Mongabay.co.id

Catatan Akhir Tahun : Era Baru Pengelolaan Perikanan Tangkap Dimulai pada 2022

 

Menyambut pergantian tahun yang tinggal menghitung hari, Pemerintah Pusat terus menata sektor kelautan dan perikanan agar bisa memberikan manfaat semakin banyak untuk kehidupan. Penyiapan program dilakukan, karena ada ketidakteraturan penataan yang terjadi pada masa sebelumnya.

Salah satu program yang disiapkan sebagai “bintang” untuk sektor kelautan dan perikanan, adalah penerapan kebijakan penangkapan ikan secara terukur. Kebijakan tersebut rencananya akan mulai diterapkan pada 2022 mendatang.

Saat ini, kebijakan tersebut masih belum bisa diterapkan, karena peraturan yang akan mendukung pelaksanaan di lapangan masih dalam tahap penyusunan. Peraturan tersebut direncanakan akan disahkan segera menjadi Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP).

Sebagai “pelindung” untuk penerapan kebijakan di lapangan, Permen KP tentang penangkapan ikan secara terukur akan dikejar proses penyelesaiannya dengan waktu yang cepat. Dengan demikian, diharapkan pada medio awal 2022 sudah bisa disahkan dan bisa diterapkan.

Direktur Pengolahan Sumber daya Ikan yang juga Pelaksana Tugas (Plt) Sekretaris Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan (DJPT KKP) Trian Yunanda dalam Konferensi Pers Catatan Akhir Tahun 2021 dan Proyeksi 2022 DJPT KKP di Jakarta, Rabu (15/12/2021) mengatakan, kebijakan penangkapan ikan secara terukur akan menjadi program prioritas yang dijalankan KKP.

Melalui program itu, KKP berharap bisa mendulang banyak rupiah dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Harapan besar itu muncul, karena kebijakan tersebut diyakini akan bisa menata kembali pengelolaan subsektor perikanan tangkap menjadi lebih baik lagi.

baca : Penangkapan Terukur, Masa Depan Perikanan Nusantara

 

Plt. Sekretaris Dirjen Perikanan Tangkap (DJKP) KKP Trian Yunanda (tengah) bersama pejabat DJKP KKP dalam Konferensi Pers Catatan Akhir Tahun 2021 dan Proyeksi 2022 DJPT KKP di Jakarta, Rabu (15/12/2021). Foto : KKP

 

Secara umum, KKP menargetkan PNBP bisa mencapai angka Rp1,4 triliun pada 2022. Target itu diharapkan bisa dikumpulkan, selain dari perikanan tangkap, juga dari subsektor lainnya seperti perikanan budi daya, pengelolaan ruang laut, dan yang lainnya

Menurut Trian Yunanda, agar kebijakan tersebut bisa berjalan baik, KKP akan melakukan penataan lebih dulu dari segi infrastruktur yang mencakup pelabuhan yang menjadi tempat pendaratan ikan di seluruh Indonesia.

“Utamanya, yang ada di sekitar lokasi penangkapan di WPPNRI (Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia). Pelabuhannya kita benahi dulu,” jelas dia.

Untuk penataan kembali fasilitas pelabuhan, KKP juga akan membangun dengan mengembangkannya menjadi pelabuhan ramah lingkungan. Dengan demikian, pada April tahun depan diharapkan pelabuhan ramah lingkungan sudah bisa dimulai untuk pembangunan.

Total, ada 79 pelabuhan perikanan yang disiapkan untuk bisa mendukung penerapan kebijakan penangkapan ikan secara terukur. Pelabuhan-pelabuhan tersebut akan menjadi tempat pangkalan bagi kapal yang mendapatkan perizinan dari KKP, salah satunya untuk pendaratan hasil tangkapan.

Sarana dan prasarana yang ada di seluruh pelabuhan tersebut akan dikembangkan untuk bisa menyesuaikan dengan rencana penarikan PNBP pasca produksi. Selain itu, aspek sumber daya manusia (SDM) juga tak luput dari pengembangan, karena penerapan pasca produksi akan memerlukan peran dari SDM.

Khusus untuk pelabuhan ramah lingkungan, KKP sudah menyiapkan pengembangan di empat lokasi pelabuhan perikanan. Kemudian, juga dilakukan pengembangan untuk pelabuhan perikanan yang terintegrasi dengan pasar ikan internasional.

“Pengembangan tersebut akan dilakukan di 11 lokasi. Juga akan ada pengembangan untuk 66 lokasi pelabuhan perikanan di 23 provinsi,” papar dia.

