Mongabay.co.id

Mengenal Masnawati, Petani Muda Milenial dari Luwu Timur

Namanya Masnawati. Ia warga Desa Tarengge, Kecamatan Wotu, Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Berbeda dengan sebayanya, perempuan berusia 24 tahun ini sehari-hari bekerja sebagai petani kakao. Berada di antara rimbunan pohon kakao dan bibit-bibit yang jumlahnya puluhan ribu setiap hari.

Ketika saya menemuinya di rumahnya, menjelang magrib, Kamis (12/4/2018), ia baru saja membersihkan diri selepas dari kebun. Wajahnya bersih berseri seperti gadis muda kebanyakan. Tidak terlihat sebagai petani pada umumnya.

Ia lalu memperlihatkan kebun pembibitannya yang berada di halaman rumahnya. Meski tak begitu luas, di lahan itu diproduksi sekitar 20 ribu bibit kakao dalam setahun dalam setahun. Sebagian tangkainya tertutup lembaran plastik hasil penyambungan.

“Itu sambung pucuk,” katanya singkat.

baca : Baramang, Petani Kakao yang Sukses Membina Petani Lain

 

Masnawati (24), petani muda dari Wotu, Luwu Timur, Sulawesi Selatan, memantapkan dirinya menjadi kakao. Tak seperti gadis lain kebanyakan di desanya, ia lebih memilih menjadi petani dibanding karyawan atau PNS. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Lokasi pembibitan itu dulunya adalah kebun kakao milik ayahnya. Karena kebutuhan lahan untuk lokasi pembibitan, ia menebang seluruh pohon tersebut. Apalagi pohon-pohon tersebut sudah berumur tua dan kurang produktif lagi.

Masnawati merintis usaha pembibitan kakao ketika masih sekolah di SMK Pertanian Tomuni, Luwu Timur. Berawal dari usaha patungan bersama empat orang teman sekolahnya pada 2012 lalu. Mereka melihat potensi bisnis jual bibit, karena sebagian besar petani di desanya adalah petani kakao, sementara usaha pembelian bibit kakao belum ada saat itu.

“Kami berlima mengumpulkan uang masing-masing Rp100 ribu sehingga terkumpul modal usaha Rp500 ribu. Itu untuk beli kebutuhan pembibitan, seperti polybag, tenda untuk tempat pembibitan, pupuk dan lainnya,” ujarnya.

Setelah enam bulan, usaha mereka berhasil. Bibit kakao sebanyak 500 pohon habis terjual. Dengan harga per pohon Rp5.000, mereka memperoleh hasil penjualan Rp2,5 juta. Keuntungan pun dibagi rata dengan teman-temannya.

baca : Generasi Muda Enggan Bertani. Ini Solusinya..

 

Kebun pembibitan kakao Masnawati di halaman rumahnya. Produksinya mencapai 20 ribu ribu pohon per tahun, dijual dengan harga Rp5000 per pohon. Setahun ia bisa memperoleh hasil hingga Rp100 juta. Pembelinya berasal dari berbagai daerah di Sulsel. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Berbeda dengan teman-temannya, Masnawati kemudian melanjutkan usaha pembibitan tersebut. Seluruh hasil keuntungan usahanya digunakan untuk menanam bibit kembali. Saat itu ia akan tamat SMA, sehingga berpikir dari hasil kebun itu kelak bisa membiayai kuliahnya.

Benar saja, usaha pembibitannya kemudian terus berlanjut, bahkan ketika melanjutkan kuliah di Politani Pangkep. Jumlah produksi bibit semakin meningkat, seiring dengan semakin banyaknya permintaan. Jika tak sedang di kampung, perawatan kebunnya dilakukan oleh saudara laki-lakinya.

Setelah kuliahnya selesai, Masnawati memutuskan untuk mengelola usaha pembibitannya secara lebih intens. Tidak hanya mengelola kebun pembibitan, ia juga memutuskan untuk mengelola secara mandiri sebagian dari kebun kakao ayahnya seluas 1 hektar.

Dari hasil pembibitan kakao ini, dalam setahun, Masnawati bisa memperoleh penjualan hingga Rp100 juta. Keuntungan bersih yang bisa ia hasilkan sebesar Rp60 juta. Sementara dari kebun kakao, pendapatannya sekitar Rp30 juta per tahun. Ini berarti, dari usaha kakao ini saja ia mendapatkan penghasilan Rp90 juta per tahun, atau rata-rata Rp7,5 juta per bulan.

baca : Laskar Belati, Menjaga Kakao Luwu Tetap Lestari

 

Petani kakao di Luwu Raya dan Kolaka Utara, Sulsel, di lahannya dengan buah kakao produktivitas  tinggi, tahan hama penyakit dan memiliki kadar lemak yang tinggi. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Ia kini bahkan punya usaha tambahan lain, yaitu penjualan kotoran ayam untuk bahan pembuatan pupuk kompos. Kotoran unggas itu dibeli dari Kabupaten Sidrap dengan harga Rp17.000/karung/sak, dan dijual dengan harga Rp22.000/sak kepada petani. Dalam sebulan ia bisa menjual hingga 150 sak.

”Selalu terjual habis, dan bahkan masih banyak yang cari, sementara stok terbatas,” ungkapnya.

 

Berawal dari Hobi

Kesenangan Masnawati bertani berawal dari hobinya terhadap tanaman ketika masih SMP. Ia sering membantu ayahnya di kebun memetik dan membelah buah kakao. Kesenangan bertani ini kemudian membuatnya melanjutkan pendidikan di SMK Pertanian Tomuni.

