Mongabay.co.id

Subsidi Nelayan Kecil Terancam di WTO

 

Belum ada hasil menggembirakan berkaitan dengan isu subsidi perikanan yang menjadi sorotan Indonesia pada Konferensi Tingkat Menteri (KTM) ke-13 Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yang berlangsung di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab.

Bersama sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (NGO), Pemerintah Indonesia fokus untuk menjaga isu tersebut tetap sesuai harapan. Namun, hingga berakhirnya KTM13 pada 2 Maret 2024, tidak ada kesepakatan tentang subsidi perikanan.

Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan RI Djatmiko Bris Witjaksono mengatakan, KTM13 belum dapat menyelesaikan perundingan pertanian dan subsidi perikanan, karena masih lebarnya perbedaan posisi antarnegara anggota.

Para Menteri Perdagangan atau Ekonomi WTO yang berunding, menyadari masih lebarnya perbedaan posisi antaranggota, sehingga kesepakatan masih memerlukan waktu berunding tambahan yang akan dilanjutkan oleh perutusan-perutusan tetap di Jenewa.

Sebagai salah satu negara anggota WTO, Indonesia terlibat aktif dalam perundingan pertanian dan subsidi perikanan dengan mengedepankan pentingnya kesepakatan yang berimbang dan dapat melindungi kepentingan petani dan nelayan kecil dan artisanal sesuai amanat United Nations Sustainable Development Goals (UN SDGs).

“Nyatanya, teks yang berkembang selama perundingan di KTM13 belum mencerminkan hal tersebut. Namun, Indonesia siap melanjutkan perundingan dengan tetap berpegangan kepada kepentingan nasional,” ungkap dia dalam keterangan resmi yang dipublikasikan Kementerian Perdagangan.

Baca : Hidup Nelayan Skala Kecil terancam Pencabutan Subsidi WTO

 

Dirjen Perundingan Perdagangan Internasional Kemendag, Djatmiko Bris Witjaksono memimpin delegasi RI pada Konferensi Tingkat Menteri ke-13 (KTM13) World Trade Organization (WTO) yang diselenggarakan pada 26–29 Februari 2024 di Abu Dhabi, Persatuan Emirat Arab (PEA). Foto : Kemendag

 

Pentingnya mempertahankan isu subsidi perikanan, adalah karena nasib nelayan dan tradisional akan sangat dipengaruhi oleh kesepakatan tersebut. Jika subsidi perikanan disepakati oleh forum KTM untuk dicabut, maka nasib nelayan kecil dan tradisional akan semakin terancam.

Atas dasar pertimbangan itu, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) ikut berjuang untuk menyuarakan kepentingan Indonesia pada KTM13 terkait pemberian subsidi perikanan untuk nelayan kecil dan tradisional.

Direktur Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan (PDSPKP) KKP Budi Sulistiyo mengatakan, pembahasan isu subsidi perikanan belum disepakati, karena memang ada perbedaan cara pandang antara kelompok negara maju, negara berkembang, dan negara kurang berkembang.

Perbedaan cara pandang itu muncul berkaitan dengan bahasan pelarangan pemberian subsidi yang diperkirakan bisa memicu terjadinya kapasitas berlebih (over capacity) dan penangkapan ikan yang berlebihan (overfishing).

“Namun, KKP memastikan akan mengawal aspirasi tersebut di forum Negotiating Group on Rules (NGR) di Jenewa, Swiss,” jelasnya.

Menurut Budi Sulitiyo, subsidi untuk nelayan kecil merupakan aspirasi yang berasal dari Indonesia bersama kelompok negara berkembang dan negara kurang berkembang. Aspirasi digalang, karena Indonesia ingin nelayan yang menangkap ikan di wilayah yurisdiksi bisa tetap menerima subsidi perikanan.

