Mongabay.co.id

Bali Helat Uji Coba Vaksin Oral Rabies Pertama di Indonesia

Anak Agung Dewi Laina Pertiwi (12 thn) memeluk salah satu anjing yang dia selamatkan dan dirawat di rumahnya di Desa Mas, Kecamatan Sukawati, Gianyar, Bali. Foto : Anton Muhajir

Kasus positif rabies pada hewan penular rabies masih ada di Bali sejak ditemukannya penularan ke manusia pada 2008 lalu. Kini, pemerintah uji coba cara baru dengan vaksin oral dari sebelumnya suntik.

Pemberian vaksin pada hewan pembawa rabies, terutama anjing tak mudah. Apalagi anjing yang diliarkan. Petugas perlu menangkap, vaksin, lalu menandai. Kini, dua kabupaten di Bali dengan konsentrasi kasus rabies, Kabupaten Buleleng dan Karangasem memulai uji coba pemberian umpan yang akan diisi vaksin oral atau Oral Rabies Vaccination (ORV) mulai akhir November ini.

Dokter hewan I Made Artawan, Kasi Kesehatan Masyarakat dan Veteriner Dinas Peternakan dan Ketahanan Pangan Provinsi Bali yang dikonfirmasi Rabu (01/12/2021) mengatakan Bali jadi pilot project untuk studi umpan untuk menilai mana yang efektif digunakan agar vaksin bisa masuk ke tubuh anjing. Cara kerja ORV ini ketika umpan dimakan, digigit, dan dikunyah, lalu placebo berisi cairan vaksin (ditandai dengan warna) ini pecah kena mukosa mulut, lalu beredar dalam tubuh hewan.

Menurutnya ini strategi pendukung bukan strategi utama karena vaksinasi massal dengan suntikan masih dilakukan. Dari hasil studi di luar negeri, pemberian vakin oral dinilai efektif bagi anjing yang diliarkan. “Kita masih tahap studi umpan apa yang disukai anjing, agar dikunyah,” ujarnya. Lokasi uji coba sudah dilakukan di Desa Nongan, Kabupaten Karangasem pada 22-26 Nov dan sedang berlangsung sampai 3 Desember di Banyuning, Kabupaten Buleleng.

Umpan yang dipakai di antaranya tepung ikan, tepung telur, dan usus sapi. Ini studi awal, lalu dievaluasi, dan dianalisis mana umpan yang berhasil dikunyah agar vaksin oral efektif menyebar. “Data ini bisa mewakili Indonesia. Vaksin harus pecah, dikunyah, akan terlihat penanda warna umpan yang disukai dan sudah pecah. Itu tanda sudah divaksin,” lanjut Artawan. Di Karangasem, paling banyak disukai anjing adalah usus sapi tapi tak terlalu efektif, karena ditelan langsung. Harapannya dikunyah. Kalau langsung masuk lambung, vaksinnya mati, tidak efektif. Umpan yang disukai berikutnya adalah tepung telur, dan ini terlihat mau dikunyah sehingga placebonya pecah.

baca : Konsumsi Anjing Rawan Terkena Rabies, Berikut Ini Temuan Lapangan…

 

Pemberian vaksin anti rabies dengan cara disuntik. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Tantangan pengendalian rabies selama Pandemi adalah vaksinasi terhambat. Sementara ada peningkatan kasus postif dari tahun sebelumnya. Ia menyebut kasus saat ini sekitar 200 per November tahun 2021 ini sedangkan tahun lalu 100 kasus. Ini yang dilaporkan dan dites, dengan konfirmasi laboratorium. Sebelumnya kasus terbanyak di Karangasem dan Buleleng, kini Kabupaten Jembrana.

Ciri-ciri hewan penular rabies di antaranya hydrophobia atau takut air, perubahan perilaku lebih agresif karena menyerang susunan saraf. Hewan terlihat keluar air liur karena kelumpuhan di rahang atau hipersaliva. Saat ini kasus rabies pada manusia disebut sekitar 95% karena gigitan anjing. “Semoga bisa dikendalikan jangan sampai ada korban meninggal manusia,” lanjut Artawan. Jika manusia tergigit anjing positif rabies, disarankan secepatnya mencari vaksin antirabies (VAR) dan serum antirabies (SAR) jika risikonya sangat tinggi, namun SAR mahal dan tak mudah diakses.

