Mongabay.co.id

Menaruh Keberlanjutan di Meja Perundingan dengan Freeport

Gajah di Pelupuk Mata Tak Tampak

Kalau ada kesalahan yang begitu mencolok mata dalam kasus divestasi PT Freeport Indonesia (PTFI) adalah soal absennya aspek sosial dan lingkungan dalam perundingan. Bagaimana mungkin kedua aspek penting itu sama sekali tidak dibahas manakala selama beberapa dekade dua aspek itu yang terus menerus menjadi perhatian pemangku kepentingan eksternal negeri ini dan mancanegara?

Di tahun 1998 ada buku yang ditulis oleh Dianto Bachriadi tentang berbagai pelanggaran HAM di industri pertambangan di Indonesia. Kasusnya ada dua, yaitu PTFI dan PT Kelian Equatorial Mining. Buku bertajuk Merana di Tengah Kelimpahan: Pelanggaran-pelanggaran HAM pada Industri Pertambangan di Indonesia itu benar-benar membuka mata atas apa yang terjadi di wilayah konsesi PTFI hingga pertengahan dekade 1990an.

Melompat 11 tahun kemudian, P. A. Rifai-Hasan menuliskan hasil risetnya di Journal of Business Ethics, Vol. 89 tahun 2009. Artikelnya, Development, Power, and the Mining Industry in Papua: A Study of Freeport Indonesia, melihat permasalahan yang lebih luas daripada pelanggaran HAM. Dampak PTFI terhadap pembangunan ekonomi dan sosial, serta degradasi lingkungan, dibahas secara bernas dalam perspektif sejarah. Yang ia temukan sangatlah jelas: PTFI memang punya segudang isu sosial dan lingkungan.

Perbedaannya, Rifai-Hasan melihat 1996 sebagai titik balik. Freeport tampak melakukan beragam perbaikan dalam kebijakan dan praktik pengelolaan sosial dan lingkungan, sehingga kinerjanya pun berubah. Secara ekonomi, kontribusi PTFI terhadap PDRB Kabupaten Mimika dan Provinsi Papua sangatlah signifikan. Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia mencatat di tahun 2013 bahwa angka itu adalah 91% terhadap PDRB Mimika dan 37,5% terhadap PDRB Provinsi Papua. Tetapi, tentu saja kontribusi sebesar itu tak berarti apabila pengelolaan sosial dan lingkungan PTFI tidak mengalami perbaikan.

baca : Ketika Freeport Sepakat Divestasi 51% Saham, Bagaimana soal Lingkungan dan Orang Papua?

 

Pekerja tengah menambang di terowongan bawah tanah PT Freeport Indonesia. Foto: PT FI

 

Bagaimanapun catatan Rifai-Hasan sudah berumur hampir satu dekade. Kita belum mengetahui secara pasti apakah perubahan dalam kebijakan dan praktik itu membuat kemajuan yang berarti. Tiba-tiba pada Maret 2018 Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengeluarkan hasil audit yang menyatakan bahwa PTFI telah merugikan negara sebesar Rp185 triliun lantaran kerusakan lingkungan yang dibuatnya. Bersamaan dengan pemberitaan itu, diketahui pula bahwa sejak Oktober 2017 ternyata Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah memberikan sanksi administratif kepada PTFI lantaran, menurut berbagai kabar, terdapat kegiatan operasional PTFI yang tidak sesuai dengan izin lingkungan yang diberitakan.

Di sisi yang lain, kita juga mendengar berita bahwa akibat ketidakpastian kelanjutan operasi PTFI, ribuan karyawan dirumahkan. Ada juga kasus-kasus mogok kerja. Lalu, ada banyak di antara mereka yang dianggap mengundurkan diri karena tak masuk kerja tanpa pemberitahuan. Jumlahnya 3.274 orang per Mei 2017 (Kompas, 27 Februari 2018). Ini adalah jumlah yang sangat signifikan mengingat total karyawan yang jumlahnya 7.000an. Kita tidak menyaksikan pergolakan di masyarakat lokal, tetapi kekhawatiran bahwa dampak terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat dari ketidakmulusan dalam kelanjutan operasi PTFI telah disampakan 7 kepala suku di bulan Februari 2017.

