Mongabay.co.id

Potret Para Perempuan Pejuang Agraria

 

 

 

 

 

 

“Sampai kapan pun akan dilawan. Kalau tak ada tanah, kami mau hidup pakai apa?” kata Nyai Jusmawati, pejuang agraria dari  Desa Lubuk Mandarsah, Kabupaten Tebo, Jambi.

Lahan tempat Jusma hidup dan bercocok tanam turun menurun pemerintah berikan izin ‘hak kelola’ kepada perusahaan kayu. Konflik agraria pun terjadi antara masyarakat dan perusahaan di Tebo ini.

Konflik agraria terjadi di berbagai penjuru negeri.  Kesenjangan kuasa lahan antara  negara, pebisnis dan untuk rakyat begitu jomplang.  Ruang-ruang hidup rakyat terancam  untuk alasan ‘pembangunan’, pemberian izin-izin jutaan hektar pada skala besar.

Data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), konflik agraria di era pemerintahan Presiden Joko Widodo lebih tinggi ketimbang era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pada masa SBY ada 1.520 konflik, di era Jokowi periode 2015-2023 hampir dua kali lipatnya, 2.939 kasus.

Pada era SBY,  konflik seluas 5.711.396 hektar, pada era Jokowi melibatkan 6.309.261 hektar dengan keluarga terdampak dari 977.103 jadi 1.759.308 orang.

Data  Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 2017 juga memperlihatkan ketimpangan kuasa lahan antara skala besar dan masyarakat.

Di lahan-lahan konflik agraria ini, para perempuan alami dampak multidimensi.  Kala ruang hidup tak ada, dari ruang-ruang produksi pangan, ritual atau budaya sampai kesehatan terganggu.  Belum lagi, urusan seperti air tercemar atau akses air sulit jadi ancaman tersendiri bagi perempuan, misal,  ketika mereka menstruasi atau usai melahirkan.

Di tengah terpaan multi persoalan, alih-alih terbenam dalam kesedihan, para perempuanlah yang bangkit berjuang di depan. Di berbagai daerah, sosok-sosok pejuang agraria perempuan bermunculan.  Di dalam tulisan ini akan menampilkan lima wilayah yang mengalami konflik agraria dan para perempuan paling keras bergerak, dan berjuang untuk merebut ruang hidup atau mempertahankannya.

 

Wati, perempuan pejuang agraria yang tergabung dalam Serikat Petani Pasundan. Foto: Della Syahni/ Mongabay Indonesia

 

  1. Daulat Serikat Petani Pasundan

Para petani di Indonesia, banyak tak berlahan. Mereka hanya menggarap lahan atau sekadar buruh tani. Sementara di bagian lain, skala besar menguasai lahan ribuan sampai jutaan hektar. Kondisi ini termasuk di Pulau Jawa. Kawasan hutan di Jawa, mayoritas dalam kuasa Perum Perhutani, sebagian kecil dalam kelola pemodal lain.

Kala  Orde Baru runtuh, Presiden Soeharto lengser setelah berkuasa lebih kurang 32 tahun, para petani  menggarap lahan-lahan yang sebelumnya dikuasai perusahaan skala besar ini. Begitu juga di Banjaranyar, Ciamis, Jawa Barat, seperti yang Wati dan Oman, dua pejuang agraria ini tinggali.

Tanah di Banjaranyar awalnya adalah erfpacht verponding, bekas penguasaan Belanda. Pada 1945,  Tentara Rakyat Indonesia (TRI) membakar lahan kemudian pemerintah berikan hak guna usaha (HGU) seluas 708,5 hektar kepada pengusaha yang mereka kenal dengan nama panggilan Hutabarat sampai 1950.

Warga yang sejak lama membangun pemukiman di sana tak pernah tahu siapa yang menguasai tanah di Banjaranyar. Mereka mendengar HGU pindah tangan dari perusahaan ke perusahaan lain.

