Mongabay.co.id

Food Estate di NTT Jangan Hanya di Lahan Basah. Kenapa?

 

Para petani di Desa Makatakeri, Kecamatan Katikutana, Kabupaten Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur (NTT) antusias dengan hadirnya program Food Estate atau lumbung pangan. Joni Gombukada petani di desa itu mengaku senang karena hasil produksi meningkat. Dengan begitu sebutnya, pendapatan pun meningkat dan bisa menjadikan kehidupan keluarganya sejahtera.

“Kalau dulu hasil panen kurang banyak tapi sekarang lebih banyak.Dulu kami tidak pakai pupuk tapi sekarang dibantu pupuk dan traktor dari Kementrian Pertanian,” ujar Joni seperti dikutip dari situs pertanian.go.id.

Joni mengaku sebelum ada program lumbung pangan, petani harus sewa traktor untuk membajak lahan sawah sebesar Rp.700 ribu. Dia pun berharap tahun 2022 program ini tetap berjalan.

Bupati Sumba Tengah, Paulus Limu mengakui hadirnya program food estate  mampu mempercepat masa tanam dan masa panen menjadi berlipat-lipat. Menurut dia, program ini juga berkontribusi besar terhadap peningkatan indeks perekonomian di wilayahnya.

Paulus sebutkan hadirnya food estate, benih yang dulunya 2 bulan bisa dipercepat menjadi 21 hari. Pihaknya pun mendapatkan bantuan 100 unit Alsintan untuk menggarap lahan.

Program food estate di Sumba Tengah terbagi menjadi 5 zona. Zona 1 ada di Desa Umbu Pabal, zona 2 di Desa Umbu Pabal Selatan, zona 3 di Desa Elu, zona 4 di Desa Makatakeri dan zona 5 di Desa Tanamodu, Kecamatan Katikutana Selatan.

baca : Bangun Tujuh Bendungan di NTT, Apakah Bisa Menjawab Krisis Air?

 

Areal persawahan proyek food estate di Desa Makata Keri Kecamatan Katiku Tanah, Kabupaten Sumba Tengah, NTT. Foto : Suwensy Daha Walu

 

Ketahanan Pangan

Saat mengunjungi lokasi lumbung pangan di Sumba Tengah, Selasa (23/2/2021) Presiden Joko Widodo menyebutkan luas lahan lumbung pangan yang baru dikerjakan seluas 5 ribu hektare.

Dari luas areal yang ada, 3 ribu hektare ditanami padi dan 2 ribu hektare ditanami jagung. Jokowi meminta ke depan diperluas lagi menjadi 10 ribu hektare.

“Nantinya diperluas jadi 10 ribu hektare. Dibagi 5.600 hektare untuk padi dan 4.400 hektare untuk jagung. Data yang saya miliki, 34 persen kemiskinan ada di sini,” ungkapnya.

Jokowi menyebutkan lumbung pangan di daerah ini setahun baru sekali panen padi. Ia meminta  agar setahun bisa dua kali panen padi dan sekali panen jagung atau kedelai.

Dirinya mengakui sejak 2015-2018 telah dibangun sumur bor dan embung. Tapi masih jauh dari cukup. Ia sudah perintahkan Menteri PUPR melihat kemungkinan dibangun bendungan atau waduk.

“Embung dan sumur bor juga ditambah termasuk membantu kekurangan alat mesin pertanian atau Alsintan,” ucapnya.

Jokowi yakin bila lumbung pangan di NTT dan beberapa daerah lainnya dikerjakan dengan baik maka bisa membangun ketahanan pangan negara yang baik.

“Nanti akan kita terapkan seperti ini untuk di provinsi-provinsi yang lain yang memiliki kesiapan,” tuturnya.

baca juga : COVID-19 Berdampak pada Petani dan Ketahanan Pangan di NTT. Apa Solusinya?

