Mongabay.co.id

Kesaksian Warga Adat sampai Ahli Kuatkan Pentingnya UU Masyarakat Adat

 

 

 

 

 

Ketiadaan Undang-undang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat membuat posisi masyarakat adat rentan terusir dari ruang hidup bahkan tak jarang alami kriminalisasi. Sayangnya, RUU Masyarakat Adat yang sudah proses belasan tahun dari Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono sampai Presiden Joko Widodo, ketuk palu. Sedangkan  menanti pengakuan dari pemerintah daerah lewat peraturan daerah tak mudah, lebih bersifat politis dan mahal.

Begitu antara lain yang terungkap dalam persidangan gugatan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) bersama komunitas adat terhadap DPR dan presiden di PTUN Jakarta, medio Maret lalu.

Adapun komunitas adat yang menggugat dari Ngkiong di Kabupaten Manggarai, Masyarakat Adat Osing di Banyuwangi dan Masyarakat Adat O Hongana Manyawa di Halmahera, Maluku Utara. Dalam dokumen gugatan, nama-nama penggugat ialah Mikael Ane, Wiwin Indiartis, Niklas Dilingir, Hago Baikoe, Rinto Tojow, Toduba Hakaru, Aqo Gihali, dan Saptu Tojou.

Pada sidang itu, PPMAN selaku kuasa hukum masyarakat adat menghadirkan orang-orang adat yang menceritakan proses perjalanan pembahasan RUU Masyarakat Adat yang terus kandas, hingga kerugian mereka alami imbas dari tidak UU khusus itu.

“Banyak pengaduan dan setiap tahun meningkat. Konflik di lapangan meningkat,” kata Abdon Nababan, mantan Sekjen AMAN.

Abdon menceritakan kiprah RUU MHA yang tak kunjung selesai sejak 25 tahun lalu. Dia menyebut,  tuntutan menelurkan UU MHA hadir dari Kongres Masyarakat Adat pertama tahun 1999.

Kongres dihadiri 157 kelompok suku itu menyebut ketiadaan UU membuat negara sama saja tidak mengakui keberadaan masyarakat adat. Padahal, UUD 1945 jelas mengakui keberadaan masyarakat adat.

“Tapi pengakuan itu tidak ada di kehidupan nyata, banyak UU yang berlaku justru mengambil hak-hak masyarakat adat tanpa sepengetahuan masyarakat adat,” kata Abdon.

 

Abdon Nababan, mantan Sekjen AMAN yang memberikan kesaksian di sidang gugatan AMAN soal UU Masyarakat Adat. Foto: Richaldo Hariandja/Mongabay Indonesia

 

Sayangnya, hingga kini tak ada langkah progresif pemerintah dan DPR untuk menerbitkan UU MHA. Beberapa kali,  RUU masuk dalam prioritas legislasi nasional (prolegnas), tetapi tak kunjung selesai.

Pengakuan masyarakat adat, katanya,  sudah ada di beberapa daerah lewat peraturan daerah tetapi mengandalkan mekanisme itu tak akan efektif karena mahal dan lambat.

Belum lagi, pembuatan perda kadang politis,  tergantung niat kepala daerah. ”Rumit dan mahal kalau minta ke daerah. Kami minta ada UU karena untuk administrasi hukum, bukan produk politik,” katanya.

Novi Dewi Cahyati,  Ketua Majelis Hakim heran tidak ada administrasi hukum terhadap masyarakat adat di instansi pemerintah manapun. “Di instansi mana yang administrasikan masyarakat adat sebagai subjek hukum?” tanya Novi.

”Tidak ada. Makanya akan kalah ketika pembuktian saat ada konflik,” jawab Abdon.

Effendi Buhing, Masyarakat Adat Dayak Laman Kinipan menceritakan kasus kriminalisasi yang dia dan Komunitas Kinipan alami bahkan sempat viral di media sosial.

Sekitar 2020, Effendi ditangkap karena dituduh mencuri dan melakukan kekerasan. Dugaan kriminalisasi mencuat karena Effendi vokal menolak perkebunan sawit.

“Saya ditangkap satu hari satu malam. Saya dikeluarkan besoknya,” kata Effendi.

”Status saudara?” Tanya kuasa hukum penggugat PPMAN Fatiatulo Lazira.

”Saya tidak paham. Dibilang ada dua alat bukti. Saya minta surat pelepasan waktu itu.”

”Untuk saudara ketahui, saudara ini statusnya masih tersangka.”

