Mongabay.co.id

Catatan Akhir Tahun: Menanti Hukuman Maksimal untuk Pembunuh Gajah Tanpa Kepala di Aceh Timur

 

 

Kasus pembunuhan gajah sumatera jantan tanpa kepala di Desa Jambo Reuhat, Kecamatan Banda Alam, Kabupaten Aceh Timur, Aceh, pada 12 Juli 2021 lalu, membuat publik geram. Satwa dilindungi itu dibunuh dengan cara diracun terlebih dahulu untuk kemudian dipenggal kepalanya di areal Hak Guna Usaha [HGU] PT. Bumi Flora Afdeling V, Desa Jambo Reuhat.

Lima pelaku ditangkap tim Polres Aceh Timur dan Jawa Barat, sepanjang Agustus 2021. Mereka adalah Jainal [35] yang bertindak sebagai pembunuh gajah dan pengambil gading, Edy Murdani [41] pemesan gading, dan Soni [33] pembeli.

Lalu Jefri Zulkarnaen [50], warga Depok, Jawa Barat, pembeli gading dari Soni dan Rinaldi [46], warga Bekasi, Jawa Barat, yang menjadikan gading itu menjadi badik, pipa rokok, rencong, beserta aksesoris lainnya.

Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri Idi Rayeuk, Kabupaten Aceh Timur, Apriyanti, didampingi Ike Ari Kesuma dan Zaki Anwar sebagai hakim anggota, dalam putusannya pada persidangan Rabu [15 Desember 2021] menyatakan, kelima terdakwa bersalah. Mereka melanggar Pasal 21 ayat [2] huruf a juncto Pasal 40 ayat [2] UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya juncto Pasal 55 ayat [1] ke-1 KUHP.

Para pelaku didakwa dengan berkas perkara berbeda. Jainal berkas perkara nomor: 198/Pid.B/LH/2021/PN Idi, Rinaldi Antonius nomor: 197/Pid.B/LH/2021/PN Idi, Edy Murdani nomor: 196/Pid.B/LH/2021/PN Idi, sementara Soni dan Jeffri Zulkarnaen dalam satu berkas nomor: 199/Pid.B/LH/2021/PN Idi.

Pembacaan putusan pertama dilakukan Majelis Hakim terhadap berkas perkara Jainal, pembunuh gajah 10 tahun tersebut. “Menjatuhkan pidana penjara tiga tahun enam bulan dan denda sebesar Rp50 juta. Apabila denda tidak dibayar, diganti penjara tiga bulan.”

Berikutnya, Majelis Hakim membacakan vonis untuk Edy Murdani, hukuman tiga tahun enam bulan penjara dan denda Rp50 juta, subsider tiga bulan penjara. Sementara Rinaldi Antonius, Soni dan Jefri Zulkarnaen, divonis tiga tahun penjara dan denda Rp100 juta, subsider enam bulan penjara.

Hukuman ini, justru lebih rendah dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum [JPU] sebelumnya, dalam persidangan Rabu [24 November 2021], yang menuntut kelima terdakwa empat tahun enam bulan penjara, denda Rp100 juta.

Jaksa Penuntut Umum dari Kejaksaan Negeri Aceh Timur, Harry Arfhan dan M. Iqbal, mengatakan pikir-pikir untuk melakukan banding atau menerima putusan tersebut. Pernyataan itu disampaikan saat menjawab pertanyaan Apriyanti, Ketua Majelis Hakim.

Baca: Tuntutan 4,6 Tahun Penjara untuk Pembunuh Gajah Tanpa Kepala di Aceh Timur

 

Gajah sumatera, berstatus dilindungi tapi tidak menjamin hidupnya bebas dari perburuan liar. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Tidak puas hukuman

Bustami, masyarakat Idi Rayeuk, mengatakan hukuman itu sangat rendah. Alasannya, para pelaku melakukan kejahatan berencana. “Seharusnya hukuman maksimal, karena mereka secara jelas melakukan kegiatan ilegal,” ujarnya.

Hal senada disampaikan Manager Lembaga Suar Galang Keadilan [LSGK], Missi Muizzan. Menurut dia, putusan itu tidak sebanding dengan kejahatan yang dilakukan para pelaku.