Kala warga berupaya menggarap lahan, aparat bergerak. Para lelaki mereka cari. Ketika itu, para suami banyak bersembunyi, parempuan yang berhadapan dengan aparat, seperti yang Wati lakukan.

“Gagah mah perempuan. Perempuan tidak akan berhenti berjuang. Generasi yang kuat lahir dari rahim perempuan yang kuat,” kata Oman.

Tak hanya di Banjaranyar, di desa-desa lain juga seperti Cisompet, Cilawu, Cieceng, sampai Cigugur, petani penggarap berhadapan dengan polisi atau preman sewaan perusahaan.

Singkat cerita, Serikat Petani Pasundan (SPP) terbentuk di Ciamis pada 24 Januari 2000. Sejak awal SPP menempatkan perempuan dengan hak dan tanggungjawab sama dengan laki-laki.

Perempuan ambil bagian dalam musyawarah baik dalam keluarga, kampung maupun dalam organisasi. SPP mendorong perempuan menentukan mulai dari tanaman apa yang akan ditanam di tanah garapannya, bagaimana pengelolaan hingga ikut mengurus organisasi dan ikut andil dalam penyelesaian sengketa agraria di desanya.

Sejak awal, Wati ikut terlibat dalam berbagai pertemuan gerakan petani di Banjaranyar. Desa-desa lain pun  kerap meminta bantuan Wati untuk menguatkan para perempuan baik ketika para suami bersembunyi maupun ketika menguatkan gerakan perjuangan mendapatkan lahan.

Melihat banyak perempuan perlu dukungan dalam perjuangan mempertahankan lahan garapan, SPP juga membentuk Institut Kepemimpinan Rakyat (IKR) dan Akademi Reforma Agraria Sejati (ARAS) Perempuan.

Lewat IKR dan ARAS Perempuan Wati belajar hal-hal dasar mengenai hak perempuan, kesetaraan gender, dan kebijakan-kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan petani.

“Dulu,  tidak ada nama perempuan. Di SPP harus ada nama perempuan,” katanya.

Wati mengajak perempuan petani di Ciamis paham soal hak lahan dan bergabung dengan SPP, lewat pengajian. Kini,  hampir semua perempuan di SPP paham soal hak atas tanah, hak perempuan dan fasih bicara soal reforma agraria.

 

Sawah petani SP Pasundan di Jawa Barat. Foto: Della Syahni/ Mongabay Indonesia

 

  1. Perempuan Pejuang Agraria dari Gurilla

Dari Pematangsiantar, Sumatera Utara, masyarakat berkonflik agraria dengan perusahaan negara, PTPN III.  Adalah Tiomerli Sitinjak, salah satu sosok perempuan pejuang yang tak gentar melawan pihak-pihak yang ingin merampas lahannya.

Rumahnya di Gurilla, Pematangsiantar, Sumatera Utara. Rumah itu sampai sekarang terus dia pertahankan. Tanah  tempat tinggalnya itu eks HGU PTPN III tetapi dia belum memiliki sertifikat. Dia aktif dalam Forum Tani Sejahtera Indonesia (Futasi). Kalau ada desas-desus soal tanah dia segera tahu.

Rasa ingin tahunya itu juga yang membuatnya sering bersitegang dengan ketua-ketua Futasi terdahulu. Dia sering bertanya hal-hal detail soal dokumen. Dia juga tak segan bertanya kalau ada hal tak masuk akal. Dia bahkan dapat menyebutkan rincian luas tanah dan nomor HGU dari semua tanah milik PTPN III Kebun Bangun itu.

Sihaloho, Sekretaris Futasi menilai,  Tiomerli sosok kritis dan punya ingatan bagus. Tiomerli dapat menjelaskan dengan baik permasalahan tanah Gurilla.

