Mongabay.co.id

Kaya Tapi Miskin, Potret Potensi Perikanan Maluku yang Belum Optimal, Kenapa?

Pemanfaatan potensi sumber daya perikanan yang ada di Provinsi Maluku hingga saat ini masih belum optimal dilakukan. Kondisi itu bertolak belakang dengan tekad Pemerintah Indonesia yang ingin menjadikan sektor kelautan dan perikanan sebagai sektor utama untuk memajukan Negara. Fakta tersebut diungkapkan anggota Komisi IV DPR RI Michael Wattimena saat berkunjung ke Dobo, Kabupaten Kepulauan Aru, Maluku, pekan lalu.

Menurutnya, Maluku merupakan kawasan yang memiliki potensi laut besar, tersebar luas di tiga wilayah pengelolaan perikanan (WPP) RI dan melibatkan mayoritas perairan Maluku, serta sebagian kecil pulau-pulau di luar Maluku. Dan itu menjadi pekerjaan rumah bagi siapapun yang bergerak pada sektor kelautan dan perikanan.

“Dengan potensi tersebut, maka sudah layak jika Indonesia menjadi lumbung perikanan di dunia. Faktanya, di Maluku saja potensinya besar. Belum lagi provinsi yang lain,” kata Michael.

baca : KKP Bakal Kerja Keras Genjot Perikanan Budidaya Indonesia Timur

 

Anak-anak pembudidaya rumput laut di Pulau Yamdena, Maluku Tenggara Barat, propinsi Maluku, memilih bermain di dermaga Lermatang saat siang hari. Meski potensi budidaya rumput laut besar, tetapi karena lokasi, tidak semua anak-anak bisa mendapatkan pendidikan yang layak. Foto : M Ambari/Mongabay Indonesia

 

Potensi besar perikanan itu, lanjutnya, tersebar di tiga WPP yang totalnya mencapai 3.055.504 ton/tahun, dengan rincian 431.069 ton/tahun di WPP RI Laut Banda (714), 631.701 ton.tahun di WPP RI Laut Seram (715).

“Sementara, potensi perikanan di WPP RI Laut Arafura (WPP RI 718) jumlahnya mencapai 1.992.731 ton/tahun,” tuturnya.

Angka yang besar tersebut, menurut Michael, menjadi potensi yang harus bisa dimanfaatkan sebaik mungkin untuk kepentingan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di seluruh Indonesia. Apalagi, Pemerintah telah menerbitkan Undang-Undang No.7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam.

“Itu menjadi pijakan kokoh dalam menyejahterakan nelayan,” tegasnya.

baca : Dari Pulau Terluar, Indonesia Ekspor Produk Perikanan dan Kelautan

Meski potensinya besar, hingga saat ini pemanfaatannya masih belum optimal. Hingga 2016 saja, masyarakat Maluku baru memanfaatkan potensi tersebut tak lebih dari 18,5 persen.

“Oleh sebab itu potensi tersebut perlu dimanfaatkan secara optimal, bertanggung jawab dan berkelanjutan. Kita jalankan Undang-Undang tersebut dengan penuh komitmen dan tanggung jawab. Tidak boleh hanya wacana tanpa implementasi,” ujarnya.

Oleh karena itu Michael meminta Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk serius mengembangkan semua potensi yang ada di Maluku, khususnya di Kabupaten Kepulauan Aru, tersebut. Salah satu caranya, dengan memberi bantuan peralatan yang dibutuhkan untuk nelayan di kawasan tersebut.

baca : Fokus Liputan : Mewujudkan Perikanan Berkeadilan di Pulau Buru : Kondisi Nelayan Kecil [Bagian 1]

 

Hasil tangkapan nelayan kecil di Pulau Buru, Maluku, berupa ikan tuna. Nelayan di Pulau Buru pada umumnya merupakan nelayan kecil yang hanya bergantung pada hasil melaut saja. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Kaya, Tapi Miskin

Kepala Badan Riset Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BRSDMKP) KKP Zulficar Mochtar yang hadir di Dobo, mengakui potensi perikanan di Maluku belum dimanfaatkan dengan maksimal. Untuk itu, dia berjanji akan terus mendorong pemanfaatan potensi yang ada melalui berbagai program kerja pada 2018.

