Mongabay.co.id

Ketika Penambangan Emas Liar Mengancam Identitas Minangkabau

 

 

Penambangan emas liar di Sumatera Barat mengancam identitas Minangkabau. Mengapa?

Sebab, bukan hanya menimbulkan bencana, seperti banjir dan tanah longsor, tapi juga menghilangkan mata pencaharian ribuan petani, menghilangkan tanah ulayat sebagai lahan pertanian dan perkebunan, serta merusak sumber air bersih.

Berdasarkan pemantauan dan pengumpulan informasi terkait lokasi penambangan emas liar oleh Mongabay Indonesia di sejumlah kabupaten di Sumatera Barat, sebagian lokasi penambangan merupakan tanah ulayat atau tanah adat berbagai suku Minangkabau.

Setelah ditambang emas, tanah ulayat ini pun rusak. Kerusakan atau berubahnya tanah ulayat membuatnya tidak dapat lagi dimanfaatkan sebagai perkebunan, pertanian, maupun persawahan. Bahkan, kerusakan tersebut mendorong bencana banjir dan tanah longsor.

“Salah satu penanda identitas suku Minangkabau adalah tanah ulayat. Sebab, tanah ini yang membangun peradaban masyarakat Minangkabau, sebagai sumber air bersih dan pangan. Ketika tanah ulayat rusak atau tidak lagi berfungsi seperti tujuan awal, maka terancam peradabannya. Terancam pula identitas masyarakat Minangkabau,” kata Arbi Tanjung, budayawan asal Pasaman, Sumatera Barat, Senin [17/02/2020].

Fakta ini cukup ironi. Sebab masyarakat Minangkabau dikenal dengan pepatahnya, “Alam takambang jadi guru”. Artinya, selama ini alam yang lestari yang menjadi guru bagi masyarakat Minangkabau yang sangat relijius, terbuka dan egaliter. “Jika alam rusak, maka hilang pula guru orang Minangkabau,” kata Arbi yang juga dikenal sebagai penulis sastra dan sejarah ini.

Baca: Wawancara Kunto Arief Wibowo: Butuh Komitmen Bersama Atasi Bencana Alam

 

Persawahan di Sumatera Barat yang dilatari perbukitan. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Habisnya tanah ulayat

Berapa luas tanah ulayat yang ditambang emas secara illegal?

“Belum diketahui secara pasti. Kami belum menghitung atau mengindentifikasi khusus tanah ulayat atau hutan nagari yang ditambang. Tapi secara keseluruhan penambangan illegal tersebut berlangsung di kawasan hutan lindung [HL], hutan produksi terbatas [HPT], dan hutan nagari,” kata Uslaini, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia [Walhi] Sumatera Barat, Selasa [18/02/2020].

Berdasarkan penelitian terkait penambangan emas tanpa izin atau liar di hulu DAS Batanghari di Kabupaten Solok Selatan, Sumatera Barat, yang dilakukan Walhi Sumatera Barat bersama KPA [Kelompok Pecinta Alam] WINALSA, pada Oktober 2019 lalu, ditemukan puluhan titik pada empat wilayah. Sebarannya di Kecamatan Koto Parik Gadang Diateh [KPGD], Kecamatan Sungai Pagu, Kecamatan Sangir, dan Kecamatan Sangir Batang Hari.

Di Kecamatan Koto Parik Gadang Diateh [KPGD], terdapat 28 titik aktivitas pertambangan emas liar. Saat ini, ada enam 6 titik lokasi yang masih melakukan penambangan, dan 22 titik yang ditinggalkan rusak atau tidak dipulihkan. Kerusakan hutan diperkirakan seluas 527 hektar yang berupa kawasan hutan produksi terbatas [HPT], hutan lindung [HL] dan hutan nagari [HN] Pakan Rabaa.

Pada Kecamatan Sungai Pagu terdapat tiga lokasi, tapi dua lokasi tidak lagi ditambang yang kondisinya belum dipulihkan. Semua penambangan di hutan produksi terbatas [HPT] yang berada di Tambang Bangko seluas 61,8 hektar dan Tambang Kandi seluas 58.2 hektar.

Di Kecamatan Sangir terdapat 12 titik penambangan liar. Tersisa tiga titik yang masih aktif, dan sisanya rusak. Luas lokasi penambangan sekitar 444 hektar yang berada di hutan produksi terbatas [HPT] dan hutan lindung [HL].

Sementara di Kecamatan Sangir Batang Hari, terdapat 12 titik penambangan liar. Sebanyak delapan titik masih ditambang, dan empat titik ditinggalkan tanpa dipulihkan lahannya.

Penambangan di sepanjang DAS Batang Hari yang bersinggungan dengan hutan produksi terbatas [HPT], yakni di titik Limau Sundai [71.2 hektar], Rantau Limau Kapeh [68 hektar], Tanah Galo [46 hektar], Batu Gajah [101 hektar], serta Pulau Panjang [140 hektar].