Agar subsidi bisa dilaksanakan dengan tepat sasaran dan efektif, Indonesia juga mengajak negara maju untuk bisa menerapkan disiplin yang tinggi atas pemberian subsidi kepada pelaku usaha yang mengoperasikan kapal bertonase besar di perairan lepas pantai untuk menangkap ikan dan sumber daya ikan (SDI) lain (distant water fishing).

“Kegiatan ini melibatkan kapal-kapal besar yang berlayar ke laut lepas atau kedalaman yang lebih besar untuk menangkap ikan secara massal,” tuturnya.

Dia memaparkan, karakteristik dari distant water fishing biasanya melibatkan penggunaan kapal penangkap ikan besar, teknologi canggih seperti radar dan GPS untuk melacak ikan, dan seringkali melibatkan perjalanan yang jauh dari pelabuhan untuk mencapai lokasi-lokasi perikanan yang produktif.

“Ini sekaligus menjadi concern kita mengingat pengelolaan perikanan harus berkelanjutan dan mencegah eksploitasi berlebihan di laut lepas,” tegas Budi.

Baca juga : Subsidi Perikanan, Bentuk Perlindungan Negara kepada Nelayan Kecil

 

Para nelayan tuna di Dusun Air Panas, Desa Tulehu, Kecamatan Salahutu, saat mengejar ikan tuna di perairan Provinsi Maluku. Foto: Irfan/Ketua Kelompok Nelayan Tuna di Dusun Air Panas

 

Pada KTM12 WTO, KKP juga memperjuangkan keadilan bagi nelayan, terutama skala kecil. Momen tersebut menelurkan Perjanjian Subsidi Perikanan (Agreement on Fisheries Subsidies) yang mengatur pelarangan pemberian subsidi untuk aktivitas penangkapan ikan untuk stok yang ditangkap secara berlebihan (overfished stock) dan penangkapan ikan dengan cara ilegal, melanggar aturan, dan tidak dilaporkan (IUUF).

Perjanjian tersebut mendapatkan nilai positif dari KKP, karena bisa menerapkan prinsip yang efektif, adil, dan berimbang. Itu sesuai dengan mandat perundingan WTO yang mendorong setiap negara anggota memiliki peran dan tanggung jawab sesuai dengan kapasitasnya dalam pemberian subsidi perikanan.

Sebelum KTM13 ditutup dengan tidak menghasilkan kesepakatan untuk subsidi perikanan, kelompok nelayan kecil dan kelompok masyarakat sipil menyuarakan perjuangannya untuk melindungi nelayan kecil dan tradisional dari ancaman penghapusan subsidi perikanan.

Mereka terdiri dari Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ) Rahmat Maulana Sidik; Deputi Manajemen Pengetahuan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Fikerman Saragih; Sekretaris Jenderal National Fishworkers Forum, India Olencio Simoes; PANG Campaigner Adam Wolfenden dan Senior Researcher of Third World Network (TWN) Ranja Sengupta.

Kelima orang tersebut kemudian bertemu dengan Delegasi Pemerintah Indonesia, yaitu Andrea Robert selaku negosiator Indonesia untuk isu subsidi perikanan, Ghanna Wivanius selaku negosiator Indonesia untuk DS Reform, dan Adityo Dewantoro selaku negosiator Indonesia untuk isu pertanian. Pertemuan tersebut fokus pada isu subsidi perikanan dan pertanian karena delegasi.

Rahmat Maulana Sidik mengingatkan bahwa kelompok nelayan kecil Indonesia telah menyampaikan surat kepada Pemerintah Indonesia agar menjaga kedaulatan dan perlindungan bagi nelayan kecil di negara berkembang-kurang berkembang, termasuk Indonesia.

Indonesia bahkan sudah memiliki pengaturan subsidi melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi daya Ikan, dan Petambak Garam. Aturan tersebut harus diubah jika WTO menyepakati subsidi perikanan yang baru.

“Itu artinya, nelayan kecil tidak akan mendapatkan subsidi lagi. Intervensi WTO seperti ini yang mengancam kedaulatan nelayan kecil dan tradisional harus ditolak,” terangnya.

