Mongabay.co.id

Ketika Perusahaan Tambang Nikel Masuk Pulau Wawonii [1]

 

 

 

 

 

Jalan tambang membelah kebun dan menerabas belukar di punggungan Bukit Pelaporoa. Seekor tupai berbulu lebat, berbunyi, menempel di sebuah pohon. Di tempat lain pada dahan jambu mete, sri gunting, bersuara nyaring dengan beragam suara yang merdu, terbang dengan jarak pendek, seakan memamerkan ekor yang membentuk pangkal.

Di atas kanopi hutan, paruh bengkok hijau, berteriak serak. Terbang dalam kawanan kecil. Burung menunggu musim panen jambu mete, lalu turun lebih dekat dengan petani dan membantu merontokkan jambu yang telah matang jatuh ke tanah.

Hastoma, Suleman, Hasan, dan Taicy berjaga di kebun itu. Empat petani dari Kampung Roko Roko, Kecamatan Wawonii Tenggara, Kabupaten Konawe Kepualuan, Sulawesi Tenggara ini, bagian dari sekitar 30-an petani penolak pertambangan nikel yang memasuki kampung dan hendak menggusur kebun mereka.

Perusahaan tambang nikel, PT Gema Kreasi Perdana (GKP), mengantongi IUP seluas 1.000 hektar. Pada 2017, perusahaan memperoleh IUP ulang seluas 950 hektar dan diperbarui pada Maret 2018 menjadi 850 hektar. Sekitar 707 hektar konsesi GKP, merupakan izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH).

Warga penolak tambang berhimpun lalu berunjuk rasa, bertahan menjaga tempat hidup dengan air mata, tetapi malah dipenjara.

Para penolak dituduh sebagai kumpulan orang-orang yang tak ingin melihat kampung berkembang. Mereka dituduh radikal dan disebut sebagai orang udik, ketinggalan zaman. Kampung terbelah, ada yang menolak dan mendukung.

Di jalan kampung, para pendukung dan penolak, saat berpapasan tak saling sapa. Tak ada senyum atau uluran tangan bersalaman, sekalipun masih keluarga. Selama sepekan di Wawonii, saya menyaksikan pemandangan seperti itu. Pilu.

Orang-orang saling menandai usaha. Pendukung tambang dengan sekuat daya bertahan tak akan berbelanja di warung kelontong penolak, begitu sebaliknya.

 

Baca juga: Fokus Liputan: Morowali di Bawah Cengkeraman Tambang Para Jenderal

Jalan utama yang idibangun PT GKP membelah pemukiman dan kebun warga. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Abdul Latif, seorang petani mengajak saya menyeberangi muara Sungai Roko-Roko yang keruh. Ketika menapak dasar sungai, sendal jepit terlepas karena dipenuhi lumpur tanah merah lengket.

Dia menunjuk sisi lain sungai yang masih tersisa sedikit tumpukan pasir. Sebelum tambang datang beroperasi, dasar sungai itu pasir lembut. Orang kampung bisa mandi dengan bahagia. Anak-anak bermain di tepian dan melihat ikan, udang, bahkan ranting yang tenggelam di dasar. Sekarang mau lihat apa lagi, hanya bisa lihat lumpur dan air coklat.

Kami terus bergerak, menapak petak kebun yang sudah tak terawat karena pemilik sudah melepaskan ke perusahaan tambang anak usaha Harita Group ini.

Dari kebun itu, kami menyeruak keluar dari jalan setapak kecil, kemudian berhadapan dengan jalan tambang, yang menghubungkan dengan pelabuhan terminal khusus perusahaan. Suara musik dengan gema besar terdengar dari bangunan tempat beberapa kendaraan alat berat terparkir. Kami memotong jalan berangkal batu yang lebar itu, lalu menapak kebun Latif.

Luas kebun itu hampir sekitar satu hektar kini berkeliling jalan tambang dan kantor GKP. Kebun berada di tengah terapit jalan dengan sisi sudah tinggi karena timbunan material buatan.