Baca: Danau Maninjau, Buya Hamka dan BIOS 44

 

Kondisi Sungai Batang Hari di kawasan Hutan Lindung Batanghari, Solok Selatan, Sumatera Barat, yang rusak akibat aktivitas tambang emas ilegal [23/11/2019]. Foto: Dok Tim BNPB

 

Sementara di Kabupaten Pasaman, berdasarkan pantauan Mongabay Indonesia, penambangan emas liar di tanah ulayat juga terjadi. Misalnya, di Nagari Gangggo Hilia di Kecamatan Bonjol. “Di Kecamatan Bonjol, terdapat 12 lubang penambangan di kawasan Gunung Melintang. Semuanya berada di tanah ulayat. Fungsi Gunung Melintang ini sebagai kawasan resapan air, cadangan kebutuhan air di Bonjol untuk kebutuhan rumah tangga dan pertanian,” kata Arbi Tanjung. Penambangan emas liar juga berlangsung di sepanjang DAS Sontang.

Berbeda dengan penambangan emas liar di Solok Selatan, Sinjunjung, atau Sawahlunto, yang merupakan penambangan emas terbuka, maka di Pasaman penambangan berupa penggalian batuan pada bukit. Membentuk lubang-lubang.

Beberapa titik eks penambangan yang diperkirakan tanah ulayat juga ditemukan di Kabupaten Sinjunjung. Bahkan, beberapa lokasi tanah ulayat yang sudah ditambang saat ini sulit dimanfaatkan lagi sebagai persawahan maupun pertanian.

“Dulunya, kawasan ini persawahan. Setelah ditambang, tidak bisa lagi dijadikan persawahan atau pertanian. Kalau musim penghujan, daerah ini tenggelam karena meluapnya Batang Palangki,” kata Bob Putra [32], seorang warga di eks lokasi penambangan Jorong Tangah, Nagari Muaro, Kecamatan Sijunjung, Kabupaten Sijunjung, seluas enam hektar kepada Mongabay Indonesia, Minggu [16/02/2020].

“Saat ini kami berusaha menjadikan pengembangan keramba ikan,” ujarnya.

Baca: Bukan Sulap, Lahan Bekas Tambang di Sawahlunto Bisa Digarap

 

Para penambang beraktivitas dengan menggunakan mesin pompa air diesel di salah satu kebun karet pinggir Sungai Batang Hari di Jorong Talantam, Nagari Lubuk Ulang Aling Selatan, Sangir Batanghari, Solok Selatan, Sumatera Barat (24/11/2019). Air bercampur lumpur sisa aktivitas itu dialirkan ke sungai. Foto: Een Irawan Putra

 

Nasib ribuan eks buruh tambang

Ribuan warga Minangkabau yang selama ini bertani dan berkebun akan kehilangan mata pencaharian setelah lahan yang ditambang habis emasnya, serta yang terlibat dalam penambangan emas liar terancam berbagai penyakit.

“Tidak semua buruh tambang merupakan pendatang. Sebagian merupakan warga lokal. Jika emas habis, sementara tanah yang ditambang tidak lagi seperti semula, tentunya mereka akan kehilangan lahan pertanian atau persawahan. Mereka ini jelas menjadi pengangguran dan beban negara,” kata Uslaini.

“Yang dicemaskan, mereka ini menjadi potensi persoalan sosial lainnya. Termasuk pula ancaman kesehatan bagi anak dan perempuan, yang terlibat dalam penambangan akibat penggunaan merkuri atau sianida,” lanjutnya.

Aktivitas penambangan di kawasan DAS Batang Hari, Kabupaten Solok Selatan, melibatkan ribuan buruh tambang. Kecamatan Koto Parik Gadang Diateh [KPGD] sebanyak 1.530 pekerja, Kecamatan Sungai Pagu sebanyak 35 pekerja, Kecamatan Sangir sebanyak 146 pekerja, dan Kecamatan Sangir Batanghari sekitar 368 pekerja.

Tercatat 140 perempuan yang terlibat dalam kegiatan tersebut. Mulai dari pendulang, pemecah batu, hingga juru masak. Sementara tiga anak bekerja sebagai pendulang. “Tiga pekerja anak ini ditemukan di penambangan emas liar di Kecamatan Koto Parik Gadang Diateh,” jelas Uslaini.

Keterlibatan perempuan dan anak menambang emas juga terjadi di Sijunjung. Mereka ini umumnya menjadi pendulang. Mongabay Indonesia sempat melihat sejumlah perempuan mendulang emas di eks penambangan Jorong Tangah. “Mereka mengharapkan sisa-sisa emas hasil penambangan yang sebenarnya sudah berhenti,” terang Bob Putra.

Sementara buruh penambang emas liar di Kecamatan Bonjol diperkirakan sekitar 300-450 orang. “Namun, tidak ada perempuan yang ikut nambang, sebab ada kepercayaan, jika perempuan ikut menambang maka emasnya hilang. Anak-anak kemungkinan ada yang ikut, asal tubuhnya besar dan kuat,” kata Arbi.

