Mongabay.co.id

Lampung, Model Kawasan Konservasi Berbasis Lanskap di Sumatera

Seorang mahout asik bermain bersama gajah sumatera di Taman Nasional Way Kambas, Lampung. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

 

Apakah Lampung bisa mewujudkan diri sebagai model kawasan konservasi berbasis lanskap di Sumatera?

Pertanyaan ini yang coba dibedah Christine Wulandari, Ketua Program Studi Magister Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Lampung [Unila], saat mengawali diskusi virtual Mongabay Indonesia bertajuk Lampung Sebagai Model Kawasan Konservasi Sumatera, Kamis [25/6/2020].

Christine bukan orang sembarangan. Dia sudah mencurahkan sebagian besar hidupnya untuk meneliti hutan di Indonesia, terlebih Lampung. Ketua Yayasan Kehutanan Masyarakat Indonesia ini dengan mantap mengatakan, Lampung bisa menjadi model kawasan konservasi berbasis lanskap.

Ada dua taman nasional yang menjadi alasan utama Provinsi Lampung layak menjadi percontohan. Taman Nasional Bukit Barisan Selatan [TNBBS] dan Taman Nasional Way Kambas [TNWK].

Baca: Hanya Badak Sumatera di Hati Mereka

 

Seorang mahout asik bermain bersama gajah sumatera di Taman Nasional Way Kambas, Lampung. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

TNBBS memiliki luas sekitar 355.511 hektar dan 17.280 hektar merupakan Cagar Alam Laut Bukit Barisan Selatan. TNBBS membentang dari ujung selatan Lampung [Kabupaten Tanggamus, Lampung Barat, dan Pesisir Barat] mengiringi punggung pegunungan Bukit Barisan hingga ke Provinsi Bengkulu di bagian utara [Kabupaten Kaur].

Bukit Barisan Selatan merupakan satu dari tiga taman nasional di Sumatera yang mendapat penghargaan bergengsi dari UNESCO pada 2004. TNBBS bersama Taman Nasional Gunung Leuser [TNGL] dan Taman Nasional Kerinci Seblat [TNKS] dinobatkan sebagai Tropical Rainforest Heritage of Sumatera [TRHS] atau Situs Warisan Dunia Hutan Hujan Tropis Sumatera.

TNBBS masuk lanskap hutan pegunungan Bukit Barisan yang berjejer dari Aceh hingga Lampung,” jelasnya.

Sementara, Taman Nasional Way Kambas yang luasnya 125.631 hektar, berada di tenggara Pulau Sumatera. Ekosistemnya berupa hutan hujan dataran rendah, rawa, hutan pantai, hingga mangrove.

“Dua taman nasional ini tantangannya,” tutur anggota Pokja Percepatan Perhutanan Sosial Provinsi Lampung dan Nasional.

Baca: Berbagi Ruang, Kawanan Gajah Liar Tidak Lagi Resahkan Warga Pemerihan

 

Taman Nasional Way Kambas yang merupakan habitat badak sumatera dan mamalia besar lainnya seperti gajah, harimau, beruang, dan tapir. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Pengelolaan lanskap

Christine menjelaskan, pengelolaan kawasan konservasi berbasis lanskap harus dimaksimalkan.

Lanskap adalah sebuah sistem sosial dan ekologi, terdiri ekosistem alami atau hasil modifikasi manusia yang dipengaruhi kegiatan ekologi, politik, ekonomi, historis, dan sosial budaya berbeda. Dengan begitu, lanskap mempunyai karakter yang unik.

“Dalam sebuah lanskap, kemungkinan terdapat berbagai macam pengelolaan atau penggunaan lahan. Misalnya untuk kehutanan, pertanian, peternakan, perikanan, serta konservasi keanekaragaman hayati.”

Pendekatan lanskap merupakan upaya mengakomodir setiap kepentingan, mulai ekologi, budaya, dan ekonomi lokal dalam satu bentang kawasan. “Kuncinya adalah membangun konektivitas antar-kawasan yang memiliki keanekaragaman hayati,” tutur dia.

Tujuannya, melindungi hutan primer, pemulihan hutan dan habitat satwa yang terdegradasi, serta menyelesaikan konflik antara manusia dengan satwa liar.

“Pelaksanaannya bisa melalui pendekatan kolaboratif, kemitraan dengan masyarakat, serta perpaduan pengetahuan dan kearifan lokal dengan ilmu dan teknologi moderen,” jelas dosen kehutanan yang juga Anggota Gugus Tugas Multipihak KSDAE-KLHK Bidang Pemberdayaan Masyarakat.

Pengelolaan lanskap hendaknya ditetapkan oleh pemangku kepentingan. Demikian pula batas-batasnya yang merupakan kombinasi alam, lahan, wilayah adat, atau yurisdiksi dan administrasi.

“Secara umum, pengelolaan lanskap mendukung pembangunan berkelanjutan yang berupaya mencari solusi agar tujuan ekonomi, sosial, dan lingkungan tidak bertentangan.”

Christine mengatakan, ada lima varibel yang harus diperhatikan dalam pengelolaan kawasan konservasi berbasis landskap di Lampung. “Rinciannya, platform berbagai pemangku kepentingan, pemahaman bersama, perencanaan kolaboratif, pelaksanaan efektif, serta pemantauan. Ini fokusnya,” jelasnya.

Selain TNBBS dan TNWK, Lampung memiliki kawasan konservasi yang telah dikenal masyarakat luas: Cagar Alam Kepulauan Krakatau [13. 365 hektar] dan Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman [22.244 hektar].

