Mongabay.co.id

Sulitnya Warga Wawonii Pertahankan Lahan dari Perusahaan Tambang

Abdul Majid, di lahan yang ditumbuhi ratusan pohon mete. Lahan ini tidak mau dia lepaskan kepada perusahaan. Memberikan lahan kepada perusahaan sama dengan bertaruh nyawa. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Pada April 2019, warga mengira ada angin segar bagi kehidupan mereka di Pulau Wawonii, Kabupaten Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara, yang ingin terlepas dari lilitan berbagai perusahaan tambang. Kala itu, Gubernur Sulawesi Tenggara, Ali Mazi menyatakan, mencabut izin sembilan perusahaan tambang, dan membekukan enam lainnya untuk evaluasi.

Ternyata, izin yang dicabut gubernur memang selayaknya dicabut karena habis masa berlaku, yang dibekukan pun tak lama berselang ‘cair.’

Baca juga: Cerita Warga Menanti Wawonii Terbebas dari Pertambangan

Pasca pembekuan, alat berat perusahaan masuk ke lahan warga berkali-kali. Pada Jumat (23/8/19), penyerobotan lahan perkebunan warga, oleh perusahaan tambang, PT Gema Kreasi Perdana (GKP), dengan pengawalan Polda Sultra, terjadi lagi.

Alat berat perusahaan leluasa menumbangkan pohon-pohon mete produktif milik warga dengan pengamanan aparat. Jumat lalu, penyerobotan lahan oleh perusahaan diketahui, setelah warga mendapati belasan alat berat dengan puluhan operator dan polisi menumbangkan pohon mete di lahan milik La Ririn.

Baca juga: Pemerintah Sultra akan Cabut 15 Izin Tambang di Wawonii

Perusakan kebun ini diduga malam hari. Dari keterangan beberapa warga, mereka selalu menjaga kebun, baru malam hari pulang ke rumah untuk beristirahat. Saat warga pulang dari kebun itulah, tampaknya perusahaan masuk untuk membangun jalan lingkar.

“Dipastikan di atas pukul 23.00 semalam, pasca pemilik lahan La Ririn pulang ke rumah untuk beristirahat malam,” kata Mando Maskuri, warga Desa Sukarela Jaya.

Selain alat-alat berat itu, di lokasi, warga juga mendapati polisi lebih 10 orang, dari Polres Kendari dan Diretorat Polair. Polisi-polisi itu tampak berdiam di sekitar alat berat.

“Ketika kami tanya, alasannya mengamankan konflik. Polisi tak pernah berkepikir kalau perusahaan menyerobot lahan kami. Pohon mete kami dirobohkan, polisi itu tidak pernah melarang perusahaan. Aneh sekali, mereka bertindak semena-mena sama kita,” katanya.

Video aksi warga menghalau alat berat ini beredar luas di sosial media. Terlihat aparat kepolisian berseragam lengkap dan memegang senjata mencegah warga tak bertindak anarkis. Warga kesal melihat alat berat milik GKP menyerobot lahan mereka. Alhasil, 10 alat berat disandera warga.

“Sebenarnya, kami akan bawa ke kantor polisi. Anggota yang berada di lapangan, menghalau kami dengan senjata dan keributan terjadi.”

Dia bilang, sampai 23 Agustus malam, tak ada yang mau menurunkan alat berat. Akhirnya, warga meminta karyawan perusahaan untuk membuat surat pernyataan.

Baca juga: Gubernur Sultra Cabut 9 Izin di Wawonii, Bekukan 6 Lainnya

Saat warga hendak mendokumentasikan penandatanganan surat pernyataan, warga ditodong senjata oleh gabungan polisi, tentara dan Polair.

“Bayangkan Polair, yang notabene kerja di laut mengapa sampai berjalan jauh hingga tiga kilometer dari wiayah kerja untuk mengamankan ini?” kata Mando.

 

Lukman Abumawas, Wagub Sultra (berkemeja merah), sedang menemui warga dan menandatangani surat persetujuan pencabutan 15 IUP di Pulau Wawonii. Semua itu hanya angin sengar sesaat bagi warga Wawonii. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

 

Setelah konflik, barulah karyawan perusahaan menurunkan alat berat berujung sejumlah warga dilaporkan ke polisi.

