Praktik subsidi perikanan yang sudah lama dilakukan pelaku usaha dalam industri perikanan dan kelautan di Indonesia, perlahan mulai mengalami perubahan setelah tujuan pembangunan berkelanjutan (TPB) atau sustainable development goals (SDGs) butir 14 ada. Dalam butir tersebut, terdapat penjelasan yang melarang subsidi diberikan untuk menghilangkan praktik overfishing, overcapacity, dan illegal, unreported, unregulated fishing (IUUF).
Pelarangan tersebut, menurut Ketua DPP Koalisi Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Marthin Hadiwinata akan mulai berlaku pada 2020 mendatang. Praktik tersebut, dinilai sudah tepat karena subsidi perikanan harus tepat sasaran dan tepat guna. Jangan sampai, kata dia, para pelaku yang disebut di atas, masih tetap mendapatkan subsidi.
baca : Indonesia Pertahankan Subdisi Perikanan untuk Nelayan Kecil, Seperti Apa Itu?
Marthin menjelaskan, dari data badan pangan dunia (FAO) disebutkan bahwa subsidi perikanan dunia diperkirakan mencapai USD35 miliar, dimana sekitar USD20 miliar di antaranya adalah subsidi yang berkontribusi secara langsung terhadap aktivitas penangkapan ikan yang berlebih dan berdampak langsung pada keberlanjutan sumber daya perikanan.
“Hal ini berdampak terhadap pangsa stok ikan yang terus menurun sepanjang tahun. FAO mencatat adanya penurunan stok ikan yang yang cukup signifikan, dari sekitar adanya 90 persen stok ikan di tahun 1974 dan menurun hingga 69 persen di tahun 2013,” ujar dia di Jakarta, pekan lalu.
baca : Subsidi Solar Tidak Tepat Sasaran, Pencabutan Subsidi Jadi Solusi?
Menurut Marthin, untuk mencegah terus berlangsungnya praktik penangkapan berlebih dan penangakapan ilegal, KNTI mendukung penuh upaya global untuk mengatasi overfishing, overcapacity, dan praktek IUU Fishing di seluruh perairan dunia yang disebabkan oleh adanya pemberian subsidi di bidang perikanan berlebih pada industri penangkapan ikan berskala besar, dan secara khusus subsidi di negara-negara industri.
Untuk level nasional, Marthin menyebut, kasus pencurian ikan di Indonesia yang sudah berlangsung bertahun-tahun diketahui sudah melibatkan jaringan besar dan kuat melalui pemasaran yang rapi. Jaringan tersebut, adalah pencuri ikan dari berbagai negara dan diperkirakan menyebabkan Indonesia mengalami kerugian sekitar USD20 miliar atau sekitar Rp260 triliun.
“Sementara, di tingkat global kerugian akibat Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing diperkirakan mencapai USD10 miliar hingga USD23,5 miliar atau setara Rp310 triliun per tahun. Untuk itu, tindakan tegas terhadap praktik pencurian ikan menjadi salah satu cara untuk menekan over exploitations yang terjadi di Indonesia,” tegas dia.
baca : Indonesia Ajak PBB dan Uni Eropa Terlibat dalam Penegakan Hukum di Laut
Perlunya melakukan penghentian subsidi perikanan, menurut Marthin, karena penindakan illegal fishing oleh Pemerintah Indonesia tidak cukup hanya dengan melakukan penenggelaman kapal saja. Akan tetapi, bagaimana dilaksanakan penegakan hukum terhadap perusahaan pemilik kapal yang menjadi kunci utamanya.
“Walaupun, jumlah kapal yang ditenggelamkan sudah mencapai 317 unit, tutur dia.
Dengan mengejar perusahaan pemilik kapal, Marthin menilai, pelacakan akan lebih mudah dilakukan dan penindakan IUUF bisa lebih tepat karena tertuju pada kuncinya. Jika itu terjadi, maka efek jera bisa dirasakan pelaku.
“Karena penindakan hukum hanya sebatas pada kapten kapal tidaklah cukup membuat efek jera perusahaan pemilik kapal. Selain itu, penegakan hukum terhadap illegal fishing harus menyentuh pada praktik-praktik pencurian ikan di perbatasan seperti double flagging, mematikan alat VMS, dan transshipment di tengah laut,” papar dia.
baca : Pemberantasan IUU Fishing Semakin Berat Dilakukan Indonesia, Kenapa?
Posisi Nelayan Kecil
Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati menjelaskan, sebagai negara kepulauan yang menjadi negara dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia, Indonesia sudah sepatutnya menjaga sumber daya laut dan bagaimana bekerja untuk menciptakan kedaulatan pangan laut di Negeri sendiri.
Untuk itu, menurut Susan, Pemerintah Indonesia harus menjadikan nelayan sebagai pilar utama yang wajib dilibatkan dalam upaya mewujudkan dua hal tersebut. Presiden Joko Widodo sendiri menyebut profesi nelayan dalam Poros Maritim sebagai pilar utama menjaga kedaulatan di laut dan kedaulatan pangan laut.
baca : Kapal Berukuran Kecil Lakukan Praktik Perikanan Ilegal?
Susan memaparkan, dari data yang dihimpun KIARA, hingga hari ini Indonesia memiliki 2.7 juta jiwa nelayan, baik mereka yang beroperasi di laut maupun perairan umum. Dari jumlah tersebut, sekitar 556.349 unit kapal sedang beroperasi dan 95,6 persen di antaranya adalah kapal skala kecil yang beroperasi di sekitar pesisir pantai atau beberapa mil dari pantai.
