“Sebelum berbicara mengenai burung berkicau di Kalimantan, saya ingin bertanya apa itu burung berkicau?” kata Adam Miller, Direktur Eksekutif Planet Indonesia, membuka presentasi dalam diskusi panel di Semarang, Konferensi Peneliti dan Pemerhati Burung Indonesia (KPPBI) IV, belum lama ini.
Seorang peserta mengangkat tangan. “Burung berkicau secara taksonomi adalah semua burung yang masuk dalam ordo passeriformes.”
“Wow, mantap!” timpal Miller puas atas jawaban peserta.
Selang beberapa menit kemudian, dia memutar thriller film pendek berjudul, “Tainted Love,” juga bisa disaksikan lewat YouTube. Film berisi hobi burung berkicau yang mengancam konservasi alam. Sayang ada gangguan teknis hingga suara tak muncul dari laptop yang disiapkan.
Dari deretan peserta konferensi terdengar siulan burung bersahutan, meningkahi film yang tanpa suara. “Ya, itu lebih bagus,” kata Miller. Hadirin tersenyum.
Suasana santai itu jadi selingan dari keseriusan pertemuan kali ini. Miller, satu dari 16 panelis yang berbicara tentang burung Indonesia.
Menurut Margareta Rahayuningsih, selaku ketua panitia, konferensi diikuti 350 peserta, dan mempresentasikan sekitar 138 makalah. Masih bagian dari konferensi, ada simposium yang berlangsung paralel.
Simposium mengambil tema burung di habitat alami, burung habitat modifikasi, raptor dan burung pantai, penangkaran dan perdagangan burung, kebijakan, edukasi, serta ekomorfologi, ekofisiologi, perilaku, zoonosis, molekuler dan genetika.
Sementara konferensi sendiri mengambil tema peran generasi muda dalam penelitian dan konservasi burung, setop perburuan dan perdagangan ilegal.
Selain Miller, beberapa pembicara kunci yang diundang, seperti Dewi Malia Prawiradilaga (LIPI), Adhiasto Dwi Nugroho (Wildlife Conservation Society), Riza Marlon (Wildlife Photografer), Bas Van Balen (peneliti), Ratna Kusuma (Direktorat KKH), Ani Mardiastuti (IPB), Muhammad Iqbal (Daemeter Consulting), dan Pramana Yuda (UAJY).
Perdagangan burung di Kalimantan
Dalam presentasi, Miller menyoroti perdagangan burung liar di Kalimantan. Berbeda dengan Jawa atau Sumatera, studi tentang perdagangan burung di Kalimantan jarang dilakukan bahkan belum pernah ada.
Miller mengklaim, penelitian bersama tim yang pertama untuk perdagangan burung yang menjangkau sampai ke pelosok Kalimantan.
Survei dilakukan Juli 2015-Agustus 2016, di Kalimantan Barat hingga ke daerah. Di ibu kota lima provinsi Kalimantan mulai Agustus 2015-Februari 2016.
“Dalam survei kami menemukan ada 198 toko, lebih 25.000 burung, dari 148 spesies. Kami juga masukkan data berapa yang apendiks 1, berapa apendiks 2.”
Dalam survei itu, dia juga menemukan, di Kalimantan Barat 60% toko burung di luar Pontianak.
“Ternyata survei di daerah menemukan toko burung cukup besar. Mereka dalam mata rantai penting pasokan burung hingga ke konsumen.”
Miller punya alasan tersendiri mengapa memilih menghitung populasi burung justru di pasar, bukan di alam liar.
“Sebaiknya menghitung populasi burung memang di alam liar. Itu sulit. Perlu waktu, tenaga ahli. Menghitung di pasar kita juga bisa memprediksi status populasi mereka,” katanya.
Sebagai contoh, jika di pasar burung jenis tertentu dijual dengan harga tinggi dan jumlah sedikit, berarti ada permintaan sangat tinggi. “Kalau jumlah sedikit berarti di alam juga sangat sedikit.”
“Kalau kita memikirkan solusi, harus berpikir rantai pasokan, yakni, ada suplai, penjebak, tengkulak, permintaan. Kita harus bangun solusi yang lebih inovatif dan luas, karena situasi sudah kritis. Tak cukup dengan tempel poster,” kata warga Amerika, yang fasih berbahasa Indonesia, dengan logat Pontianak ini.
Penopang ekosistem
Dibanding serangga, burung kalah populer yang membantu penyerbukan. Padahal, ini hanya salah satu peran burung dalam ekosistem.
Di alam, burung banyak membantu proses alamiah yang menguntungkan manusia dan bisa dimanfaatkan untuk kesejahteraan manusia.
