Mongabay.co.id

Obituari Mangku Widia, Pemimpin Desa Tradisional nan Lestari

 

Mangku Widia, mendiang pemimpin Desa Tenganan Pegringsingan di Kabupaten Karangasem, Bali ini mendapat penghormatan karena keteladannya menjaga lingkungan dan melestarikan tradisi desa adat kuno.

Tenganan Pegringsingan adalah desa yang masih menerapkan cara hidup sosialis, tanah dan aset dimiliki desa, dibagikan salah satunya untuk pasangan yang baru menikah. Desa ini memiliki aturan anjuran menikah dengan sesama warga desa, namun jika menikah dengan warga luar desa ada haknya yang akan dikurangi.

Hasil bumi dalam hutan desa juga milik bersama, walau ditanam satu orang. Itu pun baru bisa diambil jika buahnya jatuh. Karena itu ada kebiasaan berkemah saat panen durian, biasanya anak-anak dan remaja menginap di hutan desa untuk bisa memungut durian jatuh.

Prinsip dan tradisi yang lekat dengan penghormatan lingkungan ini juga terlihat pada upaya melestarikan tenun Geringsing dengan pewarna alami. Selain itu, ada banyak kearifan terkait pelestarian lingkungan.

Ada larangan menebang pohon kecuali diputuskan dalam rapat dan sebelum menebang pun ada persembahan. Dampaknya, bebukitan di tiga arah mata angin yang mengelilingi desa terlihat lebat dan subur.

Luas lahan desa sekitar 1000 hektar digunakan untuk area kebun, hutan desa, persawahan, dan pemukiman. Salah satu tradisi yang populer adalah Perang Pandan.

baca : Foto : Menyelami Arti Pandan Berduri Bagi Masyarakat Tenganan Bali

 

Alm Mangku Widia mengikuti tradisi perang pandan. Foto : Dok Webinar

 

Sama halnya dengan di daerah Bali pada umumnya, Desa Adat Tenganan Pegringsingan juga menganut dua orientasi ruang, yakni Kangin-Kauh (Timur-Barat) dan Kaja-Kelod (Utara-Selatan).  Kangin-Kauh berorientasi pada terbit dan terbenamnya matahari, sementara Kaja-Kelod berorientasi pada gunung dan lautan.

Selain itu ada juga yang disebut luan-teben, sekala-niskala, suci dan tidak suci.  Biasanya yang bernilai sakral atau yang dianggap suci oleh masyarakat akan ditempatkan di arah Utara-Timur atau Kaja atau Kangin yang sering disebut luanan, seperti tugu pemujaan, pura, atau tempat suci lainnya.

Sedang bagian yang bersifat kotor atau dinilai tidak suci oleh masyarakat akan ditempatkan di Selatan-Barat atau Kelod-Kauh, yang sering disebut tebenan. Perbedaanya dengan desa lain, kalau di Tenganan tempat pemujaan leluhur terletak di sebelah Selatan, sementara kuburan ada di arah Barat dan Timur.

“Pak Mangku sering menyapu jalan, membersihkan kotoran kerbau,” ingat Nyoman Sadra, tokoh masyarakat di Tenganan Pegringsingan, dalam diskusi daring Tokoh dari Desaku oleh Warmadewa Research Center, 17 Juli 2021. Kerbau adalah hewan dihormati, kerbau kerap diliarkan di areal pemukiman.

“Tidak menggunakan jam tangan tapi selalu tepat waktu,” lanjut Marinta Singarimbun, penulis buku Mata Jiwa tentang Tenganan dan meneliti kain alami tenun Geringsing. Mangku Widia juga dikenal rapi mengarsipkan data desa dan  pendokumentasian arsip kebudayaan. Salah satu keresahan Mangku Widia adalah apakah bisa buat kain gringsing di luar desa adat?