Empat pelabuhan perikanan ramah lingkungan dikembangkan di Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Belawan, Sumatera Utara; PPS Bitung, Sulawesi Utara; PPS Kendari, Sulawesi Tenggara; dan PPS Cilacap, Jawa Tengah.

baca juga : Pengawasan Terintegrasi untuk Penangkapan Ikan Terukur Mulai Awal 2022

 

KKP Gandeng AFD Kembangkan Eco Fishing Port di Pelabuhan Cilacap. Foto : KKP

 

Selain fasilitas pelabuhan, penataan juga mencakup pada aspek rantai pasok yang bertugas untuk mengawasi sejauh mana distribusi hasil tangkapan dari sejak hulu hingga ke hilir. Penataan tersebut diharapkan bisa memetakan lebih detail rantai pasok.

Direktur Kapal Perikanan dan Alat Penangkapan Ikan KKP Mansur mengatakan bahwa fokus yang sedang dilakukan oleh subsektor perikanan tangkap saat ini adalah bagaimana pengelolaan bisa berjalan dengan tetap menjaga prinsip ramah lingkungan.

Prinsip tersebut diterapkan dengan dimulai dari pemberlakuan alat penangkapan ikan (API) tidak merusak lingkungan. Ketetapan itu ada dalam Permen KP No.18/2021 tentang Penempatan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan di WPPNRI dan Laut Lepas Serta Penataan Andon Penangkapan Ikan.

Pemberlakuan peraturan tersebut, menegaskan bahwa API yang dinilai tidak ramah lingkungan seperti cantrang, harus dengan API jenis jaring tarik berkantong yang dinilai sudah ramah lingkungan. Dengan API yang ramah lingkungan, maka diharapkan itu bisa menjaga ekosistem di laut dan pesisir.

 

Prinsip Ekonomi Biru

Fokus dengan menjaga prinsip ramah lingkungan tersebut, tetap dilakukan KKP pada 2022 mendatang. Di mana, pada tahun tersebut KKP fokus menerapkan ekonomi biru yang secara prinsip akan melaksanakan program kerja dengan menyeimbangkan kegiatan ekonomi dan pengelolaan ekologi di laut.

Dalam melaksanakan prinsip keseimbangan tersebut, KKP fokus pada empat aspek yaitu biologi, lingkungan, ekonomi dan sosial.

perlu dibaca : Penangkapan Ikan Terukur, Bisa Tekan Laju Perubahan Iklim

 

Seorang pedagang melintas diantara tumpukan ikan bandeng (Chanos chanos) di Pasar Ikan, Lamongan, Jawa Timur. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Aspek biologi untuk menjaga kelestarian sumber daya ikan untuk keberlanjutan produktivitas. Kemudian, aspek lingkungan untuk meminimalkan dampak penangkapan ikan terhadap lingkungan dan sumber daya ikan (SDI).

Ketiga, aspek ekonomi untuk bisa menerima pendapatan yang optimal dan berkelanjutan bagi Negara, masyarakat, dan pelaku usaha. Dan terakhir, adalah aspek sosial untuk bisa menyediakan lapangan pekerjaan, tercipta harmoni antar pemangku kepentingan, dan menjaga kedaulatan Negara.

Dengan mengacu pada empat aspek tersebut, Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP Muhammad Zaini meyakini kalau pengelolaan subsektor perikanan tangkap akan fokus pada pelaksanaan efisiensi pengelolaan sumber daya alam (SDA), manfaat ekonomi dan sosial yang seimbang, serta menjaga kelestarian ekologi dan keanekaragaman hayati.

Semua tujuan itu, mengerucut pada satu program kerja yang menjadi prioritas dan unggulan dari subsektor perikanan tangkap. Program tersebut akan diterapkan mulai 2022 mendatang, dan tidak lain adalah penangkapan ikan secara terukur.

Bagi KKP, kebijakan penangkapan ikan secara terukur akan menjadi kebijakan penting dan lompatan besar reformasi perikanan tangkap. Di dalamnya diatur secara detail tentang aktivitas penangkapan ikan dengan pendekatan pascaproduksi (output control).

Pendekatan tersebut berbeda dengan sebelumnya yang menggunakan cara praproduksi (input control). Cara tersebut dinilai mengandung banyak kelemahan yang bisa merusak lingkungan, PNBP tidak maksimal, dan penangkapan berlebih (over fishing) yang tidak terkendali.

Sebaliknya, dengan menggunakan pendekatan pascaproduksi, optimalisasi bisa dilakukan di semua lini. Misalnya, pengendalian bisa dilakukan melalui perizinan, dengan mempertimbangkan kuota penangkapan per kapal perikanan.

baca juga : Penangkapan Terukur dan Penerapan Kuota Apakah Layak Diterapkan?

 

Nelayan menyiapkan perbekalan sebelum berangkat melaut di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong, Lamongan, Jatim. Nelayan mengalami dampak pandemi covid-19, salah satunya harga ikan yang menurun. Foto : Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Juga, hasil tangkapan pelaku usaha juga akan didasarkan pada kuota yang sudah ditetapkan kepada mereka. Paling penting, PNBP juga bisa optimal diterima karena perhitungannya didasarkan pada metode pascaproduksi mengacu pada jumlah tangkapan ikan yang didaratkan.

