Mongabay.co.id

Perikanan Bertanggung jawab Harus Diterapkan Pelaku Industri di Indonesia, Caranya?

Kebutuhan akan produk perikanan bertanggung jawab, memenuhi prinsip ketelusuran, dan menerapkan perikanan yang berkelanjutan, dewasa ini terus berkembang dengan pesat. Kebutuhan tersebut, memaksa para pelaku industri perikanan untuk mengelola produk perikanannya melalui cara yang sehat, bertanggung jawab, dan berkelanjutan.

Di Indonesia, kebutuhan tersebut sudah dirasakan oleh para pelaku industri perikanan dalam beberapa tahun terakhir. Kebutuhan itu muncul, karena pembeli (buyer) yang berasal dari negara tujuan ekspor, sudah memberikan syarat tersebut untuk produk perikanan yang akan dibeli. Untuk itu, setiap produk harus bisa memenuhi kriteria tersebut.

Menurut Sekretaris Direktorat Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan (PDSPKP) Kementerian Kelautan dan Perikanan Berny Achmad Subki, agar negara tujuan ekspor yang sudah menjadi pasar tradisional (traditional market) bagi Indonesia bisa tetap ada, maka satu-satunya cara yang harus dilakukan oleh pelaku industri, adalah dengan mengikutinya.

“Ada banyak cara untuk bisa seperti itu. Tapi, di negara tujuan ekspor kita yang menjadi traditional market, mereka mensyaratkan kita menggunakan sertifikat MSC (Marine Stewardship Council),” ucap dia kepada Mongabay, Senin (19/3/2018).

baca : Indonesia Kampanyekan Perikanan Berkelanjutan untuk Dunia, Seperti Apa Itu?

 

Ilustrasi. Nelayan menangkap ikan dengan pancing huhate (pool and line). Foto : PT PNB/Mongabay Indonesia

 

Dengan memiliki sertifikat, Berny menyebut, pelaku industri akan mendapatkan peluang untuk meningkatkan ekspor dan itu berarti akan melanggengkan kepercayaan negara tujuan ekspor terhadap produk perikanan yang berasal dari Indonesia. Jika itu terjadi, maka kesejahteraan industri perikanan lambat laun juga akan ada di Indonesia.

“Dampaknya ekspor bisa meningkat. Keberlangsungan tidak hanya di hulu saja, tapi juga di industrinya. Lalu ketelusuran juga bisa ada, keberlangsungan dari hulu ke hilir,” tuturnya.

Sertifikasi yang diberikan MSC juga selaras dengan kebijakan KKP, karena KKP selalu ber tujuan untuk mendukung keberlangsungan perikanan di Indonesia dari hulu maupun industri.

 

Tim Assesor

Berny mengungkapkan hingga saat ini belum ada satupun perusahaan yang sudah memiliki sertifikat bertaraf internasional itu. Kendala itu, diharapkan bisa segera dipecahkan melalui dorongan yang dilakukan melalui proyek Fish for Good yang sedang berjalan.

Mengingat belum ada perusahaan yang sudah bersertifikat MSC, Berny mengakui, hingga saat ini Indonesia belum memiliki assesor yang berfungsi untuk melakukan penilaian selama proses sertifikasi MSC berlangsung. Tim assesor tersebut, harus berasal dari pakar yang memahami detil perikanan, baik budidaya dan tangkap.

“Masalah kualitas. Cara penanganan ikan, baik budidaya maupun tangkap itu harus terus ditingkatkan. Indonesia ini sangat luas, SDM (sumber daya manusia) harus ditingkatkan. Kita butuh assesor yang bisa membantu peningkatkan kualitas ini,” jelasnya.

baca : Menteri Kelautan Kembali Tegaskan Kembangkan Perikanan Berkelanjutan

 

Upaya percepatan industrialisasi perikanan di Indonesia, diprediksi tidak akan berjalan mulus pada 2018. Ada faktor yang harusnya menjadi fokus perhatian tapi tidak menjadi prioritas. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Assesor yang diperlukan Indonesia nantinya bertugas menilai proses sertifikasi. Untuk menjadi assesor, harus mengikuti pelatihan yang digelar oleh MSC sendiri dan meningkatkan levelnya hingga mencapai tingkat yang ditetapkan.

Setelah ada assesor, menurut Berny, Pemerintah Indonesia bisa membantu untuk pembentukan lembaga assesmen yang akan memfasilitasi semua pelaku industri yang ingin mendapatkan sertifikat MSC. Tetapi sebelum itu terwujud, fokus yang akan dilakukan adalah bagaimana dalam 2-3 tahun ke depan Indonesia bisa melahirkan assesor.

