- Pergantian tahun dari 2023 ke 2024 bukan saja sekedar angka bagi sektor kelautan dan perikanan nasional. Momen tersebut diharapkan bisa menjadi proses untuk memperbaiki kondisi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat perikanan
- Harapan adanya perbaikan, karena 2023 dinilai menjadi tahun terburuk bagi sektor KP, di mana ada banyak persoalan yang memicu dampak negatif. Utamanya, itu dirasakan oleh pekerja perikanan dan pelaku usaha perikanan skala kecil dan tradisional
- Pemerintah Indonesia harus bisa memperbaiki situasi tersebut, karena itu akan berdampak pada keamanan, kenyamanan, dan kesejahteraan masyarakat perikanan yang berperan sebagai aktor utama di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
- Perbaikan juga harus dilakukan Pemerintah terhadap kebijakan yang akan berjalan pada 2024. Tujuannya, agar target Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) bisa tercapai sesuai harapan, dan bisa membantu sektor KP menjadi andalan perekonomian nasional
Tahun 2024 menjadi tahun penuh harapan bagi banyak kalangan yang terlibat pada sektor kelautan dan perikanan. Satu-satunya yang mungkin sama, 2024 diharapkan menjadi tahun yang lebih baik dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.
Harapan tersebut muncul, karena 2023 dinilai menjadi tahun terburuk sektor KP selama ini. Tahun lalu, Destructive Fishing Watch (DWF) Indonesia menilai bahwa sektor KP mengalami permasalahan pelik yang beragam dan merugikan masyarakat pesisir dan perikanan skala kecil.
Itu kenapa, DFW Indonesia berani menyimpulkan bahwa 2023 menjadi tahun puncak perampasan laut yang menjadi implikasi dari kebijakan yang diberlakukan oleh Pemerintah Indonesia kepada masyarakat pesisir serta perikanan skala kecil dan tradisional.
“Demokrasi sipil yang tidak bebas menjadi titik awal kemunduran kebijakan perikanan dan kelautan,” ucap Peneliti DFW Indonesia Miftahul Choir belum lama ini di Jakarta.
Contoh kemunduran kebijakan bisa dilihat di pulau Rempang yang secara administrasi masuk ke dalam wilayah Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau. Di sana, pertambangan eksktraktif dan kebijakan penangkapan ikan terukur (PIT) mendapat respons negatif dari pemilik kapal dan masyarakat lokal.
Penolakan tersebut disaksikan langsung oleh organisasi masyarakat sipil yang memberikan pendampingan kepada warga lokal dan pemilik kapal. Aksi tersebut kemudian direspon oleh organisasi melalui beragam cara.
baca : Nasib Nelayan Pulau Rempang: Terancam Relokasi Proyek Strategis Nasional
Di luar penolakan dari warga lokal, permasalahan keadilan juga sedang dihadapi oleh para pekerja pada sektor perikanan, dan para pelaku usaha perikanan kecil dan tradisional. Permasalahan itu seperti eksploitasi sumber daya alam di laut, dan sikap Kementerian yang belum memperhatikan para pekerja perikanan.
“Salah satunya, masih terhambatnya ABK (anak buah kapal) perikanan untuk berserikat secara struktural,” ungkap dia menyebut profesi yang dikenal juga dengan sebutan awak kapal perikanan (AKP) itu.
Dia menyampaikan, perampasan ruang laut bisa terjadi karena ada pengambilalihan atau penggunaan akses dan penggunaan sumber daya dari pengguna sebelumnmya. Selain itu, perampasan ruang laut terjadi karena ada proses yang tidak melibatkan publik dan memicu dampak ekologis dan sosial.
Minimnya pelibatan publik pada setiap proses pengambilan kebijakan sepanjang 2023 juga menjadi fokus dari DFW Indonesia. Pemerintah dinilai terlalu fokus pada pertumbuhan ekonomi saja, dan bukan kepada masyarakat pesisir yang menjadi aktor utama.
Kritik itu menjadi bagian dari kritik terhadap kebiajkan protektif dan liberalisasi perikanan yang dilakukan Pemerintah. Kata dia, selama 2023 Pemerintah juga hanya berusaha mencari solusi dari setiap masalah dengan fokus hanya ke teknis saja, dan bukan solusi permanen.