Dalam siaran pers yang diterima Mongabay, Direktur Kesehatan Hewan, Ditjen PKH Kementerian Pertanian, Nuryani Zainuddin menyebut penggunaan ORV untuk mendukung program pengendalian rabies telah berhasil dilaksanakan di beberapa negara, dan Indonesia untuk pertama kalinya akan mencoba penggunaannya di tingkat lapang di Kabupaten Buleleng dan Karangasem, Bali.

“Untuk tahap awal akan kita uji coba dulu jenis umpan yang sesuai di Indonesia, setelah itu baru kita uji coba vaksin oral rabiesnya,” tambah Nuryani.

Ia menjelaskan bahwa pada saat ini terdapat 8 provinsi yang dinyatakan bebas rabies, sementara provinsi lain masih tergolong wilayah tertular. Untuk wilayah tertular, strategi utama untuk pengendaliannya adalah dengan pelaksanaan vaksinasi rabies secara massal dengan target 70% populasi hewan penular rabies, khususnya anjing.

“Tantangan dalam vaksinasi massal adalah melakukan vaksinasi pada anjing yang diliarkan dan sulit untuk ditangkap dan divaksinasi secara parenteral atau disuntik,” tambahnya. Nuryani meyakini bahwa vaksin oral rabies memberikan alternatif untuk anjing yang memang sulit divaksinasi dengan cara konvesional, dan hal tersebut dapat meningkatkan cakupan vaksinasi rabies sampai lebih dari 70% sesuai target.

baca juga : Anjing Kintamani, Asli dari Bali dan Diakui Dunia

 

vaksin oral rabies diujicoba dan contoh umpan uji coba. Foto : arsip AIHSP

 

Vaksinasi secara oral bukan pengganti vaksin secara suntik, tapi ini merupakan pelengkap untuk meningkatkan cakupan vaksinasi, khususnya anjing yang sulit dipegang atau ditangkap. Pelaksanaan uji coba umpan ini, jelas Nuryani adalah dengan menggunakan umpan yang belum berisi vaksin, namun berupa placebo yang berisi cairan berwarna biru dan diberikan langsung kepada anjing sasaran untuk menilai tingkat kesukaan anjing terhadap pilihan umpan yang tersedia.

Proses pecahnya placebo dalam rongga mulut dan kemudian diserap di mukosa mulut anjing, akan menyerupai pecahnya vaksin oral rabies yang akan diujicobakan kemudian. Program ini kerja sama Pemerintah Australia melalui Program Kemitraan Australia Indonesia untuk Ketahanan Kesehatan (AIHSP), Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), serta Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan.

 

Sulitnya Mengubah Perilaku

Tahun ini Pemprov Bali memperingati Hari Rabies Sedunia (HRS) yang jatuh pada setiap tanggal 28 September di Desa Jungutan, Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem, Selasa (28/9/2021). Selain dijadikan momentum pencanangan Bali bebas rabies, peringatan HRS 2021 juga dirangkai dengan Pengukuhan Relawan Pengendalian Rabies Desa Jungutan, vaksinasi rabies serta depopulasi melalui sterilisasi anjing di Desa Jungutan. Jungutan dipilih sebagai lokasi peringatan HRS karena desa ini sempat mengalami kasus rabies yang cukup tinggi dan berulang-ulang.

Tingkat populasi anjing dinilai masih tinggi, setiap keluarga di Bali rata-rata memiliki 1 sampai 2 ekor anjing. Dari data yang di peroleh, populasi anjing di Bali mencapai 74.000 ekor, dan tercatat baru 64.000 ekor yang divaksin rabies.

Dari catatan penulis, kasus infeksi rabies pada manusia di Bali bisa dikendalikan dengan vaksinasi pada hewan pembawa rabies. Tahun 2008 tercatat 4 kasus, tahun 2009 tercatat 48 kasus, puncaknya 82 kasus di tahun 2010. Setelah prosedur penanggulangan seperti vaksinasi massal pada anjing, menurun menjadi 24 kasus tahun 2011 serta 8 kasus tahun 2012.

Zoonosis atau penyakit yang ditularkan hewan ke manusia diperkirakan akan terus muncul karena degradasi lingkungan. Selain rabies, ada antrax, pes, flu burung, dan leptospirosis. Virus rabies menginfeksi sistem saraf pusat hewan berdarah panas seperti anjing, kucing, kelelawar, dan lainnya. Sebagian besar penularan rabies terjadi melalui gigitan anjing yang terinfeksi. Virus rabies dikeluarkan bersama air liur hewan yang terinfeksi dan ditularkan melalui gigitan atau jilatan.

baca juga : Mengenal Dewi, Gadis Sang Penyelamat Anjing di Bali

 

Pemberian umpan dengan placebo vaksin oral pada anjing. Foto : arsip AIHSP

 

Dalam simposium internasional bertajuk Studies on Bali Dog: Genetics, Culture, Diseases, Zoonoses, and Community Health pada 2017, para peneliti merekomendasikan salah satu strategi penting adalah mengubah perilaku manusia dalam mengurus binatang peliharaan. Jika hewan sehat atau binatang peliharaan diurus dengan baik, zoonosis akan mereda.

