Mongabay.co.id

Sampah yang Merusak Pesona Pantai Bangka

 

 

Pantai di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung panjangnya mencapai 2.189,553 kilometer dengan luas sekitar 81.582 hektar. Sekitar 20 persen merupakan perairan karang. Namun, pesona pantai di wilayah ini tak lepas dari ancaman sampah.

“Sampai saat ini kami tidak berani mengatakan, ada pantai di Bangka yang terbebas sampah, baik organik maupun non-organik. Hampir semua pantai pernah kami kunjungi, terutama di pesisir timur dekat Sungailiat, semuanya tercemar sampah,” kata Arinda Unigraha Utama, Ketua Komunitas BECAK [Bangka Environment Creative Activist of “Kawa”] yang berdiri sejak 2015. Komunitas ini aktif membersihkan pantai di Bangka.

Baca: Bangka, Sejarah dan Situasi Panas Perebutan Timah

 

Hamparan sampah plastik di sepanjang Pantai Tanjung Kerasak, Kabupaten Bangka Selatan, Provinsi Bangka Belitung. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Selama melakukan pengumpulan sampah di sejumlah pantai di Pulau Bangka, khususnya di sepanjang pesisir timur, Arianda menyatakan, minimal ada 1,3 ton sampah. Tentunya pada setiap titik berbeda.

“Kalau di pesisir timur, kebanyakan sampah berasal dari limbah rumah tangga, nelayan, dan wisatawan. Berbeda dengan Pulau Nangka yang berada di selat Bangka. Setiap September hingga Desember, akan ada tumpukan sampah skala besar yang memenuhi garis pantainya, yang hampir 90 persen kemungkinan berasal dari negara asing seperti Singapura, Malaysia, Thailand, dan Tiongkok. Selain bulan itu, sampah hanyut menuju selatan Pulau Bangka, kembali ke laut lepas,” jelasnya, saat bersih-bersih pantai, pertengahan Februari 2020.

Baca: Timah yang Membuat Wajah Bangka Tidak Bahagia

 

Wisatawan lokal tampak tidak terganggu dengan sampah bertebaran di Pantai Koala di Pangkalpinang, Bangka. Foto: Nopri Ismi/ Mongabay Indonesia

 

Masih menurut Arinda, meski tingkat partisipasi masyarakat Bangka sangat tinggi terkait sampah, namun tidak untuk implementasi keseharian. “Dalam kehidupan sehari-hari, mereka masih kurang. Sumber sampah masih banyak berasal dari penduduk setempat atau wisatawan lokal,” katanya.

 

Hamparan sampah plastik mengotori Pantai Air Anyir, Sungailiat, Bangka. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Bermarkas di Taman Persahabatan, Kota Sungailiat, Kabupaten Bangka, komunitas yang didominasi pelajar ini terus berkembang. Mereka telah memiliki mesin pencacah sampah dan coba budidaya belatung maggot. Relawan ini tersebar hampir di seluruh Bangka dan diperluas hingga ke Belitung. Mereka juga telah membuat Bank Sampah di beberapa desa seperti Labu, Kimak dan Karya Makmur.

Baca: Pembangunan Jembatan Sumatera-Bangka, Bagaimana Dampak Ekologi dan Sosial Budaya?

 

Sampah yang tersangkut di pohon mangroe di Pantai Pasir Padi, Pangkalpinang, Bangka. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

“Kami terus melakukan sosialisasi masalah sampah kepada masyarakat di tingkat daerah. Dengan lebih mengutamakan pemuda, termasuk pelajar untuk berpartisipasi. Harapannya, mereka akan menjadi generasi peduli lingkungan yang tercermin dalam keseharian,” kata Arianda, yang tercatat sebagai mahasiswa Universitas Bangka Belitung.

Baca juga: Mentilin, Fauna Identitas Bangka Belitung yang Terancam Punah

 

Botol kemasan plastik bercampur dengan sampah lain di garis Pantai Tanjung Kelayang, Sungailiat, Kabupaten Bangka. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

  

Pentingnya pengelolaan ekowisata

Berdasarkan data Dinas Pariwisata Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, ada 394 objek wisata tersebar di provinsi ini, baik wisata alam, budaya, maupun buatan.

