- Sebulan terakhir, sekitar ratusan kerbau rawa [Bubalus bubalis] di Kecamatan Pampangan, Kabupaten Ogan Komering Ilir [OKI], Sumatera Selatan, mati. Kejadian ini diduga akibat penyakit surra [Trypanosomiasis] atau parasit darah.
- Penyakit surra disebarkan lalat pengisap darah/hematophagous flies atau nyamuk kebun [Aedes albopictus].
- Kerbau rawa yang mati ini tersebar di Desa Kuro, Desa Tapus, Desa Bangsal, dan Desa Manggeris.
- Perubahan iklim yang menyebabkan cuaca menjadi ekstrem, sangat merugikan kerbau rawa di Pampangan. Di musim kemarau kerbau kekurangan pakan, di musim penghujan kerbau terserang penyakit.
Sebulan terakhir, sekitar ratusan kerbau rawa [Bubalus bubalis] di Kecamatan Pampangan, Kabupaten Ogan Komering Ilir [OKI], Sumatera Selatan, mati. Kejadian ini diduga akibat penyakit surra [Trypanosomiasis] atau parasit darah.
Penyakit surra disebarkan lalat pengisap darah/hematophagous flies atau nyamuk kebun [Aedes albopictus].
“Perkiraan kami kematian kerbau rawa di Pampangan dikarenakan serangan penyakit surra. Tapi untuk membuktikannya, kami perlu melakukan cek darah terhadap kerbau rawa yang sakit,” kata Arfan Abrar, peneliti kerbau rawa dari Universitas Sriwijaya, dalam perjalanan ke Kecamatan Pampangan untuk meneliti penyakit penyebab kematian kerbau rawa tersebut, Sabtu [13/4/2024].
Pampangan merupakan wilayah peternakan kerbau rawa di Sumatera Selatan. Jumlah kerbaunya sekitar 1.899 individu, sementara populasi di Kabupaten OKI sekitar 7.727 individu [2020].
Kematian kerbau rawa terjadi pertengahan Maret 2024. Awalnya, penyakit yang menyerang diduga Septicaemia Epizootica [SE], sehingga dilakukan vaksinasi.
“Upaya tersebut tidak dapat menyelamatkan kerbau rawa dari kematian, sehingga kami menduga terserang penyakit surra,” kata Arfan.
Penyakit surra dan SE itu mirip. Gejalanya seperti manusia terserang penyakit tipes atau malaria.
“Untuk menentukan penyakit tipes atau malaria harus dicek darahnya, begitu pula untuk membedakan penyakit surra dan SE,” jelasnya.
Dikutip dari penelitian Drh. Lilik Prayitno, Herminta Purba S.Pt, dan Samarita Bangun S.Pt berjudul “Deteksi Kejadian dan Pengendalian Trypanosomiasus pada Sapi Bali di Sumatera Utara”, dijelaskan surra merupakan penyakit menular pada hewan yang dapat bersifat akut maupun kronis. Parasit darah penyebab penyakit ini pertama kali ditemukan oleh Grifit Evans pada 1880 di India, kemudian penyebab penyakit surra tersebut diberi nama Trypanosoma evansi.
Mulanya penyakit ini ditemukan pada kuda, tetapi ternyata hampir semua hewan berdarah panas rentan terhadap penyakit ini, meskipun derajat kerentanannya tidak sama. Penyakit ini bersifat fatal pada spesies unta, kuda, kerbau, sapi, dan anjing terutama dalam kondisi setres, malnutrisi, bunting, kerja paksa tetap, juga dapat bersifat kronis dan menjadi reservoir bagi hewan lain.
Penyakit surra satu dari 25 penyakit yang ditetapkan Pemerintah Indonesia melalui keputusan Menteri Pertanian No.4026/kpts/OT.140/4/2013 tentang penetapan jenis penyakit hewan menular strategis.
