Mongabay.co.id

Mencari Solusi Perbaikan Ekosistem Pertanaman Kakao di Sulsel

Beragam masalah menjadi penyebab turunnya produktivitas kakao di Sulawesi Selatan, baik itu serangan hama penyakit ataupun menurunnya kualitas tanah akibat penggunaan pupuk, serta masalah-masalah lainnya.

Salah satu hama yang paling banyak menyerang adalah Penggerek Buah Kakao (PBK) yang bisa menurunkan produktivitas hingga 70 persen.

Menghadapi kondisi ini petani kebanyakan menanganinya melalui pendekatan pragmatis, yaitu menggunakan pestisida kimiawi secara berlebihan. Untuk menyuburkan tanah pupuk kimiawi juga diberikan secara berlebihan sehingga berdampak pada menurunnya kualitas tanah. Diperlukan berbagai upaya perbaikan ekosistem pertanaman kakao antara lain melalui penerapan sistem pertanian yang berkelanjutan.

Hal ini menjadi salah satu bahasan dalam Focus Group Discussion bertajuk mengembalikan kejayaan kakao sebagai identitas masyarakat Sulsel, yang dilaksanakan oleh Universitas Hasanuddin kerjasama dengan Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo), yang dilaksanakan di gedung Pusat Kegiatan Penelitian Unhas, Makassar, Sabtu (27/10/2018) lalu.

baca : Teror Hama Ini Hancurkan Masa Keemasan Petani Kakao Luwu

 

FGD yang dihadiri seluruh stakheloders perkakaoan di Sulawesi Selatan terkait upaya perbaikan kakao dari hulu, hilir dan kebijakan. Hasil FGD diharapkan menjadi masukan dalam penyusunan RPJMD Sulsel. Foto. Mongabay Indonesia/Wahyu Chandra.

 

“Ketergantungan kita pada pupuk kimia sangat luar biasa padahal kalau kita mau memperbaiki ekologi kita saat ini bisa memanfaatkan bahan organik yang berasal dari tanaman kakao itu sendiri,” ujar Nasaruddin Badar, pakar budidaya tanaman Unhas.

Awal mula penggunaan pestisida ini, menurut Nasaruddin, tak terlepas dari munculnya serangan PBK ke Sulawesi sejak 1995 silam, yang dimulai dari Sulawesi Tengah.

“Karena panik petani kemudian menggunakan segala macam pestisida dan insektisida secara membabi buta. Dampaknya, semua musuh alami ikut habis. Proses untuk membuat bunga dan buah tidak jadi karena penyerbukan sudah tidak jalan disebabkan rusaknya ekosistem,” jelasnya.

Pemerintah memang kemudian melakukan berbagai upaya pemulihan ekosistem tanaman, antara lain melalui pelatihan budidaya ke petani. Namun sistem budidaya kakao di tingkat petani tidak berubah, karena hasil pelatihan ini tidak jalankan secara baik di kebun.

“Mengapa petani tak bisa melakukan seperti yang dilatihkan? Karena tidak semua ter-cover sampai di kebun. Hanya teori di kelas. Selain itu, petugas pertanian hampir tidak ada di lapangan. Petani tidak mengenal penyuluhnya sampai hari ini. Kebanyakan penyuluh tak tahu budidaya kakao, karena mereka hanya paham tanaman pangan.”

baca :  Cegah Kepunahan Kakao, Dibangun Pusat Penelitian di Pangkep

 

Serangan hama dan penyakit menurunkan produktivitas kakao hingga 70 persen. Berbagai upaya harus dilakukan termasuk melakukan peremajaan tanaman menggunakan bibit yang berkualitas. Foto : Hariandi Hafied/Mongabay Indonesia

 

Masalah lain, bahwa sebagian petani yang bekerja di kebun bukan petani kakao yang terampil, karena lebih banyak dikerjakan oleh tenaga buruh. “Yang namanya orang digaji, yang penting selesai pekerjaannya.”

