Mongabay.co.id

Pandemi COVID-19, Masanya Beralih ke Industri Berkelanjutan, Setop Omnibus Law

 

 

 

 

 

Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) berpengaruh hampir semua sektor, tak ketinggalan pada industri ‘andalan’ perkebunan sawit dan perkebunan kayu. Pemutusan hubungan kerja juga terjadi dalam bisnis ini. Sebagian pekerja, bekerja dengan minim perlindungan. Kondisi ini dinilai memperlihatkan, sektor ekstraktif ini bukanlah pengusung ekonomi berkelanjutan yang diperlukan negeri ini.

Ratusan buruh sawit dengan perjanjian kerja waktu tertentu (PWKT) dan buruh harian lepas PT Perkebunan London Sumatera Indonesia, anak usaha indofood alami pemutusan hubungan kerja.

“Mereka menolak memberikan pesangon atas dasar status kerja. Buruh yang tidak diberhentikan bahkan harus bekerja lebih keras dengan target lebih tinggi serta penambahan tugas dan luasan areal kerja,” kata Herwin Nasution, Ketua Serikat Buruh Perkebunan Indonesia (Serbundo) dalam diskusi daring bertajuk ‘Terhimpit COVID, Terancam Omnibus Law, pekan lalu.

Baca juga: Omnibus Law, Potensi Tambah Masalah Lingkungan dan Sosial

Tidak hanya itu, katanya, buruh yang memiliki pekerjaan juga harus bekerja dengan penuh tekanan dan rasa takut lapar serta terpapar. Mereka kerja dengan perlindungan minim dari perusahaan.

“Mereka tidak diberi masker, tidak disediakan tempat cuci tangan di tempat kerja, tidak ada aturan pembatasan sosial, tidak ada pemberitahuan dan arahan kesehatan dan keselamatan kerja dalam kondisi wabah dari perusahaan,” kata Herwin.

Situasi ini membuktikan korporasi tidak bisa memenuhi tanggungjawabnya, apalagi dengan ada PHK atau dirumahkan tanpa gaji.

Baca juga: Was-was ‘Sapu Jagat’ Omnibus Law

Edi Sutrisno, Direktur Eksekutif Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia menilai, sumber ekonomi yang dibanggakan ini bukanlah sistem yang kuat menghadapi krisis.

Dengan COVID-19 ini, tuntutan ke investasi keberlanjutan makin menguat. “Segala macam bentuk investasi tidak bisa lagi abai lingkungan dan sosial serta tak bisa menerapkan model business as usual,” katanya.

Untuk itu, sudah sepatutnya Indonesia memperhitungkan ulang saat memberikan dukungan dan kemudahan kepada investasi-investasi yang tak menerapkan prinsip keberlanjutan dan berkeadilan. “Pemberian lahan seluas-luasnya jangka panjang kepada korporasi sama dengan mematikan desa dan membuat daya lenting rakyat makin kecil,” katanya.

Karpet merah pemerintah Indonesia terhadap investor dan pengusaha perkebunan ini memang patut dipertanyakan. Awan Sentosa dari Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan Universitas Gajah Mada (UGM), mengatakan, 97% lapangan kerja justru disediakan ekonomi rakyat, yang lebih dikenal dengan sebutan usaha mikro kecil dan menengah.

“Sebenarnya, yang kita dukung ini investor yang mana?”

Dia bilang, ekonomi rakyat mampu menyumbang 60% produksi nasional, sekitar Rp8.200 triliun, sekaligus 5% investasi nasional Rp400 triliun. “Meskipun yang tidak tercatat tentu jauh lebih besar.”

 

Hutan dihancurkan untuk kebun sawit. Inikah bisnis yang akan dilanggengkan dengan omnibus law? Foto: Save Our Borneo

 

Terganjal omnibus law

Berkaca dari keuntungan dan pemasukan sektor ekonomi kerakyatan, sudah sepantasnya pemerintah melirik sektor ini ketimbang perkebunan yang tak keberlanjutan. Sayangnya, dalam Rancangan Undang-undang Cipta Kerja (omnibus law) hanya tersedia 24 pasal dalam 7 halaman dari total 1.028 halaman membahas UMKM.

Baca juga: Horor RUU Cipta Kerja: dari Izin Lingkungan Hilang sampai Lemahkan Sanksi Hukum

Dia menilai, omnibus law ini bukanlah solusi pembangunan ekonomi berkelanjutan dan pro rakyat. Masa pandemi ini, katanya, haruslah jadi momentum untuk mengembalikan marwah kedaulatan perekonomian pada rakyat.