Ucapan Fati menunjukkan posisi lemahnya masyarakat adat di mata hukum. Effendi dan masyarakat adat Dayak Tomun Lapan di Desa Kinipan lemah kala berhadapan dengan perusahaan sawit.

Masyarakat Adat Dayak Tomun di Kinipan disebut Effendi sudah mencoba mendapatkan pengesahan wilayah adat mereka tetapi dipingpong.

Ketika mereka menolak perusahaan sawit masuk, perusahaan sawit selalu berkilah mereka memiliki izin. “Kami coba melaporkan ini dari DPRD hingga bupati, tapi perusahaan terus lakukan pembukaan lahan dengan alasan memiliki izin,” katanya.

Kondisi serupa juga dialami Momonus. perjuangannya bersama dengan Masyarakat Adat Dayak Iban di Semunying Jaya, Kalimantan Barat berujung penahanan dirinya selama 10 hari.

Saat itu Momonus sebagai kepala desa harus berhadapan dengan PT Ledo Lestari, bagian dari Duta Palma Group. Dia ditahan karena dianggap menghalang-halangi aktivitas perusahaan karena sempat menahan alat berat.

Dia juga jadi tahanan kota selama 20 hari dan wajib lapor.

”Itu (penahanan) menurut saya untuk takut-takuti masyarakat di kampung. Karena kepala desa saja bisa ditahan,” jawab Momonus.

 

Kuasa hukum AMAN dan komunitas adat. Foto: Richaldo Hariandja/ Mongabay Indonesia

 

Fakta sudah tersaji, makin menguatkan

Judianto Simanjuntak, kuasa hukum AMAN dan komunitas adat dari Perhimpungan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) menyebut, tak ada alasan bagi hakim untuk tidak mengabulkan permohonan gugatan. Pasalnya, sudah banyak fakta tersaji di dalam persidangan yang bisa jadi acuan majelis hakim membuat putusan.

”Banyak modus perampasan wilayah adat dan kriminalisasi yang sudah diungkapkan saksi,” kata Anto, sapaan akrabnya.

Dari sana terlihat kekosongan hukum untuk perlindungan masyarakat adat sangat penting.

”Sangat urgen pengesahan UU Masyarakat Adat.”

Rukka Sombolingi, Sekjen AMAN dalam kesempatan berbeda mengatakan, UU MHA perlu sebagai cara melindungi masyarakat adat.

Pada persidangan 21 Maret lalu,  pakar hukum administrasi negara Riawan Tjandra, pakar hukum perundang-undangan Ismail Hasani, dan pakar hukum tata negara dan masyarakat adat Yance Arizona, makin memperkuat pentingnya UU Masyarakat Adat.

Fatiatulo, kuasa hukum masyarakat adat mengatakan, kesaksian para ahli menguatkan dalil-dalil gugatan dan kesaksian masyarakat adat. “Yance menyebut ketiadaan UU Masyarakat Adat menciptakan ketiadaan hukum, termasuk aspek wilayah adat, ruang hidup termasuk pada leluhurnya,” kata Fati.

Menurut Yance,  peraturan daerah ataupun UU sektoral yang mengatur masyarakat tidak akomodatif dalam mengakui dan melindungi masyarakat adat. UU Masyarakat Adat, bukan hanya kebutuhan sosiologis, tetapi merupakan mandat konstitusi.

Bahkan, putusan MK 35/2012 secara spesifik memerintahkan agar UU Masyarakat Adat sebagai perintah konstitusi yang harus segera dibentuk. “Hakim harusnya tidak bimbang lagi (untuk mengabulkan gugatan),” imbuh Fati.

Yance menyarankan,  PTTUN Jakarta berinisiatif membuat putusan yang jadi role model dan membuat ruang pada penyelenggara negara untuk bekerja sesuai fungsinya.

Di beberapa negara, PTUN bisa membuat keputusan yang memengaruhi sistem hukum nasional.

Ismail menyebut, pembentukan UU Masyarakat Adat adalah salah satu cara pemerintah dan DPR menghormati hak asasi masyarakat adat.

Tidak ada UU MHA, katanya, sebagai biang keladi negara melakukan pembiaran atas pelanggaran hak masyarakat adat. Efeknya, banyak perampasan wilayah adat hingga kriminalisasi masyarakat adat.

 

Pohon-pohon di hutan adat Kinipan, ditebangi perusahaan. Komunitas adat ini pun berkonflik dengan perusahaan sawit yang tumpang tindih dengan hutan adat Kinipan. Foto: Save Kinipan

*****

 

Menanti UU Masyarakat Adat, Belasan Tahun Proses Tak Ada Kejelasan

Exit mobile version