Tiomerli juga tak segan-segan turun ke lapangan ketika okupasi maupun saat mereka aksi. Dia selalu ada di barisan depan, meletakkan badan di depan ekskavator.  Atau saat beruntung dia akan menduduki ekskavator. Di atas ekskavator dia akan bernyanyi atau membacakan proklamasi.

“Penjajahan di atas dunia harus dihapuskan! Tapi kita di sini diokupasi adalah bagian dari penjajahan!” kata Tiomerli.

Dengan kecakapannya itulah, dia terpilih jadi Ketua Futasi menggantikan Jonar Sihombing.

 

 

Esterlita, perempuan pejuang agraria Blongko, Sulawesi Utara. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

  1. Perempuan Tani Lokal Blongko

Warga di Desa Blongko, Minahasa Utara, Sulawesi Utara, banyak tak memiliki rumah.  Satu rumah, biasa terpaksa ditempati tiga sampai empat keluarga. Miris.

Pemukiman di Desa Blongko padat dengan bangunan rata-rata 8×10 meter,  saling berdempet. Tak punya pekarangan, rumah beradu belakang dan depan dengan tetangga.  Esterlita Turang,  perempuan pejuang agraria Blongko bersama suami  juga tinggal di satu rumah bersama keluarga yang lain.

“Perempuan-perempuan yang sudah berkeluarga tinggal bersama bisa tiga dan empat keluarga dalam satu rumah. Sangat menyedihkan. Kami kehilangan ruang kebebasan jadi ibu dan istri karena ada keluarga lain dalam satu rumah,” katanya.

Satu rumah biasa punya tiga kamar dengan satu kamar satu kepala keluarga. Tak ada kamar anak, anak yang sudah bersekolah biasa tidur di ruang tamu merangkap ruang keluarga. Balita tidur bersama orang tuanya.

Bagi Ester, tanah bukan hanya sebidang petak untuk tinggal atau ditanami. Ia adalah simbol perjuangan, identitas, dan harapan untuk masa depan lebih baik.

Mayoritas masyarakat Blongko, terutama para perempuannya adalah petani sayur dan cabai. Mereka menanam di sela perkebunan kelapa, lahan hak guna usaha perusahaan.

Mereka boleh menanam di sana dengan setor hasil 10% ke oknum ‘mandor’—orang yang mengaku perpanjangan tangan perusahaan—dengan alasan untuk pemegang salam. Belakangan, warga baru tahu kalau HGU perusahaan itu sudah habis sejak 2008.

Warga di sana punya Organisasi Tani Lokal (OTL) I, menyusul pada 2021 terbentuk OTL II, barulah tabir ‘HGU’ tersingkap.

Sebelumnya, konflik agraria tak pernah terjadi karena masyarakat tidak menyadari HGU perusahaan sudah habis. Oknum–oknum mandor dibekingi penguasa setempat mengklaim masih dalam masa HGU aktif.

Ester pun awalnya hanya jalani aktivitas di rumah sehari-hari. Dia bukan penduduk asli Blongko, tinggal di sana ikut suami. Meski begitu, hatinya terikat erat dengan tanah di sana.

Perjuangannya bermula pada 2020 saat diajak bergabung dengan dengan Organisasi Tani Lokal (OTL) Blongko.

“Ketidakadilan ini harus disuarakan, dan perempuan yang menjadi paling terdampak karena tidak ada rumah. Saya meneguhkan hati harus ikut berjuang,” katanya.

Kegigihan dan komitmennya ini menjadikan Ester terpilih jadi  bagian dari Tim LPRA Nasional, yang terbentuk Juli 2023. Pembentukan tim ini bertujuan mempercepat pembaharuan pemetaan, verifikasi, dan melengkapi data di seluruh LPRA yang terdaftar sejak 2016.

Dia mendapatkan berbagai materi dan pemahaman tentang reforma agraria dan pelatihan peningkatan kapasitas dalam pemetaan wilayah .

