Mongabay.co.id

Apa Kabar Bukit Barisan Sebagai Benteng Ekologi dan Budaya?

Perempuan di Semende yang tidak hanya bertani tetapi juga menjaga bentang alam di kaki Bukit Barisan. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

 

Apa kabar Bukit Barisan sebagai benteng ekologi dan budaya masyarakat di Pulau Sumatera?

Bukit Barisan merupakan lanskap pegunungan sepanjang 1.650 kilometer, yang membujur dari utara ke selatan Pulau Sumatera. Lanskap Bukit Barisan adalah habitatnya satwa endemik Indonesia yang dilindungi, yakni harimau sumatera [Panthera tigris sumatrae], gajah sumatera [Elephas maximus sumatranus], badak sumatera [Dicerorhinus sumatrensis], dan orangutan sumatera [Pongo abelii].

Tercatat 40 gunung di Bukit Barisan. Tiga gunung tertingginya, Gunung Kerinci [3.800 meter], Gunung Leuser [3.466 meter], dan Gunung Dempo [3.142 meter].

Bukit Barisan adalah hulu ratusan sungai. Sejumlah sungai besar mengalir ke wilayah timur Sumatera. Misalnya Sungai Musi [750 kilometer], Sungai Batanghari [800 kilometer], Sungai Kampar [413,5 kilometer], Sungai Rokan [350 kilometer], Sungai Indragiri [500 kilometer], dan Sungai Siak [370 kilometer].

Gunung dan sungai membuat Bukit Barisan selain kaya mineral, subur, juga kaya flora dan fauna. Ekosistem Bukit Barisan dilindungi melalui Taman Nasional Gunung Leuser [Utara], Taman Nasional Kerinci Seblat [Tengah], dan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan [Selatan].

UNESCO yang menetapkan tiga taman nasional seluas 2.595.124 hektar tersebut sebagai Tropical Rainforest Heritage of Sumatera [TRHS] atau Situs Warisan Dunia Hutan Hujan Tropis Sumatera pada 2004, menyebutkan di Bukit Barisan terdapat sedikitnya 10 ribu jenis tanaman, 201 jenis mamalia [15 spesies asli Indonesia], dan 580 spesies burung [21 jenis endemik]. Situs Warisan Dunia Hutan Hujan Tropis Sumatera salah satu wilayah konservasi terluas di Asia Tenggara.

Baca: Catatan Akhir Tahun: Nasib Situs Warisan Dunia Berstatus Bahaya, Ada di Tangan Kita

 

Perempuan di Semende yang tidak hanya bertani tetapi juga menjaga bentang alam di kaki Bukit Barisan. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Peradaban Bukit Barisan

Bukit Barisan sudah didiami manusia sejak ribuan tahun lalu [pra sejarah]. Kekayaan alamnya membangun peradaban manusia Sumatera dari masa megalitikum hingga saat ini.

Dari awal masehi hingga abad pertengahan, kekayaan alam Bukit Barisan melahirkan sejumlah kerajaan. Misalnya Kerajaan Melayu, Kerajaan Tulang Bawang, Kedatuan Sriwijaya, Kerajaan Dharmasraya, Kerajaan Minangkabau, Kerajaan Siak, Kerajaan Kuantan, Kerajaan Bila, Kerajaan Rokan, Kesultanan Aceh, Kesultanan Palembang, dan lainnya.

Saat ini tercatat puluhan suku hidup di lanskap Bukit Barisan. Antara lain Suku Gayo, Suku Kluet, Suku Pakpak, Suku Alas, Suku Aceh, Suku Aneuk Jamee, Suku Batak Karo, Suku Batak Angkola, Suku Batak Simalungun, Suku Batak Toba, Suku Batak Mandailing, Suku Minangkabau, Suku Kerinci, Suku Melayu, Suku Kubu [Suku Anak Dalam], Suku Sakai, Suku Pasemah, Suku Semendo, Suku Saling, Suku Gumay, Suku Ranau, Suku Kikim, Suku Kisam, Suku Lintang, Suku Lampung, Suku Lembak, Suku Pekal, Suku Rejang, Suku Serawai.

Peradaban manusia yang hidup di lanskap Bukit Barisan mencerminkan hubungan harmonis manusia dengan alam [ekosentrisme]. Nilai-nilai ini dapat dilihat dari patung megalit dan Prasasti Talang Tuwo [Kedatuan Sriwijaya]. Juga, dari bahasa, ilmu pengetahuan, teknologi tradisional, seni, kuliner, pemerintahan, hingga kepercayaan.