“Awalnya, kita sangat sepakat dengan Jaksa Penuntut Umum yang menuntut mereka 4,6 tahun penjara. Jaksa telah cukup tegas menuntut hukuman maksimal.”

Menurut Missi, kelima pelaku pantas mendapatkan hukuman berat.

“Perbuatan mereka sangat keji guna mencari keuntungan pribadi. Mereka juga tidak kali ini saja  memperdagangkan bagian tubuh satwa dilindungi,” ujarnya.

Berdasarkan penelusuran Mongabay Indonesia, Edy Murdani, warga Sumatera Utara dan Kabupaten Pidie Jaya, telah berkali melakukan kejahatan. Selain menampung gading gajah, dia juga menampung anggota tubuh satwa dilindungi lainnya seperti kulit dan tulang harimau, trenggiling, paruh rangkong, hingga landak.

Bahkan dengan Soni, Edy telah melakukan transaksi ilegal enam kali, yaitu empat transaksi gading gajah, serta kulit dan tulang harimau satu kali.

Edi pernah dihukum 1,6 tahun penjara karena memperdagangkan kulit harimau dan tiga kilogram sisik trenggiling di Medan, Sumatera Utara. Penangkapan Edi bersama dua rekannya dilakukan personil Ditreskrimsus Polda Sumatera Utara, pada Oktober 2016.

Baca: Mulai Disidang, Tersangka Pembunuh Gajah Sumatera Tanpa Kepala di Aceh Timur

 

Gajah sumatera, dulu dihormati kini dianggap sebagai pengganggu. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Tujuh kematian gajah  

Data Balai Konservasi Sumber Daya Alam [BKSDA] Aceh, menunjukkan pada 2021, ada tujuh kasus matinya gajah sumatera liar di provinsi paling barat Indonesia ini.

Kasus pertama di Desa Blang Rakal, Kecamatan Pinto Rime Gayo, Kabupaten Bener Meriah. Bangkai gajah betina umur sekitar 10 tahun ditemukan pada 12 Januari 2021. Dokter hewan memperkirakan akibat keracunan pupuk.

Kematian kedua pada 3 Maret 2021, di Desa Panton Bunot, Kecamatan Tiro, Kabupaten Pidie. Masyarakat menemukan anak gajah umur sekitar satu bulan, yang diberi nama Inong, terjebak di kubangan berlumpur pada 9 Februari 2021. Saat dievakuasi ke Pusat Konservasi Gajah [PKG] Saree, Kabupaten Aceh Besar, kondisinya lemah. Tim dokter tidak bisa menyelamatkan, meski kondisinya sempat membaik.

Kasus ketiga di Desa Alue Meuraksa, Kecamatan Teunom, Kabupaten Aceh Jaya, pada 4 Maret 2021. Gajah jantan 10 tahun ini mati dengan kaki kiri bagian depan terjerat tali tambang. Hasil nekropsi tim dokter tidak menemukan tanda-tanda keracunan atau terluka karena tembakan.

Kasus keempat, pada 31 Maret 2021, BKSDA Aceh menemukan gajah betina mati dengan dugaan keracunan, di Desa Papeun, Kecamatan Muara Tiga, Kabupaten Pidie.

Kasus kelima, pada 5 Juni 2021, anak gajah jantan yang sakit ditemukan mati di Desa Sri Mulya, Kecamatan Peunaron, Kabupaten Aceh Timur.

Kematian keenam, matinya gajah tanpa kepala, yang dibunuh di Desa Jambo Reuhat, Kecamatan Banda Alam, Kabupaten Aceh Timur, pada 12 Juli 2021.

Kasus ketujuh, pada 16 November 2021, anak gajah betina satu tahun mati akibat jerat yang membuat belalainya nyaris putus di kawasan hutan Desa Alue Meuraksa, Kecamatan Teunom, Kabupaten Aceh Jaya.

Sementara pada 2020, ada tujuh kasus dengan jumlah gajah yang mati sebanyak 11 individu.

Baca: Pembunuh Gajah Sumatera Tanpa Kepala di Aceh Timur adalah Pemain Berpengalaman

 

Gajah jantan ini ditemukan mati di Desa Jambo Reuhat, Kecamatan Banda Alam, Kabupaten Aceh Timur, Aceh, Senin [12/7/2021]. Kepalanya dipenggal untuk diambil gadingnya, yang sebelumnya satwa liar dilindungi ini diracun. Foto: Istimewa/masyarakat Jambo Reuhat

 

Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam [BKSDA] Aceh, Agus Arianto menjelaskan, kematian gajah sumatera liar masih terus terjadi karena disengaja maupun tidak.

