Mongabay.co.id

HKMAN 2021: Masyarakat Adat Masih Terus Berjuang untuk Pengakuan

 

Masyarakat adat hingga saat ini masih terus mengalami pengabaian hak-hak atas wilayah serta ruang hidupnya yang tidak terpisahkan. Berbagai kasus terus menerus menimpa masyarakat adat akibat ketidakhadiran Negara menjalankan mandat konstitusi, maupun peraturan perundang-undangan terkait pengakuan dan pemenuhan hak masyarakat adat.

Memang saat ini dorongan agar DPR dan pemerintah segera mengesahkan draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Hukum Adat terus bergulir. RUU ini bahkan telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021.

Hanya saja, hal ini dinilai belum menjadi jaminan RUU ini akan disahkan. Apalagi dengan adanya penolakan Fraksi Golkar dalam rapat antara Badan Legislasi (Baleg) DPR dengan pemerintah memasukkan pembahasan RUU ini ke dalam Prolegnas 2021, dengan alasan sudah ada banyak undang-undang yang mengatur termasuk UU Cipta Kerja, yang dianggap sudah cukup bagi masyarakat adat.

“Kita belum tahu kondisi mendatang karena cengkeraman kekuasaan begitu besar, ada banyak perdebatan RUU ini. Tantangannya adalah bagaimana mengakomodasi semua kepentingan itu tanpa melupakan substansi terhadap keadilan bagi masyarakat di dalam proses-proses pembangunan,” ungkap Muhammad Arman, Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum dan HAM Pengurus Besar Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), dalam media briefing yang diselenggarakan di Red Corner, Makassar, Rabu (17/3/2021), sebagai rangkaian peringatan Hari Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara (HKMAN) 2021.

baca : 22 Tahun AMAN: Terus Berjuang Upayakan Perlindungan Masyarakat Adat

 

Media briefing memperingati Hari Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara (HKMAN) 2021 17 Maret 2021 di Makassar. Foto: AMAN Sulsel

 

Kekhawatiran akan ketidakpastian pengesahan RUU ini beralasan. RUU ini telah berkali-kali masuk dalam Prolegnas, namun selalu gagal disahkan. Pertama kali dibahas pada Prolegnas Prioritas 2013-2014, namun gagal disahkan meski telah ada pansus yang diketuai Fraksi Demokrat.

Pada periode 2014-2019, RUU Masyarakat Adat kembali masuk Prolegnas sebagai inisiatif DPR, namun kembali gagal disahkan meski telah menjadi salah satu dari janji Nawacita Jokowi-JK.

“Sampai masa akhir sidang 2019, RUU ini gagal ditetapkan karena pemerintah tidak menyerahkan DIM kepada DPR sebagai salah satu syarat pembahasan RUU Masyarakat Adat. Malah pada saat itu ada surat dari Mendagri Tjahyo Kumolo kepada Mensesneg Pratikno, yang menyatakan RUU Masyarakat Adat belum penting disahkan, dianggap telah banyak aturan yang mengatur dan terkait argumentasi ekonomi,” jelas Arman.

Menurut Arman, argumen terkait banyaknya aturan memang benar, dimana saat ini terdapat sekitar 25 regulasi yang mengatur masyarakat adat. Namun keberadaan sedemikian banyak undang-undang sektoral ini justru semakin menyulitkan masyarakat adat untuk menikmati hak tradisionalnya.

“Dalam hal ini, setiap undang-undang memiliki cara pandang tersendiri tentang masyarakat adat, baik dari segi kriteria maupun objek hak yang diatur,” katanya.

Terkait alasan ekonomi, terdapat kekhawatiran bahwa lahirnya UU Masyarakat Adat akan membebani APBN dan akan mengganggu investasi.

“Ini keliru, karena sebuah kajian terkait valuasi ekonomi masyarakat yang telah dilakukan AMAN justru menyatakan sebaliknya. Ada tiga kesimpulan hasil valuasi ekonomi ini. Pertama, masyarakat adat bisa mandiri secara ekonomi tanpa kehadiran investasi sekalipun, asalkan negara hadir mengakui, menghormati dan melindungi hak-hak masyarakat adat.“

baca juga : Kontribusi Masyarakat Adat dalam Pembangunan Berkelanjutan Tak Bisa Diremehkan

 

Masyarakat adat membagi-bagikan produk pangan secara simbolis kepada Kepala Dinas Lingkungan Hidup Sulsel, sebagai bukti ketangguhan dan kedaulatan mereka akan pangan di tengah kondisi pandemi COVID-19. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Kedua, menurut Arman, pengakuan ini justru dapat memicu geliat ekonomi karena melalui pengakuan hak masyarakat adat ini terdapat modalitas yang dimiliki masyarakat adat untuk mengelola wilayah adatnya.

Kesimpulan ketiga, dengan adanya pengakuan ini bisa menjamin kepastian dan keamanan investasi.

“Masyarakat adat jika diakui, dihormati secara holistik dengan UU Masyarakat Adat, maka itu bisa menjamin kepastian hukum, tidak hanya kepada masyarakat adat tetapi juga kepada investasi, karena jelas dengan siapa akan berhubungan ketika ada proses-proses pembangunan di sana,” jelasnya

 

Kondisi Masyarakat Adat di Sulsel

Di Sulawesi Selatan, meski terdapat sejumlah kasus kriminalisasi terhadap masyarakat adat di Sinjai, Gowa dan Seko Luwu Utara, namun terdapat juga harapan dengan adanya komitmen pemerintah daerah dalam memberi pengakuan masyarakat adat melalui Peraturan Daerah.