Kemudian, Pemerintah juga dinilai tidak siap dalam melaksanakan sebuah kebijakan yangn sudah dibuat, kemunculan potensi konsolidasi oligarki laut, dan sengaja mengabaikan dampak lingkungan serta sosial. Itu artinya, perampasan ruang laut sudah memuncak pada 2023.
baca juga : Mengendalikan Ancaman Konflik dari Pengelolaan Ruang Laut
Tentang oligarki laut, Robison dan Hadiz (2013) sudah menjelaskan bahwa itu adalah suatus sistem relasi kekuasaan yang memungkinan terjadinya pengumpulan kekayaan dan kewenangan di tangan segelintis elite, beserta seperangkat mekanisme untuk mempertahankannya.
Miftahul Choir mengelompokkan kebijakan yang sudah dibuat oleh Pemerintah Indonesia, salah satunya melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) ke dalam lima. Selain kebijakan PIT, ada juga tata ruang laut (TRL), perlindungan AKP, kesejahteraan nelayan, dan penegakan hukum.
Dia menilai, jika Pemerintah ingin mewujudkan keadilan di laut, maka sudah seharusnya nelayan dan pekerja perikanan juga mendapatkan keadilan. Itu berarti, kedua kelompok tersebut tidak boleh dipisahkan dari berbagai kebijakan atas nama keadilan.
Hambatan yang membuat kelompok pekerja perikanan belum mendapatkan keadilan, di antaranya adalah karena faktor ekonomi. Faktor ini yang menjadikan mereka memilih bekerja di kapal perikanan sebagai cara terakhir untuk mendapatkan penghasilan menjanjikan.
Faktor berikutnya, adalah legal. Biasanya, faktor ini disebabkan karena para pekerja perikanan hanya memiliki kartu tanda penduduk (KTP) sebagai dokumen resmi pribadi. Sayangnya, satu-satunya dokumen tersebut sering kali ditahan atau disita oleh pemilik kapal atau kapten sebagai bentuk jaminan selama bekerja.
Berikutnya, kemampuan menjadi faktor yang menghambat para pekerja perikanan untuk mendapatkan keadilan. Faktor ini biasanya muncul saat para pekerja harus melakukan negosiasi dengan pemilik kapal atau perusahaan perikanan. Saat proses tersebut berjalan, mereka tidak memiliki daya tawar didasarkan pada kemampuan dan kompetensi karena tidak mendapatkan pelatihan sebelum bekerja.
Faktor terakhir yang menyebabkan tidak adanya keadilan bagi para pekerja perikanan, adalah konsolidasi. Ketiadaan kemampuan tersebut, membuat para pekerja harus menjalani jam kerja yang panjang, tanpa istirahat, dan dengan kontrak kerja yang fleksibel.
baca juga : Karut Marut Perlindungan Awak Kapal Perikanan
Mengingat ada sejumlah faktor yang masih menghambat, DFW Indonesia meminta Pemerintah Indonesia untuk melakukan tindakan, lantaran pekerja perikanan dan nelayan adalah bagian dari penyelamat bangsa.
Pertama, KKP dan Kementerian Ketenagakerjaan RI diminta untuk segera merumuskan panduan tata kelola, termasuk sistem pengawasan AKP dan Pekerja di unit pengolahan ikan (UPI). Dengan demikian, jaminan perlindungan kerja yang holistik bisa diberikan kepada para pekerja.
Kedua, memperbaiki regulasi tata Kelola AKP, yaitu melalui revisi Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.33/2021 tentang Log Book Penangkapan Ikan, Pemantauan di Atas Kapal Penangkap Ikan dan Kapal Pengangkut Ikan, Inspeksi, Pengujian, dan Penandaan Kapal Perikanan, serta Tata Kelola Pengawakan Kapal Perikanan.
Cara tersebut diyakini bisa menjadi salah satu langkah, karena bisa membuat ketentuan tentang sistem rekrutmen yang adil, sistem pengawasan AKP, dan kepastian status AKP sebagai pekerja dengan hak-hak normatif.