Ester mendorong lokasi OTL II masuk LPRA. Konflik pun mulai pecah saat warga melakukan pemetaan.

Intimidasi dan penolakan dia terima dari oknum mandor dan penguasa desa. Mereka mendapat ancaman hingga konflik pecah.

Ester saat itu hamil anak keduanya berada di barisan depan ketika oknum-oknum mandor mencegah mereka memasuki wilayah eks HGU Blongko.

“Saya sempat diancam dibunuh karena bicara saat berhadapan dengan oknum-oknum mandor dan pekerja di eks HGU. Mereka bahkan hampir mendorong saya yang sedang hamil besar,” katanya.

Ester tak gentar.  Bersama Ariyanti Eris, sepupu dari suaminya ini mengajak para perempuan aktif berorganisasi memperjuangkan lahan seluas 112 hektar yang berisi pemukiman, fasilitas umum, dan lahan garapan. Lahan ini menjadi harapan dan sumber penghidupan mereka.

Lebih dari separuh anggota OTL II adalah perempuan.

Dia bilang, kalau nanti perjuangan mereka berakhir dengan kemenangan, mereka bersepakat membagi sertifikat lahan 40% atas nama perempuan ( istri).  Ester adalah perempuan penggerak dan berperan penting dalam perjuangan agraria.

 

Nyai Jusmawati, perempuan pejuang agraria dari Desa Lubuk Mandarsah, Kecamatan Tengah Ilir, Kabupaten Tebo, Jambi. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

  1. Para Perempuan Petani Tebo

Kehidupan petani Tebo di Jambi, terusik kala perusahaan kayu, PT Wira Karya Sakti (WKS), -pemasok kayu pulp Sinar Mas Group–, yang mulai masuk ke kampung mereka awal 2000-an.

Pada 2006, perusahaan masuk membuka jalan akses. Sekitar 200 hektar lahan yang tergarap warga, terancam tergusur. Saat itu,  mereka baru tahu kalau  perusahaan sudah mendapat izin operasional  dari pemerintah sejak 2004.

Masyarakat terus bertahan, memperjuangkan lahan tempat mereka hidup puluhan tahun bahkan turun menurun di sana.

Adalah Nyai Jusmawati. Nyai, adalah sebutan lokal untuk nenek. Kebun perempuan 58 tahun ini berada sekitar 500 meter dari Desa Lubuk Mandarsah, Kecamatan Tengah Ilir, Kabupaten Tebo, Jambi.

Sejak 26 September 2020, hingga keesokan harinya, alat berat terus meratakan tanah di sekitar kebun nenek Jusma. Beberapa kali mesin itu coba mereka tahan, namun operator tak peduli.

Hanya ada satu dalam pikiran, bahwa mereka harus mempertahankan tanah, bersama lima perempuan lain, nyai  nekat menaiki eskavator. Mereka melepaskan pakaian,  hanya menyisakan celana pendek dan pakaian dalam.

Selama 48 hari, Jusma dan perempuan lain yang tergabung dalam Serikat Tani Tebo (STT) kucing-kucingan dengan perusahaan. Tanam dihancurkan, tanam, dihancurkan kembali. Berulang kali terjadi seperti itu.

“Kadang kami dak sempat lagi makan, buang air kecil pun harus ditahan. Kalaulah bunyi alat tuh, hancur lagi tanaman kami,” kenang Jusma.

Jusma adalah bagian dari Kelompok Tani Mandiri Dusun Sungai Landai, Desa Lubuk Mandarsah. Konflik lahan telah berlangsung lama.

Sejak 2006, saat perusahaan membuat jalan di Bukit Bakar, di lahan  Kelompok Tani Alam Lestari Dusun Tanjung Beringin.

Jusma bilang, masyarakat Lubuk Mandarsah nyaris tidak memiliki lahan untuk berkebun. Sejak perusahaan datang, ladang mereka berubah menjadi kebun kayu akasia dan eucalyptus.