“Kami terus berusaha mencegah, salah satu cara dengan memberikan pemahaman kepada masyarakat dan pihak terkait, bahwa gajah merupakan kekayaan hayati Aceh yang harus dijaga,” ujarnya, Selasa [14/12/2021].

BKSDA juga memberikan pengertian kepada masyarakat agar tidak merespon konflik dengan cara yang salah, seperti memasang jerat atau meracun satwa tersebut.

“Konflik gajah terjadi karena habitatnya terganggu. Cara efektif yang dapat dilakukan adalah menjaga habitatnya dan tidak menanam tanaman yang disukai gajah di jalur lintasnya.”

Terkait perburuan gading, Agus mengatakan, hal tersebut merupakan kegiatan yang bertentangan dengan hukum dan pihaknya semaksimal mungkin mencegah.

“Peranan semua pihak sangat penting, khususnya peranan pemerintah di tingkat desa yang sangat membantu mencegah terjadinya kegiatan ilegal baik membunuh gajah karena dianggap hama atau karena perburuan.”

Terkait konflik gajah sumatera dengan manusia di Aceh pada tahun 2021 tercatat mencapai 163 kasus yang tersebar di Kabupaten Pidie, Aceh Timur, Aceh Utara, Aceh Jaya, Bener Meriah, Aceh Tengah, Aceh Barat, Nagan Raya, Pidie Jaya, Bireuen, Aceh Selatan, dan Kota Subulussalam. Sementara pada tahun 2020, jumlah konflik gajah dengan manusia di Aceh mencapai 211 kasus.

Baca: Belalai Kena Jerat, Anak Gajah Sumatera Ini Mati

 

Para pelaku pembunuh gajah tanpa kepala ini diamankan di Polres Aceh Timur, Aceh, Agustus 2021. Foto: Humas Polres Aceh Timur/Iwan Gunawan

 

Perburuan tetap ada

Direktur Conservation Response Unit [CRU] Aceh, Wahdi Azmi yang juga Dosen Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala mengatakan, gajah sumatera adalah gajah pertama di dunia yang ditetapkan oleh The International Union for Conservation of Nature [IUCN] dalam Daftar Merah atau IUCN-Red List dengan status Kritis sejak 2012.

“Status ini hanya satu tingkatan sebelum status punah di alam alam atau Extinct in the Wild apabila tidak dilakukan upaya sungguh-sungguh untuk memulihkan populasi dan habitatnya. Status kritis tersebut diberikan berdasarkan tingkat laju penurunan populasi dan kehilangan habitat selama 30 tahun sebelum penetapannya. Saat ini, diperkirakan hanya tersisa 1.700 individu dan sepertiga dari populasi gajah sumatera berada di Provinsi Aceh,” ungkap Wahdi,  Selasa [14/12/2021].

Wahdi mengatakan, gajah sumatera di Aceh tersebar dalam berbagai status dan fungsi kawasan. Sebagian besar, sebanyak 85% spesies ini justru hidup di luar kawasan konservasi, bahkan di luar kawasan hutan.

“Oleh karena itu, dibutuhkan kolaborasi antar-pihak, dan Aceh sudah memulai itu. Namun, harus kembali ditingkatkan, termasuk dengan melibatkan pemerintah desa, kepolisian, dan TNI yang mempunyai perangkat hingga ke tingkat desa,” sebutnya.

Wahdi mengatakan, sebelumnya sejumlah gajah yang ditemukan mati di Aceh diperkirakan karena konflik dengan masyarakat. Namun, dari beberapa kasus terungkap, konflik telah dimanfaatkan pemburu untuk membunuh gajah dan mengambil gading beserta kerangkanya.

“Hal ini harus menjadi perhatian semua pihak. Penegakan hukum sudah berjalan cukup baik di Aceh, kita berharap dipertahankan bahkan ditingkatkan sehingga menimbulkan efek jera kepada pelaku.”