“Mengingat tak ada assesor dari Indonesia, jika sekarang ada pelaku industri yang ingin mendapatkan sertifikat, maka harus mendatangkan assesor dari luar negeri. Tentunya biaya yang dikeluarkan juga jauh lebih tinggi,” tandasnya.

Dengan terwujudnya tim dan lembaga assesor, Berny berharap, di masa mendatang perkembangan industri komoditas andalan bisa semakin bagus lagi. Terutama, perkembangan untuk ekspor ke negara tujuan yang menjadi langganan dan sekaligus ke negara yang masih baru dan belum melakukan kerja sama dengan Indonesia.

baca : Perikanan Tuna Bertanggung jawab dan Berkelanjutan Diterapkan di Indonesia, Bagaimana Itu?

Sementara, Program Consultant MSC untuk Indonesia, Hirmen Syofyanto menjelaskan, tanpa ada assesor asli Indonesia, pelaksanaan penilaian untuk proses sertifikasi MSC memang harus dilakukan oleh assesor asing. Assesor tersebut bakal menilai sejauh mana pelaku industri sudah menerapkan standar MSC.

“Setelah melakukan penilaian, maka assesor akan melaporkannya kepada MSC. Jika MSC sudah menilai itu layak mendapat sertifikat, maka berikutnya MSC akan mengeluarkan sertifikat kepada pelaku industri,” jelas dia.

“Jadi, ini voluntery sifatnya. Ini kewajiban bukan dari Pemerintah. MSC tidak melakukan assesment. MSC hanya menyiapkan standar. Nanti pihak ketiga yang melakukan penilaian. Nanti pihak ketiga tersebut akan melapor kepada MSC dan melapor bahwa ini sudah memenuhi standar. Baru kemudian MSC mengeluarkan sertifikat,” tambahnya.

baca : Ada Desakan Pembaruan Regulasi untuk Perikanan Tuna Internasional, Seperti Apa?

 

Proses pengolahan ikan menjadi produk ikan kaleng di salah satu industri pengalengan ikan di Banyuwangi. Foto: Petrus Riski/Mongabay Indonesia

 

Walau belum ada assesor dalam negeri, kesadaran para pelaku industri perikanan dalam beberapa tahun ini terus meningkat. Para pelaku terus meningkatkan kualitas pengelolaan perikanannya, dan memastikan produk yang dihasilkan sudah memenuhi standar kualitas internasional.

Jika itu sudah berjalan semakin baik, maka dia yakin sertifikasi akan lebih cepat. Karena untuk mendapatkan sertifikat itu tidak bisa diselesaikan di Indonesia. Melainkan, harus disiapkan melalui rangkaian proses yang panjang seperti pemahaman terhadap perikanan berkelanjutan dan bertanggung jawab.

baca : Perikanan Berkelanjutan, Upaya Selamatkan Sumber Daya Laut Nasional

 

Prinsip Dasar

Untuk bisa mendapatkan sertifikat dari MSC, Hirmen memaparkan, pelaku industri harus memahami tiga prinsip dasar sebagai syarat utama penilaian. Yaitu prinsip stok, habitat, dan manajemen. Ketiganya, meski terlihat sederhana, namun diakuinya sebagai prinsip utama yang kompleks.

Sehingga pelaku akan dipandu untuk memahami pengelolaan perikanan dengan baik dan memenuhi standar dunia dengan tidak meninggalkan prinsip perikanan berkelanjutan yang bertujuan untuk melestarikan sumber daya ikan di negaranya, termasuk di Indonesia.

“Jadi MSC ini hanya tools dan bukan tujuan. Sementara tujuannya sudah jelas, untuk melestarikan sumber daya yang ada di laut,” tuturnya.

Dengan kompleksitas yang ada, Hirmen mengingatkan, proses pelaksanaan sertifikasi akan memakan waktu berbeda-beda, karena kondisi para pelaku industri yang tidak sama.

baca : Praktik Berkelanjutan dalam Bisnis Perikanan dan Kelautan, Seperti Apa?

 

Pembersihan ikan tuna di PT Harta Samudera Pulau Buru, Maluku, pada akhir Agustus 2017. Perikanan di tempat tersebut mempraktekkan prinsip fair trade dan perikanan berkelanjutan bagi nelayan setempat. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Hirmen mencontohkan, untuk prinsip stok, assessment tergantung data perikanan pelaku. Sedangkan prinsip habitat, proses assesment tergantung kondisi kegiatan perikanan pelaku terdokumentasikan dengan baik atau tidak.

