Mongabay.co.id

Aturan Ekspor Kayu Tanpa Verifikasi Legal Ancam Tata Kelola Hutan

Kayu tebangan pembalakan liar perusahaan di Seram. Foto: Nanaku Maluku

 

 

 

 

Kementerian Perdagangan bikin aturan berpotensi merusak perbaikan tata kelola kehutanan dengan mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 15/2020 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan. Lewat aturan yang akan efektif 27 Mei ini, ekspor kayu tak lagi wajib Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) alias tak perlu dokumen verifikasi legal (V-Legal).

Beleid yang ditandatangani Agus Suparmanto, Menteri Perdagangan pada 18 Februari lalu ini dinilai bisa mengancam kelestarian hutan terutama upaya perbaikan tata kelola kehutanan. Permendag baru ini akan mencabut aturan Permendag Nomor 38/M-DAG/PER/6/2017 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan.

Berdasarkan Nota Dinas Kementerian Perdagangan Nomor 490/SJ-DAG.7/ND/03/2020 menyebutkan, latar belakang penerbitan regulasi ini, antara lain, untuk memberikan kepastian berusaha guna mendukung efektivitas ekspor produk infustri kehutanan. Juga untuk menjalankan hasil keputusan rapat koordinasi bidang perekonomian, perlu penyederhanaan perizinan produk industri kehutanan.

Baca juga: Tak Wajibkan SVLK, Kebijakan Ekspor Ini Bikin Langkah Mundur Tata Kelola Hutan

Organisasi masyarakat sipil yang sejak lama mengusung perbaikan tata kelola sektor kehutanan berang. Mereka menduga kebijakan ini tak lepas dari desakan beberapa pengusaha mebel kayu dan rotan yang mengusulkan tak perlu pemberlakuan SVLK untuk produk ekspor ke negara yang tak meminta verifikasi.

Diah Y. Suradiredja, Ketua Harian Dewan Kehutanan Nasional 2006-2012 marah dengan terbitnya peraturan ini tanpa pertimbangan matang.

“Ini memperlihatkan, pemerintah sembrono dalam proses pengambilan kebijakan tanpa melihat pada perjuangan Indonesia untuk keluar dari stigma sebagai negara buruk dalam pengelolaan sumberdaya hutan,” katanya.

Dulu, Indonesia mendapat stigma tata kelola produk kayu buruk hingga diboikot. Kayu dianggap dari aktivitas haram, seperti pembalakan liar yang merusak hutan. Bertahun-tahun, para pihak bersama-sama mencari model yang akhirnya ada SVLK dan mampu mengembalikan kredibilitas kayu Indonesia.

Baca juga: JPIK: Permendag jadi Celah Broker Ekspor Kayu Pakai Nama Industri Kecil

Lahir dari inisiasi pemerintah, bersama-sama masyarakat sipil sejak 2003, berupaya memperbaiki tata kelola hutan. SVLK pun mendapatkan pengakuan dari dua pasar yang mempersyaratkan legalitas, tanpa perlu ada di due diligence, yakni, Australia dan Uni Eropa.

Pada 15 November 2016, Pemerintah Indonesia dan Uni Eropa menyepakati pemberlakuan lisensi forest law enforcement, government, and trade (FLEGT) terhadap produk-produk kayu legal Indonesia di pasar Uni Eropa. Pengakuan Australia terhadap SVLK sejak 2014 karena dianggap memenuhi Illegal Logging Prohibition Act (ILPA).

Bahkan, Indonesia jadi pionir di dunia sebagai satu-satunya negara yang sudah mendapatkan lisensi FLEGT dari Uni Eropa, antara lain, 15 negara yang mengikat perjanjian dalam konteks FLEGT-VPA untuk mendapatkan lisensi.

 

Hutan Indonesia bisa tambah terancam kala ekspor kayu dan produk kayu tak lagi perlu verifikasi legal. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Diah mengatakan, Permendag 15/2020 ini kesempatan bagi pesaing Indonesia menciptakan kampanye hitam terhadap SVLK secara keseluruhan.

“Apabila black campaign terhadap SVLK berjalan baik, pangsa pasar kayu dunia akan diambil pesaing dari kawasan Asia, seperti Malaysia, Vietnam, China, Myanmar yang siap memiliki sistem seperti SVLK,” katanya.

Aturan Kemendag itu, bisa jadi preseden buruk di mata dunia. “Indonesia akan dipandang sebagai negara yang tidak mengamankan investasi karena kebijakan selalu berubah.”

Bahkan, Indonesia sangat mungkin dipermalukan pada perundingan-perundingan Internasional seperti Indonesia-UE Comprehensive Economic Partnership Agreement (I-EU CEPA).