Hal ini sekaligus melestarikan trah hewan lokal. Tak mudah mengubah perilaku walau memiliki pengetahuan. Mengetahui sesuatu belum tentu mau melakukannya. Permasalahannya adalah rabies dan kesehatan hewan buruk. Tapi manusia makin takut dengan anjing, menelantarkannya, bukannya memperbaiki sumber penyebaran penyakit.

Rumusnya seperti ini. Pengetahuan ditambah perilaku, komunikasi interpersonal, dan menghapus hambatan. Hasilnya perubahan perilaku dan mengurangi ancaman penyakit. Daripada memikirkan tingkah laku hewan, lebih baik melihat tingkah laku manusia dulu. Penyakit dari hewan muncul dan menularkan manusia penyebabnya dari bagaimana manusia memperlakukan binatang tersebut.

Salah satu program perubahan perilaku adalah program Darma pada 2016 oleh Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) Universitas Udayana (Unud) untuk penanganan rabies melalui pendidikan untuk pemilik anjing agar lebih peduli dengan binatang peliharaannya. Misalnya membentuk kader-kader desa yang didampingi dokter hewan dan berperan aktif dalam pemetaan baseline populasi anjing serta kampanye perubahan perilaku pemeliharaan. Sebagai pilot project, Dharma dilaksanakan di Desa Sanur Kaja, salah satu desa yang pernah terpapar kasus rabies.

Kader desa melakukan sensus anjing dari rumah ke rumah, edukasi cara memelihara anjing, dan intervensi pasca program sebagai monitoring dan evaluasi. Program ini juga menyediakan fasilitas kesehatan bagi kader seperti vaksi anti rabies (VAR) sebagai pre exposure mencegah infeksi sebagai perlindungan diri. Juga fasilitas kesehatan bagi anjing seperti vaksin rabies, sterilisasi, dan basic health care. Hasilnya, tercatat populasi anjing di Desa Sanur Kaja saja sebanyak 888 ekor pada Juli 2016, kemudian turun menjadi 723 ekor pada Maret 2017. Anjing tak berpemilik dari 35% menjadi 33%. Cakupan vaksinasi meningkat dari 61% menjadi 81%. Jumlah anjing yang berkeliaran atau diliarkan dari 24% menjadi 9%.

baca juga : Anjing Dieliminasi di Bali, Malah Marak Dikonsumsi di Jogja

 

Anjing menjadi bagian dari hidup warga Bali. Tetapi populasi anjing di Bali sudah berlebihan, salah satunya karena warga Bali yang tidak disiplin dan peduli. Foto: Anton Muhajir/Mongabay Indonesia 

 

Anjing Bali disebut memiliki keragaman kekayaan genetic, sebagai anjing pribumi atau anjing proto yang awalnya menyerupai serigala. Diperkirakan sudah ada 5 ribu tahun lalu. Pelestariannya bisa melanjutkan penelitian tentang gen anjing di dunia. Anjing Bali dikhawatirkan punah seperti harimau Bali sekitar 1947.

Kepemilikan anjing-anjing ras terus meningkat menggantikan anjing lokal. Ini diyakini sebagai pertanda ancaman kepunahan dan berdampak kesulitan menjawab ancaman zoonosis di masa depan.

Kebudayaan memberikan jejak bagaimana hewan lokal dihargai. Misalnya kisah Mahabrata dalam satu bagiannya menyeritakan Yudistira yang berangkat ke surga ditemani anjingnya. Dewa Indra menguji kesetiaan Yudistira dengan melarang anjingnya masuk pintu surga. Yudistira menolak dan memilih tak masuk surga. Anjing berubah menjadi Dewa Darma yang menguji kesetiaannya pada binatang.

 

 

Keterangan foto utama : Anak Agung Dewi Laina Pertiwi (12 thn) memeluk salah satu anjing yang dia selamatkan dan dirawat di rumahnya di Desa Mas, Kecamatan Sukawati, Gianyar, Bali. Foto : Anton Muhajir

 

Exit mobile version