Konflik harus dicarikan solusinya. Misal, gajah dan manusia sama-sama membutuhkan lahan dataran rendah dan datar. Untuk itu, perencanaan pembangunan harus benar-benar memperhatikan masalah ini.

“Pemahaman ini harus terus diberikan kepada semua pihak dan instansi yang merencanakan pembangunan harus dilibatkan secara penuh,” paparnya.

Baca: Inong, Bayi Gajah Sumatera yang Terjebak di Kubangan Itu Mati

 

Tampak tengkorak gajah dan bagian tubuh lainnya yang disita dari para pelaku, yang membunuh gajah di Aceh Jaya. Sebanyak 11 pelaku sudah ditangkap dan disidangkan juga. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Ketua Forum Konservasi Gajah Indonesia [FKGI], Donny Gunaryadi mengatakan, perburuan gajah dengan motif perdagangan gading menjadi penyebab utama menurunnya populasi gajah sumatera.

“Kejadian ini menandakan, sindikat perdagangan gading gajah masih aktif. Keseriusan semua pihak, khususnya pemerintah menjaga gajah tetap aman di habitat alaminya harus ditingkatkan,” ungkapnya, Sabtu [18/12/2021].

Saat ini hanya beberapa provinsi yang masih tersisa habitat gajah, seperti di Taman Nasional Leuser dan Ulu Masen [Aceh], Taman Nasional Bukit Tiga Puluh [Jambi], Tesso Nilo [Riau], Padang Sugihan [Sumatera Selatan], Bengkulu, serta Way Kambas dan Bukit Barisan Selatan [Lampung].

“Namun, jumlah populasi dan kantong gajah di Sumatera terus menurun. Tahun 1985 terdapat 44 habitat dan pada 2007 menyusut menjadi 25 kantong. Saat ini, diperkirakan hanya 12 kantong yang memiliki populasi di atas 50 individu gajah,” ujarnya.

Dony menilai, ada faktor yang menjadi penyebab utama hilangnya populasi gajah sumatera, mulai dari Aceh hingga Lampung: perburuan, konflik manusia dan gajah, ancaman jerat listrik, dan racun. Penilaian bahwa gajah merupakan satwa pengganggu dan perusak turut  menyebabkan terjadinya pembunuhan.

“kita sering mendengar gajah merusak kebun, tapi sangat jarang membaca tentang manusia yang meusak habitat gajah,” tuturnya.

Baca juga: Cinta Kita yang Hilang pada Gajah Sumatera

 

Anak gajah sumatera ini menderita akibat belalainya kena jerat yang dipasang pemburu di di hutan Desa Alue Meuraksa, Kecamatan Teunom, Kabupaten Aceh Jaya, Aceh. Malang, nasibnya tidak tertolong. Gajah satu tahun ini mati pada Selasa [16/11/2021], meski telah dilakukan perawatan intensif. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Subhan, Kepala Balai Gakkum Wilayah Sumatera Ditjen Gakkum KLHK mengatakan, timnya terus berusaha melakukan pengakan hukum terkait pembunuhan dan perdagangan bagian tubuh satwa liar dilindungi.

“Kami butuh kerja sama semua pihak, termasuk pemangku kawasan yang merupakan habitat gajah,” ujarnya, Jumat [17/12/2021].

Subhan menjelaskan, terjadinya perburuan gajah karena masih adanya permintaan gading di pasar gelap. Namun, untuk memutuskan mata rantai perdagangan bukan perkara mudah. Sindikat ini bekerja sangat rapi, informasi rantai pemasoknya selalu terputus sehingga penegak hukum tidak bisa mengakses siapa yang memesan barang tersebut. Selain itu, pembeli terakhir juga selalu menyembunyikan identitas jaringannya.

“Penegakan hukum merupakan usaha terakhir dari konservasi satwa dilindungi. Paling penting adalah menjaga satwa tersebut aman di habitatnya.”

Sebelumnya Balai Gakkum Sumatera merilis 46 kasus kematian gajah di Aceh, sejak 2015-Agustus 2021, yang umumnya terjadi akibat perburuan liar dan konflik dengan manusia.

“Ini angka yang tinggi. Perambahan, alih fungsi hutan, dan penebangan liar turut menambah kerusakan habitat gajah sumatera,” ungkap Subhan.

 

 

Exit mobile version