 

Presiden Joko Widodo saat mengunjungi lokasi lumbung pangan di Desa Makata Keri, Kecamatan Katiku Tanah, Sumba Tengah, NTT, Selasa (23/2/2021). Foto : Agus Suparto/facebook Presiden Joko Widodo

 

Mayoritas Lahan Kering

Data BPS Provinsi NTT menyebutkan,luas lahan pertanian bukan sawah di NTT tahun 2017 sebesar 3.638.029,7 hektare dan tahun 2018 turun menjadi 3.615.142,9 hektare. Tahun 2019 meningkat mencapai 3.852.726 hektare.

Sementara luas panen padi sawah di NTT tahun 2017 mencapai 220.790 hektare dan tahun 2018 bertambah menjadi 247.759 hektare. Untuk tahun 2019 turun menjadi 233.252 hektare.

Tahun 2017 produksi Gabah Kering Giling (GKG) berjumlah 886.560 ton dan meningkat menjadi 1.067.121 ton GKG di tahun 2018. Produksi menurun menjadi 993.791 ton GKG di tahun 2019.

Sementara itu, tahun 2017, total produksi jagung di NTT telah mencapai 809.830 ton dan tahun 2018 mencapai 848.998 ton dan tahun 2019 bertambah menjadi 884.326 ton.

Direktur Wahana Tani Mandiri (WTM) Carolus Winfridus Keupung kepada Mongabay Indonesia, Sabtu (27/2/2021) menyebutkan, NTT didominasi areal perbukitan yang mayoritas merupakan pertanian lahan kering.

Menurut Win sapaannya, sebenarnya lahan kering bisa mendukung banyak hal. Namun ia menyayangkan fokus proyek pemerintah pusat ke lahan basah semua.

“Saluran irigasi setiap tahun ada pembangunan tetapi untuk lahan kering tidak ada. Benih dan pupuk pun sama. Kita harap ada upaya lain dari pemerintah untuk mendorong agar pertanian lahan kering bisa mendapatkan porsi yang sama dengan lahan basah atau sawah,” pintanya.

perlu dibaca : Pemerintah Berencana Kembangkan Sorgum secara Komprehensif di NTT. Seperti Apa?

 

Jembatan bambu yang dibangun di tengah areal persawahan proyek food estate di Desa Makata Keri, Kecamatan Katiku Tanah, Kabupaten Sumba Tengah, NTT. Foto : Suwensy Daha Walu

 

Win mengatakan konsep food estate selama ini telah dikembangkan. Disebutkannya, konsepnya bagaimana membangun keterpaduan, keberlanjutan pertanian.

Ia menambahkan di Sumba Tengah food estate mencakup areal persawahan dan lahan kering. Diharapkannya, teknologi yang dikembangkan ini perlu diterapkan di wilayah lahan kering lainnya di NTT

“Lahan kering juga butuh air karena di bulan-bulan tertentu lahan pertanian terancam akibat kemarau panjang. Padahal tanaman perdagangan bisa bertahan lama dan menguntungkan,” tuturnya.

Win menyarankan perlu dipikirkan membangun pipa-pipa yang melintasi lereng atau punggung bukit. Sesudahnya,di setiap titik lahan pertanian ada semacam bak penampung dan air bisa dialirkan ke lahan pertanian.

Dia menjelaskan tanaman pertanian di lahan kering memang saat musim kemarau pasti terdampak dan produktifitas menurun. Dia mencontohkan tanaman kakao yang terdampak saat musim kemarau.

“Kalau padi gagal panen maka petani hanya rugi 3 bulan. Tapi kalau kakao mati maka petani mengalami kerugian 5 tahun. Bagaimana mengalirkan air untuk untuk penyiraman di areal lahan kering harus dipikirkan,” pintanya.

Win meyakini semua bisa dilakukan hanya butuh terobosan. Untuk listrik yang menggerakan mesin pompa bisa memakai tenaga matahari atau air.