Surat panggilan tertanggal 29 Agustus 2019 dan warga diminta memberikan klarifikasi pada 30 Agustus di polda. Jarak jauh, warga tak mendapat ruang klarifikasi.

Mando menjelaskan, perusahaan masuk ke Wawonii pada 2008, saat Wawonii masih bergabung dengan Konawe Kepulauan. Konawe Kepulauan merupakan hasil pemekaran Kabupaten Konawe pada 12 April 2013.

Pulau Wawonii, katanya, ini sangat strategis karena berada di perairan laut yang dilalui jalur pelayaran kawasan timur dan barat Indonesia. Ia berada pada kawasan sangat potensial, diapit Laut Banda dan Selat Buton, dengan potensi kekayaan hayati kelautan dan perikanan besar.

Baca juga: Demo Tuntut Pemerintah Sultra Cabut Izin Tambang di Wawonii, Warga Alami Kekerasan Aparat

Izin tambang, pertama kali keluar dari Bupati Konawe, Lukman Abu Nawas, periode 2008-2013. Masyarakat, katanya, sama sekali tak tahu soal izin bupati kepada perusahaan. Perusahaan juga belum beroperasi.

Pada 2011, perusahaan pertama kali beroprerasi. Masyarakat Roko-roko Raya sontak menolak tambang di desa mereka. Baru pada 2017, GKP, kembali masuk untuk sosialisasi.

“Kami terus menolak. Sampai tahun kemarin, masih bayar PBB,” kata Mando.

Tahun 2018, perusahaan pembebasan lahan, yang diganti rugi hanya tanaman tumbuh, tanah tidak. Perusahaan berdalih, lahan itu termasuk hutan produksi konversi dan mereka sudah ada izin.

 

Peta tambang yang menggerumuni pulau kecil Wawonii. Foto: KPA

 

 

Kapolda tolak disebut bekingi tambang

Kapolda Sultra, Brigjen Iriyanto, mengatakan, kalau Polda Sultra, tak mau disebut membekingi tambang di Pulau Wawonii. Fakta lapangan, tindakan aparat menjadi pengaman perusahaan tambang.

Sejauh ini, sudah 20 orang warga Wawonii dilaporkan ke Polda Sultra.

Iriyanto lagi-lagi mengatakan, yang polisi lakukan hanya mengamankan investasi di Wawonii dan mencegah konflik sosial masyarakat.

“Kami paham, langkah kami bernilai negatif. Tetapi kami juga menjelaskan, soal kasus PT Harita Grup itu (GKP masuk grup Harita-red) di Wawonii, bahwa kalian juga harus bertindak sesuai aturan berlaku. Sesuai izin-izinnya. Hingga tidak ada konflik,” katanya.

Dari 20 warga yang dilaporkan, antara lain, pemilik lahan dan aktivis protes tambang. Laporan perusahaan kepada polisi juga beragam, mulai dari warga dituduh merebut hak kemerdekaan orang dan tuduhan menghalang-halangi aktivitas perusahaan.

Baca juga: Dari Pulau Wawonii: Lahan Warga Terampas Tambang, Protes Berbuah Aniaya dan Penangkapan

Kapolda bercerita, masalah Wawonii walau ada kehadiran polisi, juga menolak tindakan sewenang-wenang perusahaan. Dalam arti, katanya, semua bisa dilanggar karena ada polisi menjaga.

Iriyanto bersikukuh, dengan anggapan kalau perusahaan juga bergerak sesuai aturan.“Jika kita kuat-kuatan, tidak akan selesai. Semua harus diselesaikan dengan komunikasi baik-baik. Perusahaan juga kalau melanggar saya tegaskan itu tidak bisa,” katanya.

“Karena terus terang di Wawonii ini kan masuk penanaman modal asing jadi berat untuk mencabut IUP. Solusinya, yah komunikasi kedua bela pihak.”

Iriyanto mengatakan, kewajiban polisi mengawal investasi yang benar, alias sesuai aturan. Investasi yang diawali kajian-kajian, lingkungan sosial dan budaya, baru keluar izin.

Dia bilang, belakangan carut marut dengan kepentingan politik. Kapolda tak menjelaskan, maksud kepentingan politik itu.

