Mongabay.co.id

Ketika Masyarakat Adat di Tano Batak Hadapi Berbagai Tantangan

 

 

 

 

 

Para perempuan dan laki-laki berikat kepala merah duduk bersila di tikar plastik hari itu. Mereka khusyuk, memejamkan mata dengan tangan terkatup sembari marapalkan baca-bacaan dengan sesaji di depannya.

Mereka ini puluhan Masyarakat Adat Sihaporas,  di Huta Lumban Ambarita Sihaporas, Kecamatan Pematang Sidamanik,  Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, yang sedang ritual adat partukkoan. Akhir Januari lalu ini, mereka sedang ritual penghormatan kepada leluhur penjaga kampung.

Morris Ambarita,  Ketua Adat Sihaporas,  mengatakan, ritual ini untuk Tuhan (Mula Jadi Nabolon) dan menghormati Raja Sisingamangaraja. Dengan ritual ini,  mereka berharap jauh dari bencana, dapatkan kesehatan dan limpahan rezeki.

Selain itu, Masyarakat Adat Sihaporas ini masih ada beberapa ritual lain, seperti manjuluk saat mulai tanam, dan manganjab, agar pertanian subur, tidak gagal panen dan jauh dari hama atau penyakit tanaman.

Ritual penting kepada sang pencipta, lewat patarias debata mulajadi nabolon, ada juga ritual doa leluhur (ulaon habonaran i partukkoan).

“Ada ritual setahun sekali, ada juga empat tahun sekali dan ritual ini akan terus dilestarikan hingga generasi selanjutnya tetap mengikuti aturan adat,” katanya.

Masyarakat adat bisa jalankan segala ritual jika ruang hidup mereka tak terganggu. Pemukiman, hutan, lahan tani, kebun bisa mereka rawat dan kelola. Namun, masyarakat adat di Tano Batak menghadapi ancaman kehilangan wilayah, karena negara sepihak memberikan izin kepada perusahaan seperti hutan tanaman industri, pariwisata internasional, sawit,  food estate dan lain-lain.

Delima Silalahi,  Direktur Program Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), mengatakan, di Tano Batak ada istilah Tano do marga, marga do tano, berarti semua tanah memiliki marga.

Dari segi klaim masyarakat adat, sebelum negara ini ada, mereka pemilik di Tano Batak. Setiap tanah ada yang menempati. Kemudian negara mengeluarkan pernyataan kalau 60% daratan Tano Batak masuk kawasan hutan.

“Penentuan ini tentu tanpa sepengetahuan masyarakat adat. Itu klaim sepihak negara, karena itulah terjadi konflik-konflik antara masyarakat adat dengan negara,” katanya.

 

Kabupaten Humbang Hasundutan, belum punya perda masyarakat adat hingga kini. Masyarakat Adat Pandumaan Sipituhuta,  di Humbang Hasundutan,  di hutan adat mereka yang dikuasai PT. TPL. Pemerintah sudah berikan pencadangan hutan adat pada 2016, tetapi yang masyarakat adat dapatkan penetapan hanya sebagian. Sisanya jadi apa?   Foto: Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia

 

Tak hanya di Tanah Batak, juga di berbagai daerah di Indonesia. Catatan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), terdapat 2.578.073 hektar wilayah adat terrampas oleh negara dan korporasi atas nama investasi sepanjang 2023.

Muhammad Arman, Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum dan HAM PB AMAN, mengatakan, situasi hukum dan kebijakan terkait masyarakat adat memburuk, secara langsung berdampak pada meningkatnya perampasan wilayah adat, kriminalisasi dan kekerasan.

Di lahan terampas itu, disertai kekerasan dan kriminalisasi menyebabkan 247 orang korban,  204 luka-luka, satu tertembak dan meninggal.

“Lalu 100 rumah warga dihancurkan karena dianggap mendiami kawasan konservasi negara,” katanya.

Sejak 1980, kata Delima,  gerakan masyarakat adat di Tano Batak meningkat dan berkembang, karena pembangunan terus datang dan negara sepihak memberikan izin ke korporasi hingga muncul perlawanan-perlawanan.

Saat ini, kata Delima, banyak upaya harus dilakukan agar masyarakat adat mendapat pengakuan dan perlindungan, mereka berjuang mempertahankan wilayah adat untuk lepas dari kawasan hutan negara atau izin-izin konsesi perusahaan.

“Itu kondisinya sekarang. Juga makin dipersulit dengan mekanisme-mekanisme itu juga sangat sulit dan berbelit [penetapan wilayah/hutan adat].”

 

Ritual adat di Huta Lumban Ambarita Sihaporas, Kecamatan Pematang Sidamanik, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Foto: Sri Wahyuni/ Mongabay Indonesia

 

Delima bilang, Masyarakat adat di Tano Batak tersebar di Kabupaten Tapanuli Utara, Toba Samosir, Simalungun, Humbang Hasundutan, Samosir, Dairi, Tapanuli Tengah dan Sibolga. Dari semua itu, katanya, baru dua kabupaten memiliki aturan pengakuan dan perlindungan masyarakat adat.