Kebun Latif, seperti kolam dalam petak kecil. Saat hujan mengguyur, genangan air bisa setinggi lutut karena tak ada lagi jalan keluar menuju laut.

Saluran air dengan sisi ditumbuhi nipah, sudah tertutup bangunan perusahaan. Latif mengeluh, pada perusahaan tetapi tak ada yang mendengarkan.

Pelan-pelan tanamannya sakit. Pohon cendana yang ditanam bapaknya untuk menandai perbatasan kebun, juga sakit. Akar membusuk terendam air.

Dia mengambil sebuah galah untuk ambil buah kelapa. Mencabut parang, dan menghantam untuk membuka. Kulit buah kelapa itu sudah mengkerut, dan berbentuk lonjong. Tanaman tak sehat. Ketika hantaman ketiga, kelapa itu tebuka, bagian dalam menjadi kecil. Tempurung berubah jadi hitam. Tak ada air, tak ada isi.

“Ini harusnya sudah berbuah banyak. Sudah waktunya. Sekarang apa… sakit semua….”

 

Baca juga: Warga Waleh Hidup dari Kebun dan Olah Sagu Terganggu Tambang Tambang Nikel

Buah kelapa begitu besar di kebun yang belum terganggu tambang nikel. Bagaimana nasib warga kalau sumber hidup mereka ini rusak terkena tambang nikel? Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Kelapa di Wawonii adalah tanaman primadona dan identitas. Pulau ini mengambil nama itu, Wawo berarti di atas. Ni’i adalah kelapa. Pulau yang ditumbuhi kelapa. “Sekarang sudah jadi tambang. Wawnonii harusnya diganti nama saja,” katanya.

Latif berjalan pelan. Dia menunjuk kelapa, pinang, jambu mete dengan pucuk berubah warna menjadi kuning.

Kebun Latif sudah turun menurun. Pada 1970-an, bapaknya membuka lahan itu, merawat tanaman musiman, seperti jagung dan ubi kayu. Di pinggiran dibuat parit kecil agar air hujan mengalir menuju laut. Keluarga itu mulai menanam kakao, kelapa, jambu mete, dan pinang.

Masa lalu, kebun Latif dikenal angker. Orang takut melintas ketika matahari sudah redup. Orang-orang kampung acap kali disuguhkan suara menangisdi area itu. Atau suara orang berbicara tanpa ada seorang pun yang nampak.

Latif kecil harus hidup kebun warisan bapaknya. Ceritanya, dulu ibu sambungnya tak membolehkan dia tidur di rumah. Pondok kebun itulah yang jadi pilihan. Dia memasak pakai tempurung kelapa dan sisa pakaian kedodoran dari ibunya. Warga desa tahu kisah memilukan Latif itu.

Cerita ini jadi salah kisah inspiratif untuk menggambarkan keuletan dan kesabaran. Kini, empat anaknya semua mengenyam pendidikan tinggi dan bahkan sudah bekerja. “Saya tidak mau jual kebun ini. Berapapun harganya.”

Tanaman yang dia rawat dengan penuh kasih, bertumbuh dengan baik. Kelapa berusia sekitar 10 tahunan. Di dekat pondok, ada tiga pohon tak tergenang air. Buah lebat, dan besar-besar.

Kendaraan tambang hilir mudik. Di bagian lain, yang bersisihan dengan kebun Latif, sebuah bangunan beratap merah menggunakan seng terdengar gaduh. Suara bersahutan serempak. Mereka seperti meneriakkan yel-yel untuk semangat, tempat calon pekerja dilatih jadi tenaga pengamanan (security). “Itu tempat anak-anak kami di kampung akan menjadi karyawan. Hanya itu, dan sudah banyak,” kata La Da’a, petani lain.

Kami sedang istirahat di kebun Latif. Riuh suara aktivitas pertambangan membuat para petani beberapa kali menoleh memperhatikan sumber suara. Bising. “Ini mungkin jin (setan) di sini sudah bersahabat juga dengan orang tambang,” kata Latif.