Tradisi behumo (berhuma) pun hilang, ikan di sungai tak ada lagi. Dulu, biasa mereka mencari jernang, rotan manau, dan hasil hutan lain di dalam hutan, tetapi semua tinggal kenangan.

Lahan tersisa pun mereka pertahankan sekuat tenaga. Kalau tak ada tempat menanam, mereka sama saja dengan kehilangan hidup.

“Mau hidup di mano lagi, tanah itu nyawa kami,” katanya.

 

Keluarga Putu Suastini, eks transmigran TimTim pejuang hak atas lahan garapan di Sumberklampok, Buleleng. Foto: Luh De Suryani/ Mongabay Indonesia

 

 

  1. Petani eks Transmigran Timor Timur

Setelah membangun hidup baru di daerah  transmigran di Timor Timur, Pemerintah Indonesia menarik seratusan keluarga transmigran dari Bali ini pulang ketika Timor menjaga negara berdaulat pada 1999.  Rumah, kebun, ternak dan segala harta benda mereka tinggalkan.

Sesampainya di Indonesia, bukannya mereka mendapatkan kepastian, malah hidup terkatung-katung. Pindah dari satu pengungsian ke pengungsian lain di Buleleng, Bali, hingga akhirnya mereka menetap di Desa Sumberklampok, tanpa ada kejelasan status.

Sebagian lahan yang mereka garap merupakan kawasan hutan. Di lahan tandus  itu mereka berupaya bertahan hidup dengan bertani dan beternak. Para eks transmigran ini coba mendapatkan kepastian hak lahan dari negara. Lebih 20 tahun upaya mereka lakukan, lewat aksi di daerah, pertemuan dengan pemerintah daerah sampai ke Kementerian Lingkungan  Hidup dan Kehutanan. Hingga kini,  belum ada kepastian.

Dalam  upaya perjuangan mendapatkan kepastian hak lahan ini, para perempuan yang paling depan mengambil peran. Para perempuan yang bertani dan beternak. Mereka hidup bergantung lahan yang hingga kini masih berstatus kawasan hutan. Para perempuan juga yang gigih menyuarakan di panggung-panggung aksi maupun negoisasi.

Puluhan perempuan, generasi pertama dan kedua eks transmigran ini siap beraksi di garis depan.  Adalah Luh Sumantri, dan Putu Suastini,  dua dari para perempuan eks transmigran Timor Timur yang tak kenal lelah mengikuti berbagai upaya untuk mendapatkan kepastian hak lahan.

Sumantri menceritakan, harapan hidup baru lebih baik di lokasi transmigran buyar kala harus kembali ke Indonesia. Bersama suaminya, I Nengah Kisid, kini pemimpin eks transmigran ini, sudah bangun rumah, berkebun berbagai sayur mayur dan buah.

Setelah hidup mulai tertata di Timor Timur, jajak pendapat mengubah semua. Timor Timur jadi merdeka, mereka harus kembali ke tanah air.

Di Bali, tempat dia dan keluarga eks transmigran Timor Timur menetap, pun tak ada kejelasan status lahan dari negara. Meskipun begitu, Sumantri dan warga yang lain berupaya memanfaatkan lahan yang ada sebisanya. Ada yang Bertani walau sulit karena tanah tandus dan kendala air. Sebagian lain beternak babi.

Ada juga yang membuat berbagai olahan, seperti kelapa jadi minyak murni (virgin coconut oil/VCO), bikin sabun moringa (kelor), cabai bubuk, dan lain-lain seperti dilakukan Luh Suastini. Perempuan berupaya mengelola lahan di tengah keterbatasan.

“Saya semangat coba hal baru, kalau ada informasi pasti jalan,” katanya.

