Mongabay.co.id

Jangan Rusak Kopi Arabika Gayo dengan Tambang Emas

Warga memetik kopi yang telah matang di pohon. Foto: Junaidi Hanafiah

 

 

Penolakan terhadap aktivitas PT. Linge Mineral Resources [LMR] di Kecamatan Linge, Aceh Tengah, Aceh, terus berlanjut. Unjuk rasa, selain dilakukan di Kabupaten Aceh Tengah, juga digelar di Kota Banda Aceh, Ibu Kota Provinsi Aceh.

Masyarakat Kecamatan Linge menilai, rencana perusahaan mengeruk emas di daerah yang terkenal dengan Kopi Arabika Gayo itu, akan menghancurkan lingkungan hidup. Tak terkecuali, pohon kopi yang menjadi andalan masyarakat.

Dwi Febrianti, mahasiswa asal Aceh Tengah, pada 16 September 2019 mengatakan, Aceh Tengah yang merupakan daerah Suku Gayo tidak boleh dijamah jenis tambang apapun, termasuk emas.

“Kecamatan Linge merupakan asal-usul Suku Gayo, harus dipertahankan dari kegiatan merusak. Linge simbol sejarah Suku Gayo,” sebutnya.

Menurut Febrianti, Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Gayo Lues harus dijaga kelestarian lingkungan dan budayanya. Daerah ini sangat penting, selain sebagai tanah leluhur juga sebagian sungai di Aceh berhulu di sini.

“Kami tidak akan sejahtera karena tambang emas. Kami selama ini hidup damai karena panen kopi berlimpah yang digandrungi penikmatnya. Kopi Arabika Gayo sudah mendunia,” tuturnya.

Baca: Lupakan Tambang Emas, Kopi Arabika Gayo yang Membuat Masyarakat Bangga

 

Kopi arabika yang telah merah dipetik dari pohonnya. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Mahmuddin, mahasiswa Aceh Tengah lain mengatakan, tambang emas hanya akan membawa dampak buruk bagi lingkungan dan sosial masyarakat. “Tidak ada daerah yang tanahnya dikeruk perusahaan tambang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” tambahnya.

Win Wan Nur, warga Linge mengatakan, pertambangan emas pasti menggunakan sianida, untuk memisahkan emas dari bijihnya. Perusahaan pertambangan emas merupakan konsumen terbesar sianida di dunia.

“Kalau kita tanya perusahaan, jawaban mereka adalah sudah kewajiban mengolah limbah berbahaya itu sebelum dibuang ke alam. Tapi, faktanya bisa berbeda,” jelas alumni Universitas Syiah Kuala.

Masyarakat harus berkaca dari kasus ini. Pada 30 Januari 2000, di lokasi penambangan emas Baia Mare [Romania], dengan standar keamanan pengolahan limbah tambang yang tinggi, tempat penampung itu bocor. Kebocoran limbah 100 ribu meter kubik bercampur sianda tersebut tidak hanya menghancurkan lingkungan, tapi juga merusak sungai beserta isinya. “Kita tidak ingin kejadian itu dialami masyarakat Aceh,” ungkapnya.

Baca: Foto: Kopi Arabika, Mutiara dari Tanah Gayo yang Mendunia

 

Kopi arabika yang telah dirosting di pabrik kopi, di Takengon, Aceh Tengah, Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Tegas tolak

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia [Walhi] Aceh secara tegas menolak tambang emas PT. LMR. “Demi kepentingan lingkungan hidup, hak asasi manusia, dan sosial budaya masyarakat,” terang Direktur Walhi Aceh, Muhammad Nur.

Muhammad Nur mengatakan, PT. LMR mendapatkan IUP Eksplorasi pada 28 Desember 2009 dengan luas areal 98.143 hektar melalui Keputusan Bupati Aceh Tengah Nomor 530/2296/IUP-EKSPLORASI/2009 tentang Peningkatan Persetujuan Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi.

“Penerbitan izin berdasarkan surat permohonan PT. LMR Nomor LMR/101/20/XII/2009, 9 Desember 2009,” ujar Muhammad Nur.

Wilayah Izin Usaha Pertambangan [WIUP] PT. LMR ciut menjadi 36.420 hektar. Diduga, dilakukan perusahaan saat mengurus sertifikat Clean and Clear [CnC]. Arealnya di Kecamatan Linge dan Bintang.

“Pertambangan ini cukup berbahaya bagi masyarakat Aceh, terlebih berdampak ke Danau Lut Tawar yang juga merupakan bagian hulu DAS Peusangan, sumber kehidupan masyarakat di Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, Bireuen, Lhokseumawe dan Aceh Utara,” ungkapnya.

Masyarakat Gayo tidak akan hidup sejahtera dengan tambang. Sejarah telah membuktikan, komoditas kopi merupakan produk unggulan di Gayo. “Janji kesejahteraan melalui terbukanya lapangan kerja itu bohong. Masyarakat lokal akan jadi buruh tambang,” terang Muhammad Nur.

Baca: Tok! Hakim Batalkan Izin Pakai Hutan Leuser untuk PLTA Tampur

 

Air bersih yang mengalir di sungai tidak hanya digunakan masyarakat Gayo Lues untuk kebutuhan sehari-hari tetapi juga untuk pengairan sawah. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Gerakan Anti Korupsi [GeRAK] Aceh bersama akademisi, praktisi, pemerintahan terkait serta lembaga swadaya masyarakat sedang melakukan review proses Izin Usaha Pertambangan [IUP] PT. LMR.

Kepala Divisi Advokasi GeRAK Aceh, Hayatuddin menyebutkan, hasil kajian sementara ditemukan beberapa masalah dalam proses perizinan. Seperti, IUP yang dikeluarkan Bupati Aceh Tengah diduga tidak memiliki rekomendasi Gubernur Aceh.

“Rekomendasi penting, sesuai Qanun Aceh Nomor: 12 Tahun 2001 dan Undang-undang Nomor: 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh,” jelasnya.

Selain itu, masa berlaku IUP PT. LMR sudah lebih delapan tahun, terindikasi bertentangan dengan Undang-undang Nomor: 4 Tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan batubara.

“Ini harus jadi perhatian Pemerintah Aceh, untuk tidak mengeluarkan rekomendasi atau izin lain,” ujar Hayatuddin.

Baca juga: Hutan Aceh Rusak? Tiga Masalah Besar Ini Harus Diselesaikan

 

Hutan Leuser harus selalu dijaga, agar air tetap mengalir. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Kepala Biro Humas dan Protokol Setda Aceh Muhammad Iswanto mengatakan, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara [Dirjen Minerba] Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral [ESDM] telah menghentikan sementara IUP PT. Linge Mineral Resources.

“Penghentian berdasarkan Surat Nomor: 705/30.07/DJB/2019, tanggal 12 Maret 2019,” ujarnya, Senin [16/9/2019].

Iswanto memastikan, IUP PT. LMR dikeluarkan Badan Koordinasi Penanaman Modal [BKPM] berdasarkan Surat Keputusan Bupati Aceh Tengah. “Pemerintah Aceh sejauh ini belum mengeluarkan izin apapun untuk PT. LMR,” tegasnya.

 

 

Exit mobile version