“Apakah kita tetap melanggengkan korporatokrasi yang memusatkan penguasaan 68% tanah dan 50% kekayaan hanya pada 1% elit oligarki, ataukah kita akan putar haluan?” kata Awan.

Senada dengan Awan, Bayu Eka Yulian, peneliti Pusat Agraria Institut Pertanian Bogor (IPB) mengatakan, omnibus law hanya akal-akalan untuk penguasaan tanah kepada segelintir pihak.

Menurut dia, kapital besar dalam melancarkan bisnis memerlukan tiga variabel, yaitu, lahan murah, tenaga kerja murah dan faktor politik atau kebijakan. “RUU omnibus law ini menyediakan semua itu. Seperangkat kebijakan disiapkan untuk memfasilitasi investasi kapital besar.”

Lebih parah, katanya, kelembagaan bank tanah, yang akan jadi kombinasi sempurna melanggengkan sektor perkebunan tak berkelanjutan ini. “Badan bank tanah dan HGU adalah kombinasi sebagai penyedia lahan mudah dan murah bagi kapital,” katanya.

Bayu juga menyoroti peluang durasi hak guna usaha (HGU) sampai 90 tahun dalam omnibus law. Durasi itu, katanya, lebih lama daripada masa kolonial, selama 75 tahun.

“Dari studi kami, ada perusahaan yang memiliki HGU saja, tapi perkebunan tidak ada. Dari HGU itu mereka bisa mendapatkan pendanaan. Kan itu penyalahgunaan.”

 

Satgas karhutla bersama tim perusahaan berusaha memadamkan api di gambut PT MAS di Mauarojambi. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

Benahi hulu

Omnibus law hanya akan melanggengkan praktik pengelolaan kehutanan dan lahan di Indonesia yang masih terbukti karut-marut. Untuk itu, salah satu seruan selain mendesak penarikan RUU omnibus law, juga pembenahan pengelolaan industri hulu kehutanan.

“Jangan kita terfokus dulu pada masalah hilir, di hulu ada masalah seperti investasi, dan kebutuhan global yang harus dipenuhi.”

Serupa dikatakan Fitri Arianti dari Rainforest Network (RAN). Berdasarkan penelitian RAN, ada desakan dari merek dan bank pemberi investasi kepada perusahaan-perusahaan perkebunan untuk memasok komoditas dengan harga relatif murah.

“Jadi, mereka ada gencatan harga untuk jadi murah, itulah yang diminta ke perusahaan sawit. Maka perusahaan itu pun akan menggencet lagi ke masyarakat atau buruh-buruh yang bekerja pada mereka,” kata Fitri.

Berdasarkan studi itu, merek besar seperti Ferrero, Unilever, Nestle, Mars, Proctor & Gamble, Kao, PepsiCo, Colgate Palmolive, serta Mondelez dikaitkan dengan perusahaan sawit besar di Indonesia seperti Sinar Mas, Triputra, Royal Golden Eagle, Wilmar, Jardines, Rajawali, Genting, Salim serta Korindo.

Selama puluhan tahun, sejak komitmen perusahaan masing-masing dan kolektif perusahaan untuk mengakhiri deforestasi komoditas minyak sawit, pulp dan kertas, kedelai dan ternak sapi, merek-merek ini terbukti gagal menegakkan moratorium deforestasi. Juga, gagal menetapkan sistem monitoring dan respon terhadap deforestasi serta lahan gambut yang transparan dan kuat.

Kondisi ini, katanya, berpeluang makin langgeng dengan ada omnibus law. “Yang tidak diinginkan, perusahaan-perusahaan besar ini bersembunyi di omnibus law.”

Seharusnya, katanya, perusahaan-perusahaan ini bisa ditekan oleh acuan global untuk produksi minyak sawit bertanggung jawab, dengan tanpa deforestasi, tanpa pembangunan di lahan gambut dan tanpa eksploitasi, biasa dikenal dengan no deforestation, no peat and no exploitation policy (NDPE) sesuai komitmen mereka.

“Dengan ada NDPE ini, bisa jadi benchmark ke mereka, dan perusahaan dan bank global ini bisa dorong standar ini ke bawah ke perusahaan yang jadi mitra bisnis mereka di Indonesia.”