Salah satu mimpi Widia adalah desa membuat Pusat Informasi Tenganan yang menarik berisi arsip penelitian, tulisan berbagai pihak, dan artefak tertulis lain. “Agar anak muda paham jadi ksatria, mengikuti gerak zaman tapi tetap jadi diri sendiri, orang Tenganan,” imbuh Marinta.

baca juga : Menjaga Desa, Melindungi Hutan Adat Tenganan Pegringsingan

 

Desa Adat Tenganan Pegringsingan, yang di kelilingi hutan. Foto: Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Setelah ditinggalkan Mangku Widia, warga mulai khawatir akan sejarah desa karena ingatannya luar biasa. Pria kelahiran 1948 ini meninggal karena sakit pada 2014.

Karena itu, komunitas anak muda desa, Ombo Tenganan mulai membuat video dokumentasi. Salah satunya obituari karena Mangku Widia menginspirasi lahirnya komunitas yang beranggotakan anak muda Tenganan, bergerak di bidang lingkungan dan sosial.

Nyoman Sadra juga mengingat kemampuan adaptasi Mangku Widia untuk terus mengembangkan desa tanpa meninggalkan tradisinya. Salah satunya bergabung dalam Jaringan Ekowisata Desa untuk mewadahi wisatawan yang berkunjung.

I Putu Wiadnyana, generasi pemimpin muda desa mengatakan Mangku Widia panutan sekaligus inspirasi. Ia mulai intensif berkegiatan dengan alm sejak 2007 ketika desa membangun pembangkit listrik mikro hidro.

Inilah proyek energi baru yang membuatnya kecelakaan, terbakar di bagian leher dan badan. Saat itu, alm bersemangat untuk menarik air bersih dengan pompa, lalu menuangkan bahan bakar ke pompa. Tapi naas api menyambarnya pada peristiwa sekitar 2008.

Wiadnyana juga membantu merevitalisasi pusat informasi Tenganan, cita-citanya alm sejak 1990 untuk punya museum kecil menyimpan arsip desa, penelitian, dan artefak lainnya. “Banyak cita-citanya yang belum dipenuhi. Ingin Tenganan kembali ke hal yang membuat eksis yakni pertanian. Ini yang membuat desa bertahan,” katanya.

Made Denik Puriati, Direktur Yayasan Wisnu mengingat Mangku sebagai perpustakaan hidup.

“Apapun ditanya tahu, rajin mendokumentasikan. Pada 1999 saat pemetaan partisipatif, ia menyampaikan keresahan mau dikemanakan Tenganan. Kami dapat sampahnya saja dari travel agent. Bagaimana pariwisata dikelola dan dimiliki warga Tenganan sendiri,” tutur Denik.

Ia tak lupa kegigihan Mangku melakukan pemetaan desa dengan jalan kaki sekitar 917 hektar hanya menggunakan kompas, meteran, dan alat tulis. Mencatat dan mengukur dari bukit Badabudu, Sidemen, dan Kastala. Tradisi dan kehidupan sosial desa kuno ini dinilai sangat kompleks, termasuk menyediakan areal komunitas untuk muslim.

Mangku ingat semua pemilik tanah, dan berusaha membuat peta desa dengan menelusuri batas Tenganan dari peta zaman Belanda. “Tidak memandang orang, anak kecil, perempuan, saat berkomunikasi sosial egaliter,” kata Denik.

perlu dibaca : Melihat Aneka Ritual Kesadaran Lingkungan di Desa Sosialis Tenganan Pegringsingan

 

Ritual adat perang pandan yang dilakukan antar lelaki di Desa Tenganan Dauh Tukad, Karangasem, Bali, pada akhir Juni 2018. Ritual ini diadakan untuk memperingat perang Dewa Indra melawan Raja Maya Denata. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Hal yang menurutnya masih jadi PR adalah memastikan batas desa adat. Karena banyak desa yang dihidupi oleh Tenganan yang kaya budaya, tradisi, dan alamnya.

Mangku mengurus desa dari tata ruang sampai ritual adarnya. Dari penataan parkir sampai menyepakati bagaimana warga membuat artshop agar desa masih terlihat indah. Cita-cita yang menurut Denik sudah terjawab adalah terkait perlindungan hutan karena khawatir degradasi dan intervensi negara. Pada 2019 Tenganan sudah dapat SK hutan adat, dan negara wajib melindungi hutannya.