Menjelang selesai kuliah, ia magang selama tiga bulan di CRS MARS di Tarengge, tak jauh dari rumahnya. Di saat magang inilah yang kemudian banyak belajar tentang kakao dan kemudian memberinya ide untuk membuka usaha pembibitan kakao.

“Ketika lanjut di Politani, saya kembali magang di MARS. Saya belajar lebih banyak lagi tentang kakao. Bahkan sempat juga dibantu ada bantuan Pak Husin dari MARS,” katanya.

baca : Mengenal Cocoa Doctor, Petani Kakao Penggerak di Sulawesi

 

Asep Ruhli Hakim, petani kakao dari Luwu Timur, Sulsel, sempat ditengah kebun pohon kakaonya.  Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Mengelola pembibitan kakao menurutnya memiliki tantangan tersendiri. Masalah yang biasa ia hadapi adalah ketika musim kemarau yang bisa membuat upaya sambung pucuknya gagal.

“Tak banyak, tapi pasti ada yang gagal karena sambungannya kering. Kalau musim hujan juga kadang ada yang gagal karena penyakit namun jumlahnya juga sedikit saja,” tambahnya.

Usaha pembibitan Masnawati ini ternyata cukup populer di kalangan petani kakao, tidak hanya dari desanya, namun juga dari desa-desa tetangga, dan bahkan juga banyak dari luar kabupaten. Tidak hanya dari petani, ia juga sering mendapat pemesanan dari pihak pemerintah daerah dalam skala besar.

“Sering malah kami kewalahan memenuhi seluruh permintaan.”

Meski beberapa kali sempat ingin bekerja di perusahaan, Masnawati kini memantapkan diri untuk tetap menjadi petani. Ia tak risih seperti sebayanya yang lebih memilih bekerja di kota. Justru merasa bangga. Apalagi ia sering diundang menjadi pembicara di berbagai pelatihan petani.

Dari usahanya ini juga ia bisa membantu perekonomian keluarga dan menyekolahkan adik-adiknya.

“Hasilnya bisa untuk renovasi rumah dan biaya sekolah adik-adik. Ada juga untuk kebutuhan sehari-hari dan ditabung. Sebagian juga untuk tambahan modal usaha. Rencana nanti mau perluas kebun pembibitan.”

baca : Cegah Kepunahan Kakao, Dibangun Pusat Penelitian di Pangkep

 

Kakao produksi petani  dengan kualitas terbaik, dengan produktivitas yang tinggi, tahan hama dan penyakit serta dengan kadar lemak yang tinggi di Sulsel. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Andi Fitriani, Corporate Affairs MARS Indonesia, memuji Masnawati yang dinilainya sebagai inspirasi bagi generasi muda di desa yang kini justru banyak meninggalkan lahan pertanian untuk bekerja di kota atau sebagai PNS.

“Kita pernah survei dan menemukan bahwa generasi muda yang mau bertani jumlahnya semakin sedikit. Ini juga karena faktor orang tua yang kadang tidak ingin anaknya menjadi petani. Melihat petani sebagai pekerjaan kelas dua.”

Menurut Fitri, MARS Indonesia sendiri kini berupaya untuk mengajak kembali generasi muda untuk bertani. Salah satunya melalui program Next Gen yang menyasar siswa SMK pertanian, melalui pendampingan dan pembuatan kurikulum berbasis pada muatan lokal.

“Kita juga mengajak anak muda lain di luar skema SMK, berupaya menggairahkan kembali minat mereka pada pertanian.”

Luwu Raya, sebutan untuk empat kabupaten di wilayah Luwu, selama ini memang menjadi sentra produksi kakao di Sulsel, dan bahkan nasional. Produksi kakao sempat mengalami penurunan produksi yang sangat drastis karena serangan hama PBK di awal tahun 2000-an.

baca : Teror Hama Ini Hancurkan Masa Keemasan Petani Kakao Luwu

 

Cocoa Doctor adalah salah satu program pendampingan mandiri untuk petani kakao dari Mars Indonesia. Mereka direkrut dari petani, dilatih untuk terampil dana budidaya dan bisnis kakao. Mereka kemudian menjadi inspirasi bagi petani kakao lain di desanya. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Berkat upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah dan swasta, masalah ini diminimalkan dampaknya. Petani-petani yang fokus mengelola lahannya sesuai yang dianjurkan, bisa memperbaiki kembali produksinya.

“Kalau target dari kami sendiri sih produksi 2 ton kering/hektar,” tambah Fitriani.

MARS juga mempunyai petani binaan yang dinamakan Cocoa Doctor. Istilah bagi petani terampil yang telah dilatih di Cocoa Academy selama beberapa bulan. Mereka kemudian kembali ke desanya untuk mengajak petani lain agar bisa mengelola kebunnya secara baik, sesuai dengan yang dianjurkan oleh penyuluh. Setiap Cocoa Doctor biasanya memiliki 100-an dan bahkan ada yang mencapai ratusan petani binaan lainnya.

“Agar mudah mengajak petani lain, maka mereka harus memperlihatkan bukti, makanya mereka membuat kebun percontohan yang disebut Wow Farm. Kebun kakao yang ketika orang masuk ke dalamnya akan merasa takjub dengan hasil panen yang besar dan banyak.”

 

Exit mobile version