“Silakan damai. Harita jangan begitu masuk, jangan mengabaikan sosial budaya. Walaupun itu cacat dalam amdal (analisis mengenai dampak lingkungan-red). Soal pengamanan itu resmi, ada batasan. Anggota jangan jadi eksekutor melainkan mediator antara masyarakat dengan pemerintah,” katanya.

 

Warga bisa hidup sejahtera dengan bertani dan berkebun. Mengapa harus ada tambang? Masbudi, memperlihatkan kopra putih. Ini hasil dari kebun kopra milik warga. Harga dari koprah putih Rp7.000 . Kini, berkurang karena masyarakat dominan bertani mete. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

 

Harita Grup di Wawonii, katanya, jangan mentang-mentang ada pasal menghalangi investasi dan mendapatkan hukuman dua tahun, dengan begitu memanfaatkan polisi.

“Kewajiban kami hanya mengamankan. Kalau ada penyimpangan, laporkan ke kami. Kami tidak ada pilih-pilih,” katanya.

Saya menemui perwakilan LBH Makassar yang mengawal persoalan hukum warga di polisi. Edy Kurniawan dari LBH Makassar mengatakan, sulit menjauhakn polisi dari kata membekingi perusahaan tambang dengan tindakan di Wawonii, tepatnya di Desa Suka Rela Jaya dan Desa Roko-Roko.

Tindakan kepolisian, katanya, tak profesional. Terlebih lagi, kala menangani kasus-kasus hukum saling lapor antara perusahaan dan warga.

Kalau warga melaporkan GKP, Polda Sultra, lambat menangani. Berbeda kala perusahaan melaporkan warga, polisi cepat mengambil tindakan. Pemanggilan dan penetapan warga sebagai tersangka begitu cepat.

“Dari 20 warga dilaporkan, satu sudah ditetapkan tersangka. Ini aneh sekali,” katanya dalam keterangan kepada media di di Kendari.

Perusahaan melaporkan 17 orang ke Polda Sultra, tiga orang dilaporkan ke Polres Kendari. Dari 20 orang yang dilaporkan, 14 orang dituduh tindak pidana perampasan kemerdekaan seseorang. Sisanya, dituduh menghambat dan menghalang-halangi aktivitas perusahaan, pengancaman, hingga penganiayaan.

“Pada 31 Agustus, satu warga yang dilaporkan atas nama Idris, jadi tersangka oleh Polres Kendari dengan tuduhan penganiayaan dan pengancaman,” katanya.

Idris sendiri, telah melaporkan GKP ke Polres Kendari pada 14 Agustus 2019 atas penerobosan lahan, namun laporan tak kunjung ditindaklanjuti, hingga Idris jadi tersangka.”

Warga lain, masing-masing Wa Ana, Labaa, dan Amin, dengan lahan diterobos perusahaan juga melaporkan GKP ke Polres Kendari dan Polda Sultra pada 28 dan 29 Agustus 2019.

 

Hidup sejahtera dan aman dari kebun dan bertani. Mengapa pemerintah malah memberi izin kepada perusahaan tambang yang mengancam kehidupan warga? Ini biji mete hasil kebun warga di Kecamatan Wawonii Tenggara. Ini hasil dari panen warga selama ini kemudian dijual ke Surabaya. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

 

Pelanggaran HAM di Wawonii

Kisran Makati, Ketua Puspaham Sultra, mengatakan, penyerobotan lahan oleh GKP merupakan pelanggaran HAM, berupa perampasan hak milik, hak atas lingkungan hidup yang sehat, hak atas pekerjaan termasuk mencari nafkah, hak untuk hidup tentram tanpa gangguan ancaman dan hak kehidupan layak.

“Di lain pihak, Pemda Konkep, Gubernur Sultra dan Polda Sultra turut melanggar HAM berupa pembiaran atas tindakan sewenang-wenang perusahaan yang merampas hak asasi warga,” kata Kisran.

Polda Sultra, katanya tak professional. Seharusnya, bekerja cepat menyelidiki dan mencegah tindakan-tindakan yang dapat merugikan para pihak serta mengganggu keamanan maupun ketertiban masyarakat. Sebaliknya, polisi malah mengawal tindakan sewenang-wenang GKP.