Mamalia kunci di Bukit Barisan sangat dihargai masyarakat di lanskap Bukit Barisan. Harimau sumatera diposisikan sebagai “orangtua”, gajah sumatera sebagai “saudara”, dan badak sumatera adalah “pelindung”, sehingga tidak boleh diganggu, dibunuh, terlebih dikonsumsi. Habitatnya pun dijadikan hutan larangan. Yakni hutan yang tidak boleh dirusak, apalagi dibuka untuk dijadikan kebun.

Baca: Perempuan Hebat Penjaga Kaki Bukit Barisan

 

Bentang alam Semende yang berada di kaki Bukit Barisan. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Terus terancam

Banyak persoalan ekologi yang dialami lanskap Bukit Barisan. Perambahan hutan, pembukaan perkebunan, pertambangan, perburuan satwa liar, serta infrastruktur. Persoalan ini bukan hanya dicemaskan para pegiat lingkungan hidup. Para pekerja teater dari Sumatera dalam Festival Teater Sumatera [FTS] 2021 di Taman Budaya Sriwijaya, Jakabaring, Palembang, pada 11-13 November 2021, juga membahas persoalan ekologi di lanskap Bukit Barisan.

“Kami mencemaskan kondisi lanskap Bukit Barisan, sebab jika Bukit Barisan rusak kita bukan hanya kehilangan kekayaan flora dan fauna, juga akan kehilangan peradaban luhur. Peradaban yang mencerminkan kesalarasan manusia dengan alam,” kata Rasyidin, pekerja teater dari Rumah Seni Glinyoeng Art, Aceh.

“Contohnya Gunung Leuser saat ini menghadapi banyak persoalan. Bukan hanya hutan yang terbuka untuk perkebunan dan pertambangan, juga banyak kasus tewasnya gajah, harimau, dan orangutan,” ujarnya.

Peristiwa tersebut dapat mendorong lunturnya nilai-nilai ekosentris atau hubungan harmonis manusia dengan alam. Padahal, sebelumnya harimau, gajah dan orangutan, sangat dihormati dan dilarang untuk diganggu atau dibunuh,” kata Rasyidin.

Sebagai informasi, selama tahun 2020, terjadi 39 konflik manusia dengan harimau sumatera di Aceh, khususnya di wilayah lanskap Bukit Barisan. Hingga Maret 2021, tercatat 18 kasus. Terakhir, tiga individu harimau sumatera [induk dan dua anaknya] mati akibat jerat kawat baja di Desa Ie Buboh, Kecamatan Meukek, Kabupaten Aceh Selatan, Aceh, 24 Agustus 2021 lalu.

 

Desa Muara Danau, Kabupaten Muaraenim, Sumatera Selatan, merupakan penyangga Taman Nasional Bukit Barisan Selatan [TNBBS]. Ketersediaan air menjadi penting untuk area persawahan di sini. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Konflik harimau sumatera dengan manusia juga terjadi di Sumatera Selatan. Akhir 2019 lalu, seorang petani, Kuswanto [57], yang menetap di Desa Pulau Panas, Kecamatan Tanjung Sakti PUMI, Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan [Sumsel], meninggal dunia karena diserang harimau sumatera di kebun kopinya, Minggu [17/11/2019] sekitar pukul 10.00 WIB. Sehari sebelumnya, Sabtu [16/11/2019] pagi, Irfan [20], warga Sekayu, Kabupaten Musi Banyuasin [Muba], Sumsel, yang tengah berwisata di perkebunan teh Gunung Dempo, juga diserang harimau.

“Konflik ini menandakan hubungan manusia dengan alam, khususnya satwa-satwa yang selama ini dihormati manusia seperti harimau, sudah tidak harmonis lagi. Ini menyedihkan. Ini sebenarnya menandakan adanya nilai-nilai luhur dalam peradaban manusia di sekitar Bukit Barisan yang hilang. Saya tidak dapat membayangkan apa yang terjadi pada Bukit Barisan dalam beberapa tahun ke depan dengan hilang atau terkikisnya nilai-nilai tersebut,” kata Conie Sema dari Teater Potlot.