Baca juga: Berbuah Manis Bagi Industri, SVLK Mebel Kayu Ekspor Malah Mau Dihapuskan

Senada dikatakan Togu Manurung, akademisi dari Institut Pertanian Bogor (IPB). Dia mengatakan, permendag itu sebagai sebuah kemunduran.

“Ini suatu kemunduran sangat serius. Padahal dengan SVLK sebagai suatu keberhasilan,” katanya.

Dia balik ke belakang, awal 2000-an, Indonesia terkenal sebagai negara dengan tingkat pembalakan liar sangat tinggi. “Kita dicurigai sebagai negara yang menyuplai bahan baku ilegal dengan proporsi besar untuk kasih makan pabrik-pabrik pengolahan kayu dalam negeri yang produk ekspor,” katanya.

SVLK, katanya, berusaha memutus mata rantai pembalakan liar dan dinilai cukup berhasil. Puncaknya, ada kesepakatan antara Indonesia dan Uni Eropa dalam FLEGT-VPA. Dengan perjanjian itu, Indonesia mendapatkan ‘jalur tol’ untuk ekspor produk kayu ke Uni Eropa tanpa harus melewati proses due diligence yang selama ini dianggap rumit.

Baca juga: Bila Deklarasi Ekspor Abaikan SVLK, Nasib Hutan Bakalan Makin Merana

Indonesia, negara pertama yang memperoleh lisensi FLEGT-VPA. Uni Eropa memberlakukan regulasi The Eropean Union Timber Regulation (EUTR).

“Kesepakatan antara Indonesia dan Uni Eropa ini dianggap sebagai pencapaian yang baik. Sekarang, ada permendag ini suatu kemunduran. Ini potensial kembali memunculkan bahan baku kayu tak jelas asal usul, terutama kayu-kayu curian lagi dari hutan Indonesia.”

Kalau Permendag 15/2020 tetap berlaku, katanya, akan mencoreng muka Indonesia di mata internasional. “Sangat disayangkan.”

Apalagi, katanya, kalau latar belakang dari pencabutan SVLK ini hanya demi investasi luar negeri supaya lebih banyak masuk Indonesia. “Harga yang harus dibayar sangat mahal. Oke, dalam periode singkat investasi masuk, untuk jangka menengah, panjang, sangat merugikan bagi hutan Indonesia dan potensial menyebabkan bencana ekologis buatan manusia.”

SVLK, katanya, harus tetap berlaku sebagai syarat untuk ekspor produk kehutanan. Walaupun, katanya, verifikasi legalitas kayu hanya satu bagian dari upaya praktik pengelolaan hutan lestari.

Dia bilang, SVLK tak cukup jalan di hulu, harus di hilir juga untuk memastikan praktik pengelolaan hutan lestari bukan hanya verifikasi legalitas.

Soelthon Gussetya Naggara, Direktur Eksekutif Forest Watch Indonesia (FWI) mengatakan, permendag ini melemahkan SVLK.

SVLK, katanya, hanya soal pasar tetapi kepatuhan pelaku usaha dalam memproduksi kayu dengan cara-cara baik. “Permendag ini jadi kemunduran dan melemahkan SVLK yang sudah punya kredibilitas baik.”

Soelthon bilang, kalau permendag ini tetap berlaku, akan membuka peluang kayu-kayu dari hasil pembalakan liar, maupun merusak hutan masuk pasar ekspor.

Dia bilang, kebijakan ini miskin konsultasi publik bahkan, tak melibatkan masyarakat sipil untuk memberikan masukan.

Muhammad Ichwan, dari Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) kecewa dengan penerbitan Permendag 15/2020 ini. Menurut dia, kebijakan ini akan membuat produk-produk kayu tanpa jaminan legalitas dapat ekspor dengan bebas.

“Artinya, peluang pembalakan liar dan perdagangan kayu ilegal marak kembali besar. Ini merupakan ancaman yang dapat mencoreng citra produk kayu Indonesia di mata dunia. Ini meruntuhkan kredibilitas Indonesia sebagai negara pelopor dalam perbaikan tata kelola hutan,” katanya.

 

Deforestasi, salah satu penyebab makin cepat pelepasan emisi karbon. Foto: dokumen Laman Kinipan

 

Surat keberatan ke presiden

Untuk merespon permendag ini, JPIK bersama koalisi masyarakat sipil dari berbagai organisasi mengirimkan surat keberatan kepada Presiden Joko Widodo. Poin utama dari surat itu meminta presiden memerintahkan Menteri Perdagangan mencabut atau merevisi permendag ini. Aturan ini, tidak selaras dengan komitmen pemerintah dalam pemeberantasan illegal logging dan perdagangan kayu ilegal.

Surat ini sudah disampaikan pada 20 Maret 2020 melalui saluran elektronik dan pos ke presiden dengan tembusan Kantor Staf Presiden (KSP), Menteri Perdagangan, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

“Dalam surat itu koalisi juga mengharapkan kesediaan presiden untuk beraudiensi dengan kami, tentu melalui daring mengingat situasi penyebarang virus corona saat ini.”

