- Sebagian masyarakat berprofesi sebagai nelayan di Pulau Rempang. Pesisir kawasan ini masih menjadi penopang hidup mereka secara turun temurun.
- Namun, proyek strategis nasional (PSN) yang disebut Rempang Eco-city ini akan segera mengubah ruang hidup mereka itu. Mereka akan direlokasi dalam waktu dekat ini.
- Sejak tersiar kabar kampung-kampung pesisir tersebut akan digusur nelayan tidak lagi tenang melaut. Mereka tidak hanya takut direlokasi, tetapi juga khawatir dijemput polisi setelah melaksanakan aksi penolakan.
- Pengamat menyebut, banyak pembangunan Indonesia mengabaikan masyarakat kecil. Sehingga patut dipertanyakan, negara berpihak kepada siapa, investor atau rakyatnya.
Yahya baru dua jam melaut, tiba-tiba saudaranya dari jauh berteriak kencang. “Ada huru hara di Jembatan 4 Tanjung Kertang,” kata Yahya menirukan panggilan saudaranya itu.
Sontak Yahya memutarkan haluan pompong atau sampan kecilnya. “Kita harus ikut, namanya kita bersaudare harus bersatu,” kata Yahya bercerita kepada Mongabay Indonesia pada Selasa (12/9/2023).
Hari itu juga Yahya bersama nelayan lainnya di Sembulang berhenti melaut. Mereka datang ke Jembatan 4, Tanjung Kertang, Pulau Rempang, Kota Batam, Kepulauan Riau. Ketika itulah terjadi bentrok antara warga dan aparat. Warga menolak tanah kampungnya direlokasi untuk proyek Rempang Eco-city, sedangkan aparat memaksakan diri untuk masuk ke dalam pulau memasang patok lahan.
Kondisi seperti itu sering dialami nelayan Sembulang belakangan ini. Tidak hanya nelayan, begitu juga petani di kampung-kampung tua yang diperkirakan sudah ada sejak 1834 itu. “Kadang baru satu jam melaut, dapat kabar, kampung kita mau dipatok, kami ke darat lagi, pokoknya tak tenanglah melaut,” katanya.
Bahkan ketakutan itu memuncak, satu hari pasca bentrok unjuk rasa di Kantor BP Batam, pada Senin (11/9/2023) lalu. Yahya mendapatkan kabar yang sama, bahwa polisi sedang mencari massa aksi yang anarkis.
“Kami sebenarnya tidak ikut anarkis. Namanya kita orang kampung, takut. Nanti salah jawab diangkat (ditangkap). Anak bini siapa yang menanggung? Pokoknya sekarang tak tenang lagi. Jangankan kerja, makan dan beribadah saja tidak tenang,” kata pria 34 tahun itu.
baca : Kala Proyek Rempang Eco-city Melaju, Warga Menolak Berhadapan dengan Aparat
Sehari-hari nelayan di Sembulang, menangkap kepiting, gonggong dan juga berbagai jenis ikan. Area tangkapan mereka tepat di depan rumah. Kawasan ini masih memiliki kekayaan laut yang melimpah.
Senada yang dialami Sobirin (43 tahun), seorang nelayan di Kelurahan Sembulang. Beberapa bulan terakhir, dia tidak tenang saat melaut mencari udang karena terpikir kampungnya bakal digusur.
Ketakutan itu mempengaruhi penghasilan nelayan di Sembulang, Kota Batam, yang menurun semenjak adanya rencana relokasi tersebut. Biasanya satu hari nelayan bisa mendapatkan penghasilan bersih Rp300 ribu, namun sekarang hanya lepas keperluan makan istri dan anak-anak mereka.
Sobirin menegaskan, meskipun penghasilan mereka kecil, nelayan sudah bahagia hidup di pesisir Sembulang. Tidak terbayang bagi mereka jika harus digusur ke tempat yang lain. “Ini kita mau dipindahkan ke rusun sementara, nelayan mana bisa hidup di darat, dimana sampan mau kita tambatkan?,” katanya.
Apalagi kata Sobirin, jika berpindah tempat tinggal masyarakat harus memulai kembali dari awal. Hal itu tidak akan mudah. “Kita sudah paham laut sini, tahu dimana adanya udang, gonggong. Tahu kapan menjaring, kapan memancing,” katanya.
Oleh karena itu, Sobirin menolak pindah ke rumah susun yang jauh dari pesisir yang sudah jadi tempat hidupnya puluhan tahun. “Kami tidak perlu diberikan rumah. Biarlah kami tinggal di rumah kayu ini. Kami juga sudah biasa bekerja sebagai nelayan ini, tidak perlu pekerjaan lain,” katanya.
baca juga : Pulau Lepas ke Investor, Warga Rempang Tak Mau Relokasi
Sedangkan Humas Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Kabupaten Bintan, Putra Ardiansyah mengatakan rencana relokasi nelayan di pesisir Pulau Rempang untuk proyek Rempang Eco-city bertentangan dengan UU No.7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam.