Minggu lalu [16/02/2019], Mongabay Indonesia mengunjungi sejumlah objek wisata pantai yang ramai dikunjungi wisatawan. Mulai Pasir Padi, pantai terdekat di Pangkalpinang, hingga sepanjang lintas timur Pulau Bangka.

 

Arinda Unigraha Utama menunjukkan sampah plastik yang sudah dicacah di Taman Persahabatn, Kota Sungailiat, Kabupaten Bangka. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Mengejutkan, hampir di semua titik yang ramai dikunjungi wisatawan terdapat tumpukan sampah plastik, di pasir maupun di pohon mangrove. Di setiap pantai terlihat juga puluhan ponton tambang timah milik masyarakat yang jaraknya tidak jauh dari bibir pantai.

“Sudah biasa, pemandangan begini. Setiap hari Minggu tambang timah tidak beroperasi, sehingga air laut tetap biru. Di luar hari libur, air laut berubah kecoklatan. Kalau sampah, dulu tidak sebanyak ini. Sekitar tiga tahun belakangan makin banyak, mungkin karena semakin banyak wisawatan berkunjung,” kata Eko Haryo Prasetyo, warga Pangkalpinang.

 

Belatung maggot yang dibudidayakan komunitas BECAK Bangka Belitung. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Berdasarkan data yang dihimpun dari Badan Pusat Statistik Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, tamu atau wisatawan yang menginap di hotel berbintang di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung pada Desember 2019 sebanyak 45.711 orang. Jumlah ini turun 3,55 persen dibandingkan bulan sebelumnya sebanyak 47.395 orang. Wisatawan asing naik 5,54 persen, sedangkan pengunjung domestik turun 3,78 persen.

“Kami para remaja, biasanya berkunjung ke pantai yang tidak dipungut biaya, sepi pengunjung yang tentunya bebas dari sampah plastik. Beda seperti pantai Tanjung Pesona, Parai dan Pasir Padi yang sudah dikenal banyak orang. Sekarang, sudah banyak yang tahu lokasi pantai-pantai sepi, terutama yang berada di sepanjang lintas timur Sungailiat ini, jadinya sampah makin banyak,” kata Aryandika Pranata, pengunjung.

 

Pemandangan aktivitas tambang dapat ditemui dengan mudah di sepanjang garis pantai timur Bangka. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia.

 

Berdasarkan penelitian Dr. Ibrahim bersama Nizwan Zukhri, dan Rendy disimpulkan bahwa, dinilai dari 5 interval kategori pemenuhan prinsip-prinsip ekowisata, 58 persen dari kawasan pariwisata di Bangka Belitung termasuk kategori terpenuhi dari prinsip ekowisata. Sebesar 42 persen sangat memenuhi. Tidak ada yang mendapatkan maksimal skor untuk seluruh prinsip.

“Pada kawasan-kawasan pantai yang umum dan belum dikelola profesional, kebersihan dan aspek pemenuhan fasilitas belum menjadi fokus perhatian. Akan berbeda ceritanya pada kawasan yang dikelola manajemen, memungkinkan adanya perhatian khusus masalah kebersihan,” kata Ibrahim, peneliti sekaligus Dekan FISIP Universitas Bangka Belitung.

 

Senja di Pantai Tanjung Kelayang, Sungailiat, Kabupaten Bangka. Potensi pantai di Bangka Belitung harus dikelola baik. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Masih menurut Ibrahim, urusan kebersihan tentu berkenaan dengan budaya bersih. Budaya bersih akan terbentuk seiring dengan kebutuhan, terutama untuk mengoptimalkan pelayanan kepada wisatawan.

“Mendorong kesadaran partisipatif warga dan kelompok sadar wisata untuk menjaga kebersihan pantai adalah modal penting menjadikan wisata layak jual. Pemerintah desa perlu dibina oleh pemerintah kabupaten atau kota, sementara gerakan penyadaran bisa dilakukan pemerintah desa atau kelurahan kepada kelompok-kelompok kecil masyarakat,” tegasnya.

 

 

Exit mobile version