Di Bali, secara adat perempuan tak ada hak lahan. Dalam komunitas eks transmigran Timor-Timor ini, perempuanlah yang ambil peran besar dalam mengelola lahan. Untuk itu, di wilayah eks transmigran Sumberklampok ini akan ada lahan kolektif sebagai upaya reforma agraria tak tunduk dengan tradisi adat maupun hukum nasional.

Ni Made Indrawati, Koordinator KPA Wilayah Bali—yang mendampingi warga—menyampaikan ke para perempuan eks transmigran ini bahwa reforma agraria mengatur kesetaraan hak tanah bagi perempuan dan laki-laki. Karena itulah,  dalam persoalan tanah lain di Desa Sumberklampok, perempuan akan mendapat hak, bukan hanya karena mereka janda.

“Ini hak perempuan dapat tanah untuk memperkuat organisasi mereka. Mereka harus dibekali secara aset dan akses. Legal aset dan akses reform dapat.”

 

Para perempuan pejuang agraria dari Tebo sedang membuat kerajinan. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

Peran penting perempuan

Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal KPA mengatakan, selama ini perempuan sebenarnya mempunyai peran sangat penting dalam perjuangan reforma agraria. Perjuangan KPA selama 30 tahun, katanya,  tidak lepas dari peran para pejuang dan aktivis agraria perempuan di berbagai wilayah di Indonesia.

“Lima cerita ini adalah cerminan betapa selama ini perempuan mempunyai peran penting dalam perjuangan hak atas tanah,” katanya.

Bahkan, katanya,  tak jarang mereka yang mengambil tongkat kepemimpinan, menggerakkan masyarakat berjuang mempertahankan tanah dan sumber kehidupan.

Sayangnya, ucap Dewi, selama ini para perempuan seperti petani, masyarakat adat, nelayan, di pedesaan dan kelompok rentan perkotaan, sering mengalami diskriminasi dan perlakuan tidak adil.

Situasi ini,  menyebabkan perempuan jadi korban paling terdampak di berbagai wilayah konflik agraria di Indonesia. “Para perempuan ini harus menanggung beban ganda akibat kehilangan tanah dan sumber mata pencaharian. Termasuk kerentanan mengalami tindakan kekerasan, baik dalam kehidupan rumah tangga maupun saat berjuang di lapangan,”  kata Dewi.

KPA percaya,  perempuan berperan penting dalam perjuangan reforma agraria. Mereka, katanya,  bukan hanya pelengkap, namun bagian yang tidak bisa terpisahkan dari perjuangan hak atas tanah itu sendiri.

“Perempuan yang tengah berjuang mempertahankan tanah dan sumber penghidupan membuktikan mereka adalah aktor penting dalam menjaga keseimbangan dan keberlangsungan sumber-sumber agraria.”

Untuk itu, katanya, sudah keharusan menyediakan ruang dan kesempatan bagi perempuan untuk berorganisasi. “Sebagai wadah berkonsolidasi untuk penguatan perempuan, mendukung transformasi dari korban menjadi pejuang yang berkontribusi nyata dalam perjuangan reforma agraria.”

Dengan begitu, tambah Dewi, gerakan perempuan yang terorganisir dan terdidik jadi fondasi gerakan reforma agraria agar makin kuat.

KPA, katanya,  terus berupaya memberikan wadah dan ruang bagi pengembangan dan penguatan kapasitas perempuan melalui Akademi Reforma Agraria Sejati (ARAS).

ARAS merupakan sistem pendidikan sistematis dan berkelanjutan dalam organisasi KPA. Ia wadah pendidikan dan kaderisasi aktivis gerakan reforma agraria dan para kader KPA.

Upaya-upaya KPA, katanya, terus diperkuat dalam Musyawarah Nasional VIII KPA pada 2021. Salah satu mandat, adalah kebijakan dan aksi afirmatif bagi penguatan dan pelembagaan perempuan pejuang reforma agraria. “Serta generasi muda kader reforma agraria.”

