Mongabay.co.id

Empat Dekade Penelitian, 457 Burung Dinyatakan Sebagai Spesies Baru

 

 

Akhir Januari 2019, peneliti dan pemerhati burung dari berbagai penjuru Indonesia berkumpul di Kota Padang, Sumatera Barat. Tepatnya, di kampus Universitas Andalas. Ini merupakan Konferensi Peneliti dan Pemerhati Burung Indonesia [KPPBI] V, sejak pertama kali digelar di Kota Bogor, Jawa Barat. Tema yang diangkat adalah “Restorasi Habitat untuk Kelestarian Burung di Sekitar Kita”.

Pembicara utama yang hadir tidak hanya dari Indonesia, ada juga dari luar negeri. Sebut saja Chin Aik Yeap dari Malaysian Nature Society, Mark O’Hara dari Vet Med Viena University, Austria, dan Wally Van Sickle dari Idea Wild, Amerika Serikat. Dalam konferensi ini, sebanyak 60-an abstrak hasil penelitian burung dipaparkan, ada habitat buatan, genetika, ekomorfologi, ekofisiologi, penangkaran, hingga perdagangan.

Ani Mardiastuti, Guru Besar Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Institut Pertanian Bogor [IPB], memaparkan tentang empat dekade penelitian dan konservasi burung di Indonesia. Ia memulai penjelasannya tentang peneliti Jepang, Nagamichi Kuroda, yang menulis buku burung-burung di Pulau Jawa pada 1933, lalu Andries Hoogerwerf [1949], hingga buku panduan lapangan 2016.

“Dalam waktu dekat akan diluncurkan buku panduan lapangan lebih lengkap, judulnya “Burung-burung di Indonesia, Sunda Besar dan Kawasan Wallacea”. Bukunya sangat tebal dan harganya bisa lebih Rp1 juta,” ungkapnya.

Baca: Burung di Indonesia, Bagaimana Kondisinya?

 

Julang sulawesi [Knobbed hornbill] yang statusnya Rentan [VU}. Foto: Rhett Butler/Mongabay.com

 

Ani menuturkan, penelitian dan konservasi burung di Indonesia perlu dilacak dan direkam agar kemajuannya dapat diketahui. Penelitian telah banyak berkembang dalam hal jumlah; peneliti, geografis, kualitas, dan variasi tema, khususnya setelah buku panduan lapangan diterbitkan. Metode lapangan dibakukan, serta peralatan lapangan semakin lengkap dan terjangkau.

Selama empat dekade penelitian, sebanyak 457 burung telah dinyatakan sebagai spesies baru karena proses spesiasi akibat isolasi geografis, yang sebagaian besar berada di kawasan Wallacea. Namun demikian, spesies burung yang terancam punah ikut bertambah walau konservasi semakin digiatkan.

“Topik penelitian banyak berkembang. Tidak hanya laporan eksploratif dan keanekaragaman hayati tapi juga penangkaran, pembuktian kaidah biologi atau ekologi, adaptasi burung pada habitat termodifikasi, serta kesehatan lingkungan.”

Baca: Konservasi Burung Liar Memang Penting untuk Ekosistem Alam

 

Burung anis-bentet sangihe (Colluricincla sanghirensis) yang dikeluarkan dari daftar dilindungi. Foto: Hanom Bashari

 

Selain itu, kebijakan telah diperkuat dengan berbagai peraturan dan rencana strategis. LSM, peneliti, himpunan mahasiswa, pengamat burung, bahkan kelompok fotografer bertambah. Demikian pula pertemuan ilmiah dan diskusi. Kerja sama antar-negara terjalin dengan adanya migrasi burung, perdagangan internasional, dan upaya memerangi penyelundupan.

“Empat dekade terakhir dapat disimpulkan, penelitian dan konservasi burung di Indonesia berkembang pesat,” ungkap Ani.

Baca: 125 Hasil Penelitian Burung di Presentasikan Dalam Konferensi Burung Indonesia Ketiga

 

Punggok-sumba [Ninox sumbaensis] yang statusnya Genting [EN]. Foto: Burung Indonesia

 

Status Burung 2019

Ria Saryanthi, Head of Communication & Institutional Development Burung Indonesia, memaparkan status burung di Indonesia 2019 yang jumlahnya sebanyak 1.777 spesies. Dari jumlah itu, 168 jenis merupakan jenis terancam punah dengan rincian; 30 jenis Kritis, 44 jenis Genting, dan 94 jenis Rentan. Selain itu, sebanyak 244 jenis mendekati terancam punah, 1.351 jenis risiko rendah, dan 11 jenis kurang data.