Selain itu, penghitungan PNBP juga dilakukan dengan menyesuaikan kontrak yang sudah disepakati, yaitu menggabungkan hitungan praproduksi dan pascaproduksi. Itu artinya, pemasukan kas Negara bisa diproyeksikan berdasarkan nilai alokasi SDI sesuai perizinan yang diberikan.

Sebagai kebijakan terbaru, penangkapan ikan terukur akan mengatur secara detail aspek pengaturan yang akan berlaku. Di antaranya, adalah area penangkapan ikan; jumlah ikan yang boleh ditangkap berdasarkan kuota volume produksi; dan musim penangkapan ikan.

Kemudian, jumlah dan ukuran kapal; jenis alat tangkap; pelabuhan perikanan sebagai tempat pendaratan/pembongkaran ikan; penggunaan anak buah kapal (ABK) lokal; suplai pasar domestik dan ekspor ikan harus dilakukan dari pelabuhan di WPPNRI yang ditetapkan; dan jumlah pelaku usaha, dengan memberlakukan sistem kontrak untuk jangka waktu tertentu.

Dengan semua pengaturan tersebut, dampak positif akan bisa dirasakan di waktu mendatang. Menurut Zaini, manfaat itu di antaranya adalah stok ikan dan kesehatan laut akan terjaga, distribusi pertumbuhan ekonomi di daerah yang lebih merata, dan kesejahteraan masyarakat akan meningkat.

Kemudian, akan terwujudnya akurasi data penangkapan dan kemudahan untuk menelusuri asal usul hasil tangkapan (fish traceability); penambahan serapan tenaga kerja; serta peningkatan PNBP dan kontribusi sektor KP pada perekonomian nasional.

baca juga : Menanti Model Penangkapan Ikan Terukur Diterapkan di Laut Nusantara

 

Seorang nelayan melempar jaring ikan. Foto : shutterstock

 

Lebih detail, Koordinator Bidang Program DJPT KKP Ukon Ahmad Furqon menyebutkan bahwa penerapan kebijakan juga akan didukung dengan pemberlakuan zonasi WPPNRI. Dari 11 WPPNRI, KKP membaginya ke dalam tiga zonasi, yaitu zonasi penangkapan ikan berbasis kuota, zona penangkapan ikan non kuota, dan zona penangkapan ikan terbatas.

Untuk zona penangkapan ikan terbatas, WPPNRI 714 menjadi lokasi yang ditetapkan dengan cakupan area adalah perairan Laut Teluk Tolo dan Laut Banda. Kemudian, untuk zona penangkapan ikan non kuota ditetapkan di tiga WPPNRI, yaitu zona 05 di 571 (perairan Selat Malaka dan Laut Andaman), dan zona 06 di 712 (perairan Laut Jawa) dan 713 (perairan Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores, dan Laut Bali).

Di luar dua zonasi tersebut, KKP mengelompokkan WPPNRI tersisa ke dalam zona penangkapan ikan berbasis kuota. Ada WPPNRI 711 (Perairan Selat Karimata, Laut Natuna, dan Laut Natuna Utara), 715 (perairan Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram, dan Teluk Berau), dan 716 (Perairan Laut Sulawesi dan sebelah utara Pulau Halmahera).

Kemudian, ada juga WPPNRI 717 (Perairan Teluk Cendrawasih dan Laut Lepas (Samudera Pasifik)), 718 (perairan Laut Aru, Laut Arafuru, dan Laut Timor bagian Timur), 572 (perairan Samudera Hindia sebelah Barat Sumatera dan Selat Sunda), dan 573 (perairan Samudera Hindia sebelah selatan Jawa hingga sebelah selatan Nusa Tenggara, Laut Sawu, dan Laut Timor bagian Barat), dan Laut Lepas (Samudera Hindia).

baca juga : Tuntutan Perikanan Tuna Global Makin Ketat Terkait Ketelusuran dan Aspek Ekologisnya

 

Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI)

 

Dengan mengelompokkan zonasi WPPNRI, seluruh kuota yang diberikan kepada kapal perikanan, ditentukan oleh Komisi Nasional Pengkajian Sumber daya Ikan (Komnas Kajiskan). Kuota ditentukan dari hasil kajian stok ikan yang dilakukan Komnas Kajiskan bersama organisasi pengelolaan perikanan regional (RFMO).

Adapun, kuota yang ditentukan mencakup kuota untuk komersial dengan ketentuan sampai dengan 12 mil laut, dengan perizinan berusaha; serta di atas 12 mil laut dengan sistem kontrak dan perizinan berusaha.

Kuota untuk nelayan, diatur sampai dengan 12 mil dengan perizinan berusaha; dan di atas 12 mil laut diatur dengan perizinan berusaha. Sedangkan kuota non komersial adalah Pendidikan dan/atau pelatihan perikanan, penelitian atau kegiatan ilmiah lainnya, dan/atau kesenangan wisata.

 

Exit mobile version