“Kalau jin terganggu, harusnya dirusak itu alat beratnya. Mobilnya,” tambah La Da’a.

 

Baca juga: Nasib Orang Sawai di Tengah Himpitan Industri Nikel

Hastoma (36 tahun) petani di Roko Roko, Desa Sukarela Jaya, memegang pohon cengkihnya. Pada 2 Juli 2022, kebun ini kembali diseorobot PT GKP.. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

 

***

Pagi, 18 Juni lalu, saya bersama Hastoma dan tiga petani lain bersiap menuju kebun di Pelaporoa. Berjalan melewati sisi kampung, menyeberangi jembatan kayu swadaya petani. Tanaman di kebun warga jadi peneduh dalam perjalanan. Ada kelapa, pala dan tanaman lain.

Kami berjalan di bawah gerimis. Jalur setapak licin, dan rumput basah. Kami berhenti menatap kebun almarhum La Ba’a, La Amin dan Wa Ana.

Pada 2019, tiga kebun itulah yang pertama menyulut kemarahan warga karena perusahaan penambang nikel menyerobotnya.

Perusahaan bekerja malam, pakai alat berat menumbangkan pohon kakao dan pala.

Pagi hari, petani bergerak, dan meminta karyawan perusahaan menghentikan aktivitasnya. Mereka berhasil. Para petani tak menerima perlakuan perusahaan, akhirnya menyandera 10 pekerja sebagai alat negosiasi. Hingga pukul 19.00, kepolisian membebaskan karyawan perusahaan.

Tiga hari berikutnya, perusahaan membawa alat berat meninggalkan kebun. Melaporkan 21 warga ke Polda Sulawesi Tenggara atas dugaan tindak pidana perampasan kemerdekaank terhadap seseorang, sesuai Pasal 333 KUHP. Tiga orang dilaporkan atas upaya menghalangi perusahaan dengan UU Minerba. Tiga lain dilaporkan melakukan tindak penganiayaan pada pekerja perusahaan.

Warga juga melaporkan perusahaan ke kepolisian Polres Kendari dan Polda Sulawesi Tenggara pada 28 dan 29 Agustus 2019, hingga sekarang tak ada tanggapan.

Nama-nama warga itu beredar dan masuk daftar pencarian orang (DPO). Warga Roko Roko mengenang peristiwa itu sebagai teror memilukan. Ada banyak polisi datang ke kampung dan berjalan dengan senjata lars panjang. Para lelaki penolak tambang, bersembunyi di rumah-rumah kebun sampai dua bulan.

Pada malam hari, mereka pelan-pelan menuju kampung. Menjelang subuh, mereka kembali berjalan ke rumah kebun.

 

Kelapa rusak saat tanaman terendam.. Kebun warga terkepung di antara ‘wilayah’ perusahaan tambang nikel hingga jadi kubangan kala hujan datang. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Setelah itu eskalasi ketegangan menurun hingga dua tahun. Awal 2022, perusahaan kembali menggeliat. Kendaraan alat berat, kembali diangkut menuju Wawoni’i. Warga kembali bersiaga. Rumor beredar cepat kalau perusahaan akan membuka kembali lahan. Warga tak akan menolerir.

Februari 2022, La Dani dan Hastoman akhirnya ditangkap kepolisian. Maret 2022, perusahaan menyerobot di lahan La Dani. Video penyerobotan dan bagaimana petani bertahan beredar luas. Berhenti sesaat, tetapi perusahaan tetap melakukan aksi menerabas kebun.

Saya berdiri di jalan tambang yang telah membelah kebun-kebun warga. Kebun La Dani, meskipun tak berhasil utuh diserobot, tetapi tanah urukan dari material jalan, bertumpuk di lahannya.

Kebun Ratna sudah terhalang material jalan. “Begitu kalau mau ke kebun lewati jalan itu, yang tinggi,” katanya.