Sebagai tindak lanjut mandat itu, katanya, KPA bersama kader-kader perempuan akan menyelenggarakan konsolidasi gerakan untuk penguatan dan pelembagaan perempuan pejuang reforma agraria.

Agenda ini, ucap Dewi,  sebagai bagian dari arah transformasi KPA, salah satunya menyediakan ruang dan kesempatan bagi kader perempuan meningkatkan kapasitas dan memberikan kontribusi nyata dalam perjuangan reforma agraria.

Upaya lain melalui inisiatif desa maju reforma agraria (DaMaRA). KPA,  bersama anggota terus mendorong petani, nelayan, masyarakat adat, dan masyarakat pedesaan sebagai aktor utama dalam transformasi desa mereka.

“Mulai dari penataan ulang atas penguasan tanah, merencanakan penggunaan tanah berkelanjutan, membangun usaha produksi yang dikelola mandiri-kolektif,” katanya.

Selain itu, juga mendorong rantai distribusi berbasis masyarakat. Penerapan inisiatif ini, katanya, sesuai situasi, potensi komoditas, dan bentang alam, maupun alam masing-masing organisasi rakyat.

Khusus perempuan, katanya, selain pendidikan dan penguatan kapasitas, beberapa organisasi rakyat telah memiliki koperasi perempuan, mulai menyediakan lahan kolektif bagi perempuan, dan berbagai usaha kolektif perempuan lain.

Dia usulkan langkah-langkah yang harus pemerintah ke depan lakukan.  Pemerintah, katanya,  harus memiliki visi murni (genuine), komitmen politik kuat dan konsekuen, serta keberanian penuh menuntaskan persoalan-persoalan agraria dan makin terakumulasi selama puluhan tahun.

KPA, katanya,  kembali menekankan soal hal-hal pokok dan urgen pemerintah ambil agar reforma agraria sejati terealisasi.

Pertama, meluruskan paradigma, konsep, kebijakan dan praktik menyimpang reforma agraria yang selama ini diklaim sudah jalan dari konsepsi ekonomi liberal ‘asset reform atau ‘plus access reform” jadi ‘land reform’ yang disempurnakan.

Hal ini berarti, katanya,  proses pemenuhan, pemulihan dan pengakuan hak atas tanah bagi rakyat secara penuh bersamaan dan terintegrasi dengan proses penguatan basis ekonomi, produksi, distribusi dan konsumsi rakyat. “Sebagai satu kesatuan operasi reforma agraria sejati.”

Capaian akhir dari reforma agraria sejati, kata Dewi, adalah transformasi sosial di pedesaan dan perkotaan berkeadilan sosial-ekologis dan mensehjahterakan.

Kedua, pelaksanaan reforma agraria harus terpimpin langsung oleh presiden melalui badan otoritatif yang disebut Badan Otorita Reforma Agraria (BORA).

“Kemandekan reforma agraria selama satu dekade terakhir karena pelaksanaan dipimpin setingkat kementerian koordinator hingga tidak mampu mengatasi ego-sektoral antara kementerian dan lembaga yang bertugas melaksanakan reforma agraria,” katanya.

Ketiga, mendorong dan mengesahkan UU Reforma Agraria sebagai usaha sistemik dan nasional untuk meluruskan reforma agraria yang menyimpang oleh pemerintahan saat ini.

Proses reforma agraria dalam Rancangan Undang-undang itu, katanya, mencakup serangkaian kegiatan utama, yakni: pertama, registrasi tanah, untuk memperoleh informasi struktur penguasaan dan ketimpangan tanah.

Kedua, penyelesaian konflik, terutama bagi wilayah-wilayah atau desa-desa yang memiliki konflik agraria. Ketiga, redistribusi tanah untuk penataan ulang penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan, serta pemilikan tanah dan sumber agraria lain.