Baca juga: Penghentian Aktivitas Tambang Emas Ilegal di Sumbar Butuh Komitmen Penuh Para Pihak

 

Pertambakan ikan sepanjang DAS di Jorong Koto Panjang, Kecamatan Koto Tujuh, Kabupaten Sijunjung, yang dikelola eks buruh tambang. Foto: Taufik Wijaya/Mongabay Indonesia

 

Mufakat tokoh adat

Terkait berbagai dampak lingkungan dan sosial dari berbagai kegiatan penambangan liar, Pemerintah Indonesia berencana mengeluarkan Peraturan Presiden [Perpres] tentang percepatan dan penguatan koordinasi reklamasi pasca-tambang dan pertambangan tanpa izin.

Hal ini disampaikan Wakil Presiden Ma’ruf Amin usai bertemu sejumlah menteri dan kepala lembaga negara di rumah dinasnya, Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, Senin [17/02/2020] lalu. Ma’ruf menegaskan semua tambang tidak berizin harus ditutup.

Selain itu, pemerintah juga akan membentuk satuan tugas [Satgas] terdiri TNI dan Polri yang memproses hukum para pemilik dan pelaku tambang ilegal, serta pemerintah akan meningkatkan pembinaan terhadap pelaku dan pemilik tambang kecil.

Jika perpres ini dikeluarkan dan segera dilaksanakan, dapat dibayangkan berapa banyak pekerja tambang yang merupakan warga Minangkabau kehilangan pekerjaan, sementara lahannya sudah terdampak.

“Saat ini dibutuhkan kesepahaman para ninik mamak terhadap upaya penyelamatan tanah ulayat yang sudah terlanjur ditambang. Kerusakan yang terjadi di sejumlah hutan dan DAS, termasuk pula mengatasi persoalan para pekerja setelah berhentinya penambangan emas ilegal,” kata Datuk Paduko Reno Young Hendri, Koordinator Sako dan Pusaka Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau [LKAAM] Sumatera Barat, kepada Mongabay Indonesia, Minggu [16/02/2020].

“Kesepahaman para tokoh adat Minangkabau ini tentunya harus didukung berbagai pihak, baik TNI, Polri, pemerintah daerah, maupun lainnya. Dengan begitu, berbagai persoalan saat ini, seperti ekologi dan ekonomi, selain teratasi juga menjadi potensi ekonomi berkelanjutan,” katanya di sela kunjungannya ke pertambakan ikan di Jorong Koto Panjang, Kecamatan Koto Tujuh, Kabupaten Sijunjung. Pertambakan ikan yang didukung Korem 032 Wirabraja, Kodim 0310 Sawahlunto, Sijunjung dan Dharmasraya.

“Kami sangat terbantu dan merasa kagum dengan apa yang dilakukan Kodim 0310 yang dikomandani Letkol Inf Dwi Putranto, yang didukung Korem 032, yang mampu memberi jalan keluar terkait penambangan emas di Sijunjung,” kata Datuk Paduko Reno Young Hendri.

Arbi Tanjung, menyatakan dukungan jika para tokoh adat Minangkabau melakukan musyawarah. “Tentunya, merumuskan upaya mengatasi berbagai dampak dari penambangan emas ilegal, terkait solusi terbaik dalam memperbaiki lingkungan dan sosial. Alam lestari dan masyarakat sejahtera.”

“Saya percaya jika para tokoh adat Minangkabau mengambil langkah perbaikan dan penyelamatan, akan didukung semua generasi muda di Sumatera Barat [anak dan keponakan] serta pemerintah, TNI, maupun Polri, sehingga identitas masyarakat Minangkabau tetap terjaga. Adat di Sumatera Barat merupakan bagian terpenting dalam kehidupan masyarakat,” kata Uslaini.

 

Dandim 0310 Sawahlunto, Sijunjung dan Dahrmasraya, Letkol Inf .Dwi Putranto bersama eks buruh tambang yang mengelola tambak ikan di Jorong Koto Panjang dan perwakilan pemerintah. Foto: Kodim 0310

 

Brigjen TNI Kunto Arief Wibowo, Komandan Korem 032 Wirabraja, dalam wawancara khusus dengan Mongabay Indonesia beberapa waktu lalu mengatakan, guna mengatasi berbagai persoalan lingkungan hidup di Sumatera Barat, dibutuhkan komitmen bersama. Komitmen para pihak untuk sadar bahwa masalah ini adalah ulah manusia sehingga dapat diatasi oleh tindakan manusia.

Guna mengatasi persoalan tersebut, sejak setahun lalu, Korem 032 Wirabraja, menyebarkan BIOS 44 kepada para petani, nelayan, atau eks penambang emas untuk memperbaiki lingkungan, serta menghasilkan dan meningkatkan hasil pertanian, perikanan, dan lainnya.

 

 

Exit mobile version