Mongabay.co.id

Menderitanya Petani Rawa Lebak di Sumatera Selatan Akibat Perubahan Iklim

Kawanan kerbau rawa senang berendam karena toleransinya yang rendah terhadap panas. Foto: Nopri Ismi Mongabay Indonesia

 

 

Baca sebelumnya: Hujan Terus Turun, Ribuan Hektar Sawah di Sumatera Selatan Terancam Gagal Tanam

**

 

Terganggunya produktivitas persawahan padi di rawa lebak akibat banjir dan kekeringan, menambah derita masyarakat yang menetap di lahan basah Sungai Musi, Sumatera Selatan. Sebelumnya mereka mengalami krisis ikan air tawar, menghadapi produksi getah karet yang menurun, serta mendapati banyak kerbau rawa yang mati akibat penyakit dan kelaparan.

“Kalau kondisi iklim seperti sekarang, jelas sebagian besar warga di desa kami akan hidup susah, sebab bersawah padi adalah sumber utama pangan dan ekonomi,” kata Hendri Sani, warga Desa Gelebak Dalam, Kecamatan Rambutan, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, pertengahan April 2024.

Desa Gelebak Dalam luasnya sekitar 1.773 hektar dengan jumlah penduduk 2.000-an jiwa. Sebagian besar profesinya petani dan buruh tani. Persawahan rawa lebak mencapai 800 hektar, sementara perkebunan karet sekitar 500 hektar.

“Lima tahun terakhir, pendapatan utama masyarakat di sini dari bersawah padi yang dipanen dua kali setahun. Sementara getah karet tidak lagi diandalkan karena harga jualnya rendah dan produksinya menurun,” jelasnya.

 

Gabah kering yang dihasilkan Desa Gelebak Dalam, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan yang biasanya kisaran 4 juta ton per panen, kali ini hanya 800 ribu ton. Penyebabnya persawahan mengalami banjir. Foto: Mahesa Putra/Mongabay Indonesia

 

Setiap kepala keluarga di Desa Gelebak Dalam memiliki sawah kisaran setengah hingga satu hektar. Dalam setahun, satu hektar sawah dua kali panen, menghasilkan gabah kering kisaran 10 ton.

“Uang yang didapat sekitar Rp50 juta. Jika panen berhasil, total uang yang beredar di Desa Gelebak Dalam dalam setahun mencapai Rp40 miliar.”

“Tahun ini pendapatan jauh berkurang. Hanya 400 hektar yang dapat dipanen. Itu pun hasilnya hanya 1-2 ton gabah kering per hektar,” ujar Hendri yang pernah menjadi Kepala Desa Gelabak Dalam dan kini mengelola pabrik penggilingan padi.

Kondisi ini terjadi dikarenakan hujan selama empat bulan terakhir.

“Air di sawah pasang surut dekat sungai [Sungai Komering] tidak menyurut hingga saat ini, sehingga gagal panen.”

Tingginya intensitas hujan juga menurunkan produksi getah karet. “Ditambah sebagian besar pohon karet berusia tua, sekitar 25 tahun,” paparnya.

 

Persawahan di Desa Gelebak Dalam yang gagal panen akibat banjir. Foto: Mahesa Putra/Mongabay Indonesia

 

Kehilangan pendapatan

Sekitar 60 kepala keluarga di Desa Bangsal, Kecamatan Pampangan, Kabupaten Ogan Komering Ilir [OKI], Sumatera Selatan, hidup sebagai buruh tani. Baik sebagai penyadap getah karet maupun penggarap sawah.

Desa yang luasnya 448,5 hektar ini, sekitar 68,5 hektar lahannya dijadikan perkebunan karet. Rawa lebak [rawa gambut] seluas 375 hektar dijadikan lokasi pengembalaan kerbau rawa dan persawahan. Hujan yang turun hampir setiap hari, berdampak pada perkebunan karet, persawahan padi, dan peternakan kerbau rawa.

“Kalau basah atau hujan terus mengguyur kebun karet, getahnya tidak bisa disadap. Padahal, pendapatan para penyadap dari hasil pembagian getah dengan pemilik kebun. Sementara sawah masih tergenang air, sehingga terancam gagal tanam. Buruh tani akan kehilangan pekerjaan,” kata Angkut Joni, Kepala Desa Bangsal.

Di waktu normal, getah yang dihasilkan setiap satu hektar [500 pohon] kebun karet sekitar 320 kilogram per bulan. Dengan kisaran harga Rp6.500 per kilogram, uang yang dihasilkan Rp2.080.000 per bulan. Setengah hasil tersebut diperuntukan para penyadap getah.

“Selama hujan turun, penghasilan getah karet per hektar sekitar 100-150 kilogram per bulan. Dapat dibayangkan pendapatan para penyadap tersebut.”

Penanaman yang biasanya Maret atau April belum dapat dilakukan. Jika Mei air belum surut, kemungkinan mereka tidak dapat menanam padi pada 2024, sebab Juni diperkirakan akan muncul La Nina.

Persawahan rawa lebak di Desa Bangsal hanya ditanam sekali setahun. Setiap satu hektar meghasilkan 3-4 ton gabah kering. Dengan harga gabah Rp5.000 per kilogram, masyarakat Desa Bangsal mendapat penghasilan sekitar Rp6-8 miliar setahun.