 

Warga Desa Blongko, Minahasa Utara, Sulawesi Utara, menjemur hasil panen. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

Keempat, penguatan hak. Yakni, pemberian jaminan hukum dan legalitas hak atas tanah, baik berupa hak individu, bersama (kolektif) maupun kombinasi sesuai konsensus di tingkat masyarakat yang jadi subyek reforma agraria.

Kelima, penyediaan program penunjang melalui pemberian permodalan, jaminan pasar, teknologi, infrastruktur dan pengetahuan penerima redistribusi tanah.

Keenam, melakukan reformasi sistem administasi tanah dan sumber daya alam untuk mempercepat dan mengembangkan pengakuan negara atas keragaman bentuk penguasaan kekayaan agraria-sumber daya alam di darat, pesisir dan pulau-pulau kecil.

Salah satunya menghapus dualisme pertanahan (hutan dan non-hutan), membangun sistem keterbukaan informasi penguasaan tanah (hak milik, hak pakai, HGU, HGB, HTI, IUP dan HPL).

Ketujuh, penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM bagi petani, masyarakat adat, nelayan dan perempuan yang sedang memperjuangkan hak atas tanah dan wilayah hidup mereka di berbagai bentang agraria di daratan, tanah, wilayah adat, perairan, laut, maupun pesisir dan pulau kecil.

Salah satunya dengan mengkoreksi dan mencabut pasal-pasal karet yang selama ini digunakan pemerintah dan badan usaha skala besar untuk mengkriminalkan petani, masyarakat adat, nelayan dan masyarakat marjinal lain.  Pasal-pasal itu ada di UU seperti UU Konservasi, UU P3H, UU Perkebunan, UU Minerba, UU Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan, UU ITE dan UU KUHP.

“Juga perlu memastikan penyediaan input-input produksi yang terjangkau, adil, dan berkualitas, endidikan dan teknologi tepat guna serta ramah lingkungan bagi perempuan petani, perempuan nelayan, perempuan adat, dan perempuan miskin di pedesaan,” ucap Dewi.

Kepastian berproduksi ini, katanya,  harus diikuti kepastian harga jual, rantai produksi dan distribusi hasil panen perempuan petani-nelayan-petambak yang adil, dilindungi, dan bersifat mensejahterakan.

Proses ini, katanya,  mesti diikuti penguatan badan-badan usaha milik rakyat dan desa dalam bentuk koperasi, credit union, bank petani, bank nelayan, badan usaha milik buruh, badan usaha milik masyarakat adat, dan bentuk-bentuk usaha-ekonomi bersifat gotong royong lain.

Selain itu, katanya, konstitusi telah menjamin hak perempuan melalui Undang-Undang Dasar Pokok-Pokok Agraria. UUPA 1960 menyatakan,  tiap-tiap warga negara Indonesia, baik laki-laki maupun perempuan mempunyai kesempatan sama memperoleh hak atas tanah, serta mendapat manfaat dari hasil, baik bagi diri sendiri maupun keluarga.

Dengan begitu,  sosok-sosok perempuan seperti Nyai Jusmawati, Wati, Esterlita, sampai Putu Suastini akan mendapatkan perlindungan hak atas tanah dan sumber kehidupan mereka.

“Negara harus memperkuat dan melindungi hak-hak perempuan atas tanah dan sumber kehidupan mereka, serta pelibatan aktif dalam proses perumusan kebijakan di nasional, daerah, hingga tingkat desa atau kampung,” kata Dewi.

 

******

 

*Keterangan:  Cerita para perempuan pejuang agraria dari lima daerah itu disarikan dari tulisan para penulis untuk buku KPA dan Mongabay Indonesia, yang sedang proses penyelesaian.  Para penulis buku: Elviza Diana, Luh De Suryani, Della Syahni,dan Widiya Hastuti.

 

 

Hidup dari Alam, Perempuan Adat Tolak Tambang Masuk Banggai Kepulauan

Exit mobile version