Mongabay.co.id

Wawancara Rektor UBB Ibrahim: Kampus Harus Hasilkan Generasi Peduli Lingkungan

 

 

Muda dan berprestasi. Sosok ini terpancar jelas pada Dr. Ibrahim, Rektor Universitas Bangka Belitung [UBB]. Ibrahim merupakan Ketua Umum Asosiasi Ilmu Politik Indonesia [AIPI] Cabang Bangka Belitung [2020-sekarang], dan sebelumnya menjabat Dekan Fakultas Ilmu Politik dan Ilmu Sosial UBB sejak 2014-2020.

Dia menyelesaikan pendidikan formal, SD hingga SMA di Pulau Bangka, dan memperoleh gelar Sarjana Filsafat [2004], Magister Ilmu Politik [2006], Doktor Filsafat [2012], dan Doktor Ilmu Politik [2014], semuanya dari Universitas Gadjah Mada.

Sejumlah buku telah ditulis lelaki kelahiran 40 tahun silam ini, seperti Sengkarut Timah dan Gagapnya Ideologi Pancasila, Politik Ekologi dan Pelajaran dari Kasus Timah Bangka Belitung, serta Ekonomi Politik Sumber Daya Timah. Juga, 13 artikel terindeks Scopus serta karya lainnya pada berbagai penerbit.

Berikut wawancara Mongabay Indonesia dengan sosok Associate Professor di Departemen Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Politik dan Ilmu Sosial, UBB, mengenai lingkungan Bangka Belitung, di Gedung Rektorat UBB, Kamis [20/01/2022].

Baca: Membaca Hubungan Masyarakat Bangka Belitung dengan Alam Melalui Sastra Lisan

 

Dr. Ibrahim, Rektor UBB yang bertekad melahirkan generasi intelektual yang sensitif terhadap lingkungan. Foto: Nopri Ismi/ Mongabay Indonesia

 

Mongabay: Bagaimana Anda tertarik isu lingkungan, khususnya penambangan timah di Bangka Belitung?

Ibrahim: Pertama, karena lokalitas saya yang dalam keseharian tidak lepas dari situasi penambangan timah. Ada semacam keprihatinan, kenapa persoalan ini terjadi dan bertahan [status quo].

Kedua, karena background keilmuan. Saya sejak dulu meminati kajian-kajian politik. Saya melihat, hulu dari semua persoalan lingkungan adalah kebijakan. Artinya, kita berbicara tentang formulasi kekuasaan.

Namun, seiring waktu, ketika dikaji lagi persoalan yang ada tidak lepas dari kondisi kontekstual ekologi, ekonomi, dan sosial budaya di lingkungan yang ditambang.

Ini menarik, sekaligus menunjukkan Bangka Belitung dengan potensi riset di bidang ekstraksinya.

Baca: Rempah dan Jejak Peradaban Bahari di Kepulauan Bangka Belitung

 

 

 

 

Mongabay: Politik timah di Bangka Belitung merupakan politik ekonomi lokal atau global?

Ibrahim: Ada tesis jurnalis dari luar negeri menunjukkan, ketika timah semakin jauh dari sumbernya, keuntungan yang didapatkan semakin besar. Begitu sebaliknya.

Kondisi inilah yang sebenarnya terjadi. Kalau kita lihat dinamika perdagangan timah, kebutuhan nasional terhadap timah, khususnya bagi industri manufaktur kita, hanya tiga hingga lima persen. Artinya, tidak dianggap sebagai komoditas yang begitu strategis, namun merupakan komoditas tidak tergantikan dan tidak terbarui.

Jika digambarkan, timah awalnya berupa pusaran kecil, antara penambang, BUMN ataupun swasta, yang didukung regulasi secara nasional. Perebutan [timah] awalnya terjadi secara lokal, penambang dengan penambang, namun menjadi sangat besar.

Di zaman Belanda, menurut beberapa literatur, masyarakat ikut menambang, pekerja-pekerja dari China menjadi penambang di parit-parit. Artinya, akses masyarakat terhadap timah cukup baik pada masa itu. Kemudian terjadi nasionalisasi, yang membuat timah menjadi barang asing bagi masyarkat lokal.

Lalu terjadi pergumulan, timah seakan-akan hanya dimiliki perusahaan yang berhak mengelolanya, karena izin konsesi dari negara, tepatnya pada awal Orde Lama hingga Orde Baru. Kita merasakan bagaimana timah dikuasai negara melalui perusahaan-perusahaan yang beroperasi.

Memasuki 1998, ketika negara tidak melihat timah sebagai komoditas strategis, pengelolaannya tidak diawasi, tidak diatur ekspornya, sehingga terjadi tarik menarik lagi antara warga lokal dan penambang, maupun negara.

Dari sini bisa kita lihat, pusaran itu terjadi di tingkat lokal. Sementara pihak eksternal [global], sebagai penikmat hasil dari pusaran yang terjadi di tingkat lokal.

Baca: Cara Unik Masyarakat Pulau Bangka Menjaga Kelestarian Satwa Liar

 

Seorang anak menunjukkan kerang hasil tangkapannya di sekitar pesisir Pulau Bangka, yang terdesak pertambangan timah. Foto: Nopri Ismi/ Mongabay Indonesia

 

Mongabay: Sebesar apa dampak timah terhadap kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat Bangka Belitung?