Jadi, kalau kontribusi ekonomi PTFI sangatlah besar untuk Mimika dan Papua, dan sejumlah isu sosial dan lingkungan masih melekat dengan operasinya hingga sekarang, wajarkah apabila di dalam meja perundingan divestasi 51% saham PTFI tak ada sama sekali butir soal sosial dan lingkungan? Butir-butir dalam kesepakatan divestasi adalah bentuk izin, pembangunan smelter, stabilitas penerimaan negara, dan periode perpanjangan.

baca : Masyarakat Amungme dan Kamoro Sikapi Soal Freeport

 

Peta satelit dari kawasan pertambangan PT Freeport

 

Penyederhanaan Alias Finansialisasi

Hingga sekarang masyarakat Indonesia belum melihat sama sekali simulasi yang menunjukkan bahwa benar bila Indonesia memiliki saham 51% maka negara, provinsi, dan kabupaten akan lebih menguntungkan. Kita cuma disajikan dengan beragam angka berapa nilai yang pantas atas pembelian hak partisipasi Rio Tinto yang hendak dikonversi jadi 40% saham itu. Untuk menjadikan 51% saham menjadi milik Indonesia, Pemerintah juga perlu membeli saham PT Indocopper Investama. Untuk harga hak partisipasi Rio Tinto sendiri tampaknya mengerucut menjadi angka yang diajukan Deutsche Bank, yaitu USD3,3 miliar (Kompas, 22 Maret 2018) atau Rp46,86 triliun pada konversi Rp14.200 per USD.

Walaupun ada nama-nama lain yang konon turut menghitung, yaitu HSBC, Morgan Stanley, dan Credit Suisse–yang seluruhnya adalah lembaga keuangan, bukan lembaga-lembaga terkemuka yang biasa menghitung valuasi pertambangan–namun yang lain tak dimunculkan perkiraannya. Kita juga tak bisa melihat dasar perhitungannya. Tetapi, yang jelas, karena pelaku perhitungan adalah lembaga jasa keuangan, maka nilai itu oleh banyak kalangan ditengarai lebih kental urusan finansialisasinya dibandingkan perhitungan operasional yang matang.

Dengan tidak adanya komponen sosial dan lingkungan dalam perundingan, maka banyak kalangan juga menduga bahwa dasar perhitungan itu adalah business as usual. Padahal kalau perhitungan sosial dan lingkungan yang lebih matang dilakukan, sangat boleh jadi harga yang ditaksir akan berubah. Pertama, karena profil risiko sosial dan lingkungan akan menjadi penapis investasi. Kedua, karena biaya yang timbul untuk peningkatan kinerja sosial dan lingkungan perlu dimasukkan ke dalam perhitungan harga yang pantas.

Sesungguhnya, dari angka yang dinyatakan oleh BPK itu ada konsekuensi yang penting. Kalaulah kita terima angka BPK itu, walaupun tak pernah ada pengungkapan metodologi dan perhitungannya, maka sangatlah aneh bagi Pemerintah untuk tetap ngotot membeli PTFI. Harga 40% PTFI itu dinyatakan sama dengan Rp46,86 triliun, maka harga 100% saham PTFI adalah Rp117,15 triliun saja. Kalau perusahaan seharga itu memiliki liabilitas Rp185 triliun karena telah merusak lingkungan, apakah masuk akal untuk dibeli? Penting diingat bahwa dalam beberapa tahun terakhir berbagai kasus kejahatan lingkungan dengan pelaku korporasi sudah diseret ke meja hijau. Jadi, PTFI juga bisa saja mengalami nasib yang sama, dan pemegang saham pula yang akan menanggung beban itu.

baca : Ketika Mereka Menyoal Freeport, dari Kerusakan Lingkungan sampai Pengabaian Hak Orang Papua

 

Sepasang peta di atas, direkam dengan Thematic Mapper di Landsat 4 dan 5, memberikan gambaran hilangnya permukaan es di puncak Jaya Papua antara tahun 1989 (atas) hingga 2009 (bawah). Area berwarna abu-abu di tengah adalah area pertambangan Grasberg, yang memiliki cadangan emas terbanyak di dunia dan cadangan tembaga kedua terbesar di dunia milik PT Freeport. Peta NASA Earth Observatory dibuat oleh Jesse Allen and Robert Simmon, menggunakan data Landsat yang disediakan oleh United States Geological Survey. Gambar disediakan oleh: Adam Voiland.

