Mongabay.co.id

Tak Ada Lagi Kerang di Pesisir Makassar

 

Pesisir Makassar sejak dahulu menjadi primadona. Hidup makmur nelayannya, bahagia warganya. Tapi sekarang, bahkan untuk mencari tude (kerang) pun tak punya lahan.

***

Saribanang Daeng Bollo (68) sedang duduk termenung di balik rak kaca jualannya saat ditemui Mongabay-Indonesia. Ia menempati emperan gedung Celebes Convention Centre (CCC).

Kehadiran Daeng Bollo dan jualannya nampak kontras di tempat itu. Karena hanya ada satu kiosnya yang berjualan. Di depannya bertumpuk ratusan motor milik pengunjung Phinisi Point, tempat belanja baru nan modern di Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel).

Hari itu, Sabtu (18/5/2019) jelang sore. Debu jalanan masih terlihat beterbangan. Hujan memang sudah lama tak bertandang ke kawasan ini. Daeng Bollo berkisah soal rumah dan kedua perahunya yang dibakar oleh Tunru, seorang anggota Koramil yang memintanya pindah.

“Saya menempati Tanah Tumbuh sejak tahun 1976 dan dipaksa pindah tahun 2014 tanpa kejelasan tempat,” katanya.

Sejak direlokasi paksa, ia dan 43 kepala keluarga lainnya disimpan di Gedung CCC. Namun satu persatu warga yang digusur itu beranjak pergi. Ada yang merantau, pindah ke rumah susun bahkan tinggal di gedung kosong yang tak digubris pengembangnya.

Puluhan kepala keluarga yang dipindahkan paksa itu adalah nelayan. Utamanya pencari tude (kerang). Kawasan ini dulunya memang kaya akan tude dan kepiting.

Sejak dipindahkan, tak ada lagi aktivitas pencarian kerang. Mereka rata-rata beralih profesi. Yang muda-muda jadi kuli bangunan, jadi penjual asongan di Pantai Losari, tukang parkir bahkan ada yang jadi pemulung. Daeng Bollo memilih jadi penjual minuman dingin di Gedung CCC.

“Saya dulu pencari tude. Lama-lama naik jadi pengepul. Menadah hasil pencarian nelayan, lalu mengirimnya ke pengecer, tapi sekarang tinggal begini,” kata Daeng Bollo menunjuk ke rak kaca miliknya.

baca : Kerang Mengandung Arsenik dan Sianida, 63 Warga Jeneponto Keracunan, 2 Meninggal

 

Saribanang Daeng Bollo (68) di depan lapaknya di Gedung CCC Makassar. Ia korban penggusuran reklamasi yang hingga sekarang terkatung-katung. Foto : Ancha Hardian/Mongabay Indonesia

 

Ia tak bisa menyembunyikan kekecewaannya kepada pemerintah. Setelah kalah diproses hukum ketika menuntut haknya, ia tidak pernah lagi digubris. “Jangankan diberi tempat yang layak, ditengok saja tidak pernah,” katanya.

Kawasan yang dulu ditempati Daeng Bollo merupakan hasil sedimentasi. Sehingga mereka menyebutnya Tanah Tumbuh. Saat ini kawasan itu direklamasi dan akan disulap jadi gedung pusat bisnis dengan nama Center Point of Indonesia (CPI).

Dalam perjanjiannya, hanya ada 50 hektar yang nantinya dikelola pemerintah, 107 hektar lainnya diserahkan ke PT Ciputra Group yang menciptakan Citra Land City Losari. Pemukiman mewah dan gedung-gedung pencakar langit akan berderet di sini. Saat ini, beberapa sudah ada yang beroperasi.

Bergeser ke sebelah utara Pantai Losari, proyek Makassar New Port (MNP) juga menghantui nelayan. MNP tahap pertama yang mulai dibangun tahun 2017 lalu telah resmi beroperasi 28 Maret 2019. Laut seluas 22 hektar telah ditimbun dan bersegera merampungkan pembangunan tahap kedua dan ketiga. Tahun 2032 mendatang proyek ini total akan mereklamasi 106 hektar lautan.

perlu dibaca : Kontroversi di Balik Reklamasi Pantai Makassar, Antara Kepentingan Rakyat dan Pengembang

 

Kawasan reklamasi dilihat dari arah Pantai Losari. Dulunya, tempat ini merupakan lokasi terbaik menyaksikan matahari terbenam, sekarang terhalang bangunan hasil reklamasi. Foto : Ancha Hardian/Mongabay Indonesia

 

Data Solidaritas Perempuan Angin Mammiri tahun 2018 menyebut, ada 1.105 kepala keluarga nelayan yang terancam digusur demi kelancaran mega proyek tersebut. Istri-istri nelayan di kawasan itu rata-rata adalah pencari tude yang kemungkinan akan bernasib sama dengan Daeng Bollo.