Ketiga, Pemerintah didorong untuk melakukan inspeksi dan pemeriksaan kondisi kerja di atas kapal, dan kelengkapan sertifikasi dan kompetensi. Meliputi, aspek kesehatan dan keselamatan kerja (K3), keikutsertaan jaminan sosial bagi pekerja perikanan, basic safety training (BST), buku pelaut, dan perjanjian kerja laut (PKL) bagi setiap AKP.
Keempat, Pemerintah diminta untuk mempertimbangkan sistem pengupahan berbasis upah minimum provinsi (UMP) di industri perikanan nasional. Namun, pelaku usaha diminta untuk transparan saat akan menetapkan upah AKP.
Kelima, Pemerintah harus bisa memperkuat peran dari setiap Pemerintah Provinsi dalam melakukan pengawasan kondisi kerja AKP dan kondisi kerja di UPI pada sentra-sentra perikanan di seluruh Indonesia.
Kelima, Pemerintah didorong untuk membentuk, melakukan konsolidasi, dan penguatan serikat pekerja perikanan dalam skala nasional sebagai sarana perjuangan pekerja perikanan dalam melakukan perundingan dengan pemerintah dan pelaku usaha perikanan.
Koordinator Nasional DFW Indonesia Moh Abdi Suhufan juga menyoroti pentingnya membuat formula baru sebuah kebijakan yang bisa fokus bagaimana melibatkan publik di dalamnya. Urgensi tersebut menjadi implementasi dari Undang-Undang No.7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam.
“Pemerintah perlu meningkatkan perhatian pada perlindungan nelayan kecil melalui penyediaan BBM (bahan bakar minyak), asuransi nelayan, dan pupuk bersubsidi bagi petambak ikan dan udang,” kata dia menyebut upaya yang harus dilakukan Pemerintah pada 2024 ini.
baca juga : Catatan Akhir Tahun: Mengukur Kesiapan Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur
Stabilitas Ekonomi
Selain itu, Pemerintah juga perlu melakukan upaya pada 2024 dengan menjaga stabilitas pertumbuhan ekonomi perikanan. Caranya, bisa dilakukan melalui penciptaan usaha dan penyediaann lapangan kerja, budi daya perikanan berkelanjutan, dan meningkatkan daya beli nelayan.
“Stabilitas makro pertumbuhan ekonomi perikanan perlu dijaga secara ketat,” tambah dia.
Suhana, Pemerhati Isu Kelautan dan Perikanan yang juga Pengajar Univesitas Teknologi Muhammadiyah Jakarta pada program studi Sosial Ekonomi Perikanan memberikan analisisnya tentang kebijakan kelautan dan perikanan dari sisi kacamata ekonomi makro.
Menurut dia, salah satu gambaran bahwa sektor KP sudah berkembang dan bahkan maju, adalah jumlah Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sumber daya alam (SDA) perikanan bisa mencapai target yang ditetapkan. Jika tidak, maka ada kebijakan yang belum mendukung terwujudnya target.
Target PNBP pada 2023 contohnya, oleh KKP ditetapkan sebesar Rp3,5 triliun, namun terkumpul maksimal Rp1,628 triliun saja. Capaian itu terjadi karena ada perubahan metode perhitungan dari praproduksi menjadi pascaproduksi. Perubahan tersebut, menghitung PNBP saat wajib bayar mendaratkan ikannya.
Penetapan target yang besar juga dilakukan KKP pada tahun anggaran 2024 dengan nilai Rp12 triliun. Target itu awalnya dibidik karena ada penetapan kebijakan PIT untuk tujuan pelestarian ekologi dan keberlanjutan sumber daya, ada kemudahan perizinan utsaha penangkapan ikan, serta digitalisasi dan integrasi data sektor perikanan antara kementerian dan lembaga (K/L) untuk menguatkan pengawasan dan kepatuhan wajib bayar.
Suhana menyebutkan, target Rp12 triliun akan sulit dicapai karena kebijakan yang diterapkan oleh Pemerintah Indonesia masih belum mendukung. Kalau pun target diturunkan jadi Rp1,6 triliun, itu pun tetap akan sulit dicapai jika masih belum ada kesiapan dari lembaga Kementerian untuk penerapannya.