“Hak-hak nelayan ini seperti terzolimi oleh kebijakan investasi, kita lihat saja di Pasal 11 ayat 2 UU Perlindungan nelayan, yang mana pemerintah pusat dan pemerintah daerah dilarang membuat Kebijakan yang bertentangan dengan upaya perlindungan nelayan dan pemberdayaan nelayan,” katanya.
Putra mengatakan, perlu ada kajian landasan sosiologis, empiris dan yuridis untuk memindahkan nelayan dari kampung pesisir mereka. “Ketika mereka harus dipindahkan (sementara) ke darat, mereka otomatis akan jauh dari wilayah kerjanya, siapa yang akan menjamin kehidupan dan pendapatan mereka,” katanya.
Putra berharap, pemerintah lebih jeli dan memikirkan nasib rakyat terutama nelayan yang turun temurun berada di sana. “Bukan malah mendahulukan investasi yang belum tentu. Investasi itu tentu memberikan dampak positif kepada masyarakat lokal dan lingkungan, tetapi pasti ada dampak negatifnya juga,” tutupnya.
Peneliti Sajogyo Institute, Eko Cahyono menilai, kasus konflik di Rempang menunjukan proyek strategis nasional semakin kokoh pasca disahkan UU Cipta Kerja. Negara menjalankan program secara legal tetapi non legitimate. “Artinya, kalau ditanya, semua proyek pemerintah itu legal semua, tetapi tak memiliki legitimasi bagi rakyat,” katanya.
Padahal seyogyanya, negara ini hadir karena adanya nenek moyang masyarakat kampung tua, salah satunya yang berada di Rempang. “Masyarakat Rempang disebut tidak memiliki sertifikat, padahal mereka sudah ada sebelum (aturan) sertifikat itu ada, inikan terbalik semua, masyarakat adat dipaksa untuk memohon pengakuan dari negara,” katanya.
baca juga : Masyarakat Adat di Rempang, Ada Sebelum Indonesia
Kampung Nelayan Modern
Dalam buku saku informasi relokasi warga Rempang ke Galang BP Batam. Masyarakat yang terdampak pembangunan akan dibangunkan kawasan kampung pengembangan nelayan maritime city. Kampung ini akan menjadi kampung percontohan sebagai kampung nelayan modern dan maju.
Direncanakan letaknya di Pulau Galang yang tidak jauh dari Pulau Rempang. Tidak hanya relokasi rumah masyarakat, tetapi juga akan dibangun dermaga untuk nelayan di kawasan tersebut.
Namun dalam tahap awal ini masyarakat korban relokasi akan disiapkan rumah susun (rusun) dan rumah sewa di beberapa tempat di Batam. Sampai rumah relokasi yang dijanjikan betul-betul terbangun.
Tidak hanya di relokasi ke rusun, warga juga akan diberikan biaya hidup Rp1,2 juta per orang, plus uang sewa Rp 1,2 juta untuk satu KK. “Biaya itu sudah disiapkan BP Batam,” ujar Menteri Investasi Bahlil Lahadalia.
Apa yang Terjadi di Rempang?
Pulau Rempang, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau belakangan ini menjadi perbincangan banyak pihak baik nasional maupun internasional. Pasalnya, di Rempang akan bernasib sama dengan beberapa daerah lainnya dimana masyarakat tempatan akan digusur demi kepentingan investasi pembangunan skala besar.
Persoalan ini mencuat secara luas semenjak terjadi bentrok antara aparat gabungan dan masyarakat Pulau Rempang, di Jembatan 4, Tanjung Kertang, Kota Batam, 7 September 2023 lalu. Ketika itu 1.010 aparat gabungan TNI, Polri, Satpol PP dan Ditpam BP tiba-tiba memaksa masuk menggunakan pasukan dan alat lengkap, termasuk gas air mata dan peluru karet.
Sontak warga spontan bersatu menghadang tim gabungan tersebut. Mereka tidak ingin kampung tua diserahkan, sebelum ada negosiasi yang jelas. Tidak selang beberapa menit, bentrok tidak terelakan warga lempar batu, polisi menembakan gas air mata. Warga yang melintas, puluhan siswa di dekat lokasi, hingga balita menjadi korban.
baca juga : Perempuan Rempang Tolak Relokasi, “Pak Presiden, Apakah Kami Sudah Merdeka?
Setelah itu persoalan Rempang menjadi perhatian pemerintah pusat. Hingga Menteri Investasi Bahlil Lahadalia bersama dua menteri Joko Widodo lainnya melakukan rapat di Batam. Bahlil juga menyikapi kritikan presiden Joko Widodo terkait adanya komunikasi yang tidak baik soal investasi Rempang.
Bahlil kemudian datang langsung ke Rempang, berbicara dengan tokoh masyarakat di Pulau Rempang. Beberapa kesepakatan dijalin meskipun tidak ada hitam dan putih. Namun, warga yang terdampak tetap bersuara menolak di relokasi. (***)