Ronny Rachman Noor, Guru Besar Universitas IPB, menyatakan berdasarkan penelitian menunjukkan bahwa Indonesia berada di pusaran perdagangan satwa liar di dunia. Indonesia bersama Honduras dan Jamaica menjadi sebagai salah satu eksportir produk satwa liar terbesar di dunia.

Baca: Seniman Harus Berperan Dalam Penyelamatan Bentang Alam, Caranya?

 

Alam memberi inspirasi tanpa batas bagi manusia untuk berkarya. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Pembangunan infrastruktur juga berlangsung di lanskap Bukit Barisan. Misalnya pembangunan jalan tol. Jalan tol ini bukan hanya membuka kawasan hutan, juga melobangi Bukit Barisan sebagai terowongan. Lokasinya pada ruas Tol Padang-Pekanbaru [244 kilometer] dan Tol Palembang-Bengkulu [351,3 kilometer].

Terowongan pada Tol Padang-Pekanbaru di Payakumbuh [Sumatera Barat] yang menembus Bukit Barisan sepanjang 8,95 kilometer. Sementara terowongan Tol Palembang-Bengkulu berada antara Bengkulu-Taba Penanjung sepanjang 7 kilometer.

Sebelumnya, ada rencana pembangunan 30 jalan yang akan membelah Bukit Barisan. Rencana ini kemudian mendapat reaksi dari sejumlah organisasi non pemerintah.

Pada 22 Juni 2011, World Heritage Committee UNESCO menyatakan Situs Warisan Dunia Hutan Hujan Tropis Sumatera sebagai Situs Warisan Dunia dalam Bahaya [List of World Heritage in Danger].

Pemerintah Indonesia merespon dengan membuat rencana mengeluarkan Situs Warisan Dunia Hutan Hujan Tropis Sumatera dari daftar bahaya melalui Desired State of Conservation for the removal of property from the list of World Heritage in Danger [DSOCR] dan Corrective Measure.

Ada tujuh indikator agar Situs Warisan Dunia Hutan Hujan Tropis Sumatera keluar dari daftar bahaya, yakni tutupan hutan, tren populasi spesies kunci, pembangunan jalan, pertambangan, tata batas kawasan, penegakan hukum, serta pengelolaan lanskap.

Baca juga: Akankah Tiga Taman Nasional Situs Warisan Dunia Ini Keluar dari Status Bahaya?

 

Status harimau sumatera. Sumber: KLHK/Direktorat KKH/Ditjen KSDAE

 

Menggali pengetahuan

Marhalim Zaini, pekerja teater dan sastrawan dari Suku Seni Riau dari Riau, menilai salah satu hal yang belum optimal dilakukan guna melindungi lanskap Bukit Barisan adalah menggali sebanyaknya pengetahuan lokal, yang mencerminkan hubungan harmonis manusia dengan alam.

“Mungkin sudah banyak penelitian tentang pengetahuan-pengetahuan tersebut. Tapi, pengetahuan itu tidak disebarkan menjadi pengetahuan milik umat manusia. Terutama, pada masyarakat urban dan para pendatang di lanskap Bukit Barisan. Jika pengetahuan ini dipahami bersama, mungkin muncul tradisi atau budaya baru yang arif dengan alam,” kata Marhalim.

Conie Sema menambahkan, tanpa dipromosikan, sejak dahulu masyarakat di dunia sudah tahu jika Indonesia kaya.

“Kerja pengawasan dari masyarakat, pekerja seni, perguruan tinggi maupun dari lembaga peduli lingkungan hidup harus didukung, sehingga secara ekonomi Indonesia untung, tapi alamnya tidak rusak. Termasuk terhadap lanskap Bukit Barisan,” katanya.

Puluhan pekerja teater, yang sebagian adalah pekerja budaya, peneliti dan akademisi, yang terlibat dalam Festival Teater Sumatera [FTS] 2021, sepakat untuk melakukan kerja kebudayaan pada lanskap Bukit Barisan.

“Kita berharap, kerja kami ini nantinya didukung pemerintah maupun pihak-pihak yang peduli dengan keberlanjutan lanskap Bukit Barisan. Jika pun minim dukungan, kami akan terus melakukannya, sebab ini terkait identitas kami sebagai orang Sumatera,” kata Yusril Katil dari Komunitas Seni Hitam Putih, Padangpanjang, Sumatera Barat.

 

 

Exit mobile version