Penetapan ini memberikan kepastian bahwa penyakit tersebut menjadi perhatian prioritas dalam melakukan tindakan pencegahan, pengendalian, dan pengobatan di lapangan, sebagai implementasi dan amanat UU No.18 Tahun 2009 tentang peternakan dan kesehatan hewan.
Kerbau rawa yang mengalami kematian di Kecamatan Pampangan tersebar di Desa Kuro, Desa Tapus, dan Desa Bangsal.
“Sudah 23 kerbau rawa di Desa Bangsal mati. Di Desa Kuro sudah 25 individu mati. Di Desa Tapus kabarnya lebih banyak lagi. Desa Manggeris baru masuk penyakitnya, tapi sudah ada yang mati,” kata Muhammad Husin, warga Desa Bangsal, Sabtu [13/4/2024].
Kerbau yang mati, saat badannya dipotong darahnya membeku atau tidak banyak menetes.
“Upaya pencegahan sudah dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten OKI. Kami tahunya kerbau terserang penyakit SE,” ujarnya.
Berdasarkan data Dinas Perkebunan dan Peternakan OKI, dikutip dari Oganilir.co, jumlah kerbau yang mati hingga Sabtu [13/4/2024], sekitar 431 individu.
Perubahan iklim
Perubahan iklim yang membuat cuaca menjadi ekstrem, baik panas maupun hujan, menyebabkan tersebarnya penyakit surra.
“Mungkin ditularkan melalui nyamuk kebun atau lalat pengisap darah,” kata Arfan.
Hujan yang melanda Pampangan sejak Januari 2024, membuat sebagian besar lebak atau rawa tergenang air dan membasahi kebun maupun hutan, membuat nyamuk kebun atau lalat pengisap darah sebagai penyebar penyakit surra, berkembang pesat.
“Kadang kerbau dipenuhi nyamuk, termasuk lalat,” kata Husin.
Guna mencegah penyebaran penyakit surra atau menyelamatkan kerbau rawa yang terjangkit penyakit, jelas Arfan, yang perlu dilakukan adalah; Pertama, cek darah untuk diteliti. Kedua, lakukan fogging [pengasapan] di kandang kerbau, sehingga nyamuk dan lalat mati. Ketiga, berikan multivatimin atau asupan nutrisi agar kekebalan tubuh kerbau lebih baik. Keempat, lakukan pengobatan.
“Jangan dilakukan vaksin pada kerbau yang fisiknya lemah. Untuk itu penanganannya harus serius. Jika tidak, kerbau khas Sumatera Selatan ini akan punah,” ujar Arfan.
Berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian RI No.694/Kpts/PD.410/2/2013 kerbau rawa di Pampangan sebagai Rumpun Kerbau Pampangan atau endemik kerbau rawa, hasil dari persilangan kerbau India dengan kerbau lokal.
Saat musim kemarau ekstrem [El Nino], seperti 2023, berdampak pada populasi dan produksi susu kerbau rawa di Pampangan.
“Cuaca tidak menetu selama tiga tahun terakhir, baik kemarau maupun penghujan, benar-benar berdampak pada kerbau rawa di sini. Bukan tidak mungkin, jika tidak ada upaya penyelamatan, kerbau rawa Pampangan akan punah dalam beberapa tahun ke depan,” jelas Angkut Join, Kepala Desa Bangsal.
Jarak Palembang dengan Kecamatan Pampangan, khususnya Desa Bangsal, sekitar 50 kilometer. Kawasan rawa di Pampangan masuk dalam Kesatuan Hidrologi [KHG] Gambut Sungai Burnai-Sungai Sibumbung, yang luasnya mencapai 86,67 ribu hektar.
Masyarakat di Desa Bangsal, sama seperti masyarakat Desa Kuro dan Desa Tapus, yang pendapatannya berasal dari mengembala kerbau rawa, berkebun karet, mencari ikan, dan bersawah padi.
Kerbau Pampangan, Sumber Daya Genetik Menjanjikan di Rawa Gambut