JPIK, juga mendorong Menteri LHK segera negosiasi dengan Mendag dan Menko Perekonomian membahas permendag ini agar segera revisi.

“Permendag harus masuk kewajiban penggunaan dokumen V-legal. Hingga KLHK bisa mengeluarkan peraturan detil dalam Permen LHK tentang ketentuan teknis dalam penggunaan dokumen V-legal untuk eksportir,” katanya.

Kalau pemerintah berinisiatif membantu industri kecil menengah (IKM) dengan cara memberikan subsidi atas pembiayaan V-legal tentu bagus. “Harus jelas pengaturannya agar tepat sasaran dan keberlanjutan terjamin hingga IKM dapat bersaing di pasar global,” katanya.

Sejak 2003, katanya, koalisi masyarakat sipil berperan aktif dalam pemantauan implementasi SVLK demi tata kelola hutan yang baik dan berkelanjutan. SVLK, katanya, menandai sejarah panjang bagi Indonesia dalam reformasi sektor kehutanan dan tata kelola hutan.

Michael Bucki, Konselor Perubahan Iklim dan Lingkunan Hidup Delegasi Uni Eropa untuk Indonesia sedang dalam upaya meminta penjelasan resmi dari peraturan ini.

“Saya mengonfirmasi, delegasi UE membuat permintaan resmi kepada pihak berwenang Indonesia untuk berkonsultasi tentang peraturan baru yang dikeluarkan Kemendag,” katanya.

 

Alasan Covid-19, korbankan hutan?

Berdasarkan siaran pers Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian pada 12 Maret 2020 terkait stimulus ekonomi kedua untuk penanganan dampak Covid-19 disebutkan, stimulus non-fiskal salah satu dokumen V-Legal dan Health tidak lagi jadi dokumen persyaratan ekspor kecuali diperlukan eksportir.

Implikasinya, terdapat pengurangan larangan dan pembatasan (lartas) ekspor 749 kode HS yang terdiri dari 443 kode HS pada komoditi ikan dan produk ikan dan 306 kode HS untuk produk industri kehutanan.

Syahrul Fitra, peneliti Yayasan Auriga Nusantara mengatakan, dengan permendag itu apapun produk berbahan kayu yang dulu wajib V-Legal, sudah tidak lagi wajib.

Pada regulasi sebelumnya, V-Legal dalam syarat administrasi ketika hendak ekspor dan ini jadi kelebihan sistem SVLK.

“Meski tidak bisa dikatakan benar-benar menghambat peredaran kayu ilegal, tapi ini bisa memperlambat.” Dia khawatir, permendag ini malah membuka ruang besar penyelundupan kayu ilegal keluar Indonesia.

Selama ini, katanya, banyak kayu ilegal dicampur kayu legal, seperti di Papua. Tahun lalu, ada 384 kontainer kayu merbau ilegal asal Papua diamankan di Surabaya.

Kondisi ini, katanya, menunjukkan ada V-Legal saja, masih ada ruang nakal. “Harusnya ruang itu ditambal (diperbaiki), bukan justru pemerintah menghapus sama sekali.”

Secara ekonomi, katanya, dengan ada SVLK nilai ekspor kayu Indonesia bagus. Sejak Indonesia memiliki SVLK, ekspor kayu SVLK melejit tajam, pada 2013 senilai US$6 miliar, 2014 (US$6.58 miliar), 2015 (US$9.84 miliar, 2016 (US$9,26 miliar). Kemudian, US$10,93 miliar pada 2017, 2018 (US$12,13 miliar), dan US$11,62 miliar dalam 2019.

Meskipun ada penurunan pada 2019, karena perekonomian global melemah, katanya, tetap lebih tinggi dari 2013 dan 2017.

Nilai ekspor dan eksportir industri furnitur Jepara pun, katanya, berkembang pesat, pada 2013 ada 219 eksportir senilai SU$98,4 juta, 2015 sebanyak 296 eksportir dengan US$150,3 juta dan 2018 sebanyak 386 eksportir dengan US$179 juta.

Dari data di Sistem Informasi Legalitas Kayu (SILK) pada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, data per Januari 2020–5 Maret 2020, US$1.94 miliar. Secara keseluruhan tercatat, sejak 2013, SVLK telah menyumbangkan ekspor produk kayu US$68,37 miliar.

“Artinya, stimulus apa yang diinginkan pemerintah? Dengan SVLK justru nilai kayu kita bagus. Begitu dihilangkan, mungkin harga turun. Orang mau beli kayu SVLK kan karena dianggap aman. Uni Eropa mau bayar mahal produk-produk kayu kita karena legalitas bisa mereka percaya, sudah melalui proses panjang.”

