- Meningginya harga emas di pasar global tidak boleh mengesampingkan fakta-fakta gelap tempat penggalian logam mulia tersebut. Kemiskinan struktural, kerusakan lingkungan, konflik sosial, hingga bencana longsor yang merenggut nyawa jadi masalah yang tak terhindarkan.
- Penghujung April 2025, misalnya, empat penambang emas meninggal dunia karena tertimbun longsor di Desa Marapit, Kecamatan Kapuas Tengah, Kalimantan Tengah (Kalteng). Korban bernama Yunedi (46), Gasi (48), Sapir (35), dan Padli (25).
- Bayu Herinata, Direktur Eksekutif Walhi Kalteng, menyatakan, bukan kali pertama hal tersebut terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Pada 2021, enam orang tewas dalam insiden serupa di Kotawaringin Timur. Serta, dua korban lain dari kejadian di Kabupaten Murung Raya.
- Yuliana, Dosen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Palangka Raya, menilai, maraknya aktivitas warga di kawasan pendulangan merupakan respons terhadap peluang yang mereka anggap cepat menghasilkan rupiah, meskipun tahu risikonya tinggi.
Meningginya harga emas di pasar global tidak boleh mengesampingkan fakta-fakta gelap tempat penggalian logam mulia itu. Tambang-tambang emas ilegal atau tak berizin di mana-mana berkelindan dengan kemiskinan struktural, kerusakan lingkungan, konflik sosial, hingga bencana longsor yang merenggut nyawa jadi masalah yang tak terhindarkan.
Penghujung April 2025, misal, empat penambang emas meninggal dunia karena tertimbun longsor di Desa Marapit, Kecamatan Kapuas Tengah, Kalimantan Tengah (Kalteng). Korban bernama Yunedi (46), Gasi (48), Sapir (35), dan Padli (25).
Dalam keterangan resmi Kementerian Energi Sumber Daya Mineral yang CNBC lansir, tragedi itu terjadi di wilayah pertambangan emas ilegal. Mereka mengaku tidak tinggal diam terhadap maraknya aktivitas pertambangan ilegal yang merenggut nyawa.
“Sebagai langkah preventif dan korektif, KESDM terus bersinergi dengan pemerintah daerah, aparat penegak hukum, dan instansi terkait untuk meningkatkan pembinaan, pengawasan, serta penertiban terhadap aktivitas pertambangan yang belum memenuhi ketentuan.”
Ahmad M Saribi, Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Kapuas, menyebut, peristiwa 29 April itu terjadi pada pukul 14.00 WIB. Cuaca gerimis saat warga menambang emas secara tradisional. Tiba-tiba, material tanah longsor menimbun area pertambangan.
“Kemudian tiba-tiba terjadi longsor dan menimbun empat pekerja tambang tersebut,” sebutnya.
Bayu Herinata, Direktur Eksekutif Walhi Kalteng, menyatakan, bukan kali pertama hal itu terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Pada 2021, enam orang tewas dalam insiden serupa di Kotawaringin Timur dan dua korban lain dari kejadian di Murung Raya.
Tahun 2022, tiga orang tewas di Kecamatan Pasak Talawang, Kabupaten Kapuas. Awal tahun 2023, dua orang meninggal dunia tertimbun longsor karena kabar burung viral ihwal adanya bongkahan emas di Kabupaten Gunung Mas.
Fenomena tambang emas yang pemerintah golongkan ilegal ini memang sering terlihat di kalteng. Apalagi saat musim kemarau di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) Barito, Kapuas, Kahayan, Katingan, hingga Pulang Pisau.
Tetapi, sulit melihat penegakan hukumnya. Belum lagi, ada dugaan keterlibatan aktor lain yang memiliki peran penting. Contoh, para pemodal besar yang menyuplai alat berat, logistik, hingga membiayai operasional tambang. Mereka kerap berada di balik layar.
Para ‘tuan’ yang tinggal di kota ini, dugaannya sering melibatkan oknum aparat keamanan dan turut menikmati keuntungan dari aktivitas ilegal.
“Kami tidak sedikit menemui, untuk mengamankan area pertambangan misalnya, mereka harus memberikan retribusi terhadap aparat keamanan.”
Belum lagi, jika pertambangannya skala besar yang menggunakan alat berat seperti eskavator. Orang-orang harus menyewa atau berhubungan dengan aparat keamanan yang memiliki perusahaan berbadan hukum.
Sementara, katanya, para pekerja tambang hanyalah korban dari hilangnya mata pencaharian di kampung. Dampak ekspansi perkebunan monokultur skala besar, yang saat ini jadi subsektor pertanian paling besar di Kalteng.
Data Badan Pusat Statistik (BPS), luas perkebunan sawit di Kalteng tahun 2023 mencapai 2,196 juta hektar atau hampir empat kali luas Pulau Bali. Angka ini belum termasuk luas izin sektor lain, seperti Hutan Tanaman Industri (HTI).
“Sebelumnya kan mereka berladang, berkebun, memanfaatkan hasil hutan, semakin kesini, lahan atau wilayah mereka banyak yang sudah di ubah fungsi perkebunan skala besar.”