“Kapal-kapal tersebut memiliki spesifikasi perahu tanpa motor sebanyak 170.938 unit, kapal motor tempel sebanyak 225.786 unit, kapal motor di bawah 5 GT sebanyak 123.748 unit, dan kapal motor ukuran 5GT s.d 10 GT mencapai 35.877 unit,” papar dia.
Akan tetapi, Susan menuturkan, walau jumlah nelayan sedikit, dari data Badan Pusat Statistik (BPS) disebutkan ada 63,47 persen yang tercatat sebagai penduduk miskin dan hidup di kawasan pesisir dan pedesaan. Mereka yang disebut miskin yaitu berpenghasilan Rp1,2 juta per bulan.
Dengan fakta tersebut, Susan meminta perhatian Pemerintah dan menetapkan kebijakan subsidi perikanan lebih tepat sasaran dan tepat guna. Kata dia, subsidi untuk nelayan adalah amanat Konstitusi. Karena faktanya, hingga saat ini nelayan Indonesia masih sangat membutuhkan dukungan pemerintah terkait berbagai persoalan yang dihadapi nelayan.
Adapun, persoalan yang selalu dihadapi nelayan, menurut Susan, adalah alat dan kapal penangkapan; biaya operasional untuk melaut, seperti: subsidi BBM, skema permodalan dan asuransi untuk nelayan, serta Pembebasan pajak dan retribusi; sarana dan prasana pendukung hasil tangkapan; dan bantuan pendidikan, pelatihan dan penyuluhan perikanan.
“Kami menilai, hanya sekitar 16 persen dari total subsidi perikanan dari Pemerintah Indonesia yang sampai pada nelayan tradisional skala kecil. Sebaliknya, sekitar 90 persen subsidi perikanan diberikan secara eksklusif pada industri perikanan skala besar yang berkontribusi pada penangkapan ikan berlebih,” tegas dia.
Untuk itu, Susan mengingatkan, seperti termaktub dalam tiga kebijakan nasional yaitu Undang-Undang Perikanan, UU Kelautan dan UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam, terdapat sedikitnya 24 bentuk tindakan kebijakan subsidi yang terkandung di dalma ketiga UU tersebut.
Dalam mandatnya, Susan menyebut, kebijakan undang-undang tersebut mewajibkan Negara hadir untuk memenuhi kebutuhan dasar pelaku kegiatan perikanan nelayan tradisional skala kecil. Hal itu, sesuai dengan komitmen Pemerintah Indonesia untuk melindungi perikanan skala kecil sesuai Pedoman FAO Mengenai Perlindungan Perikanan Skala Kecil dalam Konteks Mengurangi Kemiskinan dan Ketahanan Pangan Tahun 2014.,
“Dimana pendekatan hak asasi manusia menjadi jiwa dari upaya perlindungan perikanan skala kecil,” tandas dia.
Subsidi BBM
Di antara bentuk subsidi yang diberikan Pemerintah Indonesia untuk sektor perikanan dan kelautan, adalah subsidi bahan bakar minyak (BBM) sesuai dengan Peraturan Menteri ESDM Nomor 6 Tahun 2014. Di dalam Permen tersebut, kapal berukuran 30 gros ton (GT) dibolehkan untuk mendapatkan subsidi solar. Kebijakan tersebut dinilai tidak tepat sasaran, karena masih ada kapal berukuran kecil yang lebih berhak menerima subsidi.
Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ) Rachmi Hertanti mengatakan, 90 persen rumah tangga nelayan yang ada di Indonesia, selalu menghabiskan 60 persen pengeluaran ongkos produksi hanya untuk membeli BBM. Kondisi itu berbanding terbalik dengan subsidi yang diterima kapal besar berukuran 30 GT.
“Akibatnya, banyak terjadi penimbunan BBM bersubsidi oleh pihak-pihak tertentu dan dijual kembali dengan harga tinggi. Kejadian itu banyak dirasakan nelayan di kawasan pesisir Pantai Utara Jawa seperti Kendal di Jawa Tengah,” tutur dia.
Saat nelayan menerima perlakuan tidak adil, Rachmi menyebut, di saat yang sama mereka justru ikut berperan dalam upaya penyelamatan ekosistem laut melalui kearifan lokal yang sudah dipraktikkan dan dipelihara sejak lama. Praktik seperti itu, dinilai akan merawat Indonesia dari pesisir dan merawat perekonomian berbasis komunitas.
Bagi Rachmi, pengelolaan eksosistem pesisir dan laut berbasis komunitas merupakan agenda penting yang harus didukung Pemerintah dan berbagai pihak. Praktik tersebut, diyakini bisa mencegah hilangnya keanekaragaman hayati, tapi tetap memelihara hak masyarakat nelayan dan adat dalam menjaga kelestarian alam.
“Jadi, asumsi yang menyebutkan bahwa subsidi perikanan, khususnya di negara berkembang, menyebabkan penangkapan berlebih dan memacu menipisnya stok ikan, itu adalah pandangan keliru dan tidak sesuai dengan fakta di lapangan,” tegas dia.
Rachmi menambahkan, untuk melawan fakta di atas, Indonesia yang saat ini menjadi negara berkembang yang mengoperasikan sebagian besar kapal kecil berukuran di bawah 5 GT, harus kembali kepada mandat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Dengan cara tersebut, subsidi perikanan bisa diterapkan dengan adil.
“Terjadinya ketimpangan ekonomi dapat terlihat dengan jelas antara nelayan skala kecil dan industri perikanan skala besar ini akibat dari distribusi subsidi perikanan yang tidak adil tersebut. Oleh karena itu, kami meminta agar agenda penghapusan subsidi perikanan bukan ditujukan bagi nelayan- nelayan tradisional skala kecil, tetapi harus difokuskan pada pelaku usaha perikanan tangkap skala besar,” pungkas dia.