Sebelum reformasi dan Pantai Losari hanya berupa tembok sepanjang 2 kilometer, laut di depannya merupakan surga bagi nelayan. Di sebelah selatan ada Tempat Pelelangan Ikan (TPI) yang tersohor. Orang-orang disuguhi pemandangan lalulalangnya perahu nelayan ke tempat ini.

Hingga awal tahun 2000 dimulai pembangunan jalan Metro Tanjung Bunga yang menghubungkan Makassar dan Kabupaten Gowa hingga Takalar. Proyek jalan panjang ini ikut mengikis kawasan mangrove, sekaligus tahap pertama tertutupnya akses nelayan ke TPI di Rajawali.

Pemugaran Pantai Losari tahun 2006 jadi cerita lain. Hingga akhirnya di 2013 proyek reklamasi seluas 157 hektar digagas Pemprov Sulsel. Gedung-gedung baru bermunculan dan TPI Rajawali tak lagi terlihat di bibir pantai. Tapi tepat di belakang Rumas Sakit Siloam.

 

Pemukiman di Desa Pa’lalakang Dusun Kampung Beru, Kecamatan Galesong, Takalar, Sulsel, yang sudah sangat dengan bibir pantai. Tepat di belakang rumah tersebut abrasi terus terjadi. Foto : Ancha Hardian/Mongabay Indonesia

 

Ada ungkapan sarkas yang cukup populer di Makassar tahun 90-an. Jika seseorang mulai ngelunjak ia akan diminta ‘ke laut cari tude’. Saking banyaknya tude kala itu, ia dijadikan ujaran untuk tidak sombong. Ungkapan ini tidak hanya bermakna kiasan, secara harfiah memang ditemui banyak pencari kerang masa-masa tersebut.

Ahli Ekotoksikologi dari Universitas Hasanuddin Makassar Khusnul Yaqin, ditemui pada Kamis (23/5/2019) juga mengakui tersohornya populasi kerang di Makassar. Tahun 80-an hingga 90-an, katanya, jumlah kerang cukup melimpah. Hingga akhirnya sejumlah masalah datang dan perairan jadi tercemar.

“Dilihat saja, air di Losari itu sudah tidak baik,” kata peneliti yang tengah mengembangkan konsep kerang hijau (Perna viridis) itu sebagai solusi pencemaran. Selain berwarna hitam pekat, air di Pantai Losari memang mulai mengeluarkan bau tak sedap dan banyak sampah.

Kondisi itu tidak baik untuk biota laut. Khususnya kerang hijau jika dikonsumsi. Kerang hijau bertahan hidup dengan menyerap apa saja yang ada di sekitarnya. Tidak cuma memakan plankton bahkan zat berbahaya pun ditampungnya.

Pada September 2016, apa yang dikatakan Khusnul pernah terjadi di Desa Mallosoro, Kecamatan Bangkala, Kabupaten Jeneponto. 63 warganya keracunan kerang hijau, dua orang meninggal dunia.

 

Kerang hijau atau oleh warga setempat disebut tude menyebabkan keracunan massal di Desa Mallosoro, Kabupaten Jeneponto, Sulsel. Sekitar 63 warga yang menjadi korban, termasuk dua orang yang meninggal. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Hasil penelitian menyebut kerang yang dimakan warga mengandung arsenik dan sianida. Desa Mallosoro yang keracunan ini memang berada dekat dengan PLTU Jeneponto dan industri pengolaan udang.

Kisah soal kerang hijau beracun akhirnya menyebar. Banyak nelayan tak lagi memburunya. Daeng Kulle (46) salah satunya. Selain jumlahnya kerang hijau berkurang, pembelinya juga menurun. Ia kemudian berburu kerang air tawar.

“Kalau dekat daerah reklamasi jarang mi orang cari tude, jadi saya cari ke (sungai) Jeneberang,” katanya, Jumat (24/5/2019). Daeng Kulle menjual kerang di Jalan Toddopuli Raya Makassar kala itu. Tempat ini sama sekali bukan sentra penjualan hasil laut, sehingga keberadaannya cukup ganjil. Ia pun mengaku pindah-pindah.

 

Daeng Kulle menjual kerang air tawar yang kumpulkannya di Sungai Jeneberang. Sejak beberapa tahun terakhir ia tidak lagi mencari kerang di laut. Foto : Ancha Hardian/Mongabay Indonesia

 

Dinas Kelautan dan Perikanan Pemprov Sulsel mencatat pada tahun 2011, produksi kerang darah dan kerang hijau di Makassar mencapai 24.5 ton. Tahun 2012 disaat gonjang ganjing reklamasi dimulai, jumlahnya langsung anjlok menjadi 13.1 ton. Setelahnya tak pernah lagi produksi kerang di Makassar mencatat rekor 20 ton lebih dalam setahun.

 

 

Yusran Nurdin Massa, Direktur Blue Forest menyebut, kerang-kerang yang ada saat ini kemungkinan berasal dari Kepulauan Spermonde. Kondisi pesisir Makassar, katanya, sudah mengalami pencemaran cukup tinggi, sehingga tidak layak mengkonsumsi kerangnya.