Mengatasi masalah ini, Nasaruddin menyarankan perlunya rehabilitasi atau peremajaan tanaman, serta melakukan diversifikasi tanaman di dalam kebun.

“Kita harus melakukan rehabilitasi dan di sisi lain petani dibekali dengan pengetahuan terkait pemanfaatan organisme antagonis, sehingga tanaman ini bisa beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang kurang bagus. Selain itu, petani juga harus bisa memanfaatkan pupuk organik dan memanfaatkan pestisida dari bahan alami,” tambahnya.

Menurut Siktus Gusli, Guru Besar Ilmu Tanah Unhas, lingkungan yang tidak sehat saat ini adalah dampak dari kegiatan tidak sustainable yang dilakukan di masa lalu, sehingga berbagai upaya pemulihan tanah harus dilakukan.

“Gerakan nasional tahun 2009 mana ada pengaruhnya. Program yang dilakukan sudah sangat banyak tapi belum ada yang berubah. Bahwa yang namanya bertanam itu harus sustainable dengan 3 prinsip: komoditas, masyarakat dan lingkungan,” katanya.

baca :  Baramang, Petani Kakao yang Sukses Membina Petani Lain

 

Kakao di Sigi, Sulawesi Tengah. Warga mengeluhkan, kakao mereka terserang hama hingga produksi turun drastis. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Menurut Ade Rosmana, Guru Besar Hama dan Penyakit Unhas, pemanfaatan kompos bisa menjadi solusi untuk mengembalikan kualitas tanah dan sekaligus bisa membuat tanaman kakao lebih tahan terhadap serangan hama dan penyakit.

“Aplikasi penggunaan kompos ini bisa bekerja pada penyakit busuk buah dan PSD. Pada PSD ini ditemukan adanya penurunan dengan aplikasi organik hanya dengan dibenamkan. Jadi sebenarnya penggunaan kompos sudah bisa dibuktikan bisa meningkatkan produksi kakao.”

Sylvia Sjam, Guru Besar Hama dan Penyakit Unhas, meyakini kakao organik bisa diwujudkan, meski tidak bisa menyeluruh. Harus bertahap dan bisa dimulai dari skala lebih kecil.

“Penggunaan pupuk organik bisa perlahan mengembalikan kualitas tanah. Jika tanahnya baik maka tanaman pun bisa lebih sehat dan tahan terhadap hama penyakit. Penggunaan pupuk dan pestisida kimiawi justru bisa membunuh mikroorganisme lain yang justru berguna untuk pertumbuhan tanaman,” katanya.

 

Keluarga Petani yang Semakin Berkurang

 Dalam FGD ini dibahas pula krisis petani yang terjadi saat ini di mana petani kini didominasi oleh usia tua, 40 tahun ke atas, sementara generasi yang lebih muda lebih memilih bekerja di kota.

Sensus Pertanian 2003 menunjukkan Rumah Tangga Petani (RTP) semula berjumlah 31,23 juta, menurun pada tahun 2013 menjadi 26,13 juta RTP atau turun 16,3 persen selama sepuluh tahun.

Data BPS juga menunjukkan hanya 12 persen dari total yang ada saat ini yang berusia di bawah 35 tahun. Sisanya merupakan petani tua berusia di atas 45 tahun. Data lain menunjukkan hanya tiga persen anak petani yang melanjutkan kiprah orang tuanya sebagai petani.

Bidang perkebunan kakao misalnya, data menunjukkan hanya 16% petani yang aktif mengelola kebunnya berusia di bawah 35 tahun. Jumlah ini akan menjadi lebih meresahkan jika menambahkan data petani yang berusia di atas 55 tahun yang mencapai 23%.

