Mengenal Dewi, Gadis Sang Penyelamat Anjing di Bali

Dua tahun lalu Anak Agung Dewi Laina Pertiwi, 12 tahun, sudah hampir mati. Dia sudah tidak sadarkan diri selama dua hari karena diare akibat keracunan biskuit kedaluwarsa. Meskipun sudah dirawat di rumah sakit selama dua minggu, Dewi yang ketika itu kelas V SD, tidak juga sembuh.

Ketika Dewi sudah dua hari tidak sadarkan diri, bapak Dewi, Anak Agung Oka Yasna, membawa seekor anjing ke ruangan tempat Dewi dirawat di Rumah Sakit Gianyar. Oka menemukan anjing itu di jalan ketika kembali ke rumah sakit. Dia hanya merasa kasihan dan ingin membawa anjing itu ke rumah sakit karena Dewi memang suka anjing. Bahkan dalam kondisi tidak sadar pun Dewi beberapa kali mengigau minta dibawakan anjing.

Tak dia nyana, anjing itulah yang membangunkan kembali anaknya setelah dua hari tak sadarkan diri. Mendengar suara anjing, Dewi langsung sadar. “Saya seperti mendapat semangat kembali untuk hidup ketika mendengar suara Selem di samping saya,” kenang siswa kelas I SMP Kerta Budaya itu menyebut nama anjing yang dibawa ke rumah sakit.

Dengan semangat hidup itu, Dewi langsung mau makan dan minum lagi. “Saya langsung bisa berdiri setelah makan itu. Padahal, sebelumnya duduk pun tidak bisa sama sekali,” Dewi menambahkan. Keesokan harinya, dia sudah bisa berjalan lagi dan diizinkan pulang ke rumahnya di Desa Mas, Kecamatan Sukawati, berjarak sekitar 20 km dari rumah sakit.

Selem, dari bahasa Bali yang berarti hitam, adalah nama yang kemudian dia berikan pada anjing berwarna hitam itu. Anjing “penyelamat” itu menjadi anjing kedua yang dipelihara Dewi, menemami anjing pertama yang dia tinggal di rumah selama dia sakit.

Setelah momen di rumah sakit itu, Dewi pun kemudian menjadi gadis yang merawat anjing-anjing liar dan terbuang terutama di sekitar rumahnya. “Sekarang saya mau balas budi sama anjing karena mereka sudah menolong saya,” ujarnya.

Bersama kakaknya, Anak Agung Gde Agung Wirakusuma dan orangtua mereka, Dewi mengambil anjing-anjing telantar yang mereka temukan di jalan. Rumah Dewi di Desa Mas, sekitar 45 km dari Denpasar, pun berubah menjadi tempat perawatan bagi anjing-anjing telantar.

Sejak memulai dua tahun lalu, mereka sudah memelihara lebih dari 50 anjing. “Paling banyak pernah sampai ada 40 pada saat bersamaan,” kata Wirakusuma. Setelah mereka rawat, sebagian anjing itu pergi begitu saja dan sebagian diadopsi orang lain.

Saat ini mereka masih memelihara 18 ekor anjing di rumah mereka. Sebagian besar adalah jenis anjing Bali. Anjing-anjing itu hampir semuanya dilepas bebas kecuali dua ekor lainnya yang dikurung dan diikat.

“Boni di kandang karena tidak bisa bermain sama yang lain. Sukanya berantem,” ujar Wira menyebut nama anjing hitam yang dikandangkan. Anjing lain masih sakit dan harus dirawat.