I Nyoman Sadra selalu merasa ketulusan Mangku Widia saat bekerja untuk warga. “Misal air minum macet pada malam hari. Dia ajak cek pipa ke hutan untuk lihat masalahnya,” lanjutnya.

Kekhawatirannya yang begitu besar atas perubahan-perubahan yang bisa mengubah desa dinilai memicu kerja kerasnya. Mangku, Sadra, dan tokoh desa lainpun rutin berdiskusi untuk menjaga desa.

Dari segi pendidikan, pendidikan warga sudah minimal SLTA. Tapi Mangku merasa belum menjamin pendidikan formal itu bisa diimplementasikan dalam hidup. Salah satu ketakutannya adalah realitas hidup generasi muda dengan gemuruh teknologi saat ini.

Wiadnyana menyebut masalah desa yang belum tertangani adalah gempuran sampah plastik. Kini ada komunitas muda yang bergerak mengumpulkan sampah plastik, dan sedang konsolidasi agar terarah.

“Pergub Bali mengharuskan sampah berbasis sumber, desa adat tak bisa lepas tangan. Jangan kirim ke TPA. Ada alasan kuat mendesak prajuru ikut berkontribusi memenuhi cita-cita Pak Mangku soal sampah. Pola manajemen, alat, area yang diperlukan dalam pengelolaan,” paparnya.

Rio Wedayana, anak muda desa dari Komunitas Ombo mengakui menjadi generasi muda Tenganan bukan hal mudah. Dari kecil sudah dididik menjalani dua dunia sekaligus, sebagai warga desa adat dan mahasiswa di kampus.

“Generasi muda awalnya berpikir apakah harus meninggalkan desa untuk belajar dan bekerja, meninggalkan adat dan budaya. Dua hal tersebut tak harus dipilih tapi harusnya melengkapi satu sama lain. Apa yang saya dapatkan di desa tak didapatkan di sekolah,” cetusnya.

Misalnya saat ritual prosesi Teruna Nyoman untuk remaja menuju pintu dewasa adalah saat menjalani tak boleh berkata kasar, menerapkan etika, dan memahami tradisi pelestarian lingkungannya.

“Generasi muda harus menjadikan dua hal ini mengisi satu sama lain. Menyatukan dua hal untuk jadi karakter yang membuat generasi desa lebih kuat,” harapnya.

baca juga : Mereka yang Setia Berkarya dengan Serat dan Warna Alami

 

Perempuan muda Desa Tenganan Pegringsingan, Karangasem, Bali depan rumah warga yang melestarikan arsitektur tradisional tembok tanah di bagian depannya. Foto Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Tanah di Tenganan Pegringsingan sebagaian besar merupakan tanah tegalan yang sekaligus berfungsi sebagai hutan yang belum tersentuh pupuk kimia. Tanah ini sebagian besar tidak digarap oleh pemiliknya sendiri namun dikerjakan oleh penyakap dengan sistem bagi hasil.

Air yang selama ini dimanfaatkan oleh masyarakat Tenganan berasal dari rembesan air sawah di Macang. Air rembesan ini ditampung dalam bak penampungan di sekitar wilayah Macang dan dialirkan ke wilayah Tenganan.

Kesulitan air terjadi ketika musim palawija, di mana pemanfaatan air untuk sawah sangat sedikit, dan bersamaan dengan musim kemarau. Pada saat seperti ini masyarakat Tenganan memanfaatkan air klebutan (air tanah) di pinggir sungai yang terletak di sebelah barat pemukiman. Sejak tahun 2004, memperluas bak penampung.

Sebagian besar masyarakat Tenganan Pegringsingan bekerja sebagai petani dan pengerajin, yaitu pengrajin bata, penenun gringsing, dan penjual kerajinan lontar. Ketiganya ditujukan untuk mendukung kegiatan pariwisata yang sudah berkembang di Tenganan sejak tahun 1960-an.

 

 

Exit mobile version