Ibrahim:  Banyak orang mengatakan, Bangka Belitung tergantung timah. Namun menurut saya, Bangka Belitung sebenarnya lebih tepat ‘terlanjur tergantung’ timah.

Jauh sebelum timah menjadi primadona warga lokal, Bangka Belitung sudah terkenal dengan haji-hajinya yang bersumber dari hasil sahang, karet, ataupun komoditas laut, yang menjadi kekuatan ekonomi lokal.

 

Mongabay: Apakah Bangka Belitung bisa lepas dari ketergantungan timah?

Ibrahim: Sulit, semua sudah bergantung. Saat ini, naik turunnya harga timah sangat mempengruhi kondisi ekonomi masyarakat. Sebagai contoh, berdasarkan riset yang kami lakukan, yaitu pengaruh naik turunnya harga timah terhadap ekonomi pasar, hasilnya lebih kurang 80 persen pedagang di pasar menjawab, harga timah mempengaruhi siklus ekonomi di pasar.

Ketika harga turun, mereka [pedagang] sangat merasakan lesunya daya beli masyarakat. Sebaliknya, ketika timah naik, daya beli meningkat.

Baca: Tigel, Tarian Suku Melayu untuk Menjaga Tujuh Bukit Permisan Bangka

 

Aktivitas tambang di Bangka Belitung akan tetap berlanjut, mengingat besarnya potensi logam tanah jarang. Foto: Nopri Ismi/ Mongabay Indonesia

 

Mongabay: Skema apa yang harus dilakukan, agar Bangka Belitung lepas dari ketergantungan timah?

Ibrahim: Melihat kondisi sekarang, kita harus wise [bijak]. Tak bisa serta-merta menghapus penambangan timah karena bagaimanapun dampaknya sangat luas.

Kita berharap, kondisi ini dikelola pemerintah dengan baik: tertata rapi, regulasi jelas, dan berorientasi keberlanjutan.

Peluangnya adalah kita mulai memperkecil ekspansi, tetapi pada saat yang sama kita persiapkan sektor-sektor ekonomi alternatif.

 

Mongabay: Mungkinkah skema tersebut terlaksana? Sekarang hadir narasi “harta karun” dalam hal ini eksplorasi potensi logam tanah jarang [LTJ]?

Ibrahim: Di tingkat masyarakat, berdasarkan data BPS 2020, sektor perkebunan masih memegang urutan pertama sebagai mata pencaharian, sementara tambang kedua.

Berdasarkan riset kami, kalau negara tegas [terhadap pertambangan], masyarakat cenderung patuh. Saya pikir, benturan kepentingan terlalu banyak sehingga status quo masih berlangsung ketimbang langkah-langkah perubahan.

Ketika narasi eksplorasi mineral di Bangka Belitung berlanjut, ditambah potensi rare earth [LTJ], yang harus dilakukan adalah mendorong proses ekstraksi mineral tersebut berjalan berkelanjutan. Pengawasan terhadap pengelolaan mineral ini harus tegas, terstruktur, dan sistematis berdasarkan ketentuan perundangan-undangan.

Baca juga: Ampak, Kearifan Masyarakat Melayu di Bangka Melawan Tambang Timah

 

Lada merupakan tanaman perkebunan yang masih bertahan di Bangka dan Belitung saat ini. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Mongabay: Pengetahuan seperti apa yang harus kita gali atau pertahankan guna membendung kerusakan lingkungan di Bangka Belitung?

Ibrahim: Inisiatif di tingkat lokal, seperti mempertahankan hutan-hutan larang yang dijaga masyarakat adat, sangatlah penting. Kearifan masyarakat untuk memanfaatkan tumbuhan sebagai obat-obatan, harus dipertahankan.

Ini semua harus didukung penegakan hukum, agar laju kerusakan lingkungan dapat diminimalisir, selain terus mendorong inisiatif-inisiatif lokal, baik dari masyarakat ataupun pemerintah daerah.

Penting bagi kita untuk tidak reaktif atau sensitif berlebihan pada kelompok peduli lingkungan. Apalagi, sampai melakukan kontra-aktivisme yang justru semakin memarginalkan gerakan penyelamatan ini.

 

Mongabay: Universitas Bangka Belitung memiliki slogan Unggul Membangun Unggul, peradaban seperti apa yang ingin dibangun?

Ibrahim: Visinya terwujud UBB yang dikenal dan diakui di tingkat internasional sebagai universitas riset yang menghasilkan sumber daya dan karya-karya unggul di bidang pembangunan berkelanjutan. Ini didasari keunggulan moral, mental, dan intelektual untuk membangun peradaban bangsa.

Jadi, mindset pembangunan berkelanjutan sudah kami tanamkan dalam visi universitas. Kami adalah kampus di daerah yang kaya akan sumber daya alam, yang harus tetap dijaga kekayaan alamnya di tengah eksplorasi atau ekstraksi yang terus terjadi.

Kami berharap, peradaban yang peduli kepada sustainability selalu menjadi kata kunci.

 

 

Exit mobile version