Sayangnya, omnibus law berpeluang membuat desakan internasional kalah dengan kemudahan berinvestasi dan pelebaran usaha berbasis tanah di Indonesia. “Padahal, kalau dilihat masa COVID ini betapa rentan sistem ekonomi kita, kalau ini berlanjut terus dengan krisis iklim, akan jadi kekhawatiran luar biasa,” kata Fitri.

 

Spanduk terbentang di sekitar Geyanan, menolak RUU Cipta Kerja. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

***

Pada 14 April lalu, DPR dan pemerintah bertemu dalam rapat kerja perdana. Sejumlah menteri hadir di gedung parlemen, antara lain Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, dan Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly. Menko Perekonomian. Mereka hadir menjelaskan RUU Cipta Kerja (omnibus law) ini.

Pada 24 April, Presiden Joko Widodo memberi keterangan di Istana Merdeka, telah menyampaikan kepada DPR menunda pembahasan klaster ketenagakerjaan. Sehari sebelumnya, Kamis, 23 April presiden menemui sejumlah perwakilan buruh di Istana Negara. Mereka menyatakan keberatan atas RUU itu.

Draf RUU Ciker diserahterimakan oleh Airlangga Hartarto kepada Ketua DPR Puan Maharani, 12 Februari lalu di Gedung Parlemen Senayan, Jakarta. Hartarto didampingi sejumlah menteri kabinet Jokowi. Dokumen RUU yang diserahkan terdiri dari 79 UU dengan 15 bab, 174 pasal, dan 11 klaster.

Elemen masyarakat jauh-jauh hari menyatakan penolakan atas RUU ini. Mereka gencar menyuarakan penolakan antara lain dari pegiat lingkungan, masyarakat adat, buruh, akademisi, dan mahasiswa, akademisi/pakar dan lain-lain.

Pada 9 Maret lalu massa yang bergabung dengan Aliansi Rakyat Bergerak menggelar unjuk rasa di pertigaan Gejayan, Yogyakarta. Massa berasal dari tiga titik kumpul yaitu Bunderan UGM, Taman Pancasila UNY, dan gedung Fakultas Ekonomika dan Bisnis UIN Sunan Kalijaga.

Massa meneriakkan yel-yel penolakan RUU omnibus law. Spanduk besar bertuliskan “Gagalkan Omnibus Law”, “Ada yang Tegak tapi Bukan Keadilan”, dan “Rapat Rakyat Parlemen Jalanan,” menghiasai tempat aksi.

Sejumlah seniman, perwakilan dari AJI Yogyakarta, perwakilan Jatam, dan mahasiswa, menyampaikan orasi. Tagar GejayanMemanggilLagi sempat menjadi trendik topik di aplikasi Twitter, saat itu.

 

Lingkungan terabaikan

Maria SW Sumardjono, Guru B Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada ini mengatakan, pijakan filosofi dari RUU sumber daya alam adalah Pasal 33 ayat 3, secara prinsip aturan itu mengacu ke TAP MPR Nomor 9/2001, tentang pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam, Pasal 5. Antara lain menyebutkan soal prinsip menghormati HAM, supremasi hukum, mensejahterakan rakyat, keadilan dalam penguasaan sumber daya alam, keberlanjutan, dan pengakuan atas hukum adat.

“Sangat tidak adil kalau RUU ini disahkan tetapi saat sama pemerintah abai mendorong terbit UU tentang Masyarakat Hukum Adat. Kenapa? Pasti terkenalah. Konsesi pertambangan itu sekarang diperluas, izin diperlonggar. Nanti yang terkena dampak masyarakat, termasuk masyarakat adat,” katanya dalam Seminar Omnibus law dalam perspektif agraria, ketenagakerjaan, dan lingkungan, baru-baru ini.

Dia juga menyoroti jangka waktu hak pengelolaan (HPL) atas tanah sampai 90 tahun. “Kenapa tidak sekalian 1.000 tahun lagi?” Lalu ada HGU di atas tanah HPL, padahal HPL hanya diberikan di atas tanah negara. HPL itu fungsi publik, tapi di situ disulap jadi hak keperdataan.”

Reynaldo Sembiring, Direktur Eksekutif Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) mempertanyakan RUU omnibus law sebenarnya mau menarik investor yang mana. Kalau dari luar negeri, biasa mereka sudah punya patokan sendiri.

“Misal, bidang usaha energi, rata-rata mereka mensyaratkan transparansi. Bank-bank luar negeri untuk proyek PLTU, misal, sudah punya environmental safeguard, human right safeguard sendiri. Kalau kita lihat di RUU ini hal itu hilang, atau dikurangi.”