Warga Wawonii, katanya, memiliki bukti kuat atas pemilikan dan penguasaan lahan. GKP yang mengklaim lahan warga, kata Kisran, harusnya bertindak berdasarkan hukum dengan mengajukan gugatan hak terhadap warga.

“Kalau perusahaan merasa punya hak, silakan dibuktikan di pengadilan dan meminta hakim eksekusi. Bukan meminta pengawalan aparat untuk main hakim sendiri,” kata Edy Kurniawan.

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Sultra, menilai konflik agraria di Konkep ini bukti pemerintah daerah maupun pusat belum memberikan rasa keadilan bagi masyarakat.

Torop, KPA Sultra mengatakan, selama ini penyelesaian konflik agraria di Konkep dengan pendekatan intimidatif dan diskriminatif untuk melindungi investasi.

Wawonii, katanya, pulau kecil dengan luas sekitar 1.500 kilometer persegi sesungguhnya harus bebas dari bisnis ekstraksi seperti pertambangan. Aturan pulau kecil ini ada di Pasal 35 UU No.27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.

Perlawanan warga menolak tambang sejak lama. Warga berulang kali protes aktivitas pertambangan hingga berujung pemenjarahan beberapa aktivis dan warga setelah pembakaran basecamp dan alat berat perusahaan.

Sampai 2017, warga tak pernah lagi mendengar ada perusahaan tambang masuk ke Wawonii.

Barulah awal 2018 sampai 2019, perusahaan, GKP memberi perringatan akan eksploitasi di Wawonii. Perlawanan warga kembali mulai.

Dari demo hingga mengeluarkan petisi tolak tambang agar keluar dari warga Wawonii, terutama di Kecamatan Wawonii Tenggara.

Ali Mazi, sebelum jadi pemimpin daerah ini sempat memberikan janji kepada warga kalau jadi gubernur Pulau Wawonii terbebas dari tambang. Janji tinggal janji. Belum genap setahun memimpin, Ali Mazi, sudah lupa.

“Omong kososng itu kalau ada penyerobotan lahan oleh perusahaan di sana,” kata gubernur, usai memimpin rapat di Kendari.

Pemerintah mulai meninggalkan masyarakat dengan langkah gubernur mencabut surat penghentian sementara seluruh aktivitas pertambangan di Wawonii. GKP dengan dalih surat itu, mulai masuk.

Kala wartawan bertanya soal kasus di Wawonii, Ali bilang, tak bisa bertindak di luar aturan. Dia makan menekankan, kalau seluruh perusahaan tambang di Wawonii, sesuai aturan dan Undang-undang. “Ngga ada itu, kita tidak bisa bertindak, karena IUP di Konkep itu sesuai regulasi,” katanya.

Bicara soal pelaporan warga, Ali menolak komentar. Padahal sampai saat ini, tercatat 20 orang dilaporkan dan jadi tersangka di Polda Sultra.

Mongabay berusaha menghubungi Manajer Komunikasi Harita, perusahaan induk GKP, Roliya Helana, namun sampai berita ini turun belum mendapatkan jawaban. 

 

Nampak dari kejauhan bascame dan pelabuhan khusus atau jetty milik PT Gema Kreasi Perdana. Lokasi ini berada di Desa Roko Roko Raya, Kecamatan Wawonii Tenggara. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

 

Setop kriminalisasi warga

Jaringan dvokasi tambang (Jatam) menyesalkan aksi aparat dan perusahaan ini. Melky Nahar, Juru Jatam di Jakarta mengatakan, penerobosan lahan yang dikawal ketat aparat kepolisian dari Polda Sultra itu, makin memperbesar konflik sosial antar masyarakat. “Penerobosan itu rusak tanaman warga, mulai dari pala, kakao, jambu mete, kelapa, sampai pisang,” katanya.

Dia sebutkan, penerobosan pertama terjadi 9 Juli 2019 di lahan milik Marwah. Seminggu setelah itu, 16 Juli, lahan milik Idris juga rusak untuk membangun jalan menuju lokasi tambang perusahaan. Tengah malam pada 22 Agustus, lahan milik tiga warga, Amin, Wa Ana dan Labaa, juga hancur.

“Mereka masyarakat yang sudah mengelola lahan ini lebih dari 30 tahun dan selalu membayar pajak,” kata Melky.