“Kondisi petani di mana rata-rata umur petani kita 35-45 tahun masih ada gap. Beberapa industri sudah membaca hal ini kemudian memberikan program bagaimana memberikan daya tarik kepada pemuda untuk masuk ke wilayah pertanian,” ungkap Arie Nauvel Iskandar, Ketua Askindo.

baca :  Generasi Muda Enggan Bertani. Ini Solusinya..

 

Petani kakao kini didominasi oleh generasi tua, generasi muda cenderung ingin bekerja di kota dan tak tahu lagi bertani. Bahkan di dunia di digital, milenial tidak begitu memahami secara jelas, sehingga informasinya harus diisi dan menjadi tanggung jawab bersama bagaimana memberikan daya tarik untuk petani muda. Foto. Mongabay Indonesia/Wahyu Chandra.

 

Menurut Arie, bahkan di dunia di digital, millenial tidak begitu memahami secara jelas, sehingga informasinya harus diisi dan menjadi tanggung jawab bersama bagaimana memberikan daya tarik untuk petani muda.

“Kita harus mengisi kekosongan informasi khususnya tentang kakao untuk yang muda dan millenial. Buku-buku yang bapak terima tadi ini adalah salah satu inisiasi oleh MARS bagaimana memberikan informasi sejak dini di tingkat SD supaya mereka tahu bahwa kakao mempunyai masa depan,” katanya.

Terkait komoditas kakao yang kini didorong menjadi salah satu komoditas unggulan Sulsel, Arie menilai bahwa persoalan kakao relatif sama dari tahun ke tahun.

“Kita semua sudah tahu masalahnya seperti apa. Tinggal kita bagaimana menghilangkan ego sektoral, karena terus terang bagaimana kita harus meningkatkan produksi dan kualitas biji kakao harus ada kolaborasi dan ini harus didorong dari pemerintah. Itulah masalah yang kita hadapi saat ini.”

Menurut Arie, persoalan data juga harus menjadi prioritas yang harus diselesaikan.

“Persoalan data ini menjadi persoalan seperti aksesoris untuk program besar kementerian, bukan menjadi bahan dasar. Saya lihat kalau mereka menentukan target, datanya mereka mengikuti target.”

baca : Mengenal Cocoa Doctor, Petani Kakao Penggerak di Sulawesi

 

Melalui usaha pembibitan tanaman perkebunan, Israk bisa memperoleh penghasilan tambahan untuk keluarganya. Beragam tanaman yang dibibit antara lain talas, kakao, cengkeh, merica dan beragaman tanaman perkebunan lainnya di Desa Kaluloe, Bantaeng, , Sulawesi Selatan. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Arie menyatakan bahwa kakao seharusnya menjadi prioritas program jika ingin menyejahterahkan petani. Dibandingkan sawit dan karet, jika dikelola dengan baik dan benar, kakao lebih jauh lebih menguntungkan dan meningkatkan penghasilan petani.

“Kakao lebih kompetitif dibandingkan dari karet dan sawit.”

Arie berharap upaya-upaya dalam meningkatkan produktivitas kakao tidak sekedar hanya menjadi tujuan kementerian saja tetapi juga harus memperhatikan komitmen-komitmen yang ada pada Sustainable Development Goals (SDGs).

Ketua Tim Percepatan Pembangunan Daerah (TP2D) Sulsel, Yusran Yusuf, mengapresiasi berbagai masukan peserta FGD, serta adanya optimisme dari berbagai pihak untuk berkolaborasi melaksanakan program ini nantinya. Rekomendasi dari FGD ini diharapkan bisa menjadi bahan penyusunan RPJMD Sulsel 2018-2023.

“Kita sepakat bahwa ada kerusakan ekosistem di kakao sehingga perlu penanganan yang komprehensif, dengan memanfaatkan potensi-potensi lokal yang ada. Semua pihak optimis dan berkomitmen. Kita semua menjadi bagian dari orang membangkitkan kakao. Saya akan menyampaikan ini ke Pak Gubernur,” katanya.

 

Exit mobile version