Kemiskinan struktural
Senada dengan Yuliana, Dosen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Palangka Raya. Dia menilai, maraknya aktivitas warga di kawasan pendulangan emas merupakan respons terhadap peluang yang mereka anggap cepat menghasilkan rupiah, meskipun risiko tinggi.
Mereka terpaksa menjadi penambang karena tidak ada pilihan. “Sehari, mungkin mereka bisa dapat sampai Rp5 juta. Walau itu besar bagi kita, tetapi tidak bagi mereka para penambang emas, karena memang biaya hidup sekarang di desa-desa itu cukup besar. Mereka harus membiayai anak sekolah bahkan kuliah di kota itukan mahal,” kata Yuliana.
Dia menyoroti penggunaan istilah tambang emas ilegal. Menurut dia, dari kacamata sosiologi, diksi ini kurang tepat dan cenderung merendahkan peran masyarakat lokal dalam mengelola sumber daya alam di tanah mereka sendiri.
“Kami lebih suka menyebutnya tambang emas rakyat,” katanya.
Kata ilegal, menggambarkan seolah rakyat tidak memiliki hak memanfaatkan alam di tempat mereka tinggal secara turun-temurun. Kritik ini berangkat dari kenyataan masyarakat lokal kerap terdorong ke aktivitas pertambangan karena fenomena kemiskinan struktural.
Data Badan Pusat Statistik (BPS), persentase penduduk miskin di Kalimantan Tengah per Juli 2024 mencapai 5,17%. Padahal, banyak sektor perkebunan dan pertambangan yang mengeruk sumber daya alam di provinsi ini.
Menurut Yuliana, investasi yang masuk tidak menjamin penyerapan tenaga kerja lokal sesuai harapan. Seperti hampir tidak adanya masyarakat lokal yang menduduki posisi strategis dalam struktur organisasi perusahaan perkebunan sawit.
Alhasil, masyarakat lokal hanya menjadi penonton, bahkan korban, dalam pusaran ekonomi ekstraktif yang berlangsung di wilayah mereka sendiri.
“Ujung-ujungnya ya jadi buruh. Untuk jadi manajer umum atau posisi bagus lainnya, itu pun hanya orang-orang tertentu saja yang bisa naik.”
Yanedi Jagau, dari Borneo Institute Foundation (BIT), menilai negara harus hadir dan menyiapkan regulasi adil bagi seluruh pelaku tambang, baik skala kecil maupun besar.
“Peristiwa kecelakaan kerja yang membahayakan keselamatan para penambang bukan hanya keprihatinan, tapi memerlukan langkah menyeluruh dan konkret, mulai dari pemerintah pusat hingga pemerintah daerah,” ujarnya.
Dia menyerukan penegakan hukum yang adil, termasuk kejelasan apakah suatu wilayah tergolong sebagai Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) atau bukan. Selain itu, ia juga menyoroti pentingnya mempertimbangkan sisi kemanusiaan.
“Pemerintah harus merumuskan langkah-langkah alternatif dalam pembukaan lapangan kerja guna mengurangi eksploitasi sumber daya alam.”
Menurutnya, tata kelola sumber daya alam di Kalimantan Tengah perlu perhatian lebih serius. Aparat penegak hukum, KESDM, Polri, serta perwakilan masyarakat harus duduk bersama menyelidiki kasus yang menelan korban tersebut.
“Di banyak wilayah Kalimantan Tengah, praktik tambang ilegal masih marak. Ini mestinya bisa ditangani jika negara benar-benar melibatkan masyarakat melalui wakil-wakilnya.”
Dia menyayangkan banyak penambang kecil yang harus berjibaku menghidupi keluarganya akibat kebijakan pemerintah yang tumpang tindih dan cenderung berpihak pada penambang besar.
“Perlu ada ruang kelola tambang milik rakyat yang diatur bersama oleh pihak berwenang seperti Polri, KESDM, kepala daerah, NGO, lembaga adat, dan lainnya. Jangan biarkan rakyat berjuang sendiri.”

Fenomena Gold Rush
Fenomena penambangan emas tanpa izin di Kalteng tidak pernah padam. Dari laman resmi KESDM, jumlah mesin tambang ilegal tahun 2001, 5.194 unit pada 2001 dan meningkat menjadi 7.195 unit pada 2002. Meski sempat turun menjadi 6.596 unit pada 2003, aktivitas tambang ilegal tetapi tetap ada.
Pada 2018, dalam Operasi tambang ilegal Telabang juga mengungkap maraknya praktik PETI, yang menyebabkan kerusakan lingkungan dan pencemaran merkuri di sejumlah sungai, termasuk Sungai Sekonyer.
Sementara itu, pada 2022 terungkap sembilan kasus tambang ilegal dengan 36 tersangka. Dalam operasi tersebut, aparat menyita sejumlah alat berat berupa eksavator, 1,3 kilogram emas dan uang tunai sebesar Rp235 juta.
Dua tahun berikutnya, operasi serupa bahkan menemukan aktivitas peti hingga ke kawasan konservasi Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya. Sedikitnya 300 alat berat beroperasi di sana.
Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), menyebut maraknya tambang emas ilegal merupakan bagian fenomena gold rush. Aktivitas jenis ini meningkat pada momen-moment tertentu. Baik legal maupun ilegal terdorong meingkatkan produksi saat harga emas sedang tinggi.
Terlebih, harga emas Antam yang terus naik hingga Rp2.016.000 per gram pada 22 April 2025, turut mendorong orang untuk menambang, meski nyawa menjadi taruhan. Demi mengejar target produksi, perekrutan tenaga kerja tambang kerap terjadi secara mendadak, walau tidak peduli latar belakang pekerjaanya.
Menurut Bhima, ketidakpastian ekonomi global, perang dagang, serta tren bank sentral di berbagai negara sekarang yang cenderung tidak lagi mengoleksi dolar dan berpindah ke emas batangan untuk memperkuat cadangan devisa turut mendorong meningkatnya minat terhadap emas sebagai aset.
Kondisi ini tentu saja berdampak pada meningkatnya permintaan emas secara global, yang sayangnya juga bisa mendorong aktivitas penambangan demi memenuhi kebutuhan pasar.
“Kalau bank sentral berburu emas, maka akan semakin banyak tambang tanpa izin yang muncul, dan risiko kecelakaan kerja pun meningkat, bisa jadi memakan korban.”

*****