Menurut Dodo, apaan akrabnya, soal lingkungan dalam RUU Cipta Kerja ini meninggalkan pendekatan berbasis izin, jadi berbasis risiko.

Pada bab peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha, katanya, pasal-pasal dipaparkan soal peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha meliputi penerapan perizinan berusaha berbasis risiko. Juga, penyederhanaan persyaratan dasar perizinan berusaha dan pengadaan lahan, penyederhanaan perizinan berusaha sektor, serta penyederhanaan persyaratan investasi.

“Katanya mau meningalkan pendekatan regulasi berbasis izin, jadi berbasis risiko. Mungkin bagus, tapi kalau pakai pendekatan berbasis risiko untuk tujuan investasi maka risiko lingkungan bisa disesuaikan.”

Dengan pendekatan ini tidak efektif di Indonesia karena cenderung subyektif dan mudah diperdebatkan. Selain itu, katanya, pendekatan berbasis risiko memerlukan data sangat banyak, dan di Indonesia, data masih satu masalah. Dodo bilang, kemungkinan timbul eskalasi risiko yang luput dari perhitungan awal.

Selama ini, Indonesia punya analisis mengenai dampak lingkungan (amdal). Baginya, amdal memiliki keunggulan karena menganalisis dampak spesifik dan penting, baik problematika maupun mengelola risiko. Untuk kriteria dampak lingkungan dengan amdal baru lebih umum. Selain itu, hanya melibatkan masyaraat terdampak langsung, tanpa organisasi lingkungan.

Dalam RUU Ciker, dokumen amdal hanya bagi usaha atau kegiatan berdampak penting terhadap lingkungan hidup, sosial, ekonomi, dan budaya. Kriteria usaha dan atau kegiatan yang berdampak penting itu akan diatur dalam peraturan pemerintah.

Izin lingkungan juga hilang dalam RUU ini, namun masih mempertahankan amdal, dan surat keputusan kelayakan lingkungan hidup. Surat keputusan keluar oleh pemerintah pusat, demikian pula uji kelayakan lingkungan.

Bagi Dodo, izin lingkungan hilang berarti instrumen pencegahan kurang, hingga prasyarat pencegahan jadi tidak spesifik.

“Mengganti perizinan dengan persetujuan, pasti nanti berimplikasi pada pengawasan. Izin lingkungan nanti ditarik ke pusat diganti mekanisme persetujuan. Seberapa kuat nanti pemerintah menganalisis semua permintaan persetujuan usaha? Pengawasan juga ditarik ke pusat. Beban pengawasan ada di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, semua. Kemungkinan pengawasan tidak efektif.”

Terkait mineral dan batubara (minerba), Dodo bilang, ada sejumlah catatan. Dalam dokumen RUU menyebutkan, semua kewenangan pengusahaan minerba ditarik ke pemerintah pusat, dengan menghapus kewenangan provinsi. Dia mempertanyakan royalti dan pajak, kalau seluruh ke pusat, daerah-daerah yang mengandalkan pendapatan asli daerah dari minerba akan mengalami kesulitan.

Soal perkebunan, dulu ada kewajiban perusahaan bekerja sama dengan petani plasma 20%, kini hilang. Kewajiban membuat amdal, analisis risiko untuk penanggulangan kebakaran hutan dan lahan dihapus.

Untuk sektor kehutanan, batas minimum luasan 30% hutan harus dipertahankan untuk daerah aliran sungai (DAS) juga dihapus.

“Ada dugaan, ini untuk mempercepat investasi sumber daya alam. Tapi instrumen pencegahan sebagai environmental safeguard dikurangi derajatnya, penegakan hukum di lingkungan yang selama ini galak juga dikurangi.”

Zainal Arifin Mochtar, pakar hukum tata negara Fakultas Hukum UGM mengingatkan, paradigma omnibus law biasa dipakai negara-negara yang memperkenalkan konsep pragmatisme dalam ilmu hukum. Biasanya, tujuan sudah ditetapkan, barulah hukum dibuat. Dia menduga, pembuatan RUU Cipta Kerja sudah menetapkan tujuan sebelumnya, baru siapkan analisa.

“Konklusinya, harus membebaskan investasi dan lain-lain, lalu dicari analisanya yang membenarkan konklusi itu. Pragmatisme ini akhirnya membuat pemerintah memasukkan ke dalam “bus” ini secara overload.”