Baca: Ketika Konflik Gajah Tidak Lagi Merugikan Warga Braja Harjosari

 

Badak sumatera yang berada di SRS Way Kambas, Lampung. Foto: Rahmadi Rahmad/Mongabay Indonesia

 

Lestarikan satwa kunci

Kepala SKW III Lampung BKSDA Bengkulu-Lampung, Hifzon Zawahiri, menyetujui pengelolaan lanskap sebagai solusi menjaga keanekaragaman hayati dan satwa kunci di hutan konservasi Lampung.

Kepada Mongabay Indonesia, Hifzon menjelaskan, hutan tersebut merupakan habitatnya badak sumatera [Dicerorhinus sumatrensis], harimau sumatera [Panther tigris sumatrae], gajah sumatera [Elephas maximus sumatranus], beruang madu (Helarctos malayanus), burung rangkong gading [Rhinoplax vigil], dan juga bunga Rafflesia arnoldii.

“Satwa kunci itu memiliki wilayah jelajah, kalau tidak dikelola dengan pendekatan lanskap tentunya habitat mereka berubah dan hidupnya terancam,” terangnya, Sabtu [27/6/2020].

Hifzon menjelaskan, pihak SKW III BKSDA Bengkulu-Lampung terus mendorong pengelolaan landskap guna menjaga nilai ekologi yang bergandengan dengan ekonomi dan sosial masyarakat sekitar penyangga hutan konservasi.

“Hidup berdampingan itu indah. Satwa tetap di koridornya tanpa gangguan dan manusia dapat memanfaatkan hutan sebagai sumber ekonomi berkelanjutan.”

Baca: Lampung Barat Sebagai Kabupaten Konservasi, Apa Tantangannya?

 

Rhino Protection Unit di TNBBS tengah berpatroli di sekitar taman nasional, guna mencegah terjadinya perburuan satwa liar dan perambahan hutan. Foto: Rahmadi Rahmad/Mongabay Indonesia

 

Komitmen menjaga hutan

Berdasarkan SK. Menhutbun No. 256/Kpts-II/2000 tanggal 23 Agustus 2000, luas hutan negara di Lampung sekitar 1.004.735 hektar. Rinciannya, hutan konservasi [462.030 hektar], hutan lindung [317.615 hektar], dan hutan produksi [225.090 hektar].

Sejauh ini, luas kawasan hutan yang rusak di Provinsi ‘Sai Bumi Ruwa Jurai’ diperkirakan sekitar 37,42% atau 375.928 hektar.

Pelaksana Tugas Kepala Dinas Kehutanan Lampung, Wiyogo Supriyanto, menyadari ancaman tersebut. “Kondisinya terjadi di hutan konservasi, hutan lindung, dan lainya. Utamanya adalah pembalakan liar [illegal logging],” terangnya kepada Mongabay Indonesia, Rabu [08/7/2020].

Dia menceritakan, betapa susahnya menjaga hutan itu dari tangan-tangan tak bertanggung jawab. Medio Januari-Juni 2020, pihaknya mendata 15 kasus tindak pidana. Kejadian terbaru, Ahad [14/6/2020], Dinas Kehutanan Lampung mengamankan delapan orang terkait penebangan liar di kawasan Register 17 dan 35 di Kecamatan Katibung, Lampung Selatan. Barang bukti berupa lima kubik kayu jati.

Tiga hari sebelumnya, Kamis [11/6/2020], tim mengamankan sebuah Mobil Truck Colt Diesel memuat 120 batang kayu sonokeling. Diduga, hasil rambahan di hutan KPH Tahura Wan Abdul Rachman.

“Sedangkan 2019, tercatat ada 37 kasus,” kata alumni Institut Pertanian Bogor [IPB].

Pembalakan liar, menyebar dari KPH Liwa, KPH Pematang Neba, KPH Way Waya, Taman Hutan Raya [Tahura] Wan Abdul Rachman, KPH Betutegi, KPH Sungai Buaya, KPH Rajabasa, hingga KPH Kota Agung Utara.

Masalahnya, kata Wiyogo, sampai kini penangkapan hanya ditataran sopir, tukang tebang dan pengangkut. Sementara pemodal dan cukong sering tak tersentuh. “Kami kesulitan membongkar mafia ini, seperti ada yang melindungi.”

Baca juga: Kisah Klasik Tahura Wan Abdul Rachman, Dari Konflik Menuju Konsep Ekowisata

 

Kopi yang menjadi andalan masyarakat Lampung. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Salah satu pemodal sekaligus penadah kayu yang tengah diproses hukum bernama Cecep. Dia jaringan Lampung-Jawa yang fokus menampung sonokeling. Kayu ini masuk kategori kayu keras, bagian tengah cokelat kehitaman, terkadang memiliki corak loreng cokelat tua. Sering digunakan sebagai bahan dasar furnitur, bahkan kualitasnya menyaingi jati, karena awet dan mampu menangkal jamur.

“Permintaannya banyak dan jaringan mereka luas. Kami terus berupaya memberantas pembalakan liar meski dengan personil terbatas.”

Wiyogo menjelaskan, upaya yang terus dilakukan pihaknya adalah patroli rutin di hutan, penyuluhan ke masyarakat, serta mendirikan Unit Pelaksana Teknis Dinas [UPTD] Kesatuan Pengelolaan Hutan [KPH] di hutan konservasi dan hutan lindung.

“Ada 15 pos KPH dan satu pos di tahura. Hutan konservasi Lampung yang luas, memang harus dikelola secara baik dan berkelanjutan. Ini tanggung jawab kita pada generasi mendatang,” tegasnya.

 

 

Exit mobile version