“Itu di kebun saya itu, airnya sudah dalam. Saya injak, saya kira nda apa-apa, kaki saya tenggelam karena lumpur. Bagaimana kalau sudah begitu,” kata Ratna.

“Mereka ini tak punya perasaan. Tidak punya hati.”

“Saya ini buta huruf. Tapi bisa kau buta huruf, jangan buta hati. Mereka itu buta hati.”

Ratna bicara meledak-ledak. Dia membaca kondisi sosial di kampungnya berubah. “Dulu, kampung ini tenang. Orang panen, berkebun sama-sama. Saling bantu. Sekarang kau lihat, orang tidak lagi bertegur-tegur. Karena tambang itu, karena tambang itu.”

Hastoma membenarkan ucapan Ratna. “Sudah seperti itulah keadaan sekarang.”

Pada 9 Juni 2022, lahan Hastoma dan Sulemani di punggungan Pelaporoa itu dimasuki perusahaan sebagai jalan tambang. Hastoma bersikeras dan meminta perusahaan berhenti. Keesokannya, pada 10 Juni, bersama dua petani lain, Hastoma memenuhi panggilan GKP di kantor site Wawonii.

Perusahaan membuka bentangan peta, dimana arsiran berwarna hijau diklaim masuk konsesi perusahaan. Hastoma tak bisa membaca peta, tetapi dia bilang agar perusahaan melihat langsung di lapangan.

Perusahaan menyetujui permintaan itu dan berjanji meninjau bersama lahan pada 11 Juni 2022. Hastoma bersama 13 petani menuju Pelaporoa. Mereka menunggu di lahan yang sudah digeruduk alat berat untuk bikin jalan. Perusahaan tak kunjung datang.

Akhirnya, Hastoma dan para petani membuat pagar untuk membentengi lahan dari perusahaan.

 

Jalan tambang perusahaan yang membelah kebun warga di Wawonii. Foto: Eko: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Ketika kami berjalan menuju kebun untuk melihat pagar pembatas itu, Usman, seorang warga menghampiri Hastoma. “Saya baru mau ke rumah, tapi ketemu di sini. Saya berikan di sini saja ya. Ini ada surat pak Sulemani.”

Usman bekerja sebagai tim lahan perusahaan. Dia membantu perusahaan mengindentifikasi lahan warga yang akan dibebaskan. Hastoma dan Sulemani saling berpandangan. Dia tak ingin menerima surat itu. Si pemberi menjelaskan, kalau surat ini adalah permintaan klarifikasi kepemilikan lahan Hastoma dan Sulemani yang sebelumnya dianggap sebagai penyerobotan.

“Saya kira sudah jelas. Siapa yang punya lahan itu,” kata Hastoma.

“Ini hanya untuk penjelasan. Saya juga yang meminta karyawan itu berhenti bekerja. Jadi, lebih baik dulu datang klarifikasi,” jawab Usman.

“Saya hanya sampaikan perintah juga ini. Kita terima mi saja,”lanjut Usman.

Surat tanda terima itu Hastoma dan Sulemani teken. Perihal surat itu disebut “surat panggilan untuk dimintai keterangan.”

Surat itu menyebutkan kalau Hastoma dan Sulemani telah merintangi dan mengganggu usaha pertambangan. Surat pemanggilan itu ditandatangi Bambang Murtiyoso, selaku GM External Relation PT Gema Kreasi Perdana.

Saya berkali-kali meminta konfirmasi pada Murtiyoso tetapi tak pernah ada tanggapan. Marlion, sebagai tim hukum GKP mengatakan, penolakan dan penyerobotan yang dituduhkan warga ke perusahaan sama sekali tak berdasar. “Di sini kondisinya aman dan kondusif,” katanya.

Marlion juga bilang, kalau beberapa warga yang menyatakan kepemilikan lahan itu sudah diterima dengan baik. “Itu memang lahan GKP yang telah dibebaskan dari pemilik tanah yang sah.”