Wilayah adat yang mendapat pengakuan di Toba dan Tapanuli Utara. Lainnya ada Samosir, sudah disahkan DPRD.

“Kabupaten Humbang Hasundutan (Humbahas) sama sekali belum memiliki perda. Artinya, tantangan masyarakat adat ke depan di Tano Batak masih sangat panjang dan berbelit-belit,” katanya.

Pembuatan aturan atau perda, katanya, sangat politis dan tergantung political will pimpinan daerah dan DPRD.

Catatan KSPPM, dalam lima tahun terakhir baru enam komunitas adat yang mendapat surat keputusan pemerintah, yakni,  empat berstatus hutan adat, sisanya masih indikatif.

Kata Delima, perjuangan mendapatkan pengakuan ini sering melewati jalan terjal, namun masih ada harapan. Di Taput, sudah ada delapan komunitas masyarakat adat mendapat pengakuan.

 “Rintangan akan muncul jika di wilayah adat itu sudah ada izin konsesi ke korporasi, biasa akan sulit mendapat pengakuan. Artinya, harus clean and clear.

Belum lagi, katanya, pemerintah di Tano Batak belum begitu paham mekanisme pengakuan masyarakat adat dan pelepasan wilayah adat.

Pemuda pemudi Dairi bergerak tolak tambang hadir di daerah mereka. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

 

Hutan adat tergerus

Delima mengamati kehidupan masyarakat adat di Tano Batak sekitar 24 tahun selama di KSPPM, ada perubahan drastis ketika alam masih terjaga dengan situasi sekarang.

Saat hutan beralih fungsi, mengubah banyak hal, mulai dari pola produksi, konsumsi, hidup sehari hari, hingga makna kesejahteraan. Masyarakat adat yang masih menyatu dengan alam, lebih sejahtera dibanding yang wilayah adat sudah berubah fungsi seperti jadi hutan tanaman industri atau perkebunan sawit.

“Lebih mandiri, berdaulat masyarakat adat yang hutan terjaga, yang ekosistem terjaga. Mereka menyatu dengan alam, masih memiliki nilai-nilai atau kebijakan lokal dalam mengelola alam, dibandingkan dengan masyarakat sudah mengalami perubahan fungsi wilayah adatnya.”

Dia contohkan, ada ritual adat saat akan memasuki musim tanam. Ia bertujuan, untuk kesuburan tanaman dan hasil berlipat ganda serta ternak berkembang biak (sinur napinahan gabe naniula horas pangula). Namun, katanya,  sudah banyak yang meninggalkan ritual ini karena sudah tidak ada lagi hewan ternak, dan ladan. Ladangg-ladang tempat penggembalaan kerbau, katanya,  dalam tata ruang wilayah adat sudah berubah menjadi konsesi tanaman industri.

Kondisi ini, mengubah sistem pertanian, sebelumnya bisa menghasilkan pupuk kompos dari kerbau, justru tidak lagi karena populasi menurun.

“Kadang-kadang seperti di Nagasaribu, mereka menemukan kerbau mati di tempat penggembalaan karena makan bungkus pestisida kimia, atau memakan rumput yang sudah disemprot bahan kimia,” katanya.

 

Hutan Batang Toru dengan tutupan lebat dan air sungai mengalir di dalamnya, jadi incaran berbagai kepentingan, antara lain, tambang emas, pembangkit listrik tenaga air dan lain-lain. Foto: Tonggo Simangungsong/ Mongabay Indonesia

 

Belum lagi, kata Delima, masyarakat adat dengan wilayah menjadi tanaman industri, jauh lebih miskin atau memaknai kesejahteraan sangat meterialistik.

“Jadi misal orang sejahtera itu kalau punya duit gitu.”

Masyarakat adat wilayah adat jadi kebun eukaliptus, bergantung dengan upah sebagai pekerja harian lepas, ada juga buruh tani di rumah atau kebun orang kaya. Iitu perubahan yang saya lihat.”

Nilai ini, katanya,  jadi berbeda ke wilayah yang masih terjaga. Mereka menyatu dengan alam, air masih bagus, penggembalaan ternak ada, hutan adat terjaga hingga memaknai kesejahteraan berbeda.

“Kesejahteraan itu lebih kepada kebahagiaan sebagai Orang Batak. Mereka memiliki tanah yang bisa diwariskan untuk generasi selanjutnya. Bukan material, tetapi lebih kepada kebahagiaan.”

“Mereka memiliki identitas, mereka merasa oh iya hutan kami ini masih bisa menghidupi generasi yang akan datang. Itu kesejahteraan bagi mereka. Mereka bahagia dengan apa yang mereka punya karena merasa sangat mandiri.”

Untuk wilayah adat yang masih terjaga, biasa identitas masih kuat, aturan adat ketat hingga keberlanjutan wilayah adat terjaga.

Mereka memiliki nilai-nilai ekologis. Kalau hutan rusak, katanya, sama dengan merusak mereka. Jadi, Mereka menjaga mata air, hutan, dan berusaha masih menata hidup dengan baik agar tetap selaras dengan alam.