“Kalau gagal tanam, bukan hanya buruh tani yang kehilangan pendapatan, juga para pemiliknya yang juga warga desa ini,” kata Angkut.

 

Kerbau pampangan atau kerbau rawa memiliki potensi menjanjikan di Sumatera Selatan. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Selain itu, para perajin susu puan yang terbuat dari susu kerbau rawa, juga terancam kehilangan pendapatan untuk beberapa bulan ke depan. Penyebabnya, ratusan kerbau rawa mati atau dipotong, dikarenakan terserang penyakit [diduga Trypanosomiasis atau Septicaemia Epizootica].

“Kerbau saya sudah delapan ekor mati. Kemarau panjang tahun lalu, ada beberapa kerbau di sini mati karena kekurangan pangan. Sekarang, saat penghujan banyak mati terserang penyakit. Serba susah kami jadi peternak,” kata Muhammad Sayuti [63], peternak kerbau rawa.

Sayuti memelihara 68 kerbau rawa yang kandangnya berada di Pulau Tapus.

“Tahun ini mungkin kami hidup penuh kesulitan. Sawah juga belum bisa ditanam, sebab air masih menggenang. Untuk sementara, kami tidak memproduksi susu,” katanya.

 

Hena [63], pembuat susu puan di Desa Bangsal, Kecamatan Pampangan, Kabupaten OKI, Sumsel. Foto: Mahesa Putra/Mongabay Indonesia

 

Di masa normal, Sayuti dapat menghasilkan susu kerbau sekitar 3,25 liter per hari yang diolah istrinya, Hena [63], menjadi susu puan sebanyak 1,5 kilogram. Harga jualnya Rp125 ribu per kilogram.

“Sebulan terakhir, saat banyak kerbau mati karena penyakit, produksinya menurun. Satu hari paling tiga kilogram susu kerbau yang diolah menjadi susu puan oleh kelompok kami,” kata Talha [43], Ketua Kelompok Usaha Gula Puan Desa Bangsal.

Di Desa Bangsal populasi kerbau rawa sebanyak 577 individu, tersebar di kandang Pulau Tapus, Ulak Kuto, Darat, dan Ujung Kuro. Tapi sekitar 80 persen kerbau itu milik orang lain yang dipelihara 10 peternak.

“Kalau kerbau paroan [titipan] itu dijual, kami dapat setengah dari harga jualnya. Kami juga dapat memanfaatkan susunya,” kata Amir, peternak kerbau rawa yang kandangnya di Pulau Tapus.

Populasi ikan juga mengalami penurunan di berbagai wilayah lahan basah Sungai Musi, termasuk di Desa Gelebak Dalam dan Desa Bangsal. Akibatnya, perajin penganan seperti kerupuk, kemplang, dan pempek, mengalami penurunan pendapatan.

“Kemarau maupun musim penghujan ikan tetap sedikit, tidak seperti dulu,” kata Rusni [60], perajin kerupuk di Desa Bangsal.

 

Masyarakat di lahan basah Sungai Musi hidupnya menderita akibat perubahan iklim. Foto: Mahesa Putra/Mongabay Indonesia

 

Gerak cepat

Dr. Yulian Junaidi yang akrab dipanggil Polong dari Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya, meminta pemerintah bergerak cepat mengatasi berbagai persoalan yang dialami masyarakat atau petani di pedesaan. Termasuk, wilayah lahan basah Sungai Musi, yang terdampak perubahan iklim.

“Harus fokus dan cepat. Perubahaan iklim di wilayah yang bentang alamnya sudah rusak tentu memberikan dampak buruk terhadap kehidupan petani. Dampak buruk perubahan iklim menyentuh pertanian, perikanan, perkebunan, hingga peternakan.”

Tindakan yang harus dilakukan pemerintah, bukan hanya penyuluhan, juga bantuan teknologi, obat-obatan, bibit, langkah-langkah adaptasi, serta dana jika terjadi krisis pangan dan pendapatan.

 

Pembibitan padi terapung upaya kecil adaptasi masyarakat menghadapi persawahan yang terlambat surut airnya. Foto: Mahesa Putra/Mongabay Indonesia

 

Terkait persawahan rawa lebak yang saat ini terdampak perubahaan iklim, kata Polong, yang dapat dilakukan pemerintah, pertama, membangun sistem polder untuk mengatasi banjir.

Dijelaskan Polong, sistem polder adalah cara penanganan banjir melalui sarana fisik seperti saluran drainase, kolam retensi, pompa air, yang dikendalikan dalam satu pengelolaan.

Kedua, budidaya padi apung. “Cara ini sudah pernah dicoba di sejumlah wilayah Sumatera Selatan dan berhasil. Tapi, tidak ditiru banyak petani di rawa lebak sebab membutuhkan biaya besar. Seperti membeli styrofoam yang digunakan sebagai media tanam. Pemerintah mungkin dapat membantu pembiayaannya.”

Ketiga, mengembangkan varietas padi tahan genangan air.

“Sebenarnya, dulu ada varietas padi lokal di persawahan rawa lebak Sumatera Selatan. Tapi sudah tidak lagi ditanam setelah hadirnya varietas hibrida, yang lebih cepat dipanen. Varietas padi lokal memang panennya mencapai enam bulan, tapi batangnya lebih tinggi sehingga tahan genangan air,” paparnya.

 

“Ikan Sampah” yang Bertahan di Lahan Basah Sungai Musi

 

Exit mobile version