Baca juga : Subsidi Perikanan Tepatnya untuk Siapa?

 

Nelayan tradisional melaut di perairan Kepri. Foto : Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia

 

Larangan Subsidi

Merujuk pada rancangan teks WTO, terdapat delapan jenis subsidi perikanan yang akan dilarang karena berkontribusi pada IUUF, Overcapacity, dan Overfishing. Rinciannya seperti di bawah ini:

  1. Subsidi untuk konstruksi, akuisisi, modernisasi, renovasi atau peningkatan kapal;
  2. Subsidi untuk pembelian mesin dan peralatan untuk kapal (termasuk alat tangkap dan mesin, mesin pengolahan ikan, teknologi pencarian ikan, refrigerator, atau mesin untuk menyortir atau membersihkan ikan);
  3. Subsidi untuk pembelian/biaya bahan bakar, es, atau umpan;
  4. Subsidi untuk biaya personel, biaya sosial, atau asuransi;
  5. Dukungan pendapatan (income) kapal atau operator atau pekerja yang mereka pekerjakan [kecuali untuk subsidi yang diterapkan untuk tujuan subsisten selama penutupan musiman];
  6. Dukungan harga ikan yang ditangkap;
  7. Subsidi untuk mendukung kegiatan di laut; dan
  8. Subsidi yang mencakup kerugian operasi kapal atau penangkapan ikan atau kegiatan terkait penangkapan ikan.

Dia menyebut, pembahasan subsidi perikanan di WTO sangat diskriminatif bagi negara berkembang dan kurang berkembang. Hal itu, karena subsidi yang seharusnya dapat dipertahankan oleh negara berkembang, termasuk Indonesia, justru dibatasi bahkan dilarang.

Sebaliknya, negara maju dan industri perikanan skala besar justru mendapatkan perlakuan istimewa karena bisa tetap mempertahankan subsidinya selama bisa menerapkan langkah pengelolaan perikanan yang berkelanjutan.

“Ini sangat diskriminatif dan tidak adil, karena secara otomatis pengelolaan perikanan di negara maju lebih canggih dan lebih siap,” ungkapnya.

Menurut Rahmat Maulana, sikap yang diperlihatkan WTO tersebut menjelaskan ada intervensi terlalu jauh pada kebijakan nasional setiap negara berkembang dan kurang berkembang. Bahkan, melanggar konstitusi dan peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Dia menilai, upaya WTO dengan terus mendorong perubahan subsidi perikanan yang selama ini diberikan oleh negara berkembang, hanya akan berujung pelarangan pemberian subsidi bagi nelayan kecil di negara berkembang dan kurang berkembang.

“Sudah semestinya kita tegas dengan menolak intervensi yang dilakukan WTO itu,” tegasnya.

Baca juga : Berawal Kecil, Perikanan Tradisional Terus Membesar

 

Ikan ukuran besar masih didapatkan di perairan Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Sorotan juga diungkapkan Adam Wolfenden menyikapi teks negosiasi yang dinilai tidak berpihak pada nelayan kecil di negara berkembang dan kurang berkembang. Sebaliknya, WTO justru tidak menyasar kapal bertonase besar yang beroperasi di laut lepas yang seharusnya dicabut hak mendapatkan subsidi perikanan.

Selain itu, teks juga melampirkan pernyataan tentang peluang memberikan/mempertahankan subsidi perikanan kepada kapal pelaku IUUF, over capacity, dan overfishing. Syaratnya, kapal-kapal tersebut harus bisa melaksanakan pengelolaan ikan dengan berkelanjutan.

“Ini akan menguntungkan bagi negara maju yang memiliki manajemen perikanan yang sudah canggih dan maju,” tuturnya.

Hal lain yang juga dipersoalkan, adalah pernyataan batasan jarak tempuh bagi nelayan di negara berkembang dan kurang berkembang adalah maksimal 12 mil laut atau sekitar 22.224 kilometer (km). Jarak tersebut sangat pendek, karena Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982 mengatur maksimal hingga 200 mil laut dan menjamin kedaulatan atas wilayah teritori masing-masing negara.