 

Sungai Roko-roko yang berubah warga kemerahan dengan banyak lumpur di dasarnya. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Selanjutnya, kata Marlion, ungkapan penyerobotan itu sangat tidak berdasar. “Ohhh tidak benar. Kami tidak menyerobot, yang benar itu kami melintasi dan membersihkan lahan-lahan yang telah kami bebaskan atau ganti untung tanaman tumbuhnya, yang disepakati masyarakat dan perusahaan.”

Bagaimana pola ganti untung tanaman versi Marlion? Dia tak menjawab detail. Namun warga di Roko Roko, menyatakan, kalau untuk cengkih diganti Rp600.000 per pohon, kelapa Rp900.000 per pohon. Pala Rp400.000, jambu mete Rp750.000 ribu dan pinang Rp350.000 per pohon. Tanah tempat tumbuh tanaman itu tak mendapatkan pergantian.

Nah, apa itu punya nurani? Punya hati? Dia (perusahaan) itu pikir, tanah itu tidak ada harganya. (Padahal) Itulah yang paling utama,” kata Ratna.

Jelang petang pada 15 Juni 2022, di terminal khusus GKP satu kapal besar menepi. Di geladak terlihat berderet puluhan truk berwarna hijau. Pelan-pelan truk satu per satu turun menuju lahan utama perusahaan.

Dari kejauhan beberapa warga menyaksikan parade itu. Bagi mereka, orang-orang yang datang dan bekerja di perusahaan adalah orang-orang berpendidikan. Mereka mengiming-imingi warga pulau tentang kesejahteraan dan kemakmuran.

Banyak orang tertarik. Puluhan anak muda tergiur. Mereka menjadi tenaga pengamanan dan buruh kasar. Sebulan mereka memperoleh upah antara Rp3 juta-Rp4 juta, setara upah harian Rp100.000.

Perusahaan cepat mendapatkan tenaga kerja, dengan alasan anak-anak keluarga petani, atau petani yang masih kuat bekerja akan langsung dipekerjakan, saat melepaskan tanah.

Di Roko Roko, beberapa petani yang melepaskan lahan kemudian membangun rumah dengan tembok beton. Ada yang mendapatkan ganti rugi Rp500 juta.

Selama sepekan di Roko Roko, Desa Sukarela Jaya, setiap pagi antara pukul 6.30, saya menyaksikan warga kampung yang menjadi pekerja di perusahaan. Mereka bergegas menuju kantor. Jelang petang, mereka kembali ke rumah. Bagi La Da’a, petani berusia jelang 70 tahun, pemandangan itu bikin miris.

Bagi La Da’a, penghasilan rutin setiap bulan memang menggiurkan. Namun menghabiskan seluruh tenaga pada apa yang bukan milik sendiri, baginya sia-sia. Menjadi petani, bisa mengatur waktu. Kalau hujan, bisa menunda ke kebun. Kalau keluarga punya hajatan juga bisa tak ke kebun. Ada banyak waktu untuk saling berangkul.

“Hasil panen, bisa ditabung dan dikelola. Kasi (merelakan) kebun dengan Rp500 juta itu banyak, tapi itu juga bisa didapatkan dalam empat kali panen jika kebun dirawat dengan baik.”

 

Sumber air dari hulu yang mengalir ke Kampung Desa Roko-roko masih terjaga. Entah apa yang akan terjadi, kala kawasan hulu nanti berubah jadi tambang nikel. Entah bagaimana nasib sumber air bersih tumpuan hidup warga ini. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

La Da’a mengenang, pertama kali ketika kabar beredar dan ketika orang-orang datang ingin mengeruk mineral di kampungnya, hatinya bergedup kencang.

Dia menatap punggungan bukit di sisi kampung itu. La Da’a mengangkat tangan, serupa membuat garis berkelok jalan yang akan dilalui perusahaan.

“Di atas sana mereka akan keruk. Terus jalan lewati kebun-kebun, sampai di samping rumah,” katanya menunjukan pelabuhan angkut perusahaan dengan jarak hanya dipisahkan muara Sungai Roko Roko.