Zainal khawatir, untuk alasan ekonomi semua peraturan dipaksa tunduk hingga investasi bisa masuk dengan mudah hanya dengan satu UU. Nama RUU Cipta Kerja, katanya, hanyalah nama samaran. Sebab RUU tidak berkorelasi besar dengan cipta lapangan kerja itu sendiri, lebih kepada memberi kemudahan investasi.

Dia meragukan, RUU Cipta Kerja ini bisa mencapai tujuan sesuai harapan. Terlalu banyak pengambilan keputusan secara asumtif yang bisa menimbulkan problem ketika temuan fakta berbeda dengan asumsi. Menurut dia, RUU Cipta Kerja tak layak mendapat dukungan.

“Alih-alih sebagai solusi, yang mungkin terjadi peruwetan atau involusi. Peruwetan dalam proses, metode, maupun isi.”

 

Spanduk besar bertuliskan Gagalkan Omnibus Law, di Gejayan, Yogyakarta. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

***

Reaksi dari masyarakat atas kehadiran RUU Cipta Kerja ini mendorong perguruan tinggi melakukan kajian. Tim Fakultas Hukum UGM menyusun kertas kebijakan (policy paper) untuk menelaah alasan keberadaan RUU, politik hukum, proses legislasi hingga bidang-bidang prioritas yang diatur.

Sejumlah guru besar dan pakar hukum terlibat di dalamnya, antara lain Maria SW Sumardjono, Sigit Riyanto, Eddy OS Hiariej, Zainal Arifin Mochtar, Sulistiowati, Ari Hernawan, Totok Dwi Diantoro, Mailinda Eka Yuniza, I Gusti Agung Made Wardana, Nabiyla Risfa Izzati, dan Sri Wiyanti Eddyono.

Tim kajian menganggap, penyerderhanaan izin berimplikasi hilangnya beberapa jenis izin, misal, izin pemanfaatan ruang, izin lingkungan serta izin mendirikan bangunan. Padahal, di sanalah masyarakat bisa ikut mengawasi setiap fase perizinan hingga asas transparansi dan akuntabilitas bisa dikedepankan.

RUU Cipta Kerja juga mengubah dan mencabut ketentuan esensial dalam UU sektoral, seperti UU Perkebunan, UU Sistem Budidaya Pertanian, UU Minerba, dan UU Panas Bumi. Juga, UU Ketenagalistrikan, UU Perumahan dan Permukiman serta UU Rumah Susun. Kondisi ini, berdampak pada keadilan dan perlindungan hukum bagi masyarakat hukum adat, petani, dan pihak-pihak terdampak terabaikan.

Sentralisasi perizinan yang mengemuka dalam RUU telah mengebiri otonomi daerah. Padahal, kemampuan pemerintah pusat dari segi kuantitas dan akses ke daerah di seluruh Indonesia sangat terbatas.

”Sebagai contoh adalah perubahan terhadap proses amdal yang terbagi menjadi kewenangan pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota jadi semata-mata kewenangan pemerintah pusat,” tulis dalam kertas kebijakan itu.

Nomenklatur persetujuan lingkungan yang memiliki ciri berbeda dengan izin lingkungan, membuat status amdal jadi pelengkap dan bukan prasyarat utama dalam izin lingkungan.

“Selain itu dengan penghilangan Komisi Penilai Amdal jadi penilaian oleh pemerintah pusat, amdal tidak lagi dinilai gunakan kriteria scientific review yang obyektif berganti jadi bureaucratic review.”

Dalam bidang pengaturan lahan, RUU Cipta Kerja dianggap tdak memenuhi asas keadilan, ketertiban dan kepastian hukum, serta melanggar norma lain, seperti perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan (PLP2B). RUU ini dinilai terlalu mudah mengalihfungsikan lahan untuk kepentingan umum. Beberapa syarat yang sebelumnya ada, kini hilang, seperti meniadakan kajian kelayakan strategis, penyusunan rencana alih fungsi lahan, pembebasan kepemilikan hak dari pemilik, penyediaan lahan pengganti.

Tim Fakultas Hukum UGM merekomendasikan, menarik kembali RUU Cipta Kerja karena memerlukan penyusunan ulang dengan melibatkan berbagai unsur masyarakat.

 

Keterangan foto utama: Spanduk penolakan RUU Cipta Kerja di Yogyakarta. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version