- Warga Desa Pemerihan, Kecamatan Bangkunat, Kabupaten Pesisir Barat, Lampung, sadar bahwa tempat tinggal mereka di pinggir hutan merupakan jalur jelajah gajah.
- Kesadaran itu membuat mereka berbagi ruang hidup dengan gajah.
- Warga tak lagi melihat kedatangan kawanan gajah liar bukan sebagai ancaman, tetapi potensi yang menguntungkan. Warga mengembangkan wisata alam khusus yakni pemantauan gajah liar sekaligus menghalaunya.
- Di Lampung terdapat 12 desa yang telah menerapkan program Masyarakat Desa Mandiri [MDM] terkait konflik manusia dengan satwa liar. Desa tersebut tersebar di Lampung Timur, Lampung Barat, Pesisir Barat dan Tanggamus.
Desa Pemerihan, Kecamatan Bangkunat, Kabupaten Pesisir Barat, Lampung, sering menjadi areal jelajah gajah liar. Menurut Kepala Pekon Pemerihan Cahyadi, di desanya itu ada dua kelompok gajah yang kerap melintas perkebunan warga.
Kelompok satu berjumlah 23 individu dengan rute Pekon Pemerihan – Way Canguk ke Way Haru. Kelompok kedua jumlahnya 12 individu melewati Pemerihan sampai Patok 50.
“Biasanya, dua minggu sekali atau sebulan sekali gajah turun. Kami heran, kawanan gajah datang saat musim tanam hingga musim panen. Terakhir, keluar Pemerihan pada 23 November,” terangnya baru-baru ini.
Warga kerepotan. Patroli nyaris dilakukan setiap malam. Syukurlah, tidak ada masyarakat yang berpikir untuk mengganggu. “Kami mulai sadar, kami tinggal di tepi hutan. Sampai kapanpun kawanan gajah akan selalu melintasi permukiman,” kata Cahyadi.
Baca: Ketika Konflik Gajah Tidak Lagi Merugikan Warga Braja Harjosari

Kesadaran itu yang akhirnya membuat mereka lapang dada, berbagi ruang hidup dengan gajah. Bahkan, warga tak lagi melihat kedatangan gajah sebagai ancaman, melainkan potensi menguntungkan. Warga mengembangkan wisata alam khusus yakni pemantauan gajah liar sekaligus menghalaunya.
“Wisata ini dikelola BumDes bekerja sama dengan Balai Taman Nasional Bukit Barisan Selatan [TNBBS] serta melibatkan kelompok pemuda yang sudah terlatih untuk memandu pengunjung,” ujar dia.
Pengunjung dapat melakukan pemantauan kawanan gajah liar dari menara, yang berdiri di antara pagar kawat berduri, sebagai pembatas kebun dengan areal jelajah gajah. “Kawat pembatas berjarak sekitar satu kilometer dari kebun kami,” jelasnya.
Beberapa titik dipasang sirine, yang berbunyi tatkala kawanan gajah coba menerobos. “Jika sirine bunyi, kami berkoordinasi antar-pekon untuk memberi tahu keberadaan gajah, lantas warga bersiap menghalau. Kembali ke hutan,” terangnya.
Baca: Ternyata, Manusia Bisa “Mengerti” Keinginan Gajah

Masyarakat ujung tombak mitigasi
Landscape Manager Wildlife Conservation Society-Indonesia Program [WCS-IP] Firdaus Affandi, menyatakan di Lampung terdapat 12 desa yang telah menerapkan program Masyarakat Desa Mandiri [MDM] terkait konflik manusia dengan satwa liar.
Desa tersebut tersebar di Lampung Timur, Lampung Barat, Pesisir Barat dan Tanggamus, yakni Margomulyo, Pesanguan, Labuhan Ratu VI, Labuhan Ratu VII, Tulung Asahan, Rajabasa, Sukamaju, Pemerihan, Sidomulyo, Gunung Doh, Taman Fajar dan Braja Kencana.
“Desa-desa ini melakukan respon adaptif, lebih mengedepankan berbagi ruang,” terangnya.
Dia menambahkan, alat mitigasi yang digunakan warga lebih bertujuan membangun “komunikasi” dengan gajah. Seolah memberi pesan bahwa bunyi-bunyian merupakan penanda agar gajah tidak mendekat. “Membunyikan dentuman harus menggunakan aturan dan bukan menyakiti gajah.”
Baca: Erin, Kisah Gajah Belalai Buntung yang Viral

Dia menambahkan, 12 desa itu dikukuhkan dalam Temu Karya Satgas Konflik Penanggulangan Konflik Gajah dan Satwa Liar pada 23-25 November 2019 di Desa Margomulyo, Kabupaten Tanggamus.
“Mereka memiliki satgas konflik yang siap berkoordinasi antar-desa menghalau gajah yang keluar hutan,” tambahnya.
Desa mandiri merupakan desa yang dapat beradaptasi dengan meningkatkan kapasitas, pengetahuan, dan kemampuan teknis merespon keberadaan gajah atau satwa liar lainnya. Juga, dalam hal mengalokasikan anggaran desa untuk penanggulangan konflik satwa liar.
“Dapat direplikasi di daerah atau desa lain, tentunya,” ujar Firdaus.
Desa yang ada di sekitar kawasan hutan, kerap mengalami konflik tak hanya dengan gajah. Ada juga dengan harimau atau beruang madu. Terkini, di Kecamatan Semaka, Tanggamus, terjadi konflik manusia dengan buaya.
Baca: Seperti Manusia, Gajah Ingin Diperhatikan Kesehatannya

Penanganan berbeda
Kondisi geografi, topografi, dan tipologi masyarakat membuat adaptasi terhadap keberadaan satwa liar berbeda. Pengalaman masyarakat desa merespon dengan alat-alat mitigasi juga bervariasi.
Taman Nasional Way Kambas [TNWK] pernah uji coba menempatkan sarang lebah sampai drum putar kawat duri. Namun, inovasi ini kurang adaptif untuk di bentang Bukit Barisan Selatan karena lokasinya berbukit.
“Intinya, semua inovasi yang dihasilkan tetap butuh manusia dalam melakukan pencegahan dan penghalauan satwa liar. Bentuk nyatanya adalah beroperasinya satgas konflik manusia dengan satwa liar tingkat desa,” kata Firdaus lagi.
Berdasarkan data WCS-IP, periode 2012-2018, terdapat sejumlah pertikaian manusia dengan satwa liar di berbagai lanskap taman nasional di Sumatera.
Di bentang alam Bukit Barisan Selatan dan Bukit Balai Rejang Selatan terjadi 128 konflik manusia dengan harimau dan 232 konflik manusia dengan gajah. Sementara di bentang alam Leuser tercatat 159 konflik manusia dengan harimau dan 173 konflik manusia dengan gajah.
Sedangkan 1.544 konflik manusia dengan gajah tercatat di Taman Nasional Way Kambas, Kabupaten Lampung Timur, Lampung.