“Sebagai bagian dari ekosistem, burung memberi banyak pelayanan kepada ekosistem kita,” kata Dewi Malia Prawiradilaga, peneliti burung LIPI, yang baru-baru ini menemukan jenis burung baru di Pulau Rote.
Peran itu, katanya, sebagai pemangsa, penyerbuk, pendaur ulang, pemakan bangkai, penyebar biji, pemupuk tanah, hingga pemakan hama pertanian.
Daftar peran burung ini makin bertambah panjang jika memasukkan perannya dalam kehidupan sehari-hari.
“Burung makhluk sangat istimewa. Bulu mereka sangat indah berwarna-warni, suara merdu. Sudah dimanfaatkan sejak dulu kala sebagai sumber inspirasi keindahan, persahabatan, perdamaian, kebebasan.”
Namun, katanya, fungsi burung sebagai bagian dari ekosistem belum banyak terungkap di Indonesia. Dia contohkan, peran burung dalam membantu penyerbukan di alam.
“Belum ada penelitian detil mengenai ini. Saya mengharap generasi muda meneliti pemanfaatan burung, sekaligus ikut melestarikannya.”
Salah satu penelitian di Indonesia untuk burung liar, terkait kebutuhan primer manusia yaitu konsumsi.
“Berbagai burung air, terutama belibis, banyak jadi menu restoran. Banyak konsumen yang menyukai burung air liar, juga bebek liar.”
Menurut Dewi, penelitian bersama LIPI pada 2011, menemukan ada sekitar 12 jenis burung yang berpotensi sebagai sumber pangan.
“Kualitas karkas burung belibis kembang lebih dari 50 persen, juga mandar besar. Sementara protein kasarnya sekitar 22 persen.”
Telur burung juga untuk konsumsi, seperti telur itik liar, belibis, maleo, burung gosong.
“Telur camar di Karimunjawa dijual. Saya kira ini harus ada penggantinya.”
Dewi menyesalkan penangkapan besar-besaran burung berkicau di alam untuk perdagangan.
“Penangkapan menyebabkan kita sekarang susah menemukan beberapa jenis burung di alam, seperti cucakrowo. Ini salah satu jenis dilindungi.” Sebenarnya, lanjut Dewi, dunia internasional telah mengenal kerjasama antarpeneliti dan pemerintah.
Bambang Dahono Aji, Direktur Keanekaragaman Hayati Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, membenarkan, banyak populasi burung dilindungi maupun tidak berkurang dan jarang ditemui. Penyebabnya perburuan dan perubahan habitat.
“Dulu waktu kecil, banyak ketemu burung kepodang. Sekarang ternyata sudah mengalami kepunahan.”
Di Indonesia, banyak burung kontes. Jenis burung kontes, antara lain anis kembang, anis merah, ciblek, cucak hijau, cucak jenggot, gelatik batu, jalak suren, murai batu, burung kacamata.
Bambang membenarkan, ada dampak negatif atau ancaman kepunahan berbagai jenis burung kontes karena perburuan. Pemerintah juga melihat ada peluang pengembangan pengetahuan masyarakat akan keragaman jenis, perawatan, dan penangkaran burung.
“Ada peningkatan perekonomian masyarakat terkait hobi dan pemeliharaan burung. Nilai ekonomi Rp3,3 triliun per tahun.”
Bambang menyitir, data Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan), ada 386 jenis burung endemik Indonesia, atau hampir 205 burung dunia ada di Indonesia.
“Indonesia merupakan negara terbesar kedua untuk jenis burung yang terancam punah.”
Pemerintah, katanya, memberi perhatian kepada rangkong gading banyak diperdagangkan ilegal dan dibawa ke luar negeri.
Menurut Bambang, resolusi memberikan mandat kuat kepada negara-negara tempat penangkapan, transit, perdagangan, meningkatkan upaya konservasi bersama.
Terkait pelestarian rangkong gading, Indonesia barangkali bisa belajar dari Thailand. Vijak Chimchome, pembicara kunci dari Kasetsart University Thailand, mengatakan, pelestarian rangkong gading di Taman Nasional Budo-Sungai Padi, Thailand Selatan, gunakan pola konservasi berbasis masyarakat.
Warga sekitar taman nasional yang miskin mendapat asuransi indeks. Mereka diajak ikut penyelamatan, misal, membuatkan sarang tiruan untuk rangkong gading di puncak pohon.
Foto utama: Lovebird yang berdasarkan penelusuran Planet Indonesia diselundupkan dari Malaysia. Foto: DokumenPlanet Indonesia