“Saya optimis Dobo akan menjadi sentra perikanan terkemuka di Tanah Air. Potensi perikanannya memang besar sekali,” sebutnya.

Di tempat yang sama, Bupati Kepulauan Aru Johan Gonga membenarkan potensi perikanan yang sangat besar di wilayahnya. Namun, potensi tersebut hingga saat ini tidak bisa memberi kesejahteraan untuk warganya. Dia bahkan dengan tegas menyebut di daerahnya masih banyak nelayan yang masuk kategori miskin.

baca : Fokus Liputan : Mewujudkan Perikanan Berkeadilan di Pulau Buru : Begini Praktiknya untuk Nelayan Kecil [Bagian 2]

Penyebab masih banyak nelayan berkategori di bawah pra sejahtera, karena daerahnya hingga saat ini masih minim pembangunan infrastruktur berupa sarana dan prasarana yang dibutuhkan. Oleh itu, dia meminta Pemerintah Pusat untuk memperhatikan pembangunan infrastruktur di daerahnya.

“Kami sangat memohon perhatian dari Komisi IV DPRRI, KKP, juga pemerintah Provinsi Maluku dengan bantuan yang semakin besar untuk nelayan. Kalau APBN Kepulauan Arua yang terbatas, kita hanya mampu memenuhi 10 persen dari kebutuhan yang ada,” ucapnya.

baca : Fokus Liputan: Mewujudkan Perikanan Berkeadilan di Pulau Buru, Makin Sejahteranya Nelayan kecil [Bagian 3]

 

Suasana di salah satu pesisir di Saumlaki, Kabupaten Maluku Tenggara Barat, Maluku. Foto : Ditjenpdt Kemendesa/Antara

 

Sedangkan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Pemprov Maluku Romelus Far Far menjelaskan Dobo yang kaya akan sumber daya perikanan, memang sudah sejak lama direncanakan menjadi sentra perikanan di Maluku. Rencana tersebut, kemudian perlahan mulai diwujudkan dengan sedang dibangunnya pelabuhan perikanan (PP) Dobo sejak 2005.

Pelabuhan yang pembangunannya sudah berjalan selama 13 tahun itu luasnya mencapai 6 hektare dan diproyeksikan menjadi pelabuhan tipe C atau dikategorikan pelabuhan perikanan pantai. Untuk menyelesaikan pembangunan pelabuhan, Pemerintah Provinsi Maluku mengalokasikan anggaran sebesar Rp11 miliar.

“Pelabuhan perikanan ini harus benar-benar bermanfaat bagi masyarakat Kepulaun Aru, baik melalui pemasukan retribusi untuk Pendapatan Asli Daerah (PAD) maupun untuk menggerakkan aktivitas nelayan lokal,” tambahnya.

baca : Fokus Liputan : Mewujudkan Perikanan Berkeadilan di Pulau Buru: Masalah dan Tantangan [Bagian 4]

Sementara itu, Kepala Pelabuhan Perikana Dobo Ali Tualeka menyebutkan, pembangunan yang sedang dilakukan saat ini adalah bagaimana fasilitas dasar dan pelengkap bisa selesai. Sedangkan, untuk pembangunan fasilitas yang lengkap dengan akses jalan yang telah diperbaiki, hingga saat ini masih menunggu tambahan dana dari Pemerintah.

“Kami sangat mengharapan tambahan bantuan dari APBN KKP agar penyelesaian pembangunan pelabuhan perikanan ini dapat dipercepat,” tandas dia.

Maluku adalah provinsi dengan pantai garis terpanjang di Indonesia, mencapai 10.630 kilometer atau 11,17 persen dari 95.181 kilometer total garis pantai Indonesia. Total garis pantai tersebut, menasbihkan Indonesia menjadi pemilik garis pantai terpanjang di dunia, bersama Kanada, Amerika Serikat, dan Rusia.

Dengan garis pantai 10.630 km, Maluku memiliki laut seluas 654.000 kilometer persegi dan di dalamnya tersimpan kekayaan laut seperti kan pelagis besar, ikan pelagis kecil, ikan demersal, ikan karang, udang, lobster, dan cumi-cumi yang tersebar.

baca : Kenapa Nelayan Jawa Harus Melaut ke Perairan Arafura di Maluku?