“Apabila sumberdaya airnya berada di dataran rendah maka tentu butuh teknologi untuk memompa airnya ke bagian yang lebih tinggi. Tapi kalau sumber mata air di areal ketinggian maka butuh gravitasi untuk mengalirkannya,” tuturnya.

baca juga : Rahmat Adinata dan Mimpi Jadikan Sumba Pulau Organik

 

Areal persawahan proyek food estate yang sudah panen di Desa Makata Keri, Kecamatan Katiku Tanah, Kabupaten Sumba Tengah, NTT. Foto : Agus Kamba Andalinga

 

Prioritas Petani Tradisional

Sementara itu, Direktur WALHI NTT, Umbu Wulang Tanaamahu Paranggi kepada Mongabay Indonesia, Rabu (24/2/2021) menyebutkan, program food estate pengalaman di tempat lain banyak yang gagal.

Umbu Wulang mengatakan kegagalan terjadi karena konflik lahan, degradasi lingkungan, alih fungsi lahan dan ada krisis air di beberapa tempat.

Ia menyarankan program food estate di NTT harusnya dalam kerangka mengurangi ketergantungan pangan dari luar. Juga dalam rangka melestarikan pangan lokal NTT seperti sorgum dan lainnya.

WALHI NTT melihat lumbung pangan di Sumba Tengah tidak transparan sebab tidak ada narasi yang menjelasan kepada publik apa itu food estate, siapa aktornya dan tujuan spesifiknya seperti apa.

“Tata kepemilikan lahan di kawasan tersebut bagaimana. Jangan sampai petani tradisional dan miskin yang menjadi subyek dari program ini diabaikan sebab salah satu manfaat dari food estate yakni mengentaskan kemiskinan,” ucapnya.

Putra Sumba ini memaparkan, di Pulau Sumba, tingkat gadai sawah di masyarakat kecil sangat tinggi. Sawah digadai kepada orang berada dan mampu. Maka perlu dicek kepemilikan lahannya.

baca juga : Sius, Petani Difabel Pelopor Pertanian Organik yang Diundang Makan Malam Jokowi

 

Perempuan Dusun Likotuden, Desa Kawalelo, Kabupaten Flores Timur pulang dari ladang sorgum yang merupakan lahan kering. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Ia menanyakan apakah telah ada kajian daya dukung lingkungan. Hal ini mengingat di lokasi lahan kering tersebut akan di bor 200 sumur.

Menurutnya sumur bor punya dampak merusak hidrologi bawah tanah, rongga-rongga bawah tanah dan menimbulkan dampak ekologi. Apakah sudah memperhitungkan daya dukung dan daya tampung lingkungan.

“Perlu diketahui apakah food estate ini skemanya murni negara dan masyarakat ataukah melibatkan korporasi. Kita tahu ada korporasi yang menyediakan bibit, pupuk bahkan distribusi pasca panennya. Ini kan tidak dijelaskan ke publik,” sebutnya.

Dia mengkhawatirkan food estate ini tidak memikirkan petani-petani lokal dan lebih mengedepankan industrialisasi dan menguntungkan pemodal.

Dia meminta perlu dipikirkan juga potensi peternakannya. Ia tegaskan,ini harus jadi prioritas karena Sumba sejak dahulu sudah dikenal sebagai wilayah peternakan.

“Harus ada pola pengembangan pangan dengan mengakomodir kearifan lokal di daerah tersebut,” pintanya.

Umbu Wulang berharap lumbung pangan di NTT tidak hanya untuk padi, tetapi memprioritaskan lokal yang biasa dikonsumsi masyarakat dan lebih banyak berada di lahan kering.

“Jangan sampai ini lebih kepada pemenuhan kebutuhan pangan industrial bukan pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat di NTT yang masih tinggi angka stunting dan gizi buruk,” tegasnya.

 

Exit mobile version