“Di sana nanti, ada banyak kebun orang-orang Mosolo akan dibebaskan. Mereka juga menolak.”

Di Kampung Mosolo, 17 Juni lalu, La Miri sedang beristirahat baru pulang dari kebun. “Kebun jauh….Saya tanam cengkih, sudah beberapa kali panen. Ini lagi dirawat saja,” katanya.

Kebun jauh, maksudnya yang berada di punggungan bukit, yang tersambung dengan punggungan lain di Roko Roko. Lahan Miri masuk dalam IUP PT Bumi Konawe Mining (BKM) – juga anak usaha Harita Group. “Saya pernah ditawari Rp500 juta untuk 3,5 hektar kebun itu. Saya tidak maulah,” katanya.

“Cengkih saya bagus. Kalau musim buah, saking banyak buahnya, dahan bisa patah. Sekarang, saya kasi sekolah anak. Kuliah dan masih ada SMA. Itu karena bertani. Kalau saya jadi karyawan perusahaan kan belum tentu bisa.”

Tahun 2019, Pemerintah Sulawesi Tenggara membekukan izin BKM bersama lima izin usaha pertambangan lain. Pada 2021, sejumlah peneliti yang dibiayai GKP, melakukan studi baseline lingkungan. Hasilnya tak terpublikasi. Meski demikian, study baseline lingkungan, yang dimotori Fitriani Amin, dianggap sebagai studi awal untuk analisis mengenai dampak lingkungan (amdal).

“Untuk terkait amdal-nya sendiri, saya tidak pernah terlibat,” katanya.

Fitriani Amin, seorang dosen pertambangan. Dia juga Kepala Program Studi Teknik Pertambangan Universitas Muhammadiyah Kendari. Saya meminta pertemuan dengannya. Fitriani tak merespon bagaimana hasil studi baseline lingkungan yang dimaksud.

Sedang Bambang Murtiyoso, menjawab singkat ketika saya bertanya apakah GKP sudah menurunkan tim amdal. “Siap,” jawabnya.

Tim ini menelusuri beberapa kawasan dalam IUP GKP dan IUP BKM.

Di Mosolo, ketika sedang istirahat di pinggiran sungai utama, yang jernih, rasa sulit membayangkan, camp BKM yang tepat berada di percabangan Sungai Mosolo di kawasan hulu tak akan membahayakan sungai.

Di Sungai Roko-Roko, yang jauh lebih kecil dari Sungai Mosolo, kekeruhan terjadi kala hujan tinggi. Air berwarna coklat kemerahan dan membawa lumpur. “Perusahaan baru buka jalan, sungai sudah rusak seperti ini. Bagaimana kalau produksi,” kata La Da’a.

 

Sumber air bersih terancam

Pada 18 Juni 2022, hujan mengguyur. La Da’a memperlihatkan air dari mulut keran mengalir keruh. “Dulu, hujan kencang bagaimana pun air tidak kotor begini,” katanya.

La Da’a membeli ember besar. Ketika air jernih, dia menampung air ke wadah untuk mencuci, memasak, dan air minum. Sumber air keluarga La Da’a dari mata air di tebing bukit, sekitar 40 menit berjalan kaki dari kampung.

Warga kampung bikinkan sumber air itu penampungan dari beton cor kotak. Lubang keluar air ada pipa besi, yang kemudian meliuk di antara kebun warga hingga ke perkampungan. Pipa-pipa aliran air bersih yang melintasi kebun, dibocorkan sedikit untuk keperluan petani mengolah kebun agar tak jauh ke sumber air atau sungai.

Sumber air bersih warga itu hanya berjarak sekitar 100 meter dari jalan tambang GKP.

Hastoma menengadah. Dia memikirkan air bersih di kampungnya. “Kalau perusahaan beroperasi, banyak benar masalah…” (Bersambung)

 

 

 

 

*********

Exit mobile version