Belasan anjing menyambut tiap orang yang datang ke rumah Dewi (12 thn) di Desa Mas, Kecamatan Sukawati, Gianyar, Bali. Dewi pernah menyelamatkan dan memelihara sekaligus 40 anjing terlantar. Foto : Anton Muhajir
Belasan anjing menyambut tiap orang yang datang ke rumah Dewi (12 thn) di Desa Mas, Kecamatan Sukawati, Gianyar, Bali. Dewi pernah menyelamatkan dan memelihara sekaligus 40 anjing terlantar. Foto : Anton Muhajir

Cerita Sedih

Hampir semua anjing yang dirawat Dewi dan Wira adalah anjing-anjing telantar. Mereka menemukan anjing-anjing itu di sektar rumah mereka, di pinggiran Desa Mas dan agak di luar perkampungan.

Mereka tinggal di samping pura desa agak terpisah perkampungan sejak tahun lalu. Salah satu penyebabnya karena ketika tinggal di perkampungan, banyak tetangga tidak suka dengan suara ribut gonggongan puluhan anjing yang mereka pelihara.

Namun, tak hanya tetangga mereka yang tidak suka pada anjing, menurut Dewi, orang-orang lain di sekitar desa mereka pun banyak yang menelantarkan atau bahkan memusuhi anjing. Warga sekitar sering membuang anak-anak anjing, terutama betina, di sekitar rumah mereka yang sepi. Dewi dan Wira lalu mengambil dan merawatnya.

Perawatan terhadap anjing yang sakit misalnya diselimuti dengan handuk dan diberikan minuman susu. Adapun untuk anjing yang sudah sehat mereka memberi makan dua kali sehari pada pagi dan siang. Bentuk makanannya berupa nasi dengan tambahan vitamin atau makanan kering. Semuanya dengan dukungan Bali Animal Welfare Association (BAWA), organisasi penyelamat binatang di Bali.

Dengan perawatan Dewi dan keluarganya, anjing-anjing telantar itu pun sembuh. Dari semula kudisan dan penuh kutu tanpa bulu, mereka sekarang lincah bergerak. Tubuhnya penuh bulu. “Senang aja melihat dari tidak ada bulunya, menjadi ada bulunya. Apalagi kalau sudah bisa diajak main dan jalan-jalan. Senang sekali,” kata Wira.

Salah satu anjing sakit yang sedang dirawat oleh Dewi. Foto : Anton Muhajir
Salah satu anjing sakit yang sedang dirawat oleh Dewi. Foto : Anton Muhajir

Namun, ketika anjing-anjing itu sudah sembuh, masih juga ada yang memusuhinya.

Anjing mereka pernah dilempar, diracun, ditabrak, bahkan dibacok orang lain “Banyak orang tidak suka anjing karena merasa terganggu anjing yang suka ribut dan menggonggong ketika mereka datang,” kata Wira.

Salah satu cerita sedih bagi Dewi dan Wira adalah Bulan, anjing mereka yang dibacok tiga minggu lalu. Mereka menemukan Bulan setelah tiga hari hilang dalam keadaan luka berdarah-darah di mukanya. “Wajahnya sampai terbelah karena dibacok orang,” tutur Dewi.

Mereka lalu melaporkan kejadian tersebut kepada BAWA yang segera menjemput Bulan dan merawatnya di klinik mereka, berjarak hanya sekitar 1 km dari rumah Dewi.

Cerita sedih lain terjadi pada Aldo, anjing yang mati karena dilindas truk pembawa kayu. “Orangnya sengaja melindas Aldo. Orang Aldonya sudah tidur jauh dari ban truknya masak terus dilindas,” ujar Dewi.

“Banyak orang yang juga kejam. Anjing itu hewan, bukan berarti boleh dipukul. Dia juga harus disayang,” kata Dewi.

Dari lebih dari 50 anjing yang pernah mereka rawat, ada enam anjing yang sudah mati karena dibunuh orang dengan berbagai cara. Dewi dan Wira mengubur anjing-anjing itu di tanah kosong di dekat rumah mereka.