 

Seorang remaja di Pulau Buru, Maluku, memperlihatkan potongan tuna yang baru diturunkan dari perahu. Sejak program fair trade Yayasan MDPI dipraktikkan, nelayan kecil mulai merasakan dampak positifnya bagi mereka. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Pembangunan Lambat

Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Mohamad Abdi Suhufan mengatakan masih ada perbedaan besar pembangunan kawasan pesisir dan pulau-pulau terdepan di Indonesia dibandingkan dengan pembangunan di pulau besar. Kondisi itu, bertentangan dengan janji Presiden Joko Widodo yang bakal membangun Indonesia dari kawasan pesisir dan pulau-pulau terluar.

Akibat masih lambatnya pembangunan, Abdi mengklaim, hingga saat ini masalah kemiskinan dan disparitas sosial masih terus terjadi dan tidak bisa diselesaikan oleh siapapun. Menurutnya, permasalahan tersebut bisa diatasi selesai, jika pembangunan sudah mulai dilakukan secara merata dan baik.

“Komitmen pemerintah untuk mempercepat pembangunan pulau-pulau kecil terluar masih mengalami kendala karena keterbatasan infrastruktur dan tingginya angka kemiskinan,” ungkap dia.

Lambatnya pembangunan juga karena perencanaan dan anggaran pembangunan pulau-pulau kecil terdepan berpenduduk oleh Kementerian dan Lembaga Negara masih belum fokus pada upaya mengatasi masalah mendasar di pulau-pulau tersebut. Padahal, pada 2017 ini Pemerintah telah menerbitkan Keputusan Presiden No.6/2017 tentang Penetapan Pulau Kecil Terluar.

“Terbitnya Keppres seharusnya bisa menjadi momentum bagi Negara untuk melakukan perbaikan pengelolaan pulau kecil terdepan di perbatasan Negara. Kenyataannya, implementasi peraturan tersebut hingga saat ini belum terlihat bagus,” jelasnya.

Dalam Keppres No.6/2017, Pemerintah resmi menambahkan 19 jumlah pulau kecil terdepan dari 92 (berdasar PP No.278/2005) menjadi 111 pulau.

baca : Pemkab Maluku Tenggara Barat Belum Dukung Pembangunan SKPT Saumlaki?

 

Pelabuhan Kaiwatu di Pulau Moa yang menjadi terdapat kota Tiakur, ibukota kabupaten Maluku Barat Daya, propinsi Maluku. Beberapa pulau terluar pulau Liran, pulau Kisar dan pulau Wetar masuk wilayah kabupaten Maluku Barat Daya. Foto : imamtrihatmadja-journal.com/Mongabay Indonesia

 

Abdi menjelaskan, keterlambatan pembangunan pulau kecil terdepan, mengakibatkan penyediaan kebutuhan dasar seperti sarana dan prasarana infrastruktur dan ekonomi masih berjalan di tempat. Dengan kata lain, pembangunan yang sudah berjalan selama 12 tahun, belum memecahkan persoalan kemiskinan yang menjadi stigma kuat untuk kawasan pesisir dan pulau-pulau terdepan.

Menurut Abdi, angka kemiskinan masyarakat di pulau kecil terluar hingga saat ini masih sangat tinggi yaitu mencapai 35 persen. Angka tersebut masih jauh di atas angka kemiskinan nasional yang kini tinggal 10,64 persen saja. Tak hanya itu, dia menambahkan, saat ini sekitar 8 (delapan) pulau masih belum terlayani sarana telekomunikasi.

Abdi mencontohkan, akibat buruknya sarana telekomunikasi, di pulau Liran yang terletak di Kabupaten Maluku Barat Daya, Provinsi Maluku, masyarakat lokal terpaksa masih mengandalkan telekomunikasi menggunakan fasilitas perusahaaan telekomunikasi asal Timor Leste. Dengan kondisi itu, jumlah penduduk d pulau terdepan seperti pulau Liran, dari waktu ke waktu terus menyusut.

“Pada tahun 2016 lalu jumlah penduduk di pulau-pulau kecil terluar berpenduduk sebanyak 305.596 jiwa,” tutur dia.

 

Exit mobile version