Dia heran dengan kepala daerahnya, gubernur dan wakil, Ali Mazi dan Lukman Abunawas, justru tampil terbuka membela GKP, membantah perampasan lahan masyarakat, meski fakta perusahaan itu berulangkali masuk lahan warga.

Rivanlee Anandar dari KontraS mengatakan, 20 orang terlapor itu menunjukkan satu pola umum kriminalisasi.

Rivan mengatakan, kriminalisasi rentan terjadi di wilayah-wilayah target ekspansi industri ekstraktif serta pembangunan infrastruktur.

Konflik ini, katanya, tak luput dari peran pemerintah daerah dan Polda Sultra yang membiarkan dan cenderung membela perusahaan.

Menurut KontraS, hal ini terjadi buntut nota kesepahaman (memorandum of understanding/MoU) antara Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dan Kapolri untuk mengamankan obyek vital nasional yang dianggap menghasilkan devisa negara besar seperti tambang.

“KontraS menemukan beberapa kasus lain sebagai dampak dari MOu itu,” katanya.

Hal lain yang disoroti KontraS adalah pasal yang dikenakan kepada warga. Dalam beberapa kasus lain warga yang dikriminalisasi kenai pasal penyerobotan lahan, di Roko-roko, warga kenai pasal perampasan kemerdekaan terhadap seseorang.

“Pasal yang cukup aneh, mengada-ada dan bukti yang tak cukup konkrit. Ini menunjukkan, polisi di lapangan cenderung berpihak pada perusahaan,” katanya.

Padahal, polisi mestinya tak melihat masalah ini sebagai persoalan legalitas sertifikat belaka juga secara kultural lahan ini dimiliki masyarakat.

KontraS berharap, polisi tak meneruskan laporan soal warga ini dan menyelesaikan sengketa di luar pidana.

“Polisi harus akomodatif. Jangan melihat setiap aksi masyarakat sebagai bentuk perlawanan, ini bentuk warga menyelamatkan ruang hidup mereka.”

Mengenai penodongan aparat kepada warga, seperti cerita Mando, Kontras menilai Propam perlu menyelidiki.

Ombudsman, kata Rivan, juga perlu menelusuri dugaan mal administrasi karena izin perusahaan tambang keluar.

April Perlindungan dari Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) angkat bicara. Catatan Kiara, katanya, sekitar 2.000 nelayan terancam mata pencahariannya. Merujuk regulasi, Pulau Wawonii termasuk pulau-pulau kecil yang tak boleh ada aktivitas tambang karena bakal mempengaruhi ekosistem khas pulau kecil.

Melihat Perda Zonasi Sultra pun, kata April, tak ada alokasi tambang dan pelabuhan untuk Pulau Wawonii.

Kementerian Perhubungan tetap mengeluarkan izin pembangunan pelabuhan dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memberikan izin alih fungsi lahan melalui izin pinjam pakai kawasan hutan.

Koalisi Masyarakat Sipil Bela Wawonii mendesak, dan mengultimatum Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya segera bersikap. Mereka meminta, pemerintah menjalankan amanat Pasal 66 UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, bahwa “setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tak dapat dituntut pidana maupun perdata.

Masyarakat juga mendesak, Kapolri Tito Karnavian segera memecat Kapolda Sultra, yang membiarkan pasukan selalu mengawal perusahaan tambang menerobos lahan-lahan masyarakat Wawonii.

Polda Sultra dan Polres Kendari, juga harus menghentikan seluruh proses hukum terhadap warga, dengan tuduhan cenderung mengada-ada.

 

Keterangan foto utama:  Abdul Majid, di lahan yang ditumbuhi ratusan pohon mete. Lahan ini tidak mau dia lepaskan kepada perusahaan. Memberikan lahan kepada perusahaan sama dengan bertaruh nyawa. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

 

Mahasiswa Wawonii menggelar demo di depan Mapolda Sultra, Senin 16 September 2019. Mereka mendesak penghentian penyelidikan polisi atas laporan PT GKP kepada 20 warga Wawonii yang menolak tambang. Foto: kamarudin/ Mongabay Indonesia

 

Ratna, Nurbaya dan Nur Halima, bersiap menuju kebun mete milik warga setempat untuk memungut biji mete. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia
Exit mobile version