Di daerah sendiri kini terdapat enam Perda terkait pengakuan dan perlindungan masyarakat adat, yaitu di Bulukumba, Sinjai, Enrekang, Toraja, Luwu dan Luwu Utara.

“Tersedianya perda yang mengakomodir masyarakat adat pada beberapa kabupaten di Sulsel ini menunjukkan mulai adanya political will oleh pemerintah meskipun sebagian masih belum diimplementasikan secara maksimal,” ungkap Sardi Razak, Ketua Badan Pengurus Harian (BPH) AMAN Sulsel.

 Menurut Sardi, pasca penetapan sebagai subjek hukum telah memberikan ruang bagi masyarakat adat untuk mendapatkan hak-haknya seperti hutan adat meskipun capaiannya masih sangat minim, yaitu seluas 4.546,99 Ha.

Salah satu penyebab masih minimnya pengakuan hutan adat ini adalah proses penetapan yang membutuhkan proses birokrasi yang panjang, harus didahului dengan kehadiran Perda ataupun SK Bupati/Walikota terkait pengakuan dan perlindungan masyarakat adat. Selain itu, meski telah banyak regulasi lintas sektoral namun implementasi di lapangan masih sangat minim.

“Di sinilah pentingnya kehadiran UU Masyarakat Adat ini yang diharapkan mampu menjadi jembatan penyelesaian regulasi sektoral tersebut,” tambah Sardi.

baca juga : Studi: Masa Pandemi Cenderung Eksploitasi Alam dan Rawan Langgar Hak Masyarakat Adat

 

Aktivitas petani kopi di Enrekang. Aktivitas ekonomi di masyarakat adat turut berkontribusi dalam pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, bebas konflik dan tak berdampak kerusakan pada lingkungan sebagaimana halnya industri ekstraktif. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay-Indonesia.

 

Tetap Tangguh di Tengah Krisis

Dalam pidato sambutan yang disampaikan melalui sejumlah saluran media sosial, Sekretaris Jendral PB AMAN, Rukka Sombolinggi, menyampaikan berbagai situasi yang dihadapi masyarakat adat yang terus mengalami perampasan dan kriminalisasi dan ketangguhan masyarakat adat dalam menghadapi situasi pandemi COVID-19.

“Pandemi COVID-19 menegaskan bahwa apa yang selama ini kita perjuangkan adalah benar dan baik. Pandemi memberikan berbagai jawaban sekaligus memberikan petunjuk arah ke masa depan yang lebih baik, sebuah kehidupan baru dimana kita harus hidup terus menjaga ibu bumi dan adil dengan sesama manusia,” katanya.

Menurutnya, pandemi COVID-19 membuktikan bahwa semakin dekat kita dengan konsesi korporasi semakin terancam pula hidup kita ketika terjadi krisis. Sebaliknya wilayah-wilayah adat yang tidak tersentuh perusahaan justru terbukti tangguh di tengah krisis.

“Kita bertahan menjaga keutuhan wilayah adat, masih setia menjalankan nilai-nilai dan praktik luhur nenek moyang kita melalui ritual, musyawarah adat, gotong royong, merawat rasa senasib sepenanggungan dan memanfaatkan kekayaan titipan leluhur secara bijaksana,” katanya.

Rukka juga menyampaikan bahwa semangat gotong-royong dan solidaritas yang dibangun selama ini bersama terbukti menjamin kedaulatan pangan di wilayah-wilayah adat. Ia kemudian meminta masyarakat adat perlu membuka diri dengan introduksi ilmu pengetahuan dan teknologi untuk memperkuat pengetahuan dan teknologi yang kita warisi dari leluhur kita.

“Kita harus mampu membangun unit-unit produksi yang kokoh di komunitas masyarakat adat serta mengembangkan sistem pasar lokal yang akan menjadi jembatan bagi kita untuk berbagi dengan orang lain di sekitar kita,” katanya.

perlu dibaca : Menagih Utang Negara Lindungi Masyarakat Adat

 

Budaya masyarakat adat Dayak yang tetap dipertahankan di wilayah Kayan Mentarang. Foto: Facebook/Dok. Balai Taman Nasional Kayan Mentarang

 

Rukka juga mengajak berbagai elemen masyarakat, seperti petani, buruh, nelayan, perempuan dan segenap rakyat Indonesia untuk terus memperkuat gotong-royong dan solidaritas. Harus saling bergandengan tangan, melangkah bersama memutuskan lingkaran setan ekonomi kapitalistik dan neoliberal yang menindas.

“Kita bersama-sama menyerukan stop kriminalisasi. Kita sedang mengarungi krisis politik, krisis hukum, krisis bumi dan krisis kemanusiaan di tengah-tengah pandemi.”

Di bagian akhir Ia menyampaikan harapannya agar masyarakat adat, di tengah upanya bertahan menghadapi situasi pandemi, tetap berjuang lebih keras untuk mendesakkan pengesahan RUU Masyarakat Adat sesuai dengan aspirasi masyarakat adat sendiri.

 

Exit mobile version