Di luar itu, Adam juga menyoroti isi teks yang dinilai akan lebih menguntungkan negara maju karena mampu mensubsidi armada mereka dan mengelola stok ikan. Sementara, kegiatan yang sama justru menjadi sangat mahal bagi negara berkembang, bahkan negara kurang berkembang.

“Sehingga lebih sulit bagi negara-negara tersebut untuk mengelola seluruh stok ikan mereka serta melaporkannya ke WTO untuk mendapatkan fleksibilitas dalam hal ini,” tegas dia.

Ketua Umum Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Dani Setiawan juga memberikan pandangannya tentang subsidi perikanan yang menemui kebuntuan pada KTM13 WTO. Menurut dia, pelarangan subsidi bagi nelayan kecil oleh WTO, mengancam jutaan hidup nelayan dan masyarakat kecil yang bergantung di sektor perikanan.

Fakta tersebut menegaskan bahwa implementasi subsidi bahan bakar kepada nelayan masih tidak tepat sasaran. Berdasarkan studi KNTI pada 2021, menunjukan bahwa 82 persen nelayan kecil tidak bisa mengakses BBM subsidi yang seharusnya mereka dapatkan.

Kondisi itu dialami para nelayan, karena mereka kesulitan mengurus surat rekomendasi dan minimnya infrastruktur distribusi BBM subsidi yang bisa diakses nelayan kecil. Padahal, pengeluaran terbesar nelayan kecil adalah untuk membeli BBM yang meliputi 60-70 persen dari total biaya melaut.

“Bahkan nelayan kecil membeli BBM dengan harga 30-40 persen lebih mahal dari harga umum,” terangnya.

Baca juga : Ada Aksi Korporasi dalam Regulasi Kelautan dan Perikanan

 

Hasil tangkapan ikan di pasar Aceh. Hingga saat ini sebagian nelayan masih menggunakan perhitungan keuneunong meski sudah ada alat bantu kompas dan GPS. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Kepala Deputi Pengelolaan Pengetahuan KIARA Fikerman Saragih menyatakan bahwa nelayan kecil adalah nelayan yang mendominasi di Indonesia, bahkan jumlahnya mencapai 2,4 juta jiwa. Mereka ini biasa menggunakan perahu kecil bertonase 5 gros ton (GT) dan 10 GT.

Masyarakat yang berprofesi menjadi nelayan skala kecil biasanya menangkap ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Saat di atas perahu, mereka menangkap dengan berkelanjutan dan tidak eksploitatif.

Kata dia, penyebutan nelayan kecil dengan perahu 5 GT adalah sesuai yang tercantum dalam UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Sementara, nelayan dengan 10 GT merujuk pada UU 7/2016.

“Selain nelayan, ada juga perempuan nelayan yang terlibat dalam aktivitas pra-produksi dan pasca produksi perikanan skala kecil dengan jumlah mencapai 3,9 juta jiwa,” tambah dia.

Kelompok yang disebutkan di atas, seharusnya mendapatkan hak special and differential treatment (SDT) dalam perjanjian subsidi tersebut dan bukan negara maju. Sebaliknya, yang seharusnya dibatasi adalah negara maju, karena selama ini memberikan subsidi yang sangat fantastis di sektor perikanan.

Berdasarkan data, angka subsidi perikanan global setiap tahun bisa mencapai angka USD35,4 miliar, dengan USD22 miliar digunakan untuk subsidi yang merugikan. Ada lima negara yang memberikan subsidi sangat besar di sektor perikanan, yaitu Tiongkok, Uni Eropa, Amerika Serikat, Republik Korea, dan Jepang. (***)

 

 

Akankah 2024 Lebih Baik untuk Sektor Kelautan dan Perikanan Indonesia?

 

 

Exit mobile version