“PIT itu tidak mampu meningkatkan pendapatan sektor perikanan,” ungkap dia menyebut program yang akhirnya dimundurkan penerapannya dari 2024 ke 2025.
baca juga : Catatan Akhir Tahun: Sebulan Jadi Setahun Penantian Penangkapan Ikan
Selain faktor kebijakan yang belum mendukung, Suhana juga mengingatkan bahwa fluktuasi pertumbuhan ekonomi perikanan bisa membuat pengusaha dari luar negeri enggan untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
Dia kemudian mengungkap fakta bahwa empat tahun terakhir nilai investasi penanaman modal asing (PMA) cenderung menurun, terutama di 2021, di mana investasi mengalami penurunan hingga 61,51 persen.
“Investasi asing menurun karena ketidakstabilan politik, dan perlu perhatian khusus dari pemerintah untuk menjaga stabilitas pertumbuhan ekonomi di sektor ini sehingga pelaku usaha tertarik,” jelas dia.
Mempertimbangkan berbagai faktor yang disebutkan di atas, Suhana menilai kalau Pemerintah harus bisa membuat prioritas program kelautan dan perikanan yang akan dijalankan sepanjang 2024. Utamanya, adalah melakukan reformulasi kebijakan dengan memastikan keterlibatan publik yang substansial.
Kedua, melakukan penguatan implementasi UU 7/2016 melalui penyediaan dan jaminan kebutuhan dasar bagi nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam. Kebutuhan itu seperti BBM, asuransi, kredit, pupuk melalui pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), dan APB Daerah yang lebih signifikan.
“Mendorong pelaku usaha untuk mendapatkan sertifikasi hak asasi manusia (HAM) perikanan dengan mekanisme insentif dan disinsentif,” papar dia menyebut prioritas ketiga yang harus dilaksanakan.
Terakhir, bagaimana Pemerintah bisa menjaga stabilitas pertumbuhan ekonomi perikanan 2024 melalui intervensi program strategis, dan konsistensi kebijakan yang berorientasi pada penciptaan lapangan kerja.
“Juga, meningkatkan produksi perikanan yang berkualitas melalui budi daya berkelanjutan, optimasi pasar dalam negeri dan ekspor produk bernilai tinggi,” pungkasnya.
baca juga : Seberapa Dalam Tiga Calon Presiden Pahami Sektor Kelautan dan Perikanan?
Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono sudah mengatakan bahwa peralihan skema PNBP praproduksi ke pascaproduksi untuk subsektor perikanan tangkap membutuhkan kesiapan regulasi dan infrastruktur.
Kesiapan yang dimaksud, adalah infrastruktur pelabuhan, logistik, listrik, air bersih, dan gudang pendingin (cold storage). Pada periode transisi ini, KKP telah memperkirakan bahwa PNBP perikanan tangkap tidak akan mencapai target.
Diketahui, penarikan PNBP dalam bidang perikanan tangkap berubah dari sistem praproduksi menjadi pascaproduksi dan diatur dalam Peraturan Pemerintah No.85/2021 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Saat PNBP berjalan dengan praproduksi, pelaku usaha sebagai pihak wajib Bayarbharus melakukan pembayaran PNBP di awal untuk waktu satu tahun mendatang. Sementara, setelah diubah menjadi pascaproduksi, kewajiban membayar dihitung berdasarkan jumlah tangkapan ikan dalam setiap tangkapan atau satu kali perjalanan.
Trenggono sendiri sudah mengakui ada penurunan ekspor, permasalahan rantai dingin, dan penurunan daya beli nelayan. Untuk itu, dia menekankan perlunya penguatan rantai dingin untuk memastikan kualitas ikan tetap terjaga, dan untuk memaksimalkan potensi sektor KP di Indonesia.
Menurut dia, saat ini ada lima peta jalan (roadmap) yang menjadi kebijakan dan dilaksanakan pada sektor KP sepanjang 2024. Kelimanya adalah memperluas kawasan konservasi laut, monitoring kapal melalui vessel monitoring system (VMS), pengembangan perikanan budi daya berkelanjutan, pengawasan wilayah pesisir, dan pembersihan sampah plastik laut. (***)