Dia menduga, penghapusan V-Legal ini jadi awal menuju proses omnibus law.

”Semua atas dasar (wabah) Covid-19, semua jadi alasan untuk meloloskan agenda-agenda yang sebelumnya cukup sulit, seperti Permendag 15/2020,” katanya.

 

Produk kayu di UD Abioso, adapun kayu yang didapat dari hutan rakyat yang sudah bersertifikasi SVLK. Foto: Tommy Apriando/Mongabay Indonesia

 

Respon pelaku usaha

Respon berbeda dari Wakil Ketua Umum Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) Wiradadi Soeprayogo. Menurut dia, lewat permendag ini pemerintah sengaja memberikan kejutan bagi IKM kehutanan. Dia mendukung aturan ini.

“Memang kita ini sudah berjuang hampir empat tahunan minta supaya SVLK itu hanya berlaku di hulu. Di hilir jangan, karena dasarnya kita ini tidak menggunakan bahan baku dari hutan alam. Kami ini hanya bahan baku dari Perhutani, seperti jati, mahoni dan sonokeling,” katanya. Kalaupun ada bahan dari luar Jawa, kata Wiradadi, terutama industri mebel, tak begitu besar. “Mereka yang berkembang sebagian besar adalah kerajinan.”

Dia menilai pemberlakuan SVLK bagi industri mebel ini bentuk diskriminasi. Kala ekspor, SVLK itu wajib, dan negara yang mewajibkan SVLK hanya Uni Eropa.

“Barang itu mau keluar ke Malaysia, Singapura, Timor Leste, tetap harus pakai SVLK. Ini yang kita lihat supaya tidak merepotkan karena memang rumit. Selain harga juga cukup mahal, kita menganggap ini satu program belenggu buat para pelaku mebel dan kerajinan,” katanya.

Kalau ditelaah lebih dalam, dalam permendag itu bukan hanya mebel yang bebas kewajiban SVLK, tetapi semua komoditas industri kehutanan.

“Perjuangan HIMKI kan hanya di mebel dan kerajinan. Di hilirlah.”

Wiradadi bilang, SVLK justru memberatkan pelaku usaha mebel. Biaya mereka harus keluarkan mengurus SVLK antara Rp20-Rp25 juta, dan hanya berlaku selama tiga tahun.

“Setiap tahun, ada penilikan lewat surveillance. Tiga tahun setelahnya resertifikasi dengan biaya yang sama. Ketika bicara V-legal per lembar juga ada harga. Per lembar macam-macam antara Rp250.000-Rp300.000. Ini beban mereka.”

Belum lagi, katanya, banyak UKM kapasitas kadang-kadang hanya satu kontainer dalam dua bulan hingga menyulitkan ada SLVK. “Betul, ada bantuan KLHK khusus para UKM. Jadi kelompok namanya sepuluh. Sepuluh perusahaan, satu SVLK. Yang jadi masalah, mereka gak ada yang betah. Banyak yang bubar.”

Dalam satu kelompok itu, mereka diminta transparan menjual barang ke mana saja, siapa pembeli dan harga berapa. Kondisi ini, katanya, membuat pelaku bisnis mebel tidak nyaman, sama saja membuka rahasia dapur sendiri.

“Ketika berkumpul saling sahut-sahutan buyer. Akhirnya, mereka gak betah dengan kondisi itu dan memilih keluar. Gak ada yang sampai setahun mereka tetap utuh sepuluh. Gak betah lama karena mereka saling melirik rezekimu dimana, siapa buyermu dan lain-lain.”

Wiradadi bilang, pemberlakuan SVLK di hilir seolah-olah rapi, padahal di dalam keropos. “Kenaikan ekspor setelah ada kebijakan SVLK ini kalau menurut saya ya naik turun.”

Pangsa ekspor IKM kehutanan, katanya, yang dominan tetap ke Amerika. “Uni Eropa itu semacam suvenirlah. Kecil buat kita. Gak begitu besar. Kalau yang kecil-kecil Jepara ada handmade dan segala macam itu mungkin lari ke Uni Eropa. Kalau Jawa Timur sebagian besar ke Amerika,” katanya.

 

Keterangan foto utama: Kayu tebangan pembalakan liar perusahaan di Seram. Ada sertifikasi kayu legal saja, kayu-kayu ilegal masih beredar, apalagi tak ada? Foto: Nanaku Maluku

Hasil olahan kayu dari organisasi Forum Fair Trade Indonesia (FFTI) yang juga mewajibkan dokumen asal usul kayu yang digunakan. Foto : Luh De Suriyani
Sebanyak 384 kontainer kayu merbau ilegal asal Papua diamankan, sejauh ini bagaimana hukuman terhadap pelaku kejahatan sumber daya alam tersebut? Foto: Dok. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

 

Exit mobile version