus. Foto: Asep Ayat

 

Burung hantu pahlawan petani

Salah satu jenis burung hantu yang telah banyak dimanfaatkan membantu petani adalah jenis Tyto alba, yang dideskripsikan pertama kali oleh Giovani Scopoli pada 1769.

Nama “alba” merujuk pada warna dominan burung hantu ini yakni putih. Dalam Bahasa Inggris burung ini disebut Common Barnowl atau di Indonesia lebih dikenal dengan nama Serak Jawa. Dalam daftar merah IUCN, burung hantu jenis ini memiliki status Risiko Rendah.

Burung hantu ini jika dimaksimalkan dengan baik, tidak hanya menjadi sahabat, namun juga bisa menjadi pahlawan petani dalam hal mengusir populasi tikus yang telah menjadi hama dan ancaman gagal panen. Di berbagai daerah di Indonesia, jasa Tyto alba telah dipakai sebagai penjaga sawah dari serangan hama tikus dan juga serangga yang sangat masif.

Kementerian Pertanian, bahkan telah menjadikan burung hantu sebagai salah satu andalan dalam membasmi serangan tikus karena merupakan predator alaminya, dibandingkan penggunaan bahan kimia. Pemanfaatan burung hantu dianggap sangat efektif dan ramah lingkungan.

Gandi Purnama, Ketua Kelompok Substansi Pengendalian OPT [Organisme Pengganggu Tanaman] Serealia, Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan, menjelaskan bahwa hama tikus merupakan satu dari 6 OPT utama tanaman padi, dengan luasan serangan terbesar kedua yang mencapai 52 ribu hektar pada 2023. Ini menyebabkan luas puso tertinggi, dibandingkan hama lain yang mencapai seribu hektar.

Disebutkannya, melihat tren hama tikus pada 2023, serangan awal dan pertengahan tahun terjadi merata hampir di seluruh daerah Indonesia. Ini menandakan bahwa tikus sangat merugikan bagi petani. Serangan hama tikus terbesar di Indonesia adalah Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Jawa Tengah, dan Sumatera Barat.

“Untuk mengendalikan hama tikus secara biologi atau hayati yang memanfaatkan musuh alami burung hantu, Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan memiliki program bantuan rumah burung hantu dan kandang karantina. Tahun 2023 dialokasikan 300 unit rumah burung hantu dengan evaluasi sekitar 78% mampu menurunkan serangan hama tikus,” kata Gandi dalam webinar bertajuk “Burung Hantu Solusi Atasi Hama Tikus di Lahan Petani” Senin [15/01/2024].

Baca: Manguni, Burung Hantu yang Dihormati Masyarakat Minahasa

 

Pungguk wengi [Ninox rudolfi] merupakan endemik Pulau Sumba. Foto: Muhammad Soleh/Sumba Wildlife

 

Pembicara lain, Sudirman, petani dari Kelompok Tani Sri Mulyo, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, menceritakan keberhasilan mereka dalam pemanfaatan burung hantu Tyto alba untuk mengendalikan serangan hama tikus di wilayahnya. Sebelumnya, untuk mengamankan sawah mereka, berbagai cara dilakukan, mulai dari pemasangan pagar mulsa, bahkan pagar setrum. Namun, sangat fatal akibatnya, sehingga sangat tidak efektif serta ada petani yang jadi korban.

“Adanya Tyto alba, mampu mengurangi biaya pemagaran plastik mulsa per hektar sebesar Rp1 juta. Kelompok tani Sri Mulyo memiliki 44 hektar sawah, jadi bisa menekan biaya serta mengamankan produksi dari serangan hama tikus,” jelasnya.

Baca juga: Peneliti Ungkap Evolusi Burung Hantu Menjadi Nokturnal

 

Celepuk Rinjani, burung hantu terkecil yang endemik kawasan Gunung Rinjani, Lombok. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Peran penting burung hantu

Pramana Yuda, akademisi dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta, dalam webinar yang sama menjelaskan bahwa secara ekologi burung hantu memiliki peran sebagai predator dan pengendali populasi hama tikus. Lokasi bersarangnya, umumnya pada lubang pohon sampai ketinggian 20 meter, bangunan tua, gua dan ceruk sumur.

“Burung hantu dewasa mampu memangsa 2-3 ekor tikus per malam,” ujarnya.

Dikutip dari owlpages, Tyto alba memiliki panjang tubuh 29-44 cm, panjang sayap 235-323 mm, panjang ekor 110-125 mm, dan berat 250-480 gram. Biasanya, betina lebih berat ketimbang jantan. Wajahnya berwarna putih dengan tepian cokelat serta berbentuk jantung dan tubuh bagian bawah juga didominasi warna putih.

Meski secara umum aktif malam hari, tidak jarang spesies ini muncul saat senja atau fajar, dan kadang-kadang terlihat terbang siang hari. Untuk habitat, Serak Jawa dapat ditemukan di hampir semua wilayah, namun lebih banyak di hutan terbuka dan padang rumput dibanding daerah berhutan.

 

Inspirasi Burung Hantu pada Teknologi Peredam Suara

 

Exit mobile version