Dewi dan Wira bermain dengan dua ekor anjing telantar yang mereka selamatkan dan rawat. Foto : Anton Muhajir
Dewi dan Wira bermain dengan dua ekor anjing telantar yang mereka selamatkan dan rawat. Foto : Anton Muhajir

Terlalu Banyak Populasi

Made Dwi Ardana, Koordinator Ambulans BAWA mengatakan, Dewi termasuk penyelamat tunggal (solo rescuer) di Bali. Pada umumnya, penyelamat tunggal seperti Dewi tidak mencari khusus anjing telantar namun mereka akan membawanya pulang jika menemukan anjing tersebut di jalan.

BAWA sendiri sudah sejak dua tahun lalu membantu Dewi untuk merawat anjingg-anjing telantar tersebut. “Kami tidak melihat dia solo rescuer, tapi kami lebih fokus pada anjing-anjing telantar yang dia pelihara,” katanya.

Dukungan BAWA tersebut, menurut Dwi, dalam bentuk penanganan medis, perawatan, dan pemberian makan. Contoh penanganan medis adalah vaksinasi. Semua anjing yang dipelihara Dewi saat ini sudah mendapatkan vaksin. Untuk anjing yang sakit, BAWA juga mendukung pengobatan. Salah satunya adalah Bulan, anjing yang luka pada muka dan pinggangnya setelah dibacok orang.

Bantuan lain dari BAWA adalah pendataan. Dewi dan keluarga merawat anjing-anjing telantar dengan cara membebaskan mereka, sehingga banyak pula anjing keluar setelah mereka sembuh usai dirawat. “Kami membantu dia mendata anjing-anjing yang sudah dipelihara,” ujar Dwi.

Menurut Dwi, beberapa warga memang melakukan penyelamatan anjing secara mandiri seperti halnya Dewi. Dia memberikan contoh Ni Ketut Kesni di Pasar Blahbatuh, Gianyar yang memberi makan anjing-anjing telantar di pasar. Kesni merawat enam ekor di pasar dan sekitar 12 di rumahnya.

“Tapi Dewi satu-satunya solo rescuer yang masih anak-anak,” kata Dwi.

Dwi mengatakan anjing telantar di Bali jumlahnya mencapai ribuan. Hal tersebut karena perilaku warga yang kurang disiplin. Pada umumnya mereka memelihara anjing ketika anjing masih kecil dan lucu. Ketika sudah dewasa dan dianggap mulai berulah, anjing pun dibiarkan. Apalagi jika sudah sakit.

Anjing menjadi bagian dari hidup warga Bali. Tetapi populasi anjing di Bali sudah berlebihan, salah satunya karena warga Bali yang tidak disiplin dan peduli. Foto: Anton Muhajir
Anjing menjadi bagian dari hidup warga Bali. Tetapi populasi anjing di Bali sudah berlebihan, salah satunya karena warga Bali yang tidak disiplin dan peduli. Foto: Anton Muhajir

Selain karena penyakit, sakitnya anjing terjadi juga karena berkelahi dengan anjing lain. Anjing terluka yang tidak diobati sudah termasuk penelantaran. “Apalagi jika kemudian anjing itu tinggal di pemukiman, dia pun akan dibiarkan pergi begitu saja atau bahkan diusir,” tambah Dwi.

Penyebab banyaknya anjing telantar di Bali, menurut Dwi, karena masyarakat tak terlalu peduli. Di sisi lain, populasi anjing di Bali memang terlalu banyak. Karena itu BAWA menyarankan warga untuk melakukan sterilisasi anjing mereka. “Tujuan utamanya untuk menjaga kesehatan masyarakat,” tambahnya.

Menurut Dwi, warga seperti Dewi perlu terlibat dalam perawatan anjing telantar. Karena itu pula BAWA selalu memberikan edukasi penyelamatan binatang. Tidak hanya yang sakit dan telantar tapi juga yang dipelihara sehari-hari. “Kalau ada binatang yang menjadi tanggung jawab kita maka harus dipelihara seterusnya meskipun dia sakit,” ujarnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,