Sementara itu, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sulawesi Selatan Sulkaf S Latief tetap membanggakan produksi kerang di daerah ini. Karena salah satu komodi ekspor adalah kancing kerang dari jenis darah (Anadara granosa).

Hanya saja, Sulkaf tak mau berkomentar banyak soal para pencari kerang. Katanya, masalah ini sudah selesai di DPRD. Ia pun mengatakan, reklamasi bukan sesuatu yang terlarang. “Dampak pembangunan memang begitu,” katanya dengan suara yang tegas.

 

Dampak Reklamasi 

Dampak reklamasi tidak hanya dirasakan pencari tude di Makassar, nelayan di Takalar malah jadi pihak yang paling besar menanggung beban. Guna mewujudkan reklamasi di Makassar, Ciputra menggandeng PT Boskalis Internasional Indonesia untuk menambang pasir di kawasan tersebut.

Sepanjang tahun 2017 penambangan terus dilakukan. Meski beberapa kali terjadi penolakan oleh nelayan. Namun 22 juta kubik pasir besi dari perairan Galesong telah dipindahkan.

Amiruddin Daeng Sibala (40) kepada Mongabay-Indonesia mengatakan, tambang pasir di Takalar tidak ada faedahnya sama sekali. “Tidak ada ikan yang mau datang di air yang keruh, kami harus melaut lebih jauh untuk dapat tangkapan, artinya biaya bertambah,” katanya, Jumat (10/5/2019).

Kerusakan lain yang lebih parah adalah abrasi. Muhammad Al Amin, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulawesi Selatan mengatakan, ekosistem perairan Takalar sudah terganggu.

“Karang dan lamun sebagai penahan ombak telah rusak, jika diteruskan pemukiman nelayan akan hilang total,” katanya.

Mongabay Indonesia mengunjungi Desa Pa’lalakang Kecamatan Galesong, Minggu (26/5/2019). Beberapa rumah di kampung ini mengalami kerusakan parah akibat abrasi. Sejumlah kuburan tersingkap. Dan seperti bom waktu, ratusan rumah di kampung ini terancam deburan ombak setiap hari.

“Dulu ada rumah di sini, saya masih ingat waktu kecil,” kata Nuraeni (19) menunjuk pijakan kakinya di pasir tepat di depan kapal pengangkut pasir yang karam.

baca juga : Mereka yang Terimbas Reklamasi di Pesisir Makassar

 

Salah satu dari sedikit pekuburan yang terdampak abrasi di Kampung Beru, Desa Pa’lalakang, Kecamatan Galesong, Takalar, Sulsel. Foto : Ancha Hardian/Mongabay Indonesia

 

Bisa jadi apa yang ditakutkan Nuraeni atas banyaknya rumah yang hilang tidak lama lagi terjadi. Soalnya, Peraturan Daerah Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) Sulsel telah diketuk pada Februari 2019 lalu.

Perda yang jadi landasan hukum reklamasi itu malah menambah jumlah luasan. Jika CPI dan MNP digabung, totalnya hanya 263 hektar. Maka Perda RZWP3K mencapai 3.711,55 hektar. CPI akan diperpanjang dan berganti jadi Kawasan Zona Jasa dan Pedagangan, luasnya mencapai 2.706 hektar.

Sementara MNP akan dimasukkan ke dalam Kawasan Strategis Provinsi yang mencapai luasan 1.154,81 hektar dan anjungan Untia, proyek reklamasi baru seluas 1.552,82 hektar.

RZWP3K juga sekaligus mengatur soal lokasi tambang pasir laut yang nantinya dipakai untuk penimbunan. Takalar tetap jadi pilihan, namun jaraknya diperlebar jadi 8 mil dari bibir pantai. Daeng Sibala mengatakan, kawasan itu merupakan zona tangkap nelayan. Zona lain yang ditetapkan pemerintah adalah blok flores dan blok teluk bone.

perlu dibaca : Aksi Warga Takalar Menolak Tambang Pasir: Jangan Paksa Kami Menjadi Teroris

Walhi dengan tegas menolak perda RZWP3K dan memintanya segera direvisi. Apalagi disahkan diam-diam, tanpa melibatkan seluruh elemen yang berkepentingan.

“Sejak pemerintah menyetujui reklamasi, setahap demi setahap nelayan di Makassar dan Takalar berubah kearah yang sangat buruk, pendapatan menurun. Bahkan dua tahun terakhir mengalami kerugian Rp36.500.000 per nelayan,” kata Al Amin.

Sayangnya, tidak ada yang peduli dengan itu. Buktinya pemerintah dan legislatif tetap ngotot melanjutkan bahkan melebarkan sayap reklamasi. Padahal dari awal proyek ini bermasalah secara hukum dan tidak ada solusi terbaik untuk nelayan yang terdampak.

perlu dibaca : Sarat Masalah, Aktivis Minta Pembahasan RZWP3K Sulsel Ditunda

***

*Rahmat Hardiansya, jurnalis beritagar.id. Artikel ini didukung oleh Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version