 

Kalau Pemerintah tetap ngotot membeli dengan harga tersebut, sesungguhnya pilihannya ada dua. Pertama, bahwa angka yang diajukan oleh BPK itu tidak dipercaya oleh Pemerintah, dan dianggap liabilitas lingkungan PTFI jauh di bawah itu, atau tak bakal dimejahijaukan. Kedua, sesungguhnya harga yang pantas untuk saham PTFI itu adalah jauh lebih tinggi, sehingga liabilitas itu pantas untuk ditanggung. Tentu saja ada pilihan lain, yaitu bahwa sesungguhnya perhitungan itu tak benar-benar dipergunakan, karena ada pihak-pihak tertentu yang ingin mendapatkan keuntungan sangat besar dari transaksi yang bakal terjadi. Tentu bangsa ini belum lupa kasus Papa Minta Saham. Walaupun Setya Novanto ada di dalam penjara, bukan berarti dijamin tak ada makelar besar dan jahat yang sedang bergentayangan siap mengambil keuntungan dari divestasi ini.

Deutsche Bank sendiri adalah lembaga jasa keuangan yang secara terbuka sudah mendatangi Pemerintah pada September 2017, menawarkan dana untuk membeli saham PTFI (Katadata, 19 September 2017). Deutsche Bank adalah bank yang ingin dikenal sebagai salah satu pemuka dalam perbankan berkelanjutan. Dalam struktur organisasinya dikenal posisi Chief Investment Officer for Responsible Investment dan di bawah posisi itu ada tim yang didedikasikan khusus untuk riset lingkungan, sosial dan tata kelola (environment, social, and governance, disingkat ESG) untuk setiap keputusan investasi mereka.

Dengan keterlibatan Deutsche Bank ini dalam pembiayaan maka ada beberapa konsekuensi yang penting. Pertama, kalau memang sebagian pembiayaan berasal dari bank tersebut, maka perhitungan keuntungan Pemerintah dari memiliki saham 51% itu perlu dikurangi dengan pembayaran cicilan kepada Deutsche Bank. Hal ini perlu dilakukan dengan transparan oleh Pemerintah, dengan membandingkan berapa yang diterima dengan kondisi kepemilikan yang sekarang versus berapa yang akan diterima pada skenario divestasi yang akan dijalankan. Ini sangat penting untuk membuktikan bahwa benar bangsa Indonesia memang diuntungkan dengan kepemilikan saham ini.

Kedua, sangatlah aneh apabila bank tersebut tidak memerhitungkan pengelolaan sosial dan lingkungan di dalam perkiraan harga pembelian yang pantas. Tim ESG persis dibentuk untuk keperluan tersebut. Ketiga, tidaklah masuk akal bagi Deutsche Bank untuk datang ke Pemerintah menawarkan turut serta mendukung pembelian saham bila mereka tak yakin bahwa kinerja sosial dan lingkungan PTFI sesungguhnya ada dalam ambang batas risiko yang mereka tetapkan. Dan, kalaulah ternyata Deutsche Bank telah berhitung soal itu, maka ada baiknya hasil tersebut dibuka kepada umum, agar berbagai prasangka tentang kinerja sosial dan lingkungan PTFI bisa dikikis.

baca : Soal Freeport, Berikut Pandangan Ekonom dan Pegiat Lingkungan

 

Kondisi di pertambangan Freeport di Papua. Foto: dari Youtube

 

Perlunya Penilaian Independen

Namun demikian, kita juga tak bisa sepenuhnya mengandalkan data dan analisis yang dilakukan oleh pihak yang sudah menyatakan keinginannya untuk turut mendanai pembelian saham itu untuk memberikan penilaian yang independen atas kinerja sosial dan lingkungan PTFI sekarang. Penilaian itu sesungguhnya sekarang menjadi terbuka kemungkinannya karena Pasal 60 Permen ESDM 25/2018–yang muncul di awal Mei 2018–menyatakan bahwa kewajiban divestasi 51% itu selambatnya diselesaikan pada tahun 2019. Ini berarti masih ada waktu buat bangsa Indonesia untuk menaruh butir perundingan baru, yaitu soal pengelolaan sosial dan lingkungan, sebelum pembelian dilaksanakan.