“Untuk prinsip manajemen, itu juga sama. Tergantung kepada masing-masing pelaku yang ada,” tegasnya.

Jika sudah menerapkan panduan yang diberikan, pelaku bisa segera dinilai apakah pengelolaan perikanannya sudah layak mendapatkan sertifikat. Jika sudah, maka pelaku akan mendapat keuntungan karena produk perikanannya akan masuk kelompok premium di negara tujuan ekspor.

“Sekarang itu, produk yang tersertifikasi, eco labelling, di pasar Eropa dan lainnya bisa memberikan nilai premium. Harganya pun otomatis berbeda dan lebih unggul dibandingkan dengan produk tanpa sertifikat. Pasar sekarang sudah sangat terbuka, mereka sudah meminta itu,” tuturnya.

baca : Ketelusuran Data dan Konsep Berkelanjutan Harus Ada dalam Industri Perikanan, Seperti Apa?

Adapun, komoditas yang masuk incaran negara tujuan ekspor, menurut Hirmen, adalah kelompok enam besar andalan Indonesia, yaitu tuna, udang, rajungan, octopus, ikan hidup, dan rumput laut.

Secara keseluruhan, Hirmen menambahkan, MSC bersama mitra di Indonesia mendorong seluruh pemangku kepentingan untuk berkolaborasi mengelola perikanan berkelanjutan sehingga bermanfaat secara ekonomi, sosial, dan lingkungan. Kemudian, bagaimana menghubungkan antara pasar dengan produk perikanan Indonesia.

“Kita ingin bahwa sertifikat MSC ini bukan sesuatu yang sulit dicapai. Tapi ini memang yang harus dilakukan. Jadi kita mendorong proses pengelolaan perikanan ini dilakukan secara bersama. Dengan kata lain, sertifikat seperti MSC ini kewajiban untik kondisi sekarang,” pungkasnya.

baca : Asa di Sunda Kecil : Antara Kebutuhan Perut, Konservasi dan Perikanan Berkelanjutan. Apa Masalahnya?

 

Suasana pengolahan ikan di Pelabuhan Perikanan Nizam Zachman Muara Baru, Jakarta Utara pada November 2016. Foto : Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Lembaga Internasional

Untuk mendorong sertifikasi MSC, Asosiasi Perikanan Pole & Line dan Handline Indonesia (AP2HI) melibatkan lembaga internasional dalam prosesnya. Untuk proses sertifikasi, AP2HI dibantu dana senilai USD1,1 juta dari Walton Family Foundation. Sementara, untuk fasilitator, akan dipegang International Pole & Line Foundation (IPNLF).

Direktur IPNLF Asia Tenggara Jeremy Crawford di Jakarta menjelaskan, baik anggota IPNLF maupun AP2HI dalam praktiknya akan bekerja bersama untuk meningkatkan manajemen dan tata kelola dalam perikanan tangkap pole & line. Tata kelola yang diperbaiki, diarahkan untuk bisa mencapai standar yang ditetapkan MSC.

Jeremy menyebutkan, kegiatan dikolaborasikan bersama negara anggota organiasi perikanan yang relevan dengan program yang dijalankan di Indonesia, seperti negara yang ada di Samudera Pasifik Barat dan Tengah, juga Samudera Hindia.

Menurut Jeremy, jaringan yang dimiliki IPNLF dengan 50 anggota mencakup pelaku dalam rantai pasok, seperti asosiasi produsen, pengolah, pedagang, pengecer, dan penyedia jasa kuliner. Sementara AP2HI sendiri memiliki jaringan yang tak kalah besar karena anggota dari asosiasi tersebut adalah pemasok tuna untuk pasar global.

 

Ilustrasi. Nelayan menggunakan pancing ulur (handline) untuk menangkap ikan. Foto : Paul Hilton/Greenpeace/Mongabay Indonesia

 

Untuk memastikan bisnis dan masyarakat yang terkait dengan perikanan yang bertanggung jawab dan berkelanjutan, General Manager AP2HI Bayu Mangkurat memastikan bahwa pihaknya akan terus berupaya program tersebut mendapat dukungan sistem dan perangkat manajemen yang dinamis.

“Kami merangkul peluang yang disediakan proyek ini untuk memungkinkan perikanan pole and line dan handline Indonesia memenuhi persyaratan pasar internasional terkait keberlanjutan dan ketertelusuran dan memastikan mereka dikenali dan diberi penghargaan atas kontribusi kelestarian lingkungan, kualitas, dan kontribusi sosial,” jelas dia.

 

Exit mobile version