Untuk status konservasi lain, jumlah jenis burung yang dilindungi sebanyak 553 spesies berdasarkan Permen KLHK No.P 92/MenKLHK/Setjen/Kum.1/8/2018. Dari jumlah itu, tercatat, jumlah jenis burung endemis 515 spesies sementara jumlah jenis burung sebaran terbatasnya 452 spesies.

Baca: Ini Penyebab Burung Terus Terancam di Alam Liar…

 

 

Yanthi, biasa disapa, juga menyebutkan terdapat 228 daerah penting bagi burung dan keragaman hayati di Sumatera, Kalimantan, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi dan Maluku.

“Salah satu pendekatan untuk melakukan perlindungan habitat burung di luar kawasan konservasi melalui restorasi ekosistem di hutan alam produksi. Caranya, melalui Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem atau IUPHHK-RE,” ungkapnya.

Di Indonesia, saat ini telah dikeluarkan 16 izin kawasan restorasi ekosistem dengan luas 623.075 hektar. Sepuluh kawasan berada di Sumatera dan enam di Kalimantan dengan periode izin mulai 60 hingga 100 tahun. Tipe ekosistem mencakup hutan dataran rendah, mangrove, rawa gambut, hutan rawa air tawar, dan hutan kerangas.

Namun menurut Yanthi, tantangan yang dihadapi saat ini adalah masifnya industri ekstraktif seperti pertambangan dan perkebunan, juga pembukaan kawasan untuk pertanian. Apalagi, sebanyak 97 habitat penting seluas 4.782.120 hektar berada di luar kawasan konservasi. Sementara untuk kawasan hutan, di Indonesia telah ada hutan konservasi seluas 27,4 juta hektar, hutan lindung 29,7 juta hektar, dan hutan produksi sekitar 68,8 juta hektar.

Baca: Bas van Balen: Cinta Indonesia Sejak di Belanda

 

Tarian Alang Babega, saat pembukaan Konferensi Peneliti dan Pemerhati Burung di Indonesia V di Kota Padang, Sumatera Barat. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

 

Peneliti Teladan

Hari terakhir, konferensi yang dipimpin Ignatius Pramana Yudha selaku Presiden Indonesian Ornithologist’s Union atau Perhimpunan Ornitolog Indonesia, memberikan penghargaan kepada Dewi Malia Prawiradilaga sebagai peneliti teladan ornitologi Indonesia.

Dewi merupakan peneliti pada Pusat Penelitian Biologi, Bidang Zoologi, Ekologi Hewan, di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia [LIPI]. Dewi yang memiliki nama tengah Malia, yang merupakan nama burung di Sulawesi, telah menghabiskan waktu lebih 35 tahun melakukan penelitian burung. Sayang, Dewi tidak hadir, hanya memberikan sambutan melalui skype.

Pada 2018, Dewi menemukan spesies burung baru pemakan nektar, yaitu cairan manis yang terdapat pada bunga, di Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur. Burung tersebut diberi nama Myzomela irianawidodoae, diambil dari istri Presiden RI, Iriana Joko Widodo.

“Ibu Dewi hingga saat ini konsisten dalam penelitian burung,” ungkap Ignatius.

Baca juga: Cerita Dewi Prawiradilaga Menamai Burung Temuan dengan Iriana Widodo

 

Dewi Malia Prawiradilaga, peneliti pada Pusat Penelitian Biologi, Bidang Zoologi, Ekologi Hewan, di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia [LIPI] yang dinobatkan sebagai peneliti teladan Indonesia. Foto: Rahmadi Rahmad/Mongabay Indonesia

 

Sebelumnya, pada konferensi pertama di Bogor, penghargaan diberikan kepada Prof. Soekarja Somadikarta, sebagai Bapak Ornitologi Indonesia. Dia merupakan peletak dasar ilmu perburungan secara sistemik di Indonesia. Pada 2008, ketika dideskripsikan burung endemis jenis kacamata di Kepulauan Togean, para peneliti menamakannya Zosterop somadikartai untuk menghormati dedikasi Soekarja Somadikarta.

 

 

 

Konferensi peneliti dan pemerhati burung ini berlangsung semarak. Hari pertama digelar workshop yang dihadiri Rektor Universitas Andalas, Tafdil Husni, dan Wakil Gubernur Sumatera Barat, Nasrul Abit. Upacara seremonialnya menampilkan tarian adat Minangkabau, Alang Babega yang menggambarkan gerakan burung elang terbang melingkar di langit, menukik menyambar mangsanya. Pada hari penutupan, konferensi dihadiri langsung Gubernur Sumatera Barat, Irwan Prayitno.

 

 

Exit mobile version