Sebelumnya, target penyelesaian perundingan divestasi adalah akhir April 2018. Pada tenggat tersebut, pengelolaan sosial seakan direduksi habis-habisan menjadi sekadar kepemilikan 10% saham oleh Pemerintah Provinsi Papua dan Kabupaten Mimika (Detik.com, 12 Januari 2018). Tak jelas benar apakah Pemerintah Pusat yang membayarnya kemudian menyerahkan 10% itu secara gratis, Pemprov Papua dan Pemkab Mimika membayar sebagiannya, atau bahkan Pemprov dan Pemkab itu membayar sepenuhnya. Untuk setiap skenario, sangat penting untuk diketahui konsekuensinya terhadap pemerintah daerah dan masyarakat Papua.

Penting juga diingat, kepemilikan saham sama sekali bukan panasea untuk seluruh isu sosial yang melingkupi hubungan PTFI dengan masyarakat setempat. Isu-isu perilaku korporasi; pengelolaan dampak ekonomi, sosial dan lingkungan; dan berbagi manfaat lewat beragam program pengembangan masyarakat, tetap perlu dikelola dengan baik kalau masyarakat Papua hendak dihormati, disejahterakan dan dimandirikan. Apa saja tindakan perbaikan yang perlu diambil dibandingkan kondisi sekarang hanya bisa diketahui apabila penilaian dampak ekonomi, sosial, dan lingkungan yang komprehensif bisa dilakukan oleh para pakar independen. Hasilnya, berupa peta jalan peningkatan kinerja keberlanjutan PTFI, kemudian menjadi butir yang mengikat di dalam perundingan.

baca : Ribut Freeport Jangan Cuma Soal Duit, Bagaimana Nasib Lingkungan dan Orang Papua?

 

Salah satu daratan yang terjadi karena endapan tailing di perairan Timika. Foto: Yoga Pribadi

 

Aspek apa saja yang perlu dievaluasi kondisi mutakhirnya, serta pakar apa saja yang dibutuhkan untuk menjadi penilainya sesungguhnya mudah untuk ditentukan. Ada banyak tulisan yang bisa dirujuk sebagai data sekunder untuk melihat isu-isu keberlanjutan yang diduga material dalam urusan PTFI ini. Kalau mau menggunakan bantuan standar internasional dari International Council on Mining and Metals (ICMM) yaitu Sustainable Development Framework: ICMM Principles bisa dipergunakan. Organisasi Global Reporting Initiative (GRI) mengeluarkan dokumen Mining and Metals Sector Disclosure, yang juga bermanfaat untuk ditinjau aspek dan indikatornya. Atau, bisa juga mengambil manfaat dari standar internasional yang berlaku umum namun banyak dipakai untuk menilai kinerja perusahaan ekstraktif, IFC Performance Standards on Environmental and Social Sustainability.

Siapapun yang pernah mengunjungi wilayah operasi PTFI dan berinteraksi dengan masyarakatnya dalam jangka waktu panjang akan merasakan kebenaran kesimpulan Rifai-Hasan. Namun, perbaikan-perbaikan itu perlu ditinjau dalam kerangka yang lebih luas lagi, yaitu Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs). Masyarakat di Kabupaten Mimika, bahkan di kabupaten lainnya di Papua, sangat bergantung nasibnya pada kelangsungan operasi PTFI. SDGs menjanjikan penghilangan kemiskinan, kelaparan, dan lima belas tujuan lain di tahun 2030. Nasib saudara-saudara kita, terutama di Mimika, akan sangat tergantung pada apakah kinerja sosial dan lingkungan PTFI bisa dioptimalkan sehingga bisa semaksimal mungkin kontribusinya pada pencapaian SDGs di sana. Kealpaan menaruh keberlanjutan pada meja perundingan dengan PTFI bisa diperbaiki sekarang, dengan tenggat waktu yang baru.

 

*Jalal, Reader on Corporate Governance and Political Ecology Thamrin School of Climate Change and Sustainability. Tulisan ini adalah opini penulis

 

Exit mobile version