 

Kemenyan berada dalam hutan adat di Tano Batak. Kala hutan adat terancam beralih ke berbagai kepentingan, sumber hidup masyarakat adat pun terganggu. Foto: Barita N. Lumbanbatu/ Mongabay Indonesia

 

Takut ritual?

Perubahan yang terjadi pada wilayah adat, membawa pengaruh besar terhadap pola kehidupan masyarakat adat. Kata Delima, di Nagasaribu, Taput, mereka masih menyatu dengan hutan adat, praktik ritual berjalan. Berbeda di Sipahutar, wilayah berubah jadi tanaman eukaliptus, nilai adat terdegradasi.

“Mereka masih menjalankan aturan adat di komunitas mereka, tapi secara wilayah adat sudah tidak berdaulat, karena sudah dihancurkan, mau buat ritual di mana lagi?”

Belum lagi persoalan lain, katanya,  masyarakat adat berbenturan dengan agama dan memilih meninggalkan ritual, karena takut dapat sanksi karena dianggap melanggar nilai-nilai gereja. Ada yang bertahan, namun dilakukan diam-diam.

Padahal, kata Delima, lewat ritual, masyarakat adat punya peran sangat besar dalam menjaga hutan atau alam. Misal,  mau manabur boni (membibit) atau menanam padi, dulu dengan adat, sekarang oleh gereja, dengan mengundang pendeta untuk mendoakan benih.

Contoh lain, sebut Delima, masyarakat yang akan pergi ke hutan kemenyan, biasa melalui ritual dahulu karena hutan suci dan sakral. Jadi mereka tidak sembarangan menebang pohon atau merusak atau melakukan hal-hal tidak pantas.

“Nah,  itu nilai adat yang berdinamika dalam konteks sekarang. Komunitas adat ini jika ditanya, dengan berat hati menjawab karena takut dibilang sesat.”

Masyarakat adat juga perlu kedaulatan penuh, karena saat ini masih ada dualisme dengan pemerintah desa. Satu sisi,  keberadaan mereka diakui, yang seharusnya secara kelembagaan berhak mengatur relasi sosial, tata kelola, tata kuasa lahan, tetapi praktik dikuasai kepala desa.

Delima mengumpamakan, lembaga adat ini seperti dilepas kepala, kaki dipegang.

“Harusnya jangan tanggung-tanggung memberikan kedaulatan kepada lembaga adat, dengan terkungkung dengan UU Desa. Terkait dengan wilayah adat ya biarlah itu jadi wewenang lembaga adat.”

 

Salah satu proses ritual masyarakat adat di Tano Batak. Foto: Sri Wahyuni/ Mongabay Indonesia

 

Masyarakat adat bukan ingin membentuk pemerintahan baru di desa, tetapi seharusnya bisa kerja sama. Untuk urusan pendudukan, katanya,  administrasi biar ditangani kepala desa, tetapi terkait tata kelola, penyelesaian konflik, relasi sosial dan lain-lain maupun ritual serahkan ke lembaga adat.

Tak penting lain, Delima ingin ada komitmen kuat dari pemerintah atau negara, bahwa masyarakat adat adalah mitra strategis dalam mengurangi krisis iklim. Caranya,  dengan memberikan kedaulatan, dan menjaga nilai-nilai keadilan yang melindungi semua kelompok masyarakat adat.

“Lembaga adat sangat paham dalam tata kelola wilayahnya dengan mengikuti kebijakan lokal. Suka tidak suka, pemerintah harus melakukan ini melihat tantangan sekarang mengatasi krisis iklim.”

 

 

Apa kata pemerintah?

Pemerintah klaim sudah mulai beri pengakuan dan perlindungan pada masyarakat adat. Bahkan, katanya, Indonesia menjadi role model ketahanan iklim berbasis masyarakat adat saat pertemuan di Dubai dengan Local Communities and Indigenous People Platfrom (LCIPP) pada November 2023.

Lewat keterangan tertulis Bambang Supriyanto, Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan, mengatakan, Indonesia memiliki UU No. 41/1999 tentang Kehutanan yang di dalamnya mengatur masyarakat hukum adat dengan wilayah dan diakui negara.

Sejak 2016-2023, Pemerintah Indonesia menetapkan 131 SK Hutan Adat tersebar di 18 provinsi dan 40 kabupaten seluas 244.195 hektar dan melibatkan 76.079 keluarga.

“Pada 2023 terdapat tambahan 23 hutan adat seluas 90.873 hektar, luas indikatif hutan adat 836.141 hektar tersebar di 16 provinsi.”

Bambang bilang, masyarakat yang belum masuk kategori masyarakat hukum adat, diakui sebagai local communities dengan keberadaan diakui melalui program perhutanan sosial. “Tujuannya, memberi akses Kelola hutan ke masyarakat yang tinggal di kawasan hutan serta mengatasi kemiskinan.”

 

 

*******

 

Masyarakat Adat Minim Perlindungan, Penetapan Hutan Adat pun Lamban

Exit mobile version